Share

4

Hari ini betul-betul menjadi hari paling buruk dalam sejarah hidup. Tak ada kata yang lebih menyakitkan ketimbang ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut tajam Abi maupun Ummi. Setelah tragedi siang tadi, kukira semua tak bakal kembali terulang pada malamnya. Ternyata, pada jam makan malam pun mereka masih saja sibuk membahas tentang rencana pernikahan Mas Yazid yang bakal digelar secepat mungkin.

            Di meja makan, aku sama sekali tak mereka acuhkan. Bagai tunggul yang tiada mulut dan telinga. Mereka sibuk membahas ABCD sementara tak dipikirkannya bagaimana kondisi kejiwaanku saat ini. Ingin aku berontak, tapi apa daya diri ini terlalu lemah.

            “Mira, Ummi bangga padamu. Sekarang sikapmu berbanding terbalik dengan tadi siang. Sudah lebih tenang dan menerima keputusan ini. Memang seperti itulah sikap yang seharusnya ditunjukkan seorang istri sekaligus menantu yang patuh.” Senyuman dari bibir berhias lipstik warna bata itu begitu manis tersungging. Wajah Ummi malam ini benar-benar cerah, meski dia baru saja melemparkan ucapan yang sama sekali tak ada bagus-bagusnya barusan.

            Aku hanya mengangguk dan tersennyum kecil. Di balik semua ketabahan ini, ada rasa sakit yang tak dapat terlukiskan dengan kata-kata. Air mata ini sungguh telah kering. Tak dapat lagi menetes terlebih di hadapan mereka. Siang hingga sore tadi sudah lelah aku tergugu sendirian di kamar tanpa mendapatkan secuil pun perhatian dari Mas Yazid. Jadi, buat apalagi aku sibuk meratap. Toh, tak bakal ada yang mau peduli.

            “Ya, memang seperti itu, dong. Mira harus menerima semua keputusan yang dibuat oleh keluarga besar suaminya. Secara, di rumah ini Mira hanya menumpang hidup. Bukan begitu, Mir?” Tatapan Abi begitu penuh remehan. Membuat aku benar-benar terhenyak tak berdaya.

            “I-iya, Abi ....” Bayangkan saja betapa semakin terhinanya aku di rumah ini. Sibuk dicaci maki, dihina dina, diinjak-injak hingga jiwa ini centang perenang pun lagi-lagi mulut Cuma bisa berkata iya.

            “Yazid, siapkan diri besok. Abi sudah telepon Dinda untuk datang ke sini. Dia sampai minta izin pada atasan kantornya untuk tidak masuk kerja. Mira, kamu masak makanan yang enak-enak. Setelah Subuh langsung ke sini. Jangan lupa untuk membuat kue atau jajanan pasar. Tunjukkan pada Dinda bahwa kamu ini adalah contoh istri tua yang patut untuk ditiru. Untuk masalah mengurus rumah tangga memang Abi akui kehebatanmu. Namun, kalau mandul, memang semua jadi tidak ada hebatnya.” Setelah dinaikkan, aku benar-benar diempaskan kembali oleh Abi. Pria yang mengenakan kemeja warna abu itu terkekeh hingga perut buncitnya naik turun. Apakah baginya aku hanya sebuah lelucon?

            “Mira, Ummi juga minta kamu berdandan yang cantik. Tunjukkan pada Dinda bahwa menjadi istri Yazid itu adalah sebuah kebanggaan dan kehormatan sendiri bagimu. Pakai pakaian terbaik. Ummi tidak mau kamu tampak lusuh apalagi tidak berdandan. Mengerti?” Ucapan Ummi tak kalah sengitnya. Sebenarnya aku ini apa di mata mereka? Sebuah propertikah?

            “Baik, Ummi.” Meski hati ini tercabik-cabik, tetap saja aku menunjukkan rasa patuh yang dalam kepada dua haji dan hajjah ini. Biar mereka puas dan bahagia! Anggap saja dunia dan isinya sedang ada di dalam dekapan mereka, sampai-sampai menghinakan orang lain merupakan hal mudah bagi keduanya.

