Share

Suami yang Gagal

‘Astaghfirrullah, maafkan aku Hana. Seharusnya aku tidak meninggalkanmu bersamanya.’

Aku bergegas ke rumah sakit yang ditunjukkan oleh Mbak Nuri. Wanita itu kebetulan sempat membaca tulisan di belakang mobil ambulans yang tadi menjemput Hana. Tak lupa kuhubungi Ayah, ini sudah tak bisa dibiarkan.

Ya Allah Na, maafkan aku yang tak pernah bisa tegas. Seharusnya kamulah yang aku lindungi. Kumohon selamatkan Hana. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpa dia. Anak-anak kami, bahkan masih sangat membutuhkannya.

Di rumah sakit nyatanya, Hana masih ditangani di ruang ICU. Keadaannya kritis, mengingat ia terkena benturan di bagian kepala cukup keras.

“Mamah enggak saja, Ka,” katanya sambil berjalan mendekatiku.

Tampak raut wajahnya yang ketakutan. Sungguh aku merasa ia tak benar-benar bersalah karena telah membuat Hana terbaring di rumah sakit.

“Ka, kamu jangan diam aja! kamu marah sama Mamah?”

Sungguh aku sangat marah, hanya saja aku masih menghormati wanita ini. Sayangnya, ia seolah tak mengerti. Bukannya menjauh, malah semakin mendekat, sekarang ia bahkan menggoyang-goyangkan tanganku. 

Aku hanya menepis, sungguh aku tak berani membuka mulut saat ini. Aku bukanlah peredam emosi yang baik. Namun, hanya seperti itu saja sudah membuat Mamah menangis. Seolah aku baru saja memukulinya.

“Anak-anak dititipkan ke siapa?”

“Mamah minta Mbak Minah buat bantu jaga mereka. Mereka aman di rumah.”

Saat itu aku memilih menjauh. Hatiku benar-benar gelisah. Seharusnya jika kejadiannya tadi siang. Kenapa sampai sekarang dokter belum juga keluar dari ruangan.

Aku kembali berjalan ke arah pintu berharap bisa melihat keadaan di dalam, nyataya percuma. Tak ada yang bisa kulihat dari luar.

“Ka, semua ini enggak akan terjadi kalau Hana nurut. Dia suka sekali membantah, kamu harus percaya sama Mamah.”

“Udah Mah, Raka enggak mau bicara apa pun. Tolong kasih waktu Raka sendiri.”

Di saat seperti ini hanya ketenangan yang aku butuhkan. Namun, kenapa seorang ibu bahkan tak mengerti. Ia malah mengundang Sawa yang jelas-jelas tak akan ada gunanya.

“Ngapain kamu ke sini?” tanyaku.

“Kamu kok ketus banget. Aku ke sini buat nemenin Tante Naura.”

“Enggak perlu. Dia enggak sakit.”

“Kamu kok ngomongnya begitu, dia itu ibu kamu.”

“Ibu macam apa yang membuat menantunya celaka.”

“Raka, Tante Naura enggak akan setega itu. Aku yakin dia enggak sengaja melakukannya.” 

“DIAM!” sentakku. 

Seketika membungkam mulut keduanya secara bersamaan.

“Sengaja atau tidak aku tidak peduli, bisakah kalian membangunkan Hana untukku sekarang juga?”

Mereka hanya terdiam. Sungguh aku tak bisa menahan emosi lagi. 

“Enggak bisa ‘kan? Jadi sebaiknya kalian pergi dari sini.”

“Raka, kamu usir Mamah?”

“Iya, kenapa?” tegasku dengan sorot mata yang tajam.

Untungnya saat itu ayah tiba tepat waktu, dengan cepat pria itu menarik istrinya untuk menjauh. Begitu pun Sawa yang dipaksa mengikutinya. Meski, gadis itu bersikeras ingin menamaniku.

Entah apa saja yang telah kamu lewati seharian ini, Sayang. Sampai-sampai kau tak mau membuka matamu. Bangunlah, maafkan aku. beri aku kesempatan sekali lagi. Aku janji, ke depannya kejadian seperti ini tidak akan pernah terulang lagi.

Rasanya waktu berputar begitu lambat, di mana detik demi detiknya terasa menyakitkan.

“Nak.” 

Tiba-tiba saja kurasakan usapan lembut seseorang di punggungku. Rupanya Ayah.

“Aku gagal menjaganya, Ayah.”

“Ini musibah.” 

“Tapi, semua ini harusnya enggak pernah terjadi kalau sejak aku bisa tegas.”

“Kamu sudah menelepon keluarganya?” 

“Apa yang harus aku katakan, Ayah.” 

