Share

Berita Hangat

Author: Lyra Vega
last update Last Updated: 2022-12-29 11:40:04

"Bunda!" Yesha melepas pegangan tangan sang ayah, lantas menghamburku. 

"Hallo, Sayang!" Aku mengelus pemilik rambut hitam berkilau berhias pita rambut merah muda. 

"Assalamualaikum, Ran!" sapa Mas Riko. 

Ah, lelaki itu. Selalu tampil rapi di berbagai kesempatan. Kali ini mengenakan kemeja batik dengan bawahan celana kain hitam. Rambut beraroma pomade tersisir rapi ke atas. Tidak ada sentuhan tangan wanita saja sudah pandai mengurus diri sendiri. Yakin, aku nanti bisa berguna? 

"Wa'alaikum salam. Silakan masuk, Mas!" 

Pemilik jenggot tipis itu benar-benar membuktikan ucapannya tempo hari. Tentang rencana tanggal pernikahan yang akan dimajukan bulan depan. 

Mas Riko mengikuti langkahku dan duduk di salah satu kursi ruang tamu. Aku meninggalkannya sejenak bersama Yesha, meneruskan langkah ke dalam memanggil Bapak dan Ibu yang juga menunggu. 

"Riko sudah datang, Nduk?" tanya Bapak yang langsung mematikan layar televisi. 

"Sudah, Pak." 

"Ayo, Buk!" Bapak memberi komando pada Ibu. 

"Mira enggak diajak, Pak?" Adikku yang baru keluar kamar memajukan bibirnya. 

"Kamu momong Yesha aja, ajak main ke mana gitu. Biar ndak mengganggu pembicaraan orang tua!" titah Bapak. Aku dan Ibu kompak setuju. 

"Iya, iyaaa." Mahasiswi semester lima itu mengangguk pasrah. 

"Kalian duluan saja, Ranty mau bikin minuman dulu." 

Sengaja mencari alasan dengan berpamit ke belakang. Membiarkan Mas Riko mengawali niatnya datang malam ini langsung di depan Bapak. Karena posisiku hanya bisa manut dengan kesepakatan yang sudah dibuat. 

Kembali ke depan, Yesha sudah tidak ada. Entah dibawa Mira ke mana. Tinggal tiga orang tersisa, tampak mulai serius masuk ke topik utama. 

"Sebenernya, bulan depan juga tidak masalah. Ada hari dan tanggal baiknya. Hanya saja, Bapak harus bergerak cepat lagi ini." Candaan Bapak sedikit mencairkan suasana. 

Selama ini, Bapak memang belum pernah mengadakan hajatan besar. Angan-angannya adalah saat anak sulungnya menikah. Namun, mengumpulkan keluarga besar pun harus benar-benar terencana secara matang. 

"Untuk semua persyaratan-persyaratannya bisa saya handle secepatnya, Pak. Bapak dan Ibu cukup mendiskusikan resepsi pernikahan dengan keluarga. Mau di rumah ini atau menyewa gedung mungkin. Untuk dananya insyaa Allah sudah saya persiapkan." Santun dan tidak ada kesan jumawa dalam tutur kata Mas Riko. epertinya sudah terbiasa bagaimana menghadapi dan memperlakukan orang yang jauh lebih tua. 

"Kalau untuk itu, insya Allah kami juga sudah mempersiapkan jauh-jauh hari, Le. Jadi ndak usah terlalu jadi beban. Ini memang salah satu harapan besar Bapak. Menyaksikan putri Bapak bersanding di pelaminan dengan lelaki pilihannya." 

Hati ini terenyuh oleh ungkapan penuh haru dari bibir Bapak. Sedang tangan halus ibu, lembut mengusap punggungku. Bisa terlihat jelas kedua mata tuanya berkaca-kaca. 

Tiga bulan sebelum hari pernikahan yang disepakati sebelumnya. Kupikir Mas Riko dapat memikirkan ulang tentang hubungan kami. Terlebih saat gunjingan demi gunjingan kian santer terdengar dari berbagai sisi. Namun aku salah, dia tetap melangkah untuk memantapkan hati. Bahkan meminta disegerakan. 

***

"Bang, beli rujak!" Kuhentikan pria berperawakan kurus yang tengah mendorong gerobak berisi buah-buahan. 

Dari kaca permukaan gerobak, tampak buah-buahan segar sudah bersih terkupas. Terdapat bongkahan-bongkahan es batu di dalamnya agar kesegaran buah tetap terjaga. 

