Home / Urban / Petaka Menikah Muda / Suami yang Gagal

Share

Suami yang Gagal

Author: ERIA YURIKA
last update Last Updated: 2022-09-11 10:51:28

‘Astaghfirrullah, maafkan aku Hana. Seharusnya aku tidak meninggalkanmu bersamanya.’

Aku bergegas ke rumah sakit yang ditunjukkan oleh Mbak Nuri. Wanita itu kebetulan sempat membaca tulisan di belakang mobil ambulans yang tadi menjemput Hana. Tak lupa kuhubungi Ayah, ini sudah tak bisa dibiarkan.

Ya Allah Na, maafkan aku yang tak pernah bisa tegas. Seharusnya kamulah yang aku lindungi. Kumohon selamatkan Hana. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpa dia. Anak-anak kami, bahkan masih sangat membutuhkannya.

Di rumah sakit nyatanya, Hana masih ditangani di ruang ICU. Keadaannya kritis, mengingat ia terkena benturan di bagian kepala cukup keras.

“Mamah enggak saja, Ka,” katanya sambil berjalan mendekatiku.

Tampak raut wajahnya yang ketakutan. Sungguh aku merasa ia tak benar-benar bersalah karena telah membuat Hana terbaring di rumah sakit.

“Ka, kamu jangan diam aja! kamu marah sama Mamah?”

Sungguh aku sangat marah, hanya saja aku masih menghormati wanita ini. Sayangnya, ia seolah tak mengerti. Bukannya menjauh, malah semakin mendekat, sekarang ia bahkan menggoyang-goyangkan tanganku. 

Aku hanya menepis, sungguh aku tak berani membuka mulut saat ini. Aku bukanlah peredam emosi yang baik. Namun, hanya seperti itu saja sudah membuat Mamah menangis. Seolah aku baru saja memukulinya.

“Anak-anak dititipkan ke siapa?”

“Mamah minta Mbak Minah buat bantu jaga mereka. Mereka aman di rumah.”

Saat itu aku memilih menjauh. Hatiku benar-benar gelisah. Seharusnya jika kejadiannya tadi siang. Kenapa sampai sekarang dokter belum juga keluar dari ruangan.

Aku kembali berjalan ke arah pintu berharap bisa melihat keadaan di dalam, nyataya percuma. Tak ada yang bisa kulihat dari luar.

“Ka, semua ini enggak akan terjadi kalau Hana nurut. Dia suka sekali membantah, kamu harus percaya sama Mamah.”

“Udah Mah, Raka enggak mau bicara apa pun. Tolong kasih waktu Raka sendiri.”

Di saat seperti ini hanya ketenangan yang aku butuhkan. Namun, kenapa seorang ibu bahkan tak mengerti. Ia malah mengundang Sawa yang jelas-jelas tak akan ada gunanya.

“Ngapain kamu ke sini?” tanyaku.

“Kamu kok ketus banget. Aku ke sini buat nemenin Tante Naura.”

“Enggak perlu. Dia enggak sakit.”

“Kamu kok ngomongnya begitu, dia itu ibu kamu.”

“Ibu macam apa yang membuat menantunya celaka.”

“Raka, Tante Naura enggak akan setega itu. Aku yakin dia enggak sengaja melakukannya.” 

“DIAM!” sentakku. 

Seketika membungkam mulut keduanya secara bersamaan.

“Sengaja atau tidak aku tidak peduli, bisakah kalian membangunkan Hana untukku sekarang juga?”

Mereka hanya terdiam. Sungguh aku tak bisa menahan emosi lagi. 

“Enggak bisa ‘kan? Jadi sebaiknya kalian pergi dari sini.”

“Raka, kamu usir Mamah?”

“Iya, kenapa?” tegasku dengan sorot mata yang tajam.

Untungnya saat itu ayah tiba tepat waktu, dengan cepat pria itu menarik istrinya untuk menjauh. Begitu pun Sawa yang dipaksa mengikutinya. Meski, gadis itu bersikeras ingin menamaniku.

