Share

Cemburu

Penulis: Maunah-Muflih
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-04 09:25:34

Sintya keluar sambil menutup pintu mobil dengan keras meninggalkanku yang terbengong melihat gadis itu makin menjauh dan memasuki gerbang kampus.

Sepanjang jalan, aku terus saja merenungi apa yang dikatakan Sintya. Entah apa yang terjadi denganku. Kini di benakku justru ada ribuan bayangan tentang Sintya. Senyumnya, tawanya, dan semua gerak-gerik gadis itu kini menghiasi layar ingatanku.

Karena tak mau membuat masalah ini berkembang, aku memilih untuk menghindari Sintya.

Tiga hari berlalu, Dina istriku kembali memanggil Sintya untuk meminta jawaban dari gadis itu. Dina meminta ART untuk memanggil Sintya dan anak-anak kami. Sebentar kemudian, mereka pun sudah berkumpul di ruang tamu.

Aku duduk di samping Dina, sementara Sintya duduk bersama Fitra, anak keduaku. Aku melirik ke arah Sintya. Aku tak menyangka, ia juga sedang memandangku dengan tatapan aneh. Ada kilatan amarah di dalam tatapannya. Cemburukah dia melihatku bersama Dina?

"Sin, apa kabarmu? Apa kamu sudah punya jawaban atas pertanyaan Tante?" tanya Dina memulai percakapan. Kulihat Sintya mendongak ke arah kami, kemudian mengangguk.

Jantungku dibuat berdebar seketika, aku takut Sintya akan mengungkapkan perasaannya di depan Dina dan anak-anakku.

"Iya, Tante. In sya Allah Sintya menerima," jawab gadis itu sambil menatapku dengan tatapan penuh kebencian.

Jawaban Sintya itu sungguh membuatku terkejut setengah mati. Aku tak menyangka Sintya akan menjawab dengan jawaban itu. Entah apa yang ada di pikiran gadis ini. Kemaren dia ungkapkan cintanya padaku, sekarang justru menerima lamaran putraku.

Ah, kenapa pula aku harus merasa kecewa? Bukankah harusnya aku merasa senang karena Sintya sudah berpikir jernih dan menerima putraku. Kenapa justru aku seperti mengharap dia menolak dan tetap mempertahankan perasaannya padaku.

"Mas, kok, Mas malah bengong?" Pertanyaan Dina istriku itu membuatku gelagapan. Aku tak mengira, aku malah bersikap ambigu begini. Aku pun tersenyum canggung dan gegas menormalkan sikapku.

"Eh, iya, maaf, Mas cuma gugup. Maklumlah, kan ini pertama kalinya kita akan mempunyai menantu. Rasanya aneh aja, kita sekarang akan mempunyai kehidupan baru," ungkapku berusaha berkilah.

Kulihat Dina terkekeh kecil sambil memukul tanganku. "Mas bisa aja. Eh, tapi iya juga ya, saya juga gak ngira kita mau punya mantu sekarang," ucapnya di sela tawanya. Ada binar bahagia terpancar di wajah wanitaku ini.

Aku kembali melihat ke arah anak-anak. Kulihat Nabil tersipu, sementara adik-adiknya mulai menggodanya.

"Ciee, berarti nanti Ibra punya dua kakak perempuan," ungkap Ibrahim, putra ketigaku.

"Duh, selamat ya, Kakakku tercayang! Sin, berarti nanti aku panggil kamu kakak, ya?" timpal Fitra menggoda kakaknya. Sementara Sintya hanya tersenyum simpul sambil menunduk.

Meski hatiku kacau, aku tetap berusaha bersikap biasa saja. Aku tetap berusaha tersenyum dan terlihat bahagia ketika Dina mengajakku untuk mempersiapkan pernikahan Nabil dan Sintya.

Karena aku merasa Sintya sudah menerima Nabil, aku pun mulai bersikap biasa lagi. Aku kembali mengantarkan Sintya ke kampus. Seperti hari ini, kebetulan Fitra anakku sedang tak ada jadwal kuliah, karenanya aku hanya mengantarkan Sintya saja.

