“Bisa diam enggak, Papih pusing!”
Aku mulai hilang kendali. Kedua balita itu justru menangis semakin kencang, seolah aku tengah memukulnya.
“Bunda, Bunda!”
Anak kecil itu terus saja berteriak hingga urat-urat di lehernya mulai menegang. Setiap kali aku bersuara, semua malah bertambah kacau. Sekarang mereka mulai batuk-batuk dan ini yang paling membuatku tak tahan, muntahan mereka bercecer di mana-mana.
Kenapa mengurus bocah susah sekali? Aku mencoba menimang mereka bergantian, tetapi tetap saja anak-anakku tak mudah ditaklukkan. Aku pasrah. Akhirnya hanya bisa duduk di lantai persis di antara kedua anakku.
“Diamlah Nak, Papih harus bagaimana?”
Ah percuma saja, mereka tak akan mengerti, meski aku memohon sekali pun. Entah berapa kali dia melempar botol susu yang kusuguhkan, hingga salah satunya menjadi pecah.
Ini sudah tak terkendali. Aku harus meminta bantuan seseorang untuk mengurus mereka. Mamahku pasti tak akan keberatan untuk datang ke sini.
Benar saja, tak menunggu lama, Mamah datang ke sini. Setelah kami melakukan panggilan lewat telepon.
“Ke mana sih istrimu? Kalau sudah bosan jadi istri, tinggal bilang! Pakai kabur segala, sok kecantikan banget jadi perempuan. Manja istrimu itu Ka. Sudah Mamah bilang, buat tegas sama dia! Kamu enggak pernah dengerin Mamah sih.”
Mamah masih saja mengomel seraya menimang Rifa. Sementara, Rafa berada dalam gendonganku. Kali ini aku tak menampik apa yang Mamah bicarakan. Bagaimana pun Hana telah begitu tega meninggalkan anak-anak, padahal dia tahu mereka masih sangat bergantung padanya.
“Sudah, kalau dia enggak mau rawat anak-anak, biar Mamah yang rawat mereka!”
“Sudahlah Mah, kita bahas lain kali aja yang penting anak-anakku tenang dulu.”
“Ya, ini Mamah lagi usaha.”
Tangisan mereka mulai mereda, tetapi hanya sebentar saja. Tangis mereka pecah kembali, saat Mamah bicara tentang Hana. Mereka seperti mengerti, tak terima kalau Ibunya dijelek-jelekkan.
“Kamu tuh waktu kecil enggak kayak begini, heran deh. Niru siapa sih mereka?”
“Sabar, Mah!”
“Sabar kamu bilang, emosi Mamah, dari kemarin istri kamu cari masalah terus, kalau begini biar Mamah tinggal sama kalian aja.”
“Terserah Mamah saja.”
“Mana coba istrimu, sudah malam pun dia belum pulang.”
Kali ini Mamah melangkah ke arah kamar, karena Rifa sudah terlelap. Sekarang, tersisa Rafa yang masih sesenggukan. Mamah memintanya dari gendonganku. Saat itu suara kendaraan bermotor terdengar berhenti tepat di depan rumah. Tak lama, suara pagar yang di dorong turut terdengar. Namun, ketika aku hendak membukakan pintu, Mamah justru menahanku.
“Biarkan saja dia masuk, biar Mamah kasih pelajaran!” lirihnya.
“Mah, jangan terlalu kasar sama Hana! Bagaimana pun dia istriku. Kami memang ada masalah tadi, sudahlah biar aku saja yang tegur dia!”
“Diam aja kamu!” sentaknya dengan sorot mata tajam.
Pintu utama terbuka. Ada Hana dibalik sana. Tubuhnya basah kuyup. Hujan telah mengguyur kota sejak sore. Tak bisakah dia berteduh? Melindungi diri sendiri saja tak mampu.
Sebenarnya amarahku sudah memuncak, begitu mendengar suara motornya memasuki pelataran. Namun, melihatnya gemetar kedinginan, hatiku melunak. Dia menatapku dengan penuh tanya, melihat Mamah yang berada di sini.
“Enak ya habis jalan-jalan,” sindir Mamah, kala Hana mulai mendekat.
“Ganti bajumu dulu, Dek,” titahku.
