Share

Berita Hangat

"Bunda!" Yesha melepas pegangan tangan sang ayah, lantas menghamburku. 

"Hallo, Sayang!" Aku mengelus pemilik rambut hitam berkilau berhias pita rambut merah muda. 

"Assalamualaikum, Ran!" sapa Mas Riko. 

Ah, lelaki itu. Selalu tampil rapi di berbagai kesempatan. Kali ini mengenakan kemeja batik dengan bawahan celana kain hitam. Rambut beraroma pomade tersisir rapi ke atas. Tidak ada sentuhan tangan wanita saja sudah pandai mengurus diri sendiri. Yakin, aku nanti bisa berguna? 

"Wa'alaikum salam. Silakan masuk, Mas!" 

Pemilik jenggot tipis itu benar-benar membuktikan ucapannya tempo hari. Tentang rencana tanggal pernikahan yang akan dimajukan bulan depan. 

Mas Riko mengikuti langkahku dan duduk di salah satu kursi ruang tamu. Aku meninggalkannya sejenak bersama Yesha, meneruskan langkah ke dalam memanggil Bapak dan Ibu yang juga menunggu. 

"Riko sudah datang, Nduk?" tanya Bapak yang langsung mematikan layar televisi. 

"Sudah, Pak." 

"Ayo, Buk!" Bapak memberi komando pada Ibu. 

"Mira enggak diajak, Pak?" Adikku yang baru keluar kamar memajukan bibirnya. 

"Kamu momong Yesha aja, ajak main ke mana gitu. Biar ndak mengganggu pembicaraan orang tua!" titah Bapak. Aku dan Ibu kompak setuju. 

"Iya, iyaaa." Mahasiswi semester lima itu mengangguk pasrah. 

"Kalian duluan saja, Ranty mau bikin minuman dulu." 

Sengaja mencari alasan dengan berpamit ke belakang. Membiarkan Mas Riko mengawali niatnya datang malam ini langsung di depan Bapak. Karena posisiku hanya bisa manut dengan kesepakatan yang sudah dibuat. 

Kembali ke depan, Yesha sudah tidak ada. Entah dibawa Mira ke mana. Tinggal tiga orang tersisa, tampak mulai serius masuk ke topik utama. 

"Sebenernya, bulan depan juga tidak masalah. Ada hari dan tanggal baiknya. Hanya saja, Bapak harus bergerak cepat lagi ini." Candaan Bapak sedikit mencairkan suasana. 

Selama ini, Bapak memang belum pernah mengadakan hajatan besar. Angan-angannya adalah saat anak sulungnya menikah. Namun, mengumpulkan keluarga besar pun harus benar-benar terencana secara matang. 

"Untuk semua persyaratan-persyaratannya bisa saya handle secepatnya, Pak. Bapak dan Ibu cukup mendiskusikan resepsi pernikahan dengan keluarga. Mau di rumah ini atau menyewa gedung mungkin. Untuk dananya insyaa Allah sudah saya persiapkan." Santun dan tidak ada kesan jumawa dalam tutur kata Mas Riko. epertinya sudah terbiasa bagaimana menghadapi dan memperlakukan orang yang jauh lebih tua. 

"Kalau untuk itu, insya Allah kami juga sudah mempersiapkan jauh-jauh hari, Le. Jadi ndak usah terlalu jadi beban. Ini memang salah satu harapan besar Bapak. Menyaksikan putri Bapak bersanding di pelaminan dengan lelaki pilihannya." 

Hati ini terenyuh oleh ungkapan penuh haru dari bibir Bapak. Sedang tangan halus ibu, lembut mengusap punggungku. Bisa terlihat jelas kedua mata tuanya berkaca-kaca. 

Tiga bulan sebelum hari pernikahan yang disepakati sebelumnya. Kupikir Mas Riko dapat memikirkan ulang tentang hubungan kami. Terlebih saat gunjingan demi gunjingan kian santer terdengar dari berbagai sisi. Namun aku salah, dia tetap melangkah untuk memantapkan hati. Bahkan meminta disegerakan. 

***

"Bang, beli rujak!" Kuhentikan pria berperawakan kurus yang tengah mendorong gerobak berisi buah-buahan. 

Dari kaca permukaan gerobak, tampak buah-buahan segar sudah bersih terkupas. Terdapat bongkahan-bongkahan es batu di dalamnya agar kesegaran buah tetap terjaga. 

Tak lama beberapa ibu-ibu turut merapat, tak terkecuali Budhe Wati. Cuaca terik memang mendukung untuk menyantap buah-buahan segar dengan bumbu rujak yang khas. 

"Denger-denger, pernikahanmu dimajukan, ya, Nduk?" tanya Budhe Yanti. 

Rumah wanita berkulit hitam itu kebetulan dekat dengan istri Pak RT. Pasti sudah kecipratan kabar sewaktu Bapak dan Mas Riko mengurus data-data kelengkapan pernikahan. Feeling-ku akan segera menyebar dengan cepat seperti penularan virus. Terlihat dari bisik-bisik dan saling sikut dari ibu-ibu yang mengantre membeli rujak. 

"Wah, pantesan. Kok, tumben-tumbenan kamu beli rujak, Ran." Budhe Wati mengamatiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lantas berhenti tepat di perutku. 

Lainnya saling tatap, ada yang mengangkat alis, ada yang mengangkat bahu. Ada yang menggerak-gerakkan tangannya di depan perut. 

Astaghfirullah, jangan-jangan ... aku dikira hamil duluan. 

Next

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status