Share

Bukan Menantu Impian

Pelan Hana membuka pintu itu. kau tahu dia bahkan mengubah ekspresi wajahnya. Seolah semua baik-baik saja.

“Maaf Mah, kami memang ada masalah sedikit.”

“Ya, jangan kayak gini. Kamu tanpa Raka juga bukan siapa. Saya aja orang tuanya tidak pernah memperlakukan Raka seperti itu. Berani-beraninya kamu menyuruh anak saya tidur di luar.”

Hana melirikku sekilas.

Aku tak menyangka jika semuanya akan menjadi serumit ini.

“Maaf Mah, lain kali Hana tidak akan melakukannya lagi.” Aku bisa melihat Hana menahan ludahnya. Matanya bahkan mendadak memerah. Hanya butuh satu kedipan lagi untuk membuatnya berair.

“Saya akan tinggal di sini sekarang. Awas ya kamu, berani kurang ajar sama Raka. Enggak sadar diri memang kamu ya, yang belikan rumah ini siapa? Kalau bukan Raka, kamu juga masih tinggal di gubuk. Kampungan!”

Mamah pergi begitu saja meninggalkan Hana yang diam seribu bahasa. Tatapannya bahkan menjadi kosong seketika.

“Na,” lirihku.

Sambil berusaha menarik lengannya sayangnya Hana malah lebih dulu berlalu ke kamar. Ia meringkuk di ranjang, menghadap pada Kembar yang tidur di sebelah kanan.

“Na, Mamah akan tinggal di sini.”

Dia tak menjawab, meski aku tahu dia masih terjaga.

“Aku enggak bisa mencegah dia untuk tinggal.”

“Jangan diam saja Na, jawablah.”

“Terserah,” jawab Hana.

Satu kata yang tak bisa merepsentasi keinginannya.

“Aku akan membujuknya lagi besok pagi.”

“Tidurlah, aku enggak ingin bicara apa pun.”

“Tapi, aku tidak bisa melihatmu begini.”

Hana berbalik.

“Lalu, kenapa kamu diam saja saat Mamah menghinaku?”

“Dia orang tuaku Hana, aku tidak mungkin melawannya.”

“Dan mereka yang tinggal di kampung yang orang tuamu sebut gubuk itu, juga orang tuaku. Apa kamu pikir aku terima begitu saja, saat kebanggaanku diinjak-injak orang lain?”

“Hana maafkan aku, kamu boleh minta apa pun asalkan jangan memintaku melakukan hal itu.”

Hana tersenyum tipis.

“Aku mengerti sekarang, wajar kan orang kaya menghina yang miskin.”

Hana kembali berbalik. Sungguh perkataannya membuatku tak bisa berkata-kata lagi.

Ini bukan kali pertama Mamah mengatakan kalimat yang menyakitkan untuk Hana. Hana yang berasal dari desa di kaki gunung di mana ia yag memang terbiasa hidup sederhana. Malah berjodoh denganku, yang sejak kecil terbiasa tinggal di kota dengan segala fasilitas yang berbanding terbalik dengan Hana.

Ibuku sangat menentang pernikahanku. Berbeda dengan Ayah yang menyukai Hana. Siapa yang tak suka, kepribadian Hana yang baik, membuat Ayah setuju menjadikan ia menantu satu-satunya di keluarga kami.

Sekeras apa pun Mamah menolak perjodohan kami, tetap saja ia akan kalah, karena di keluarga ini semua tunduk pada aturan Ayah.

Andai Ayah tahu, aku pernah melakukan dosa besar pada Hana di masa lalu. Entah apa yang akan ia lakukan padaku.

Aku tak sengaja melecehkan Hana saat mabuk. Sungguh aku menyesali perbuatan itu. Namun, aku tak memungkiri jika aku malah mengambil keuntungan dari kesalahan itu.

Semua berawal saat pesta ulang tahun teman kami.

Naas, teman-temanku justru kompak mengerjaiku yang saat itu tengah patah hati, karena Sawa kekasihku memilih kuliah ke luar negeri. Ia dengan tega memutuskanku, demi mengejar impiannya menjadi model.

Hal itulah membuat mereka mengambil kesempatan memberikan minuman haram itu. Hingga membuat aku hilang kendali, yang membuat situasi semakin kacau adalah mereka juga mencampurkan obat yang entah apa hingga membuatku pada akhirnya berani melakukan hal yang tak senonoh pada wanita yang seharusnya kujaga.

Saat itu, meski postur tubuh Hana hampir sama denganku, tetap saja tenaganya tak cukup kuat untuk melawan pria sepertiku. Benar-benar teman yang menyesatkan. Dalam posisi yang mabuk, mereka malah mengunci kami dalam kamar.

Aku masih mengingat kejadian itu meski samar, seperti ketika Hana berteriak minta agar aku berhenti menarik pakaiannya. Sayangnya, aku tak menghiraukannya. Saat itu, aku ingat Hana sudah menangis. Aku bahkan menamparnya, karena ia terus berontak.

Meski kami tak sempat melakukan hubungan layaknya suami istri, tetapi kejadian itu sangat membuat Hana malu. Ia bahkan memutuskan untuk berhenti kuliah, karena tak kuat menahan malu.