Hana hanya melirik, lalu mengambil tangan Mamah dan menciumnya. Disa sama sekali tak menggubris sindiran Mamah. Justru sebaliknya, bibirnya yang nyaris membiru itu malah dipaksa mengulas senyum.
“Maaf merepotkan Mamah,” lirih Hana, dengan suara yang bergetar yang nyaris tak terdengar.
Mamah mendecak kesal, tetapi begitu dia bersiap memuntahkan amarahnya
Aku menggeleng, guna memberi isyarat padanya untuk menahan emosi.
“Sudah, kamu ganti baju dulu Dek. Anak-anak juga sudah tidur, nanti Abang yang bawa Rafa ke atas.”
Hana tertunduk.
“Terima kasih, Bang.”
“Hana pamit ke atas dulu ya Mah, permisi.”
Nyatanya bukan jawaban yang ia dapatkan, malah wajah masam Mamah yang tak enak dipandang.
“Istri apa kayak begitu? Senangnya kabur-kaburan.” Mamah tetap saja mendumal.
Gegas aku mengambil Rafa dalam gendongan lalu menyusul Hana ke dalam. Sejujurnya aku khawatir melihat kondisi Hana. Wajahnya sudah pucat, kalau nanti dia tumbang, maka semuanya akan lebih rumit lagi.
Bukannya langsung Mandi Hana, malah duduk di lantai. Persis di samping pintu. Apa dia tak kedinginan?
“Kenapa enggak langsung mandi?”
“Nanti aja.”
Aku memegang kedua pundaknya. Terasa sangat dingin.
“Jangan duduk di sini, kamu bisa masuk angin! Ayo mandi, habis itu ganti bajumu!”
Bukannya merespons, Hana justru menatapku dengan wajah berkaca-kaca.
“Lupakan masalah hari ini! Kita bahas lain waktu! Mari, Abang antar ke kamar mandi!”
“Aku bisa sendiri.”
“Kali ini aja Na, jangan menolak!”
Pelan, aku memapahnya sampai ke ambang pintu toilet. Saat sosoknya menghilang di balik sana. Aku seakan kembali diingatkan pada sebuah kesalahan terbesar dalam hidupku.
Maafkan aku Hana.
Aku masih berdiri di depan pintu. Menunggu Hana selesai mandi. Dia terlihat heran, begitu menyadari aku tengah menatapnya yang hanya terbalut handuk. Namun, dengan cepat dia menunduk, lantas mengambil langkah lebar. Sayangnya, karena gugup, kepalanya malah bertubrukan dengan dadaku.
“Na?”
Aku menarik lengannya, lantas menenggelamkan tubuhnya ke dalam dada. Mesk, dia meronta minta dilepaskan, aku justru semakin mengeratkan rengkuhan.
“Sorry."
“Lepas!”
“Na, sudahlah apa susahnya melupakan masalah itu? Aku hanya sedang emosi, jadi kelepasan ngomong yang enggak-enggak.”
“Siapa yang membuatku terlihat murahan?”
“Apa maksudmu?”
“Kau lupa, siapa yang merampas hak suamiku?”
“Na, cukup!”
“Na, kita sudah berjanji untuk melupakan itu.”
“Kamu bisa melupakannya, tapi aku tidak. Aku mengubur semua cita-citaku demi kami, tetapi apa yang kudapat sekarang? Penghinaan ini ..., aku kecewa sama kamu. Aku pikir kamu bisa berubah setelah menikah. Nyatanya kamu dengan mudah terbujuk hasutan orang lain tanpa cari tahu kebenarannya lebih dahulu.”
“Terus sekarang kamu mau apa, kamu gak bakal pergi dari aku ‘kan?”
“Apa alasan aku mempertahankan pernikahan macam ini?”
“Na.”
“Lihat dirimu Bang, belum ada sehari aku meninggalkanmu, tapi kamu sudah memanggil Ibumu ke mari. Kamu tahu dengan jelas aku dan Ibumu tak pernah bisa akur. Apa kamu ingin membunuhku secara perlahan?”
“Aku panik. Anak-anak rewel, bahkan nangis sampai muntah makanya aku panggil Mamah.”
