(Pov Thariq)
"Saya mencintai Om Thariq! Saya cinta Om!" Ungkapan Sintya itu benar-benar membuat hatiku tak karuan. Aku, Thariq Muhammad. Aku benar-benar tak menyangka, di usiaku yang hampir kepala lima ini, justru mendengar ungkapan mesra dari gadis remaja seusia putriku. Sintya, gadis berumur 20 tahun itu adalah putri dari sahabatku. Dia dititipkan padaku sesaat sebelum ayahnya meninggal. Aku membawanya ke rumahku dan memperkenalkan dia pada istri dan anak-anakku. Setelah hampir setahun dia di rumahku, Nabil, putraku mengungkapkan keinginannya untuk melamar Sintya dan menjadikannya istrinya. Sebagai orang tua, aku dan istriku menyambut dengan bahagia keinginan mulia Nabil. Kami pun memanggil Sintya dan menanyakan pendapatnya. "Sin, Tante ingin mengutarakan sesuatu pada kamu, semoga kamu menerimanya," kata Dina istriku. "Silakan, Tan," jawab Sintiya. "Tante ingin menyampaikan niat Nabil, Nabil berniat melamar kamu dan menjadikan kamu istrinya, apa kamu bersedia?" Wajah Sintya berubah menegang mendengar perkataan Dina, ia sama sekali tak memberikan jawabannya. "Bagaimana pendapatmu, Sintya? Apa kamu setuju?" Dina mengulangi lagi pertanyaannya. Namun, Sintya tetap bergeming tak merespon sedikitpun. "Din, sebaiknya kita beri waktu pada Sintya untuk memberikan jawabannya," usulku pada Dina, Dina pun tersenyum dan menyetujui. Keesokan harinya, aku mengantarkan Sintya ke kampus, tiba-tiba saja ia meminta berhenti dan memintaku mengantarnya ke sebuah cafe. "Om, tolong berhenti di sana, saya mau bicara sama Om, mumpung sekarang Fitra gak ikut kuliah," ujar Sintya sambil menunjuk ke arah cafe. Aku pun berhenti dan menurutinya. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyaku pada Sintya setelah kami duduk dan memesan minuman. Kutatap lekat wajah gadis di depanku ini. Dia terlihat gugup dan kikuk, kedua tangannya saling terpaut dan saling meremas. "Gini, Om. Saya ... saya gak sanggup nerima tawaran Tante Dina. Saya ... saya gak mau nikah sama Mas Nabil," ungkap Sintya tanpa membalas tatapanku. "Apa alasannya, apa kamu punya yang lain?" Aku bertanya lagi, kali ini Sintya hanya menjawab dengan anggukan. "Siapa? Apa Om boleh tahu? Om tak akan marah dan tak mau memaksa kamu menerima lamaran Nabil. Kalau kamu punya pilihan lain, Om akan terima, asalkan kamu kenalkan sama Om, karena bagaimana pun juga, Om adalah pengganti ayah kamu." Sintya terlihat semakin gugup mendengar perkataanku. Entah apa yang dipikirkan gadis ini. "Iya, Om. Saya ... akan katakan, tapi ... saya harap Om gak akan marah kalau saya ungkapkan siapa laki-laki yang saya cintai." Aku mengangguk menyetujui permintaan Sintya. "InsyaAllah, Om gak akan marah, asal kamu jujur," jawabku meyakinkan Sintya agar dia jujur. Sintya terlihat semakin gugup, ia berkali-kali meneguk minuman di depannya hingga tandas. "Hmm, orang itu ... orang itu ... adalah Om sendiri." Mataku membola seketika saat mendengar ucapan Sintya. Aku menggeleng beberapa kali untuk memastikan bahwa yang kudengar ini salah. "Siapa? Apa ... Om gak salah dengar?" tanyaku memastikan. Aku yakin aku cuma salah dengar. Namun, Sintya kembali menegaskan bahwa yang ia katakan itu benar. Hal itu tentu saja mmebuatku semakin kacau, keringat dingin tiba-tiba saja bercucuran membasahi keningku. Aku tak menyangka gadis ini akan mengatakan hal yang sungguh membuatku tak menentu. Entah apa sebabnya. Harusnya aku biasa saja mendengar perkataan Sintya, meski ini tabu, tapi ini biasa dirasakan oleh anak-anak remaja. Sebagai orang yang sudah dewasa, harusnya aku memaklumi dan memberi arahan pada anak sahabatku ini bahwa itu hanya perasaan sesaat atau yang biasa orang sebut dengan "cinta monyet'. Akan tetapi, apa yang aku rasakan ini sungguh aneh. Ungkapan Sintya itu justru membuatku kacau balau. Entah apa