Entah apa saja yang telah kamu lewati seharian ini, Sayang. Sampai-sampai kau tak mau membuka matamu. Bangunlah, maafkan aku. beri aku kesempatan sekali lagi. Aku janji, ke depannya kejadian seperti ini tidak akan pernah terulang lagi.

Rasanya waktu berputar begitu lambat, di mana detik demi detiknya terasa menyakitkan.

“Nak.” 

Tiba-tiba saja kurasakan usapan lembut seseorang di punggungku. Rupanya Ayah.

“Aku gagal menjaganya, Ayah.”

“Ini musibah.” 

“Tapi, semua ini harusnya enggak pernah terjadi kalau sejak aku bisa tegas.”

“Kamu sudah menelepon keluarganya?” 

“Apa yang harus aku katakan, Ayah.” 

“Katakan saja yang sebenarnya.”

“Apa yang akan mereka pikirkan tentang keluarga kita nanti, apa sebaiknya kita tunda dulu.”

“Bagaimana kalau sesuatu yang buruk mungkin terjadi? Boleh jadi, mereka makin membencinya.”

“Apa maksud Ayah, Hana enggak boleh meninggal.”

“Kita semua berharap yang terbaik Raka, tetapi mereka berhak mengetahui kabar putrinya. Aku juga seorang Ayah, aku akan sangat marah jika Hana adalah putriku.”

“Ya Allah, kenapa jadi begini sih.” 

Istighfar!”

Sungguh rasanya pikiranku buntu. Entah apa yang harus aku katakan pada orang tua Hana. 

Aku malu. 

“Kamu sudah tahu, bagaimana kejadiannya?”

Aku menggeleng.

“Ada CCTV di rumah?” 

“Aku akan mengeceknya, Ayah.” 

Ayah hanya mengangguk, lantas ia segera mengambil tempat duduk di sampingku. Ia pun ikut penasaran, akan apa yang terjadi sebenarnya. Sungguh yang kulihat barusan, membuatku sangat marah.

Bisa-bisanya Mamah sengaja mendorong Hana. Padahal, ia sudah minta untuk berhenti bahkan sepertinya Hana sudah meminta maaf. Terlihat bagaimana, ia menempatkan tangannya di depan dada. Sayangnya, tubuhnya malah lebih dulu hilang keseimbangan. 

“Apa yang harus aku katakan, Ayah?”

Ayah hanya terdiam. Pria itu terlihat shock, sesekali ia bahkan harus mengatur nafas.

“Ayah baik-baik saja.”

Pria itu hanya mengangguk. Namun, setelahnya ia memilih meninggalkanku.

“Ayah yang gagal mendidik seorang istri, Raka.”

“Aku bingung, Yah.” 

“Cepat atau lambat mereka harus tahu.” 

“Lalu, bagaimana kalau mereka menuntut? Mamah mungkin akan masuk penjara.”

“Biarlah, Ayah sudah lelah memperingatkannya. Biarkan dia mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.” 

“Ayah permisi dulu.” 

“Yah, jangan melakukan sesuatu yang hanya merugikan diri sendiri.” 

“Tenanglah.” 

Pria itu beranjak pergi. Seiring dengan sosoknya yang menghilang di balik persimpangan, aku mulai mengumpulkan keberanian menelepon keluarga Hana. Setelah, cukup lama berbasi-basi menanyakan kabar.

Aku malah terdiam, karena bingung. Entah, harus menjelaskan dari mana.

“Ada apa Nak, Hana baik-baik aja ‘kan? Kok tumben, tiba-tiba telepon malam-malam.” 

“Bu, maafkan Raka. Ini semua salah Raka, enggak bisa menjaga Hana dengan baik.” 

“Memangnya Hana kenapa? Nak Raka jangan bikin Ibu panik, jelaskan pelan-pelan ada apa sebenarnya?”

“Hana kecelakaan Bu, sekarang di rumah sakit.”

Brak!

Entah apa yang terjadi di sana. Selain teriakan orang-orang yang memanggil nama mertua perempuanku. Dari sana juga aku tahu jika, ibu tak sadarkan diri.

Ya Allah, aku bahkan belum menjelaskan semuanya. Bagaimana jika dia tahu, kalau yang membuat putrinya celaka adalah Mamah. Belum lagi menghadapi Ayah Hana yang keras.