“Ya, lakukan semaumu! Masukan lebih banyak orang lain pada rumah tangga kita. Enggak bisakah kamu menyelesaikan setiap masalah sendiri! Jangan terus mengadu! Kamu bukan anak kecil lagi. Besok apa lagi yang akan Mamah katakan padaku? Ya, aku memang salah meninggalkan mereka, tapi itu untuk memberi kamu pelajaran. Supaya kamu tahu repotnya menjaga mereka sendirian, tapi kamu seperti orang yang tak punya tanggung jawab. Sedikit-dikit Mamah, apa gunanya kita menikah? Kalau semua diselesaikan orang lain.”
PLAK!
“Cukup Hana, kamu dibaikkin malah makin menjadi.”
“Kamu tampar aku lagi, Mas?”
Air mata Hana tak berhenti mengalir, meski bibirnya tersenyum miris. Seraya mengusap darah segar di ujung bibirnya, dia melangkah melempar bantal tepat di dadaku.
“Kamu yang tidur di luar atau aku sama anak-anak yang pergi?”
Dia seakan tak peduli dengan kehadiran Mamah di rumah. Ia tak merasa ragu mendorongku pintu itu.
Otomatis Mamah yang sejak tadi mungkin berada tak jauh dari kamarku akhirnya kembali menghampiriku. Ia lagi-lagi menyalahkan sikap Hana yang tak hormat pada suaminya.
Entah salah siapa? Aku, Hana atau kami yang memang sudah salah sejak awal? Memilih menikah di usia muda. Aku pikir asal ekonomi terjamin semua bisa terkendali. Nyatanya pernikahan tak sesimple itu.
Entah bagaimana aku menghadapi masalah ini? Akankah perceraian dan menikah dengan Sawa akan menjadi solusi terbaik bagi kami. Seperti yang selalu Mamah sarankan atau memilih bertahan meski tak ada lagi kedamaian dalam rumah tangga kami.
Brak! Brak! Brak!
Mamah menggebrak pintu kamar itu dengan keras.
"BUKA PINTUNYA HANA! GINI CARA KAMU MEMPERLAKUKAN SUAMI?"
“Mamah kok pergi?” tanya Raka, kala melihat Sina keluar dari halaman belakang.“Kalian sengaja melakukan ini?” tanya Sina menatap Raka yang masih bingung.“Maaf kalau itu bikin Mamah tersinggung.”“Mamah permisi Raka, salam buat Hana. Maaf, karena Mamah enggak bisa di sini sampai selesai acara.”Sina meninggalkan tempat itu dibantu Suster Nara. Ia merasa seperti dipermainkan. Kondisinya memang menyedihkan, tetapi ia tak suka dikasihani. Ia masih mampu membiayai hidupnya sendiri. Bahkan, jika ia harus menjual rumah untuk perawatannya, ia akan melakukan hal itu. Dari pada menikah dengan pria hanya karena rasa iba.~“Enggak apa Yah, baru sekali ‘kan. Aku bahkan harus mengalami berkali-kali penolakan dulu, baru kami bersatu.”“Seharusnya Ayah enggak terlalu gegabah.”“Tindakan Ayah udah benar kok, bukankah semuanya membuahkan hasil?”A
“Ibu pasti bisa, pelan-pelan saja. kalau, begitu saya memaafkan Ibu dan akan selalu berdoa semoga Ibu bisa segera sembuh.”“Aamiin. Kamu perempuan yang baik dan lembut. Sama seperti Hana. Entah kenapa dia sangat tidak beruntung memiliki mertua sepertiku.”Suster Nara hanya diam saja. Ia memang lebih suka mendengarkan dari pada harus mengutarakan pendapatnya.Waktu berlalu, kesehatan Sina semakin membaik. Di mana ia sudah sembuh dari inkontinensia. Ia juga sudah mampu, mendorong kursi rodanya sendiri.“Assalamualaikum, Omah!” teriak Rafa dari arah luar.Tak menunggu lama. Rifa menyusulnya dari arah belakang.Hubungan ketiganya mulai membaik akhir-akhir ini. Hana rutin mengajak mereka mengunjungi Omahnya. Ia pikir, tak baik jika trauma berkepanjangan ini terus berlanjut. Hidup dalam rasa damai, nyatanya jauh lebih menenangkan.Kandungan Hana kini menginjak usia 7 bulan. Perutnya semakin membesar, jadi
