Share

Petaka Puber Kedua
Petaka Puber Kedua
Author: Maunah-Muflih

Menolak Akad

Author: Maunah-Muflih
last update Last Updated: 2025-09-03 23:30:05

Pov 3 :

Tak ada yang paling membahagiakan bagi seorang ibu, dari pada ketika dia melihat anak-anaknya bahagia. Itulah yang dirasakan oleh Ardina saat ini. Dia sangat bahagia melihat anak sulungnya akan melangsungkan akad nikah bersama wanita yang dicintainya.

Airmata wanita itu tak terasa mengalir begitu saja saat menyaksikan pemuda berusia 24 tahun itu duduk di depan penghulu.

Dia tersenyum geli melihat Nabil, putranya berkali-kali mengelap keringat di wajahnya.

 Hal itu membuatnya teringat hari pernikahannya dengan Thariq, suaminya. Tak terasa, 25 tahun sudah berlalu. Dia merasa sangat bersyukur pada Allah yang telah memberinya suami sebaik Thariq.

Dari awal pernikahan sampai mereka dikaruniai tiga orang anak, sikapnya tak pernah berubah, selalu manis dan hangat.

 "Nak Nabil, apa Anda sudah siap mengucapkan akad? Kalau sudah siap, mari kita mulai karena saya masih harus menghadiri acara pernikahan yang lain," tanya Pak Penghulu. Nabil terlihat tersenyum sambil mengangguk.

"Iya, Pak. Silakan dimulai!" jawabnya kemudian.

 Pak Penghulu pun mengulurkan tangannya dan mulai mengucapkan ijab kabul. Setelah Pak penghulu selesai, Nabil terlihat akan membuka mulutnya untuk mengucapkan akad. Namun, belum sempat ia buka suara, terdengar suara lantang mencegahnya.

"Tunggu, mohon jangan diteruskan!"

Semua yang hadir di situ terhenyak kaget mendengar suara itu, terlebih setelah mereka tahu, bahwa suara itu adalah suara Sintya, sang mempelai wanita yang akan dinikahi Nabil.

 Mereka semua menengok ke arah Sintya yang duduk di belakang penghulu. Calon mempelai wanita tak duduk di sebelah mempelai laki-laki, karena menurut adat di daerah itu, pengantin perempuan belum boleh duduk di samping pengantin laki-laki sebelum akad sah dilaksanakan.

"Sintya, maksud kamu apa? Kenapa kamu menyuruh Kak Nabil berhenti?" tanya Fitra, putri kedua Rina yang duduk mendampingi Sintya.

"Aku ... Maaf Fit, aku gak sanggup meneruskan pernikahan ini, karena aku ... aku gak cinta sama Mas Nabil," jawab Sintya sambil menunduk.

Ardina melirik ke arah Nabil, pemuda itu terlihat menoleh ke arah Sintya dengan wajah penuh kekecewaan.

"Maaf, Sin. Kalau boleh kutahu, apa alasanmu? Kenapa kamu tiba-tiba mau mundur dari pernikahan kita?" tanyanya dengan suara parau.

Tangannya terlihat mengepal. Itu adalah cara pemuda itu menyalurkan amarah agar tak meledak.

Sintya terlihat menarik napas dalam-dalam kemudian mendongak dan menatap Nabil dengan tatapan datar.

"Maaf, Mas, aku ... aku mencintai orang lain," jawab Sintya dengan terbata-bata.

"Maaf, Pak Thariq, acaranya mau dilanjut atau bagaimana? Saya masih ada tugas menikahkan orang lain," tanya Pak penghulu pada Thariq yang sejak tadi hanya diam membisu.

 "Kita tanya dulu anaknya," jawab Thariq, kemudian ia menoleh ke arah Nabil dan Sintya secara bergantian.

"Bil, Sin, bagaimana? Apa acara ini mau dilanjut?" tanyanya denga suara datar.

Kedua alis Rina tertaut kala melihat ke arah wajah laki-laki di sampingnya. Dia merasa aneh karena tak melihat sedikitpun keterkejutan di wajah Thariq, seakan suaminya itu sudah tahu bahwa Sintya memang akan membatalkan pernikahan.