Entah, apa yang akan dia lakukan jika tahu yang sebenarnya. Aku hanya takut, jika ia malah memisahkan Hana dariku. Sungguh aku sangat mencintai Hana. Tak pernah terbayangkan bagaimana melewati hari tanpa dia di sisiku.

Aku memutuskan untuk menutup telepon, karena sepertinya orang-orang di sana juga sibuk mengurus ibu yang jatuh pingsan. 

Tak lama setelah itu, dokter juga baru saja keluar dari ruangan ICU.

Aku langsung memberondongnya dengan berbagai pertanyaan.

“Wajahnya rusak, sedikit beruntuk tidak ada pecahan guci yang mengenai mata. Hanya saja di bagian, pipi sebelah kanan. Ada robekan cukup dalam.”

“Bisa sembuh ‘kan?”

“Bisa, hanya saja butuh waktu yang lama.”

“Lakukan yang terbaik Dok, kalau diperlukan operasi plastik pun saya siap.”

“Bukan hanya itu saja, ada benturan keras di kepalanya. Pasien mengalami geger otak ringan.”

“Ge-geger otak ringan? di-dia enggak akan lupa ingatan ‘kan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Petaka Menikah Muda   Hari Kelahiran

    “Mamah kok pergi?” tanya Raka, kala melihat Sina keluar dari halaman belakang.“Kalian sengaja melakukan ini?” tanya Sina menatap Raka yang masih bingung.“Maaf kalau itu bikin Mamah tersinggung.”“Mamah permisi Raka, salam buat Hana. Maaf, karena Mamah enggak bisa di sini sampai selesai acara.”Sina meninggalkan tempat itu dibantu Suster Nara. Ia merasa seperti dipermainkan. Kondisinya memang menyedihkan, tetapi ia tak suka dikasihani. Ia masih mampu membiayai hidupnya sendiri. Bahkan, jika ia harus menjual rumah untuk perawatannya, ia akan melakukan hal itu. Dari pada menikah dengan pria hanya karena rasa iba.~“Enggak apa Yah, baru sekali ‘kan. Aku bahkan harus mengalami berkali-kali penolakan dulu, baru kami bersatu.”“Seharusnya Ayah enggak terlalu gegabah.”“Tindakan Ayah udah benar kok, bukankah semuanya membuahkan hasil?”A

  • Petaka Menikah Muda   Bagaimana Kabarmu?

    “Ibu pasti bisa, pelan-pelan saja. kalau, begitu saya memaafkan Ibu dan akan selalu berdoa semoga Ibu bisa segera sembuh.”“Aamiin. Kamu perempuan yang baik dan lembut. Sama seperti Hana. Entah kenapa dia sangat tidak beruntung memiliki mertua sepertiku.”Suster Nara hanya diam saja. Ia memang lebih suka mendengarkan dari pada harus mengutarakan pendapatnya.Waktu berlalu, kesehatan Sina semakin membaik. Di mana ia sudah sembuh dari inkontinensia. Ia juga sudah mampu, mendorong kursi rodanya sendiri.“Assalamualaikum, Omah!” teriak Rafa dari arah luar.Tak menunggu lama. Rifa menyusulnya dari arah belakang.Hubungan ketiganya mulai membaik akhir-akhir ini. Hana rutin mengajak mereka mengunjungi Omahnya. Ia pikir, tak baik jika trauma berkepanjangan ini terus berlanjut. Hidup dalam rasa damai, nyatanya jauh lebih menenangkan.Kandungan Hana kini menginjak usia 7 bulan. Perutnya semakin membesar, jadi