Tak lama beberapa ibu-ibu turut merapat, tak terkecuali Budhe Wati. Cuaca terik memang mendukung untuk menyantap buah-buahan segar dengan bumbu rujak yang khas. 

"Denger-denger, pernikahanmu dimajukan, ya, Nduk?" tanya Budhe Yanti. 

Rumah wanita berkulit hitam itu kebetulan dekat dengan istri Pak RT. Pasti sudah kecipratan kabar sewaktu Bapak dan Mas Riko mengurus data-data kelengkapan pernikahan. Feeling-ku akan segera menyebar dengan cepat seperti penularan virus. Terlihat dari bisik-bisik dan saling sikut dari ibu-ibu yang mengantre membeli rujak. 

"Wah, pantesan. Kok, tumben-tumbenan kamu beli rujak, Ran." Budhe Wati mengamatiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lantas berhenti tepat di perutku. 

Lainnya saling tatap, ada yang mengangkat alis, ada yang mengangkat bahu. Ada yang menggerak-gerakkan tangannya di depan perut. 

Astaghfirullah, jangan-jangan ... aku dikira hamil duluan. 

Next

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Petaka Menikahi Duda Tampan   Bab 30

    "Mas! Gimana hasilnya?" ulangku sekali lagi karena pertanyaan pertama belum terjawab. Lelaki itu hanya menunduk, sulit mengartikan ekspresinya. Bertumpu pada telapak tangan, aku berusaha bangun. Mas Riko mengatur ranjang dengan posisi lebih tinggi di bagian punggung dan kepala hingga aku merasa nyaman. Barulah dia duduk di kursi bekas Mbak Vera tadi lalu menggenggam tangan ini. Semakin tak sabar karena Mas Riko cukup lama terdiam. Seolah tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat agar aku siap mendengar apa pun kabar yang dia bawa. "Dokter bilang--" Kalimat itu menggantung lagi seiring helaan napas panjang suamiku. "Dokter bilang apa, Mas?" "Dokter bilang, bayi kita baik-baik saja." Ketegangan di mimik wajah lelakiku mendadak memudar, lantas berganti dengan senyuman lebar. Apa ini? Aku dikerjai? "Mas, tolong serius!" Aku memelototinya antara percaya dan tidak percaya. "Mas serius, Sayang. Alhamdulillah, bayi kita baik-baik saja. Pendarahan yang kamu alami ternyata tidak berbahay

  • Petaka Menikahi Duda Tampan   Bab 29

    "Yesha baik-baik saja," ucap Mas Riko, seperti ingin menenangkanku. Mencoba mengumpulkan kesadaran penuh, aku menggerakkan tubuh ini. Namun masih kesulitan untuk bangun. Menatap sekeliling, tahu-tahu sudah berada di kamar dengan baju yang bukan kupakai dari rumah Ibu. Kepala terlalu pening mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Kalau Yesha sakit, kenapa dibiarkan tidur di kamar sendirian? "Mas, aku mau ke kamar Yesha," pintaku usai meneguk teh hangat yang disodorkan suamiku. "Besok saja, ya! Lagipula kondisi kamu masih kaya gini. Kata dokter, harus banyak-banyak istirahat dan hindari stress." Dokter? Jadi aku sempat diperiksa oleh dokter? "Aku mau lihat keadaan Yesha, Mas." Mas Riko menghela napas dan menyerah karena desakanku. "Oke! Kamu tetap di sini, biar saya bawa Yesha ke sini." Lelaki itu melangkah keluar, tetapi kulihat seseorang sudah berdiri di depan pintu menggendong Yesha. Mbak Vera! Kenapa selarut ini dia masih di sini? "Maaf, Mas. Tadi Yesha kebangun, nyari Rant

  • Petaka Menikahi Duda Tampan   Bab 28

    Pov Riko"Ayah, Bunda mana?" Suara kecil parau itu kian melemah. Namun sekeping hati ini begitu nyeri mendengarnya. "Yesha harus sembuh dulu. Kalau udah sehat, nanti ayah antar ke tempat Bunda." Kuletakkan handuk kecil basah di kening putriku. Meredam demam yang tiba-tiba menyerang tadi sore. Obat dari klinik belum juga mengurangi suhu panas di tubuh Yesha. "Ayah janji, ya!" tegasnya, dan sekarang disertai tangis kecil penuh kerinduan. "Ya, Sayang." Samar-samar, kudengar deru mesin motor masuk pagar rumah. Kamu pulang, Ran? Segera kutinggalkan Yesha dan tergesa berjalan ke depan untuk membuka pintu. "Assalamualaikum, Mas!" Aku salah, ternyata Mira yang datang. "Wa'alaikum salam, Mir. Masuk!" Kuisyaratkan dengan gerakan kepala. "Aku enggak lama-lama kok, Mas. Soalnya udah sore banget terus mendung juga. Aku cuma mau ngambil obat pereda mual sama vitamin ibu hamil punyanya Mbak Ranty." Gadis itu mengikutiku ke dalam. Aku lupa. Tadi pagi aku berencana datang lagi ke rumah mertua