"Sintya, sekali lagi aku tanyakan padamu, apa kamu benar-benar akan membatalkan pernikahan kita ini?" Nabil bertanya lagi. Sintia kembali menunduk sambil meremas jari-jemarinya.

 "I-iya, Mas. Maaf, saya tak sanggup melanjutkan."

Setelah mendengar jawaban Sintya, Nabil memejamkan mata sebentar sambil mengatur napasnya.

"Baiklah, jika itu keputusanmu, saya tak akan memaksa. Pak penghulu, acara ini batal, kalau Bapak ingin melanjutkan tugas di acara lain, silakan! Saya permisi."

Setelah Nabil berpamitan, ia langsung membalikkan badannya dan bergegas menuju kamarnya. Begitu juga dengan Sintya, gadis berusia 20 tahun itu pun bermaksud pergi begitu saja meninggalkan para tamu dalam kebingungan, juga Rina dalam kehancuran dan rasa malu yang tak mungkin dia sembunyikan.

Dengan sekuat tenaga, Ardina berusaha tetap tenang, meski dadanya serasa sesak. Dia ingin sekali menarik gadis itu dan memakinya, tetapi tentu saja itu tak mungkin dia lakukan. Mana mungkin dia akan bertindak kekanak-kanakkan dan mengamuk di tengah kerumunan para tamu undangan.

"Bu, ibu duduk dulu!" seru Bu Mira, ART-Dina. Bu Mira memapah Dina dan mendudukkan majikannya di kursi, di antara para tamu.

"Tunggu! Sintya, mau ke mana kamu?" teriak Fitra dengan wajah memerah. Anak kedua Dina itu sepertinya tak sanggup lagi menahan emosinya. Fitra mengejar Sintya dan menarik tangannya, "enak saja kamu mau pergi begitu saja, kamu itu keterlaluan, kalau kamu gak cinta sama Kak Nabil, ngapain kamu nerima? Kenapa kamu gak nolak dari sebelumnya?" lanjutnya sambil menunjuk-nunjuk ke wajah Sintya.

"Fitra, cukup! apa yang kamu lakukan? Jangan keterlaluan kamu! Biarkan dia pergi ke kamarnya!" sentak Thariq sambil menyusul ke arah Fitra yang kini mengalihkan pandangannya ke arah ayahnya.

"Pah, apa yang Papa katakan? kenapa Papa selalu saja membela Sintya? Papa gak adil!"

Fitra melampiaskan kekesalannya sambil melangkah pergi meninggalkan Thariq dan Sintya. Fitra sama sekali tak paham apa yang ada di pikiran ayahnya, yang selalu membela Sintya.

Sintya adalah putri dari sahabat Thariq, ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan. Sebelum mereka meninggal, Ayah Sintya menitipkannya pada Thariq. Thariq pun membawa Sintya ke rumahnya. Sejak itu, sikap Thariq sedikit demi sedikit berubah. Ia lebih mementingkan Sintya dari pada anaknya sendiri, Fitra.

"Sin, kamu pergi ke kamar saja," ujar Thariq pada Sintya yang dijawab dengan anggukan. Setelahnya, ia pun pergi begitu saja tanpa berpamitan pada Dina dan yang lainnya. Sementara Thariq sendiri, kini mendekati istrinya dan mengelus pundak Rina yang masih terlihat syok.

Para tamu undangan yang kebingungan melihat keadaan mereka, kini satu per satu mendekat ke arah Dina dan Thariq.

"Bu Dina, Pak Thariq, yang sabar, ya! In sha Allah Nabil akan mendapat ganti yang lebih baik. Kami permisi dulu," ucap salah seorang tetangga sambil menyalami Rina, disusul para tamu lain.

 Dina pun menjawab dengan senyum yang dipaksakan. "Iya, Bu. Terima kasih."

Setelah semua tamu pergi, Thariq mulai berbicara. "Kamu yang sabar ya, mungkin Nabil memang bukan jodoh Sintya. Kita harus menerima itu dengan lapang dada," ucapnya enteng. Seakan tak ada sedikit pun rasa kecewa di hatinya terhadap Sintya. Hal itu, tentu membuat Dina semakin heran.