“Katakan saja yang sebenarnya.”

“Apa yang akan mereka pikirkan tentang keluarga kita nanti, apa sebaiknya kita tunda dulu.”

“Bagaimana kalau sesuatu yang buruk mungkin terjadi? Boleh jadi, mereka makin membencinya.”

“Apa maksud Ayah, Hana enggak boleh meninggal.”

“Kita semua berharap yang terbaik Raka, tetapi mereka berhak mengetahui kabar putrinya. Aku juga seorang Ayah, aku akan sangat marah jika Hana adalah putriku.”

“Ya Allah, kenapa jadi begini sih.” 

Istighfar!”

Sungguh rasanya pikiranku buntu. Entah apa yang harus aku katakan pada orang tua Hana. 

Aku malu. 

“Kamu sudah tahu, bagaimana kejadiannya?”

Aku menggeleng.

“Ada CCTV di rumah?” 

“Aku akan mengeceknya, Ayah.” 

Ayah hanya mengangguk, lantas ia segera mengambil tempat duduk di sampingku. Ia pun ikut penasaran, akan apa yang terjadi sebenarnya. Sungguh yang kulihat barusan, membuatku sangat marah.

Bisa-bisanya Mamah sengaja mendorong Hana. Padahal, ia sudah minta untuk berhenti bahkan sepertinya Hana sudah meminta maaf. Terlihat bagaimana, ia menempatkan tangannya di depan dada. Sayangnya, tubuhnya malah lebih dulu hilang keseimbangan. 

“Apa yang harus aku katakan, Ayah?”

Ayah hanya terdiam. Pria itu terlihat shock, sesekali ia bahkan harus mengatur nafas.

“Ayah baik-baik saja.”

Pria itu hanya mengangguk. Namun, setelahnya ia memilih meninggalkanku.

“Ayah yang gagal mendidik seorang istri, Raka.”

“Aku bingung, Yah.” 

“Cepat atau lambat mereka harus tahu.” 

“Lalu, bagaimana kalau mereka menuntut? Mamah mungkin akan masuk penjara.”

“Biarlah, Ayah sudah lelah memperingatkannya. Biarkan dia mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.” 

“Ayah permisi dulu.” 

“Yah, jangan melakukan sesuatu yang hanya merugikan diri sendiri.” 

“Tenanglah.” 

Pria itu beranjak pergi. Seiring dengan sosoknya yang menghilang di balik persimpangan, aku mulai mengumpulkan keberanian menelepon keluarga Hana. Setelah, cukup lama berbasi-basi menanyakan kabar.

Aku malah terdiam, karena bingung. Entah, harus menjelaskan dari mana.

“Ada apa Nak, Hana baik-baik aja ‘kan? Kok tumben, tiba-tiba telepon malam-malam.” 

“Bu, maafkan Raka. Ini semua salah Raka, enggak bisa menjaga Hana dengan baik.” 

“Memangnya Hana kenapa? Nak Raka jangan bikin Ibu panik, jelaskan pelan-pelan ada apa sebenarnya?”

“Hana kecelakaan Bu, sekarang di rumah sakit.”

Brak!

Entah apa yang terjadi di sana. Selain teriakan orang-orang yang memanggil nama mertua perempuanku. Dari sana juga aku tahu jika, ibu tak sadarkan diri.

Ya Allah, aku bahkan belum menjelaskan semuanya. Bagaimana jika dia tahu, kalau yang membuat putrinya celaka adalah Mamah. Belum lagi menghadapi Ayah Hana yang keras.

Entah, apa yang akan dia lakukan jika tahu yang sebenarnya. Aku hanya takut, jika ia malah memisahkan Hana dariku. Sungguh aku sangat mencintai Hana. Tak pernah terbayangkan bagaimana melewati hari tanpa dia di sisiku.

Aku memutuskan untuk menutup telepon, karena sepertinya orang-orang di sana juga sibuk mengurus ibu yang jatuh pingsan. 

Tak lama setelah itu, dokter juga baru saja keluar dari ruangan ICU.

Aku langsung memberondongnya dengan berbagai pertanyaan.

“Wajahnya rusak, sedikit beruntuk tidak ada pecahan guci yang mengenai mata. Hanya saja di bagian, pipi sebelah kanan. Ada robekan cukup dalam.”

“Bisa sembuh ‘kan?”

“Bisa, hanya saja butuh waktu yang lama.”

“Lakukan yang terbaik Dok, kalau diperlukan operasi plastik pun saya siap.”

“Bukan hanya itu saja, ada benturan keras di kepalanya. Pasien mengalami geger otak ringan.”

“Ge-geger otak ringan? di-dia enggak akan lupa ingatan ‘kan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status