Share

Pov Thariq

Author: Maunah-Muflih
last update Last Updated: 2025-09-04 09:16:05

(Pov Thariq)

"Saya mencintai Om Thariq! Saya cinta Om!"

Ungkapan Sintya itu benar-benar membuat hatiku tak karuan.

Aku, Thariq Muhammad. Aku benar-benar tak menyangka, di usiaku yang hampir kepala lima ini, justru mendengar ungkapan mesra dari gadis remaja seusia putriku.

Sintya, gadis berumur 20 tahun itu adalah putri dari sahabatku. Dia dititipkan padaku sesaat sebelum ayahnya meninggal.

Aku membawanya ke rumahku dan memperkenalkan dia pada istri dan anak-anakku. Setelah hampir setahun dia di rumahku, Nabil, putraku mengungkapkan keinginannya untuk melamar Sintya dan menjadikannya istrinya. Sebagai orang tua, aku dan istriku menyambut dengan bahagia keinginan mulia Nabil.

Kami pun memanggil Sintya dan menanyakan pendapatnya.

"Sin, Tante ingin mengutarakan sesuatu pada kamu, semoga kamu menerimanya," kata Dina istriku.

"Silakan, Tan," jawab Sintiya.

"Tante ingin menyampaikan niat Nabil, Nabil berniat melamar kamu dan menjadikan kamu istrinya, apa kamu bersedia?"

Wajah Sintya berubah menegang mendengar perkataan Dina, ia sama sekali tak memberikan jawabannya.

"Bagaimana pendapatmu, Sintya? Apa kamu setuju?" Dina mengulangi lagi pertanyaannya.

Namun, Sintya tetap bergeming tak merespon sedikitpun.

"Din, sebaiknya kita beri waktu pada Sintya untuk memberikan jawabannya," usulku pada Dina, Dina pun tersenyum dan menyetujui.

Keesokan harinya, aku mengantarkan Sintya ke kampus, tiba-tiba saja ia meminta berhenti dan memintaku mengantarnya ke sebuah cafe.

"Om, tolong berhenti di sana, saya mau bicara sama Om, mumpung sekarang Fitra gak ikut kuliah," ujar Sintya sambil menunjuk ke arah cafe. Aku pun berhenti dan menurutinya.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyaku pada Sintya setelah kami duduk dan memesan minuman.

Kutatap lekat wajah gadis di depanku ini. Dia terlihat gugup dan kikuk, kedua tangannya saling terpaut dan saling meremas.

"Gini, Om. Saya ... saya gak sanggup nerima tawaran Tante Dina. Saya ... saya gak mau nikah sama Mas Nabil," ungkap Sintya tanpa membalas tatapanku.

"Apa alasannya, apa kamu punya yang lain?" Aku bertanya lagi, kali ini Sintya hanya menjawab dengan anggukan.

"Siapa? Apa Om boleh tahu? Om tak akan marah dan tak mau memaksa kamu menerima lamaran Nabil. Kalau kamu punya pilihan lain, Om akan terima, asalkan kamu kenalkan sama Om, karena bagaimana pun juga, Om adalah pengganti ayah kamu."

Sintya terlihat semakin gugup mendengar perkataanku. Entah apa yang dipikirkan gadis ini.

"Iya, Om. Saya ... akan katakan, tapi ... saya harap Om gak akan marah kalau saya ungkapkan siapa laki-laki yang saya cintai."

Aku mengangguk menyetujui permintaan Sintya. "InsyaAllah, Om gak akan marah, asal kamu jujur," jawabku meyakinkan Sintya agar dia jujur. Sintya terlihat semakin gugup, ia berkali-kali meneguk minuman di depannya hingga tandas.

"Hmm, orang itu ... orang itu ... adalah Om sendiri."

Mataku membola seketika saat mendengar ucapan Sintya. Aku menggeleng beberapa kali untuk memastikan bahwa yang kudengar ini salah.

"Siapa? Apa ... Om gak salah dengar?" tanyaku memastikan. Aku yakin aku cuma salah dengar. Namun, Sintya kembali menegaskan bahwa yang ia katakan itu benar.

Hal itu tentu saja mmebuatku semakin kacau, keringat dingin tiba-tiba saja bercucuran membasahi keningku. Aku tak menyangka gadis ini akan mengatakan hal yang sungguh membuatku tak menentu. Entah apa sebabnya.

Harusnya aku biasa saja mendengar perkataan Sintya, meski ini tabu, tapi ini biasa dirasakan oleh anak-anak remaja. Sebagai orang yang sudah dewasa, harusnya aku memaklumi dan memberi arahan pada anak sahabatku ini bahwa itu hanya perasaan sesaat atau yang biasa orang sebut dengan "cinta monyet'.

Akan tetapi, apa yang aku rasakan ini sungguh aneh. Ungkapan Sintya itu justru membuatku kacau balau. Entah apa sebabnya.