"Saya terima semua ini, tapi kenapa dia baru ungkapin semuanya saat akad akan diucapkan? Apa dia sama sekali tak menghargai kita?" Rina meracau tak terima dengan sikap Sintya, tapi, lagi dan lagi, Thariq malah berusaha membela Sintya sehingga membuat hati Dina makin hancur.

"Sudahlah, Din! kenapa kamu bersikap kekanak-kanakkan. kamu jangan khawatir, Nabil pasti mendapat jodoh yang lebih baik dari Sintya," kilah Thariq membela Sintya.

"Terserah Mas, Mas memang keterlaluan, Saya gak paham sama Mas. Mas berubah sejak kedatangan Sinta," pungkas Dina sambil bangkit berdiri kemudian pergi meninggalkan suaminya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Petaka Puber Kedua   Pov Thariq

    (Pov Thariq)Mentari terlihat sudah menguning pertanda senja sudah tiba. Sepulang dari kantor, aku langsung pulang ke rumah Sintya, tetapi aku tiba-tiba teringat sikap Dina yang tak biasanya. Ada rasa bersalah menggelayuti hati. Mungkinkah Dina kecewa padaku karena selama dua bulan ini, aku selalu mengacuhkannya."Sin, Mas pulang ke rumah Dina dulu, ya?" ucapku pada Sintya yang disambut oleh sikap juteknya. "Mas ini kan baru datang ke sini, kok, udah mau pergi?" "Sin, Mas gak enak hati sama Dina. Sejak nikah sama kamu kan Mas gak pernah pulang sore, Mas selalu pulang malam. Mas gak mau menjadi orang yang tak adil," terangku pada istri manjaku itu. Sintya terlihat mencebik dan memanyunkan bibirnya, membuatku kembali merasa bimbang, sikap lucu dan manjanya ini lah yang selalu membuatku tak berdaya dan akhirnya selalu menuruti keingananya.Aku terus berusaha membujuknya sampai ia pun akhirnya setuju dengan syarat, aku harus kembali setelah magrib. Karena tak mau ribut, aku pun menyetuj

  • Petaka Puber Kedua   Keanehan Nabil

    Mas Thariq yang mendapat pertanyaan dari anak gadisnya itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Ya Allah, sepertinya Mas Thariq benar-benar sudah kehilangan semua rasa cintanya padaku."Tentu saja Papa akan terus mencintai Mama dan akan terus setia sama Mama, iya kan? Karena kalau sampai Papa tak setia, Papa akan berhadapan dengan anak-anak Papa," timpal Nabil sambil memandang ayahnya dengan pandangan tajam. Entah apa yang terjadi dengan anak ini.Mendengar ancaman Nabil itu, wajah Mas Thariq berubah pias. "Sudahlah, sekarang Mama dan Papa harus pergi ke Gunung sebelum senja, biar kita di sana menyaksikan matahari tenggelam," leraiku sambil menarik tangan suamiku. Aku sengaja menyelamatkan Mas Thariq dari anak-anaknya Agar wibawanya tak jatuh di depan mereka.Sebelum kami pergi, aku meninggalkan ponsel Mas Thariq di bawah ranjang dan mematikannya terlebih dahulu.Setibanya di Gunung Pancar, kami segera menyewa kemah dan memasangnya. Ada rasa bahagia di hati ini mengingat kami akan mela

  • Petaka Puber Kedua   Menggali Sisa Cinta

    Nasehat Khadijah terus saja terngiang di telingaku. Ya, dia benar, aku harus berusaha pertahankan pernikahanku. Aku tak boleh menyerah hanya karena anak kecil itu. Usai aku meyakinkan diri, aku pun pergi ke sebuah salon kecantikan dan mulai melaksanakan saran Khadijah untuk mengubah penampilanku agar lebih fresh. Aku juga membeli beberapa baju yang warnanya lebih cerah dan model yang lebih sesuai dengan fashion yang kekinian. Setelah menjalani berbagai ritual perawatan, aku pun bergegas pulang. "Assalamu alaikum." Aku menyapa Fitra yang sedang duduk bersama Ibrahim di ruang tamu."Alaikum salam, Ma sya Allah, Mama! Mama cantik banget!" seru Fitra menyambut kedatanganku."Duh, emangnya kemaren-kemaren Mamah gak cantik, ya?" "Cantik, dong, tapi sekarang lebih cantik," sahut Ibrahim sambil berhambur memelukku.Kami pun tertawa lepas, sampai-sampai kami tak mendengar ada orang lain masuk."Assalamu alaikum," sapa seseorang yang ternyata Mas Thariq. Entah kenapa laki-laki itu datang