  • Petaka Menikah Muda   Bukan Orang Tua yang Baik

    “Hana! Sayang kamu di mana? Sayang!”Dari arah luar teriakan Raka menggema. Hana hanya tertawa, mendengar pria itu mengeraskan suaranya seolah tempat ini hutan belantara.“Dia pasti mengkhawatirkanmu,” ucap Sina, kala Hana membantunya memasangkan pakaiannya kembali.Namun, Hana justru cuek.“Sebentar lagi selesai, biarkan saja, Mah!”Kali ini Hana kembali fokus memakaikan celana pada mertuanya. Meski, canggung pada awalnya, tetapi Hana yang meyakinkannya berkali-kali membuat Sina pasrah. Ia tak menyangka jika perlakuan gadis itu benar-benar bisa diandalkan. Gerakannya lembut dan hati-hati. Ia bahkan tak merasa sakit sama sekali, saat Hana membantunya membersihkan kotoran yang menjijikkan itu.“Dia sangat menyayangimu, ya?”Pertanyaan dari Sina sontak saja membuat Hana terdiam. Ia tak terbiasa dengan nada bicara Sina yang terlalu melembut. Sehingga, entah kenapa rasanya tak percaya menden

  • Petaka Menikah Muda   Benci Kebaikanmu

    Raka tersenyum nakal.“Semua kucing jantan sama saja.”“Aku bukan kucing jantan, Hana.”“Lalu?”“Kamu tahu, sangat menyebalkan mendengarmu mengatakan itu.”Akhirnya senyum Hanamerekah kembali. Senyum yang Raka rindukan.~Setelah berpamitan dengan Bapak dan Ibu. Mereka memutuskan untuk kembali ke rumha besar yang dulu ditinggalkan begitu saja.Bangunan itu tampak terawat. Ada Daniah di sana, juga 2 orang petugas keamanan yang senantiasa menjaga rumah itu.“Akhirnya Ibu balik lagi ke sini. Saya sudah terlalu lama sendirian. Rumah ini sepi banget, setelah ditinggal Ibu dan anak-anak,” ucap Daniah kala membantu Hana merapikan beberapa barang bawaannya.Sementara, Raka sibuk mengajak main anak-anak di ruang tamu.“Bapak jarang pulang?”“Hampir enggak pernah, paling ke rumah buat ambil baju ganti. Atau terkadan

  • Petaka Menikah Muda   Temu yang Dingin

    “Ke dokter mana? Kamu bisa kasih tahu alamatnya?”“Kenapa enggak telepon aja sih? Lagian kalau saya kasih tahu, memang Mas hafal daerah sini?”Raka hanya bisa menahan kesal. Kenapa wanita ini terlalu bertele-tele? Padahal, hatinya sudah diselimuti perasaan khawatir yang teramat sangat.“Makasih buat informasinya, saya akan menelepon Hana.”“Oh, oke. Saya juga lagi buru-buru. Permisi, ya. Tolong teman saya jangan di sia-siakan!”“Oh, tentu. Terima kasih sudah menemani Hana selama di sini.”Wanita itu tampak acuh. Namun, tatapan tajamnya menyiratkan kebencian yang nyata.Pria itu masih mencoba berbagai cara untuk menghubungi Hana, dengan segala akses yang tidak memungkinkan. Entah kenapa, setiap hari ia merasa wanita itu semakin memberi jarak. Tak ada lagi kata rindu yang terucap di bibirnya, seolah ia memang berhenti merindukannya.Hampir 10 menit berlalu. Namun, tak ad

  • Petaka Menikah Muda   Pulang

    “Mah, tenang! Aku enggak pergi selamanya. Aku cuma mau nengok anak-anak. Mereka kangen Ayahnya.”“PERGI!”Suara Sina yang semakin meninggi, memancing perhatian beberapa perawat yang kebetulan melintas di depan ruangan. Mereka lantas masuk, mencoba memeriksa apa yang terjadi.Merasa kondisi mulai tidak kondusif. Ketiga perawat itu, meminta Raka meninggalkan ruangan. Sementara, salah satu dari mereka menuju ke ruangan yang lain. Dan kembali, tak lama kemudian, dengan perlengkapan medis.Namun, Raka hanya bisa pasrah, saat perawat itu melarangnya masuk ke dalam. Ia menunggu dalam gelisah, sampai teriakan Sina tak terdengar barulah ia bisa bernafas lega.“Lain kali tolong pasiennya jangan dibikin stress! Enggak bagus juga buat kesehatan.”Seiring dengan kepergian perawat. Raka memberanikan diri untuk masuk. Jam makan siang sudah berlalu sejak tadi, tetapi ia masih tertinggal di tempat ini.Piki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status