Di tengah jalan, Sintya tiba-tiba menangis tersedu membuatku kebingungan. "Om puas kan? Iya kan? Om puas karena aku udah nerima Mas Nabil. Iya, kan?" racau Sintya sambil berkali-kali mengusap air matanya.

Aku menarik napas dalam-dalam mencoba memahami apa yang terjadi pada gadis ini. "Kamu kenapa sih, Sin? Kamu ini kenapa? Bukannya kamu sendiri yang menerima lamaran Nabil? Kenapa sekarang menyalahkan Om?" Aku bertanya tanpa melirik ke arah anak sahabatku ini.

"Bukannya ini yang Om inginkan? Om mau Sintya nerima Mas Nabil, iya kan? Om gak peduli sama perasaan Sintya! Om tega! Sintiya benar-benar kecewa sama Om!"

Aku beristigfar berkali-kali agar mampu meredam emosi dan semua gejolak di hatiku.

"Gini aja, gimana kalau Om ajak kamu ziarah ke makam orang tua kamu di kampung? Mungkin itu akan membuat kamu tenang," kilahku berusaha mengalihkan pembicaraan.

Sintya menatapku sebentar kemudian mengangguk. Aku tersenyum lega melihat Sintya sudah agak tenang. Dia terdiam sambil menyandarkan kepalanya ke kursi. Perlahan ia pun tertidur.

Karena Sintya setuju, aku pun segera berbelok menuju ke luar kota Jakarta. Aku melajukan kendaraanku menuju Tangerang. Di sanalah tempat Sintya dan keluarganya dulu tinggal.

"Kita sudah sampai, ayo turun!" ajakku pada Sintya sambil keluar dari mobilku. Kami sudah tiba di TPU di mana ayah dan ibunya Sintya dimakamkan.

Aku berjongkok di depan pusara sahabatku ini sambil mengangkat tangan mendoakan mereka agar Allah memberi mereka rahmat-Nya. Sementara Sintya duduk di tengah di antara makam kedua orang tuanya.

"Jangan menangis, doakan saja mereka! Kamu ingatkan, tangis kita akan membuat mereka terbebani," ujarku menasehati gadis cantik yang terlihat berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tak terjatuh.

Usai berziarah, kami pun gegas kembali ke mobil. Sepanjang jalan, kami hanya saling diam sampai akhirnya terdengar suara petir menggelegar disertai angin kencang dan tak lama kemudian, hujan pun turun mengguyur bumi dengan derasnya.

"Om, gimana ini, Sintya takut banget?" Sintya bertanya dengan setengah berteriak karena suara hujan yang membuat suaranya tak bisa terdengar dengan jelas.

"Kamu tenang saja, berdoa saja, semoga Allah memberi perlindungan." Aku mencoba menenangkan Sintya meski aku sendiri merasa khawatir.

Aku terus berusaha melajukan kendaraanku meski dengan susah payah. Derasnya hujan membuat jalanan yang belum beraspal itu menjadi becek dan sulit dilalui oleh roda kendaraan.

Berkali-kali aku menancapkan gas, tapi aku sama sekali tak bisa mengangkat roda kendaraanku yang terperosok ke dalam lubang berlumpur.

"Sin, mobil Om gak bisa jalan. KIta terpaksa istirahat di sini. Sampai hujan reda," ujarku pada Sintya. Entah kenapa Sintya bukannya terlihat cemas, dia malah terlihat mengulum senyum sambil menyandarkan kepalanya ke kursi.

"Asal Sintya di sini sama Om, Sintya gak akan takut."

Entah kenapa, kata-kata Sintya itu malah membuatku tersenyum. "Ya udah, kamu tidur aja. Kalau perlu kamu pindah ke kursi belakang, biar leluasa."

Sintya menggeleng sambil tersenyum ke arahku. Sungguh, senyuman itu benar-benar meruntuhkan pertahananku selama ini. Aku menyerahkan Jasku pada Sintya dan menyelimutinya.

