“Apa surga menerima orang yang bunuh diri.”
“Hanya Allah yang tahu.”
“Kalau begitu, jangan mempercepatnya!”
Raka malah tersenyum melihat bagaimana Hana menahan kesal. Wanita itu menyenderkan punggungnya ke bangku. Sambil menghela nafas panjang. Wanita itu terlihat sekali jika ia sedang berpura-pura baik-baik saja. Kembali menipu semua orang. Padahal rasanya ingin sekali melakukan sesuatu.
Seperti mengetahui, seberapa parah lukanya atau merawatnya sekali saja.
“Khawatir?” bisik Raka dengan smirk.
“Enggak.”
Saat itu sidang kembali dimulai. Hakim menyarankan Hana untuk mengurungkan niatannya menggugat cerai. Sebagai gantinya ia akan diberikan kompensasi sebagai ganti rugi atas kecelakaan yang menimpanya. Namun, Hana tetap menolaknya.
Ia bilang tidak butuh uang.
Hingga akhirnya sidang itu ditunda, hingga 2 minggu ke depan. Raka tersenyum begitu lebar, ketika mendeng
“Aku hanya ingin menjalani kehidupan dengan tenang.”“Aku bisa memberikan itu.”“Kamu enggak bisa, Bang.”“Bukankah dia sudah minta maaf? Kenapa enggak coba buat kasih kesempatan sekali lagi. Biar aku bisa buktikan ke kamu kalau kekhawatiran itu hanya ada di pikiranmu.”“Bagaimana kalau anak-anak yang jadi korban selanjutnya. Bisa aja ‘kan mereka diracun.”“Mamahku sejahat itu ya, di mata kamu?”Sadar jika kalimat itu seharusnya tak perlu diucapkan. Seketika Hana mencoba melepaskan diri dari pelukan Raka.“Maafkan aku.”“Enggak apa-apa, Sayang.”Raka bahkan masih saja tersenyum begitu tulus. Setelah berkali-kali hatinya dipatahkan oleh penolakan Hana.“Berhenti memanggilku seperti itu!”“Tapi, suka ‘kan?”“Sebaiknya Abang kembali ke rumah sakit. Jangan kabur begini
Sawa mengusap pipinya yang memerah, jejak dari tamparan Hana.“Kamu nampar aku? Berani kamu, ya?” sentak Sawa.Sudah sampai tersungkur pun gadis itu masih tak malu, justru semakin tertantang.Tepat saat tangan Sawa melayang di udara, hanya butuh beberapa detik sebelum telapak tangannya mendarat di wajah Hana, seseorang tiba-tiba datang dan mencengkeram lengannya dengan begitu kuat.Sawa sudah meronta minta dilepaskan, tetapi pria itu justru membawa gadis itu keluar ruangan. Ke tempat di mana terdapat ruang kosong, yang lebih sedikit pengunjung. Sementara itu, Hana masih sibuk membereskan kekacauan yang terjadi. Setelah meminta maaf pada para tamu, Hana segera meninggalkan tempat itu untuk menyusul Sawa. Itu pun atas izin dari Manager.Sejak tahu, Hana adalah istri dari Raka. Salah satu owner resto. Sikapnya melunak. Meski, dari awal Hana sudah mengatakan jika ia hanya karyawan dan tidak perlu merasa sungkan. Tetap saja statusnya tak bis
Raka sedikit membungkuk hanya untuk melihat wajah Hana yang menunduk. Ia menarik dagu Hana ke atas, sehingga ia bisa dengan mudah menyeka sudut mata Hana yang basah.“Cantikmu jadi enggak kelihatan kalau nangis.”“Bukankah aku sudah menentangmu begitu kerasnya, lalu hal apa lagi yang mau kamu tunggu!”“Karena, aku tetap pada keyakinanku. Bahkan jika, kamu menolaknya 100 kali lagi. Jika yang bersanding dengan namaku di lauhul mahfudz itu namamu. Enggak akan ada yang bisa mengubahnya.”Pria itu masih saja begitu keras kepala. Sekarang keduanya telah menjadi pusat perhatian semua orang.Demi menghilangkan perasaan haru yang menyeruak dalam dada. Hana memilih mengalihkan pandangan.“Duduklah di tempatmu, Bang. Sidangnya akan segera dimulai,” ucap Hana tanpa berpaling.Sialnya Raka yang nakal malah membawa kursinya menjadi lebih dekat dengan Hana. Sontak saja, tingkahnya itu