  • Petaka Menikahi Duda Tampan   Bab 27

    "Bukankah ibuk sudah pernah bilang, jangan terlalu mencampuri urusan masa lalu Riko dengan istrinya." Ibu mengusap punggung yang membelakanginya. Sedari tadi membujuk agar aku mau menemui Mas Riko di depan sana. "Bukannya Ranty ikut campur, Buk. Ranty cuma enggak mau Mas Riko terus menerus menyimpan dendam lalu menyesal di kemudian hari karena tak pernah mau mendengarkan alasan Mbak Vera meninggalkannya." Yang kulihat selama ini, dia begitu dewasa dan sabar. Tidak mudah tersulut emosi sekalipun di kantor atau di rumah ada sesuatu yang membuatnya jengkel. Mas Riko selalu bijak menanggapi dari dua sisi. Namun, baru kali ini aku merasakan sendiri betapa keras kepalanya suamiku. Seakan benar-benar tidak ada ampun untuk satu kesalahan yang diperbuat oleh sang mantan istri. "Maka dari itu, cobalah saat ini kalian bicara baik-baik. Sampai kapan kamu akan diam seperti ini? Riko juga sangat mengkhawatirkanmu, Nduk!" "Ranty masih butuh waktu, Buk. Sampai Mas Riko menyadari, masih penting ka

  • Petaka Menikahi Duda Tampan   Bab 26

    POV Riko "Kejar Ranty, Mas! Kenapa Mas Riko diam saja?" Vera gusar denganku yang hanya bisa berteriak berharap Ranty segera kembali. Namun, tak berusaha untuk mengejar. Entah, tiba-tiba sisi egoisku lebih membiarkan wanitaku pergi. Takut kehilangan Yesha, kata-kata yang terucap dari mulut ini seakan lepas kendali. Aku tak sadar bahwa itu sangat melukai. "Kamu tidak usah sok peduli. Belum puas kamu menghancurkan hati saya, dan sekarang kembali untuk melakukan hal yang sama. Jika terjadi sesuatu dengan rumah tangga saya. Sudah jelas siapa penyebabnya. Pergi kamu dari rumah saya dan jangan pernah datang lagi. Pergi!" Tidak ada yang tersisa di dalam sini, kecuali benci. Vera berbalik dengan tangis tersedu, segera masuk mobilnya dan secepat kilat berlalu dari hadapanku. "Ayah, kenapa Bunda nangis? Anterin Yesha ke tempat Bunda." Tangan mungil itu menarik-narik kemejaku. Tangisnya makin menambah kekacauan otak ini. "Ayo masuk!" Aku menuntunnya untuk masuk. Namun, beberapa kali langkah

  • Petaka Menikahi Duda Tampan   Bab 25

    "Apa-apaan ini?" Bukan lagi tatapan teduh yang kudapatkan Mas Riko. Justru kebalikannya, terlebih saat menyadari bahwa di sana ada Mbak Vera. "Mas, aku bisa jelasin." Aku mencegah tubuh tegap yang ingin menumpahkan kemarahan pada sang mantan. Perkiraanku ternyata meleset, Mas Riko pulang lebih awal. Bodohnya aku tak menyadari bahwa mobil itu sudah terparkir di dalam. "Apa maksud kamu melakukan segala cara untuk mendekati anak saya? Kamu memaksa istri saya untuk mempertemukanmu dengan Yesha?"Tenagaku kalah kuat dari Mas Riko. Dengan mudah dia sedikit mendorongku ke pinggir lalu berdiri tepat di depan Mbak Vera. Emosi lelaki itu telah sampai pada puncaknya. "Enggak gitu, Mas. Apa salah jika aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan ingin dekat dengan darah dagingku sendiri?" Netra indah itu memerah, tak lama air matanya terburai. Sayang, tak mampu melumpuhkan amarah lelaki di hadapannya. "Ingin dekat katamu? Kamu pikir semudah itu saya mengizinkannya, setelah apa yang sudah kamu la

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status