sebabnya. Karena aku tak mau memberi harapan pada Sintya, aku pun memilih menutup pembicaraan kami tanpa membahas lagi apa yang tadi kami bicarakan. "Sin, hari sudah siang, Om harus ke kantor. Jadi, ayo kita pergi dari sini. Om akan antar kamu ke kampus," ucapku tanpa memerdulikan Sintya yang masih bengong. Setelah membayar minuman, aku langsung menuju mobilku, disusul oleh Sintya yang terlihat kusut dan cemberut. Sintya masuk dengan wajah cemberut. Aku yang tak mau masalah ini melebar hanya diam membisu sepanjang perjalanan. "Kita udah sampai, ini buat jajan kamu, ayo cepat turun, nanti kamu terlambat," ujarku saat kami sudah sampai di depan kampus. Aku memberikan selembar uang warna merah pada Sintya, tetapi anehnya gadis ini malah diam membisu. Aku melirik ke arah gadis ini dan aahh ... kulihat dia mulai terisak. Pipinya mulai dipenuhi air mata. Kedua pundaknya berguncang. Ia pun berkali-kali mengusap air matanya yang kian menderas. Sungguh, gadis ini benar-benar membuatku kebingungan setengah mati. "Kenapa Om menghindar? Sintya kan dah minta Om janji biar gak marah," tanya Sintya di sela isaknya. Aku menghela napas sebelum menjawab. "Om gak marah, Sin. Om cuma buru-buru aja takut terlambat. Soal perasaanmu itu, mungkin itu cuma rasa kagum aja. Karena Om sekarang kan jadi pengganti ayah kamu." Aku terus berusaha memberikan alasan yang tepat agar gadis remaja ini tak tersinggung, tetapi ini justru membuatnya semakin histeris. "Sintya gak bercanda, Om. Ini bukan perasaan kagum semata. Ini benar-benar perasaan cinta. Saya cinta Om! Saya cinta Om Thariq." Brugg..(Pov Thariq)Mentari terlihat sudah menguning pertanda senja sudah tiba. Sepulang dari kantor, aku langsung pulang ke rumah Sintya, tetapi aku tiba-tiba teringat sikap Dina yang tak biasanya. Ada rasa bersalah menggelayuti hati. Mungkinkah Dina kecewa padaku karena selama dua bulan ini, aku selalu mengacuhkannya."Sin, Mas pulang ke rumah Dina dulu, ya?" ucapku pada Sintya yang disambut oleh sikap juteknya. "Mas ini kan baru datang ke sini, kok, udah mau pergi?" "Sin, Mas gak enak hati sama Dina. Sejak nikah sama kamu kan Mas gak pernah pulang sore, Mas selalu pulang malam. Mas gak mau menjadi orang yang tak adil," terangku pada istri manjaku itu. Sintya terlihat mencebik dan memanyunkan bibirnya, membuatku kembali merasa bimbang, sikap lucu dan manjanya ini lah yang selalu membuatku tak berdaya dan akhirnya selalu menuruti keingananya.Aku terus berusaha membujuknya sampai ia pun akhirnya setuju dengan syarat, aku harus kembali setelah magrib. Karena tak mau ribut, aku pun menyetuj
Mas Thariq yang mendapat pertanyaan dari anak gadisnya itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Ya Allah, sepertinya Mas Thariq benar-benar sudah kehilangan semua rasa cintanya padaku."Tentu saja Papa akan terus mencintai Mama dan akan terus setia sama Mama, iya kan? Karena kalau sampai Papa tak setia, Papa akan berhadapan dengan anak-anak Papa," timpal Nabil sambil memandang ayahnya dengan pandangan tajam. Entah apa yang terjadi dengan anak ini.Mendengar ancaman Nabil itu, wajah Mas Thariq berubah pias. "Sudahlah, sekarang Mama dan Papa harus pergi ke Gunung sebelum senja, biar kita di sana menyaksikan matahari tenggelam," leraiku sambil menarik tangan suamiku. Aku sengaja menyelamatkan Mas Thariq dari anak-anaknya Agar wibawanya tak jatuh di depan mereka.Sebelum kami pergi, aku meninggalkan ponsel Mas Thariq di bawah ranjang dan mematikannya terlebih dahulu.Setibanya di Gunung Pancar, kami segera menyewa kemah dan memasangnya. Ada rasa bahagia di hati ini mengingat kami akan mela