Aku merasa sangat bersalah karenanya. Seharusnya aku tak mengatainya murahan. Padahal aku sendiri, yang membuatnya murahan.

Susah payah aku membujuk Hana untuk menikah. Jujur saja meski awalnya aku tak memiliki perasaan dengan Hana. Melihat kepribadiannya yang teguh, membuatku jatuh cinta.

1 tahun aku rela bolak-balik ke kampung Hana yang jauh, hanya untuk membuat gadis itu luluh. Sampai akhirnya, kami memutuskan menikah, setelah perjuangan meyakinkan keluarga Hana.

Kini, 3 tahun lamanya kami menikah, tetapi sikap Mamah masih saja sama. Ia tetap saja memiliki keinginan agar aku kelak menikah dengan Sawa. Entah bagaimana caranya. Lagi pula, tak mungkin juga ia mau menjadi istri kedua.

Sudah terlalu lama ia pergi, meski ia masih saja bersikap manis, nyatanya keadaan sekarang sudah tak lagi sama.

~

Waktu berlalu, seperti biasa Hana sudah bangun sejak subuh. Ia akan masak dan menyiapkan kebutuhan kami semua.

Sayangnya, tetap saja ada saja yang memancing keributan di pagi hari.

“Makanan apa ini! Yang benar saja, kamu kasih saya makanan kampung.”

“Mah ini enak kok.”

“Kamu doyan makanan begini!” tanya Mamah sambil mencela lauk yang tersaji di meja.

Belum juga aku menjawabnya. Mamah malah buru-buru berjalan ke kamar. Lantas, ia keluar lagi dengan ponsel dalam genggamannya.

“Lebih baik go food, bisa sakit perutku makan makanan kampung. Lagian kok kamu bisa-bisanya mau makanan begini.”

“Hanya ini saja yang bisa Hana masak, kalau Mamah tidak suka. Nanti Hana, buatkan makanan yang lain. Mamah mau makan apa?” kata Hana begitu lembut.

Kau tahu bahkan, aku saja anaknya belum tentu bisa sesabar itu jika di hina. Masalahnya masakan Hana sangat lezat. Hanya saja ini terlalu berat jika disajikan di pagi hari.

Sepertinya niat Hana yang ingin menjamu Mamah dengan masakan opor ayam, dan rendang daging dianggap sebuah kesalahan.

Namun, andai saja Mamah mau mencicipinya. Bahkan, aku yang tak biasa makan berat di pagi hari saja. Tak bisa menolak pesona rendang dan opor buatan Hana.

“Sudahlah. Memang ya, kalau punya menantu kampung sampai kapan pun bisanya ya begitu-begitu saja.”

“Astaghfirrullahaladzim,” lirih Hana yang nyaris tak terdengar.

Mamah berlalu ke halaman depan. Entah dengan siapa ia bicara, yang jelas aku bisa melihatnya begitu bersemangat.

“Hana, kalau ada apa-apa telepon. Abang berangkat dulu.”

“Apa yang biasa Mamah makan?” tanya Hana yang justru masih saja peduli pada orang tuaku.

Setelah hinaan demi hinaan meluncur begitu saja, seolah itu bukanlah kesalahan. Bagaimana aku tidak jatuh cinta dengannya, bahkan ia masih saja memuliakan orang yang kerap menghinanya.

“Ia suka makananmu, Hana. Hanya saja, mungkin ini terlalu pagi untuk makanan seperti ini. Enggak perlu masak lagi, aku yakin dia begitu hanya untuk membuatmu tak nyaman. Kamu bisa menyiapkan roti dengan telur setengah matang, itu saja cukup, untuk pagi ini.”

“Baiklah.”

~

Hari ini aku sibuk sekali. Hanya demi bisa pulang lebih cepat, entah kenapa firasatku merasa tak enak. Aku khawatir jika Mamah melakukan sesuatu yang menyusahkan Hana.

Sampai di rumah, keadaan benar-benar sepi. Entah ke mana mereka semua. Sudah mau masuk waktu magrib pun tidak ada di rumah. Bahkan, aku sudah menghubungi keduanya berkali-kali sayangnya tak ada yang mengangkat. Hari itu aku berencana untuk keluar rumah. mungkin saja ada tetangga yang tahu mereka pergi ke mana.

“Mas Raka.”

“Iya. Maaf Mbak, tahu istri saya pergi ke mana enggak?”

Tiba-tiba saja Mbak Nuri memanggilku, kebetulan ia juga hendak pergi. Dia adalah tetangga yang tinggal persis di sampingku.

“Mas itu tadi Mbak Hananya di bawa ke rumah sakit. Memangnya Mas enggak tahu?”

“Kok bisa? Dia enggak lagi sakit kok.”

“Mas tapi, maaf sejak pagi di rumah memang ribut terus,” ucap Mbak Nuri dengan raut wajah yang sungkan.

“Maksudnya bagaimana, kalau Mbak tahu sesuatu enggak apa-apa bilang aja.”

“Tadi saya denger Mbak Hana teriak kenceng banget, terus enggak kayak suara benda jatuh yang keras banget. Saya sama tetangga pada kumpul di sini, tapi gak di bukain pintu sama ibu-ibu itu. Tapi, enggak lama malah ada ambulans. Ya Allah Mas, Mbak Hananya itu wajahnya berdarah banyak banget.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status