            Makan malam kali ini sempurna membuatku makin tersadar akan sosok orang-orang di rumah ini. Mereka hanya membanggakan hal-hal yang bersifat duniawi. Harta, tahta, rupa, dan keturunan. Itu saja yang ada di otaknya. Sama sekali tak mencerminkan sikap arif dan bijaksana yang seharusnya dimiliki oleh orang setua Abi maupun Ummi. Jangan ditanya betapa kecewanya aku kepada kedua mertua sekaligus suami. Tak ubahnya, mereka bertiga hanya penghancur semangat bagiku kini. Tiada lagi yang dapat kuharapkan dari ketiganya, kecuali harta dan kenyamanan hidup yang kini tersedia.

            Sesampainya di rumah, aku sama sekali tak mau membahas hal ini lagi kepada Mas Yazid. Lelaki itu kulayani seperti biasa. Setelah salat Isya berjamaah, Mas Yazid minta disiapkan air hangat beserta bath foam untuk dirinya berendam. Tanpa banyak omong, aku lekas bergerak dan menyiapkan segala yang dia minta.

            Lelaki itu berendam di kamar mandi cukup lama. Sekitar dua puluh menit. Sepanjang dia bertapa di dalam sana, aku sibuk menyiapkan body butter dan minyak zaitun untuk urut. Tempat tidur sebelumnya sudah kualasi dengan handuk lebar. Semua ini untuk apa? Ya, untuk memuliakan Yazid Al Hussein yang dipertuan agungkan. Bukankah diriku ini sudah layaknya pelayan yang dapat ditunggangi bagi pria tinggi tersebut? Ah, apakah seorang Dinda yang notabene adalah wanita karier bisa mengimbangi kehidupan Mas Yazid yang selalu minta dilayani bak sedang di hotel bintang lima ini? Semoga saja janda anak satu itu betah dan rela mengabdikan dirinya pada keluarga yang penuh titah dan perintah.

            Mas Yazid keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit menutupi pusat ke bawahnya. Maka tampaklah dadanya yang kotak-kotak dan lembab tersebut. Rambut ikalnya yang mulai menyentuh leher, basah dan tersisir ke belakang. Dia begitu tampan meski tiada senyum atau raut keceriaan. Lelaki itu terus berjalan untuk kemudian rebah di atas ranjang yang telah kualasi tadi.

            “Mir, tolong pijatkan. Aku sangat lelah. Setelah ini jangan lupa bikinkan jahe hangat.” Mas Yazdi lalu terlungkup dan membiarkan tubuhnya kubaluri dengan krim aroma moringa tersebut. Jemariku lincah bermain di atas punggung berototnya. Lelaki itu terlihat tenang dan rileks. Diam-diam aku mengintip ke arahnya. Ternyata lelaki itu sampai memejamkan mata. Mungkin saking nikmatnya. Habis berendam lalu dipijat. Enak betul jadi Mas Yazid. Semua tinggal tunjuk dan perintah saja. Tak punya anak pun langsung dicarikan istri kedua oleh orangtua. Kurang apalagi hidupnya? Cuma aku saja yang bodoh mau-maunya bertahan dalam keluarga yang merasa paling tinggi dan ber-power ini. Biarlah, aku yakin suatu saat nanti bakal kutemukan hikmah besar dan kebagahigaan yang tiada berujung.

            “Mir, masalah Dinda. Aku ... tidak yakin bisa mencintainya.” Mas Yazid tiba-tiba berucap. Kaget sekali aku mendengarkannya. Mengapa pria itu kini malah berkata demikian setelah tadi siang dia marah dan begitu emosional saat aku membahas perkara sulit ini.

            Aku tak berani menjawab. Hanya membiarkan lelak itu terus berbicara, sementara jari jemariku tak henti memberikan pijatan lembut pada punggungnya yang putih bersih ini.

            “Dia sepupuku. Saat kecil kami sering sekali bermain bersama. Kala itu Ammah Zahra masih hidup. Setelah menginjak remaja, kami memang jarang sekali bertemu. Selain karena Ammah meninggal dan ayah Dinda menikah lagi, gadis itu juga jadi tertutup dan enggan bermain ke rumah saudara-saudara ibunya. Aku juga heran mengapa Abi dan Ummi malah ingin sekali aku menikahi Dinda yang baru saja ditinggal mati oleh Ami Firdaus. Jika memang alasannya untuk mencari keturunan, mengapa harus Dinda? Ah, sudahlah. Aku tak mau durhaka pada Abi dan Ummi. Kita ikuti saja kata-kata mereka.” Terungkap sudah isi hati terdalam Mas Yazid. Mungkin, tadi siang dia terlalu lelah dan tertekan. Sampai-sampai hanya kemarahan saja yang menyeruak dari bibir tebalnya.