Nasehat Khadijah terus saja terngiang di telingaku. Ya, dia benar, aku harus berusaha pertahankan pernikahanku. Aku tak boleh menyerah hanya karena anak kecil itu. Usai aku meyakinkan diri, aku pun pergi ke sebuah salon kecantikan dan mulai melaksanakan saran Khadijah untuk mengubah penampilanku agar lebih fresh. Aku juga membeli beberapa baju yang warnanya lebih cerah dan model yang lebih sesuai dengan fashion yang kekinian. Setelah menjalani berbagai ritual perawatan, aku pun bergegas pulang. "Assalamu alaikum." Aku menyapa Fitra yang sedang duduk bersama Ibrahim di ruang tamu."Alaikum salam, Ma sya Allah, Mama! Mama cantik banget!" seru Fitra menyambut kedatanganku."Duh, emangnya kemaren-kemaren Mamah gak cantik, ya?" "Cantik, dong, tapi sekarang lebih cantik," sahut Ibrahim sambil berhambur memelukku.Kami pun tertawa lepas, sampai-sampai kami tak mendengar ada orang lain masuk."Assalamu alaikum," sapa seseorang yang ternyata Mas Thariq. Entah kenapa laki-laki itu datang
Langit terlihat begitu cerah, matahari pun bersinar dengan terang, tak ada sedikit pun mendung yang menghiasi. Kendaraan yang kutumpangi terus melaju menuju sebuah Pesantren yang terletak di luar kota Jakarta. Aku sengaja meminta izin pada suamiku dan anak-anak untuk pergi mengunjungi sahabatku di Ponpes yang ia tempati. Sebuah Ponpes yang terletak di Kota Bogor."Assalamu alaikum," sapaku ketika berada di gerbang pesantren. "Alaikum salam," jawab seorang laki-laki penjaga gerbang. Aku dipersilakan masuk ke dalam Pesantren. Sebuah Pesantren yang khusus untuk Dzuafa dan anak yatim. Suami Khodijah adalah seorang Ustadz yang benar-benar ingin mendedikasikan ilmunya untuk berdakwah di jalan Allah. "Ma sya Allah, Nur, kamu udah datang, ayo masuk!" sambut Khadijah dengan penuh keramahan. Dia dan keluargaku memang selalu memanggilku Nur, bukan Dina seperti Mas Thariq memanggilku.Khadijah mengajakku ke tempat anak-anak yang sedang belajar. Aku sengaja membawakan hadiah untuk anak-a
(Dina)Malam semakin larut, usai aku mengerjakan tugas kantor, aku tetap duduk di ruang kerjaku. Akhir-akhir ini, aku memang sengaja menghindar dari Mas Thariq. Aku tak sanggup melihat wajah laki-laki itu ketika dia di sampingku, tetapi dia pokus berchat ria bersama istri barunya. Aku lelah terus diam begini, tetapi jika aku berbicara, dan melampiaskan amarahku, aku khawatir keluargaku akan terpecah dan anak-anakku akan kehilangan sosok ayah. Apalagi Nabil, dia pasti sangat terluka, kalau sampai dia tahu, ayahnya sendiri sudah menikungnya dan menikahi perempuan yang dia cintai.Aku menghela napas sambil tetap emnatap laptop ku yang masih menyala. Entah kenapa aku tiba-tiba penasaran dengan isi chat suamiku dengan Sintya. Karena aku gegas membuka ponselku yang khusus aku gunakan untuk menyadap wa suamiku. Dengan penuh keraguan, aku membuka chat Mas Thariq dengan Sintya. Aku membaca chat yang hari ini saja. Kubaca kalimat demi kalimat yang Mas Thariq tulis, hingga akhirnya aku memba
Hari demi hari berlalu, entah kenapa aku semakin merasa nyaman berada di rumah Sintya. Setiap hari aku memang pulang ke rumah dan tidur di samping Dina, tapi perasaan ini semakin terasa hambar.Kalau saja aku tak menghargainya, mungkin aku tak akan pulang ke rumah. Meski Dina selama ini tak pernah berpenampilan kusut, tapi entah kenapa rasa di hati ini seakan sudah pudar dan yang ada hanya ingin menghargainya saja.Meski aku berada di samping Dina, hati dan mataku terus saja dipenuhi oleh bayang wajah Sintya, karenanya aku sering menghabiskan waktu dengan mengechat istri keduaku itu sebelum aku tidur.Dua bulan berlalu, selama itu aku sama sekali tak menyentuh Dina. Keberadaan Sintya seakan mendominasi semua ruang di hati dan seluruh jiwa ragaku. Karenanya, saat bersama Dina, gairahku seakan hilang. Yang ada di hati ini hanya rasa segan dan ingin menghargainya sebagai ibu dari anak-anakku. Pernah suatu malam, Dina berdandan rapi, dengan make up dan memakai gaun tak berlengan."Ma