“Hana! Sayang kamu di mana? Sayang!”Dari arah luar teriakan Raka menggema. Hana hanya tertawa, mendengar pria itu mengeraskan suaranya seolah tempat ini hutan belantara.“Dia pasti mengkhawatirkanmu,” ucap Sina, kala Hana membantunya memasangkan pakaiannya kembali.Namun, Hana justru cuek.“Sebentar lagi selesai, biarkan saja, Mah!”Kali ini Hana kembali fokus memakaikan celana pada mertuanya. Meski, canggung pada awalnya, tetapi Hana yang meyakinkannya berkali-kali membuat Sina pasrah. Ia tak menyangka jika perlakuan gadis itu benar-benar bisa diandalkan. Gerakannya lembut dan hati-hati. Ia bahkan tak merasa sakit sama sekali, saat Hana membantunya membersihkan kotoran yang menjijikkan itu.“Dia sangat menyayangimu, ya?”Pertanyaan dari Sina sontak saja membuat Hana terdiam. Ia tak terbiasa dengan nada bicara Sina yang terlalu melembut. Sehingga, entah kenapa rasanya tak percaya menden
Raka tersenyum nakal.“Semua kucing jantan sama saja.”“Aku bukan kucing jantan, Hana.”“Lalu?”“Kamu tahu, sangat menyebalkan mendengarmu mengatakan itu.”Akhirnya senyum Hanamerekah kembali. Senyum yang Raka rindukan.~Setelah berpamitan dengan Bapak dan Ibu. Mereka memutuskan untuk kembali ke rumha besar yang dulu ditinggalkan begitu saja.Bangunan itu tampak terawat. Ada Daniah di sana, juga 2 orang petugas keamanan yang senantiasa menjaga rumah itu.“Akhirnya Ibu balik lagi ke sini. Saya sudah terlalu lama sendirian. Rumah ini sepi banget, setelah ditinggal Ibu dan anak-anak,” ucap Daniah kala membantu Hana merapikan beberapa barang bawaannya.Sementara, Raka sibuk mengajak main anak-anak di ruang tamu.“Bapak jarang pulang?”“Hampir enggak pernah, paling ke rumah buat ambil baju ganti. Atau terkadan
“Ke dokter mana? Kamu bisa kasih tahu alamatnya?”“Kenapa enggak telepon aja sih? Lagian kalau saya kasih tahu, memang Mas hafal daerah sini?”Raka hanya bisa menahan kesal. Kenapa wanita ini terlalu bertele-tele? Padahal, hatinya sudah diselimuti perasaan khawatir yang teramat sangat.“Makasih buat informasinya, saya akan menelepon Hana.”“Oh, oke. Saya juga lagi buru-buru. Permisi, ya. Tolong teman saya jangan di sia-siakan!”“Oh, tentu. Terima kasih sudah menemani Hana selama di sini.”Wanita itu tampak acuh. Namun, tatapan tajamnya menyiratkan kebencian yang nyata.Pria itu masih mencoba berbagai cara untuk menghubungi Hana, dengan segala akses yang tidak memungkinkan. Entah kenapa, setiap hari ia merasa wanita itu semakin memberi jarak. Tak ada lagi kata rindu yang terucap di bibirnya, seolah ia memang berhenti merindukannya.Hampir 10 menit berlalu. Namun, tak ad
“Mah, tenang! Aku enggak pergi selamanya. Aku cuma mau nengok anak-anak. Mereka kangen Ayahnya.”“PERGI!”Suara Sina yang semakin meninggi, memancing perhatian beberapa perawat yang kebetulan melintas di depan ruangan. Mereka lantas masuk, mencoba memeriksa apa yang terjadi.Merasa kondisi mulai tidak kondusif. Ketiga perawat itu, meminta Raka meninggalkan ruangan. Sementara, salah satu dari mereka menuju ke ruangan yang lain. Dan kembali, tak lama kemudian, dengan perlengkapan medis.Namun, Raka hanya bisa pasrah, saat perawat itu melarangnya masuk ke dalam. Ia menunggu dalam gelisah, sampai teriakan Sina tak terdengar barulah ia bisa bernafas lega.“Lain kali tolong pasiennya jangan dibikin stress! Enggak bagus juga buat kesehatan.”Seiring dengan kepergian perawat. Raka memberanikan diri untuk masuk. Jam makan siang sudah berlalu sejak tadi, tetapi ia masih tertinggal di tempat ini.Piki