Sadar akan maksud dan tujuan suaminya. Hana menjadi salah tingkah sendiri.Selayaknya anak gadis, ia yang lama tak disentuh suaminya. Mendadak malu membahas hal seintim itu. Apa lagi di depan Bapak.“Bu, ayo cari yang seger-seger di luar! Kayaknya sudah lama kita enggak makan bakso. Ajak anak-anak keluar juga!”Pak Ramdan sengaja mengeraskan suaranya. Hanya agar Bu Sundari yang sejak tadi sibuk di dapur itu mendengarnya.Bu Sundari tahu dengan jelas apa maksud dari suaminya itu. Lamanya menjalin ikatan pernikahan membuatnya mengerti tanpa harus memberi banyak penjelasan. Bu Sundari, lekas mempercepat langkah.Sembari, menggiring kedua cucunya itu. Ia masih sempat menggoda putrinya yang kini bahkan wajahnya terlihat merona serupa mawar.“Bunda, Ayah kita pamit ya. Wassalamualaikum,” ucap si kembar kompak.“Wa-waalaikumsalam. Hm pergi semua ini?” tanya Hana yang gugup.“Sudah toh
Hana menahan tubuh Raka yang hendak berbalik. Ia bahkan dengan sengaja mendekapnya begitu erat. Hanya agar pria itu tetap melihat lurus ke depan.“Jalan, Bang!”“Abang cuma mau memastikan.”“Jangan menengok ke belakang!”“Kenapa, Sayang? Kamu takut? Ada Abang di sini.”“Mereka enggak cuma sendiri.”Raka yang semula berniat berbalik. Merasakan tangan Hana yang dingin dan mulai gemetar itu. Ia pun mengurungkan niatnya.“Kita berhenti di Cafe itu, di sana cukup ramai. Aku yakin mereka enggak akan berani mengikuti sampai ke sana.”“Sayang, tanganmu sampai gemetar begini.”“Aku baik-baik saja, Abang. Aku bukannya enggak mempercayai kemampuan bela dirimu. Hanya saja. Aku takut jika mereka membawa senjata tajam. Aku sudah menghitungnya ada 3 orang, tapi sepertinya mungkin lebih dari itu.”“Astaghfirrull
“Abang harus ke kantor polisi, pamit dulu ya Pak, Bu.”“Aku ikut, ya?”“Hm, kamu enggak apa ketemu Mamah?”“Cepat atau lambat kita juga pasti akan ketemu lagi ‘kan?”“Hm, tapi tetap di sampingku, ya. Jangan bertemu hanya berdua saja.”“Hati-hati ya, Nak. Semoga ada jalan terbaik buat kita semua,” ucap Pak Ramdan mengiringi langkah mereka yang hendak pergi.“Urusan Wira, biar nanti kita selesaikan. Kamu bisa menyusul Arham. Saya akan ke sana nanti, setelah di kantor polisi,” ucap Raka sebelum pergi.Arham pergi dengan sepeda motornya. Pria itu lebih senang menggunakan kendaraan roda dua, selain menghemat waktu, karena bisa menembus kemacetan. Ia juga menyukai adrenalin.~Di kantor polisi asisten rumah tangga Bu Sina masih menunggunya dengan setia. Raka meminta wanita paruh Baya itu untuk pulang. Ia merasa iba, karena rela menunggu m
“Ini baru dugaan,” kata Ayah, sembari tersenyum simpul. Lantas, sedikit melirik ke arah Hendrawan yang hanya diam. Sejak ketiganya memulai obrolan.Seolah mengerti Raka berusaha memecah suasana dengan menawarkannya camilan.“Makan aja dulu, baru kita diskusikan masalah ini, Yah. Jangan terlalu tegang.”Sadar akan Hana yang ingin protes, terlihat dari bagaimana ia bersiap membuka mulut. Seketika Raka, lekas menggenggam lengan istrinya itu. Hana menatap sekilas, lalu menangkap saat suaminya mulai menggerakkan kepalanya perlahan ke kanan dan kiri.Saat itu juga ia langsung diam.“Berapa lama masa tahanannya, Pak Hendrawan?” tanya Ayah. Sekaligus mengawali pembicaraan.“Seharusnya 2 tahun 8 bulan.”“Oke.”“Itu sangat lama, Ayah,” ucap Hana.“Kamu lihat itu, Raka! Pilihanmu memang enggak pernah salah. Wanita mana yang masih mau memperjuangkan
“Jadi 1 atau 2, Nona?” tanya Arham.Sawa langsung mendecak kesal. Wanita itu lantas, membuang wajahnya ke arah jendela.“Aku enggak melakukan apa pun.”“Kok bisa ya, sudah jelas ketahuan masih mau mengelak.”“Kalian sengaja menjebakku. Aku enggak tahu apa-apa.”“Oke, kalau udah enggak bisa bicara baik-baik. Kita selesaikan di luar.”Raka sudah bangkit dari tempatnya, sedang Arham bersiap mencengkeram lengan Sawa.“Lepasin! Aku memang melakukan semuanya, tapi tolong jangan membawa kasus ini kantor polisi.”“Sudah direkam, Ham?” tanya Raka kemudian.Arham yang sudah mengerti langsung menunjukkan pena perekam yang sejak tadi berada di genggamannya. Ia tampak memutar benda itu. Sengaja, hanya untuk membuat Sawa terancam.“Apa-apaan sih, Mas?”“Kamu yang apa-apaan. Aku sudah menikah, tapi kamu malah masih mengej