Aku sendiri berusaha memejamkan mataku meski di luar hujan disertai gemuruh petir dan cahaya kilat masih terus mengelegar. Karena lelah, aku pun mulai terbawa buai mimpi sampai akhirnya suara keras menghantam jendela mobilku.

Brakk!!

"Keluar kalian! Eh, kalian pasangan mesum, ya! Keluar!

Bersambung dulu 😅

Jangan lupa dukung kisah ini dengan like and subscribe, ya!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Petaka Puber Kedua   Pov Thariq

    (Pov Thariq)Mentari terlihat sudah menguning pertanda senja sudah tiba. Sepulang dari kantor, aku langsung pulang ke rumah Sintya, tetapi aku tiba-tiba teringat sikap Dina yang tak biasanya. Ada rasa bersalah menggelayuti hati. Mungkinkah Dina kecewa padaku karena selama dua bulan ini, aku selalu mengacuhkannya."Sin, Mas pulang ke rumah Dina dulu, ya?" ucapku pada Sintya yang disambut oleh sikap juteknya. "Mas ini kan baru datang ke sini, kok, udah mau pergi?" "Sin, Mas gak enak hati sama Dina. Sejak nikah sama kamu kan Mas gak pernah pulang sore, Mas selalu pulang malam. Mas gak mau menjadi orang yang tak adil," terangku pada istri manjaku itu. Sintya terlihat mencebik dan memanyunkan bibirnya, membuatku kembali merasa bimbang, sikap lucu dan manjanya ini lah yang selalu membuatku tak berdaya dan akhirnya selalu menuruti keingananya.Aku terus berusaha membujuknya sampai ia pun akhirnya setuju dengan syarat, aku harus kembali setelah magrib. Karena tak mau ribut, aku pun menyetuj

  • Petaka Puber Kedua   Keanehan Nabil

    Mas Thariq yang mendapat pertanyaan dari anak gadisnya itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Ya Allah, sepertinya Mas Thariq benar-benar sudah kehilangan semua rasa cintanya padaku."Tentu saja Papa akan terus mencintai Mama dan akan terus setia sama Mama, iya kan? Karena kalau sampai Papa tak setia, Papa akan berhadapan dengan anak-anak Papa," timpal Nabil sambil memandang ayahnya dengan pandangan tajam. Entah apa yang terjadi dengan anak ini.Mendengar ancaman Nabil itu, wajah Mas Thariq berubah pias. "Sudahlah, sekarang Mama dan Papa harus pergi ke Gunung sebelum senja, biar kita di sana menyaksikan matahari tenggelam," leraiku sambil menarik tangan suamiku. Aku sengaja menyelamatkan Mas Thariq dari anak-anaknya Agar wibawanya tak jatuh di depan mereka.Sebelum kami pergi, aku meninggalkan ponsel Mas Thariq di bawah ranjang dan mematikannya terlebih dahulu.Setibanya di Gunung Pancar, kami segera menyewa kemah dan memasangnya. Ada rasa bahagia di hati ini mengingat kami akan mela

  • Petaka Puber Kedua   Menggali Sisa Cinta

    Nasehat Khadijah terus saja terngiang di telingaku. Ya, dia benar, aku harus berusaha pertahankan pernikahanku. Aku tak boleh menyerah hanya karena anak kecil itu. Usai aku meyakinkan diri, aku pun pergi ke sebuah salon kecantikan dan mulai melaksanakan saran Khadijah untuk mengubah penampilanku agar lebih fresh. Aku juga membeli beberapa baju yang warnanya lebih cerah dan model yang lebih sesuai dengan fashion yang kekinian. Setelah menjalani berbagai ritual perawatan, aku pun bergegas pulang. "Assalamu alaikum." Aku menyapa Fitra yang sedang duduk bersama Ibrahim di ruang tamu."Alaikum salam, Ma sya Allah, Mama! Mama cantik banget!" seru Fitra menyambut kedatanganku."Duh, emangnya kemaren-kemaren Mamah gak cantik, ya?" "Cantik, dong, tapi sekarang lebih cantik," sahut Ibrahim sambil berhambur memelukku.Kami pun tertawa lepas, sampai-sampai kami tak mendengar ada orang lain masuk."Assalamu alaikum," sapa seseorang yang ternyata Mas Thariq. Entah kenapa laki-laki itu datang