Karena aku tak mau memberi harapan pada Sintya, aku pun memilih menutup pembicaraan kami tanpa membahas lagi apa yang tadi kami bicarakan.

"Sin, hari sudah siang, Om harus ke kantor. Jadi, ayo kita pergi dari sini. Om akan antar kamu ke kampus," ucapku tanpa memerdulikan Sintya yang masih bengong. Setelah membayar minuman, aku langsung menuju mobilku, disusul oleh Sintya yang terlihat kusut dan cemberut.

Sintya masuk dengan wajah cemberut. Aku yang tak mau masalah ini melebar hanya diam membisu sepanjang perjalanan.

"Kita udah sampai, ini buat jajan kamu, ayo cepat turun, nanti kamu terlambat," ujarku saat kami sudah sampai di depan kampus. Aku memberikan selembar uang warna merah pada Sintya, tetapi anehnya gadis ini malah diam membisu.

Aku melirik ke arah gadis ini dan aahh ... kulihat dia mulai terisak. Pipinya mulai dipenuhi air mata. Kedua pundaknya berguncang. Ia pun berkali-kali mengusap air matanya yang kian menderas.

Sungguh, gadis ini benar-benar membuatku kebingungan setengah mati.

"Kenapa Om menghindar? Sintya kan dah minta Om janji biar gak marah," tanya Sintya di sela isaknya. Aku menghela napas sebelum menjawab.

"Om gak marah, Sin. Om cuma buru-buru aja takut terlambat. Soal perasaanmu itu, mungkin itu cuma rasa kagum aja. Karena Om sekarang kan jadi pengganti ayah kamu."

Aku terus berusaha memberikan alasan yang tepat agar gadis remaja ini tak tersinggung, tetapi ini justru membuatnya semakin histeris.

"Sintya gak bercanda, Om. Ini bukan perasaan kagum semata. Ini benar-benar perasaan cinta. Saya cinta Om! Saya cinta Om Thariq."

Brugg..

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Petaka Puber Kedua   Pov Thariq (Egoiskah Aku?)

    (POV; Thariq)Aku menatap nanar ke arah tanganku yang tadi melayang ke pipi putra sulungku. Aku sungguh merasa menjadi ayah yang tak berguna, aku sudah menghianatinya, kini aku juga memukul fisiknya.Jika Dina tahu, dia pasti tak akan memaafkanku. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sekarang? "Mas, Mas gak apa-apa?" tanya Sintya sambil mengguncang tanganku dan menyadarkanku dari lamunanku. Aku pun menoleh ke arahnya dengan tatapan sendu."Mas gak apa-apa, tapi Mas takut sekali sekarang. Nabil pasti akan memberi tahu ibunya, dan ... dan Dina pasti marah pada Mas," jawabku. Sintya terlihat tak suka dengan jawabanku."Apa Mas segitunya memikirkan Tante Dina? Kenapa sih Mas itu cuma mikirin Tante Dina?" teriak Sintiya seraya berlalu menuju mobil kemudian masuk ke dalam mobil dengan membanting pintu dengan keras.Aku tak mau ambil pusing dengan sikapnya, karenanya aku hanya diam membisu tak meladeninya. Pikiranku kini hanya tertuju pada Dina dan anak-anak kami. Tak bisa kubayangkan j

  • Petaka Puber Kedua   Pov Thariq (kepergok)

    Setelah kami sampai di Jakarta, aku pun gegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Usai itu, aku pun langsung pergi ke rumah Sintya. "Assalamu alaikum. Sin, kamu di mana?" Sambil memanggilnya, aku langsung memasuki kamar kami, tapi tak kutemukan Sintya di sana. "Bu Yanti, Mbak Sintya mana?" tanyaku pada ART yang sengaja kugaji untuk menemani Sintya. "Eh, Bapak, udah pulang? Mbak Sintya dari pagi pergi ke Tangerang, katanya mau ziarah ke makam orang tuanya," terang Bu Yanti. "Ya Allah, dia pasti marah sama saya, ya Bu?" "Hmm, iya, Pak. Dari kemaren, Mbak Sintya uring-uringan terus karena Bapak gak datang-datang." Mendengar penjelasan Bu Yanti, aku pun gegas menyambar kunci mobilku dan langsung melesat pergi ke Tangerang untuk menyusul istri kesayanganku itu. Rasa bersalah dan cemas pun berbaur menjadi satu. Aku yakin dia marah padaku. Setelah hampir dua jam diperjalanan, akhirnya aku tiba di TPU tempat Almarhum ayah dan ibu Sintya dikuburkan. Benar saja, ku