            “Mira? Kamu dengar omonganku, kan?” Mas Yazid berbalik tubuh. Lelaki itu terlentang sembari menatapku. Irisnya yang cokelat begitu lembut memandangiku.

            “Iya, aku dengar, Mas.” Aku mengangguk sembari tertunduk.

            “Jika memang pernikahan dengan Dinda harus terjadi, kuharap kamu bisa menerimanya dengan lapang dada. Aku tidak mau kita pisah rumah. Kita harus tinggal satu atap, apa pun yang terjadi.” Mas Yazid bangkit. Lelaki itu duduk menghadapku dengan dada yang bertelanjang. Bahkan handuk di pinggangnya pun kini telah terlepas.

            Aku hanya diam seribu bahasa. Tak sanggup berucap. Mau berkata apa pun tak bakal ada gunanya. Mungkin inilah yang terbaik, pikirku.

            “Mir, aku hanya menakutkan satu hal. Bagaimana jika setelah pernikahan itu terjadi, Dinda juga tak bakal hamil sepertimu?” Mas Yazid menggenggam kedua tanganku.

            Aku menatapnya dalam. Menelisik pada bola mata jernih yang ia miliki. Mencari-cari masihkah ada ketulusan yang disimpan untukku. Kusadari, ternyata Mas Yazid masih seperti dulu. Tetap ada sepotong cinta yang dia siapkan bagi aku cinta pertamanya.

            Pelan kepalaku menggeleng. Kugigit bibir bawah ini dengan hati yang resah. Apabila ketakutan Mas Yazid bakal terjadi, akulah pihak yang paling marah dan terluka atas keputusan gila ini. Tak terima aku. Sungguh mati, akan kubuat perhitungan besar pada Ummi dan Abi.

            “Entah, Mas.” Bibirku bergetar mengucapkannya. Mas Yazid sontak menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan masygul.

            “Aku memang sungguh takut pada Abi dan Ummi, karena hidup kita bergantung pada mereka. Semua harta pusaka ini masih milik mereka. Jika melawan, risikonya sangat berat. Meski hatiku sedikit menolak, tetapi kurasa ini yang paling terbaik. Kita jalani dulu ya, Mir. Aku harus sabar dan kuat. Kamu tidak mau kan, kita diusir hanya karena menolak permintaan mereka? Mau makan apa kita, Mir? Sementara semua usaha masih dipegang oleh Abi.” Kental sekali nada putus asa yang keluar dari ucapan Mas Yazid, seolah dia itu adalah sosok lelaki yang tiada punya daya upaya.

            “Mas, kenapa kita tidak coba untuk mandiri?”

            Mas Yazid membulatkan mata. Dia melepaskan genggaman tangannya. “Mandiri katamu? Tidak, Mir. Aku tidak mau dan tidak bakal sanggup. Aku lebih memilih untuk meninggalkanmu ketimbang harus kehilangan segalanya.”

            Termangu aku dibuatnya. Ternyata ... harta adalah segala-galanya bagi Mas Yazid ketimbang diriku. Ingin tertawa dalam tangis. Mengenaskan sekali nasibku. Bahkan tak ada satu pun yang menginginkan keberadaanku di dunia ini.

            “Mir, jangan marah, ya? Aku hanya mengatakan yang sesungguhnya.” Mas Yazid membelai rambutku. Kemudian, dengan agak kasar, lelaki itu mendorongku hingga tubuh ini rebah di atas ranjang.

            Tanpa rasa bersalah sedikit pun, Mas Yazid sibuk mencumbuiku. Dia sama sekali tak punya perasaan. Tak meminta pendapatku, apakah aku mau melakukannya malam ini atau tidak. Bahkan kata maaf pun enggan dia luncurkan setelah melempar kalimat menyakitkan barusan. Ya Tuhan, hapuslah rasa sakit ini. Sunguh, aku rasanya tak lagi kuat menerima perlakuan Mas Yazid dan kedua orangtuanya yang makin hari tak manusiawi tersebut.

(Bersambung)

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
pergi jgn bodoh
goodnovel comment avatar
Fahmi
Kata maaf ga dia luncurkan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status