  • Petaka Puber Kedua   Nasehat Terindah

    Langit terlihat begitu cerah, matahari pun bersinar dengan terang, tak ada sedikit pun mendung yang menghiasi. Kendaraan yang kutumpangi terus melaju menuju sebuah Pesantren yang terletak di luar kota Jakarta. Aku sengaja meminta izin pada suamiku dan anak-anak untuk pergi mengunjungi sahabatku di Ponpes yang ia tempati. Sebuah Ponpes yang terletak di Kota Bogor."Assalamu alaikum," sapaku ketika berada di gerbang pesantren. "Alaikum salam," jawab seorang laki-laki penjaga gerbang. Aku dipersilakan masuk ke dalam Pesantren. Sebuah Pesantren yang khusus untuk Dzuafa dan anak yatim. Suami Khodijah adalah seorang Ustadz yang benar-benar ingin mendedikasikan ilmunya untuk berdakwah di jalan Allah. "Ma sya Allah, Nur, kamu udah datang, ayo masuk!" sambut Khadijah dengan penuh keramahan. Dia dan keluargaku memang selalu memanggilku Nur, bukan Dina seperti Mas Thariq memanggilku.Khadijah mengajakku ke tempat anak-anak yang sedang belajar. Aku sengaja membawakan hadiah untuk anak-a

  • Petaka Puber Kedua   Pov Dina

    (Dina)Malam semakin larut, usai aku mengerjakan tugas kantor, aku tetap duduk di ruang kerjaku. Akhir-akhir ini, aku memang sengaja menghindar dari Mas Thariq. Aku tak sanggup melihat wajah laki-laki itu ketika dia di sampingku, tetapi dia pokus berchat ria bersama istri barunya. Aku lelah terus diam begini, tetapi jika aku berbicara, dan melampiaskan amarahku, aku khawatir keluargaku akan terpecah dan anak-anakku akan kehilangan sosok ayah. Apalagi Nabil, dia pasti sangat terluka, kalau sampai dia tahu, ayahnya sendiri sudah menikungnya dan menikahi perempuan yang dia cintai.Aku menghela napas sambil tetap emnatap laptop ku yang masih menyala. Entah kenapa aku tiba-tiba penasaran dengan isi chat suamiku dengan Sintya. Karena aku gegas membuka ponselku yang khusus aku gunakan untuk menyadap wa suamiku. Dengan penuh keraguan, aku membuka chat Mas Thariq dengan Sintya. Aku membaca chat yang hari ini saja. Kubaca kalimat demi kalimat yang Mas Thariq tulis, hingga akhirnya aku memba

  • Petaka Puber Kedua   Terlena

    Hari demi hari berlalu, entah kenapa aku semakin merasa nyaman berada di rumah Sintya. Setiap hari aku memang pulang ke rumah dan tidur di samping Dina, tapi perasaan ini semakin terasa hambar.Kalau saja aku tak menghargainya, mungkin aku tak akan pulang ke rumah. Meski Dina selama ini tak pernah berpenampilan kusut, tapi entah kenapa rasa di hati ini seakan sudah pudar dan yang ada hanya ingin menghargainya saja.Meski aku berada di samping Dina, hati dan mataku terus saja dipenuhi oleh bayang wajah Sintya, karenanya aku sering menghabiskan waktu dengan mengechat istri keduaku itu sebelum aku tidur.Dua bulan berlalu, selama itu aku sama sekali tak menyentuh Dina. Keberadaan Sintya seakan mendominasi semua ruang di hati dan seluruh jiwa ragaku. Karenanya, saat bersama Dina, gairahku seakan hilang. Yang ada di hati ini hanya rasa segan dan ingin menghargainya sebagai ibu dari anak-anakku. Pernah suatu malam, Dina berdandan rapi, dengan make up dan memakai gaun tak berlengan."Ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status