  • Petaka Puber Kedua   Pov Thariq 2

    Aku gegas menemui Sintya yang kini terlihat merajuk. Aku pun berusaha menghiburnya hingga membuatnya kembali ceria. Beberapa jam kami mengobrol, akhirnya dia membuatku terlena dengan manisnya madu yang ia suguhkan. Aku lupa dengan janjiku pada Dina untuk pulang cepat. "Ya Allah, sudah jam 3 malam, aku belum pulang. Dina pasti makin kecewa," gumamku di saat aku terbangun dan menyadari bahwa aku masih ada di rumah Sintya. "Sin, Mas pulang dulu, ya! Mas gak mau Dina curiga!" pamitku pada Sintya yang tertidur sambil memelukku. Dia menggeliat manja dan merengek memintaku tetap tinggal. Dia terus merajuk manja sehingga membuatku melemah dan akhirnya tetap tinggal di sisinya sampai pagi tiba. Keesokan harinya, aku langsung bergegas pulang ke rumah Dina. "Papa, kok, Papa barusan dari luar, emangnya Papa dari mana?" tanya Fitra menyambutku. Dia dan Ibrahim terlihat sedang bersiap-siap pergi. "Pa, kami mau ke puncak, ayo ikut Pa! nanti Kak Nabil juga nyusul, biar kita barengan, ya,

  • Petaka Puber Kedua   Pov Thariq

    (Pov Thariq)Mentari terlihat sudah menguning pertanda senja sudah tiba. Sepulang dari kantor, aku langsung pulang ke rumah Sintya, tetapi aku tiba-tiba teringat sikap Dina yang tak biasanya. Ada rasa bersalah menggelayuti hati. Mungkinkah Dina kecewa padaku karena selama dua bulan ini, aku selalu mengacuhkannya."Sin, Mas pulang ke rumah Dina dulu, ya?" ucapku pada Sintya yang disambut oleh sikap juteknya. "Mas ini kan baru datang ke sini, kok, udah mau pergi?" "Sin, Mas gak enak hati sama Dina. Sejak nikah sama kamu kan Mas gak pernah pulang sore, Mas selalu pulang malam. Mas gak mau menjadi orang yang tak adil," terangku pada istri manjaku itu. Sintya terlihat mencebik dan memanyunkan bibirnya, membuatku kembali merasa bimbang, sikap lucu dan manjanya ini lah yang selalu membuatku tak berdaya dan akhirnya selalu menuruti keingananya.Aku terus berusaha membujuknya sampai ia pun akhirnya setuju dengan syarat, aku harus kembali setelah magrib. Karena tak mau ribut, aku pun menyetuj

  • Petaka Puber Kedua   Keanehan Nabil

    Mas Thariq yang mendapat pertanyaan dari anak gadisnya itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Ya Allah, sepertinya Mas Thariq benar-benar sudah kehilangan semua rasa cintanya padaku."Tentu saja Papa akan terus mencintai Mama dan akan terus setia sama Mama, iya kan? Karena kalau sampai Papa tak setia, Papa akan berhadapan dengan anak-anak Papa," timpal Nabil sambil memandang ayahnya dengan pandangan tajam. Entah apa yang terjadi dengan anak ini.Mendengar ancaman Nabil itu, wajah Mas Thariq berubah pias. "Sudahlah, sekarang Mama dan Papa harus pergi ke Gunung sebelum senja, biar kita di sana menyaksikan matahari tenggelam," leraiku sambil menarik tangan suamiku. Aku sengaja menyelamatkan Mas Thariq dari anak-anaknya Agar wibawanya tak jatuh di depan mereka.Sebelum kami pergi, aku meninggalkan ponsel Mas Thariq di bawah ranjang dan mematikannya terlebih dahulu.Setibanya di Gunung Pancar, kami segera menyewa kemah dan memasangnya. Ada rasa bahagia di hati ini mengingat kami akan mela

  • Petaka Puber Kedua   Menggali Sisa Cinta

    Nasehat Khadijah terus saja terngiang di telingaku. Ya, dia benar, aku harus berusaha pertahankan pernikahanku. Aku tak boleh menyerah hanya karena anak kecil itu. Usai aku meyakinkan diri, aku pun pergi ke sebuah salon kecantikan dan mulai melaksanakan saran Khadijah untuk mengubah penampilanku agar lebih fresh. Aku juga membeli beberapa baju yang warnanya lebih cerah dan model yang lebih sesuai dengan fashion yang kekinian. Setelah menjalani berbagai ritual perawatan, aku pun bergegas pulang. "Assalamu alaikum." Aku menyapa Fitra yang sedang duduk bersama Ibrahim di ruang tamu."Alaikum salam, Ma sya Allah, Mama! Mama cantik banget!" seru Fitra menyambut kedatanganku."Duh, emangnya kemaren-kemaren Mamah gak cantik, ya?" "Cantik, dong, tapi sekarang lebih cantik," sahut Ibrahim sambil berhambur memelukku.Kami pun tertawa lepas, sampai-sampai kami tak mendengar ada orang lain masuk."Assalamu alaikum," sapa seseorang yang ternyata Mas Thariq. Entah kenapa laki-laki itu datang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status