  • Petaka Puber Kedua   Nasehat Terindah

    Langit terlihat begitu cerah, matahari pun bersinar dengan terang, tak ada sedikit pun mendung yang menghiasi. Kendaraan yang kutumpangi terus melaju menuju sebuah Pesantren yang terletak di luar kota Jakarta. Aku sengaja meminta izin pada suamiku dan anak-anak untuk pergi mengunjungi sahabatku di Ponpes yang ia tempati. Sebuah Ponpes yang terletak di Kota Bogor."Assalamu alaikum," sapaku ketika berada di gerbang pesantren. "Alaikum salam," jawab seorang laki-laki penjaga gerbang. Aku dipersilakan masuk ke dalam Pesantren. Sebuah Pesantren yang khusus untuk Dzuafa dan anak yatim. Suami Khodijah adalah seorang Ustadz yang benar-benar ingin mendedikasikan ilmunya untuk berdakwah di jalan Allah. "Ma sya Allah, Nur, kamu udah datang, ayo masuk!" sambut Khadijah dengan penuh keramahan. Dia dan keluargaku memang selalu memanggilku Nur, bukan Dina seperti Mas Thariq memanggilku.Khadijah mengajakku ke tempat anak-anak yang sedang belajar. Aku sengaja membawakan hadiah untuk anak-a

  • Petaka Puber Kedua   Pov Dina

    (Dina)Malam semakin larut, usai aku mengerjakan tugas kantor, aku tetap duduk di ruang kerjaku. Akhir-akhir ini, aku memang sengaja menghindar dari Mas Thariq. Aku tak sanggup melihat wajah laki-laki itu ketika dia di sampingku, tetapi dia pokus berchat ria bersama istri barunya. Aku lelah terus diam begini, tetapi jika aku berbicara, dan melampiaskan amarahku, aku khawatir keluargaku akan terpecah dan anak-anakku akan kehilangan sosok ayah. Apalagi Nabil, dia pasti sangat terluka, kalau sampai dia tahu, ayahnya sendiri sudah menikungnya dan menikahi perempuan yang dia cintai.Aku menghela napas sambil tetap emnatap laptop ku yang masih menyala. Entah kenapa aku tiba-tiba penasaran dengan isi chat suamiku dengan Sintya. Karena aku gegas membuka ponselku yang khusus aku gunakan untuk menyadap wa suamiku. Dengan penuh keraguan, aku membuka chat Mas Thariq dengan Sintya. Aku membaca chat yang hari ini saja. Kubaca kalimat demi kalimat yang Mas Thariq tulis, hingga akhirnya aku memba

  • Petaka Puber Kedua   Terlena

    Hari demi hari berlalu, entah kenapa aku semakin merasa nyaman berada di rumah Sintya. Setiap hari aku memang pulang ke rumah dan tidur di samping Dina, tapi perasaan ini semakin terasa hambar.Kalau saja aku tak menghargainya, mungkin aku tak akan pulang ke rumah. Meski Dina selama ini tak pernah berpenampilan kusut, tapi entah kenapa rasa di hati ini seakan sudah pudar dan yang ada hanya ingin menghargainya saja.Meski aku berada di samping Dina, hati dan mataku terus saja dipenuhi oleh bayang wajah Sintya, karenanya aku sering menghabiskan waktu dengan mengechat istri keduaku itu sebelum aku tidur.Dua bulan berlalu, selama itu aku sama sekali tak menyentuh Dina. Keberadaan Sintya seakan mendominasi semua ruang di hati dan seluruh jiwa ragaku. Karenanya, saat bersama Dina, gairahku seakan hilang. Yang ada di hati ini hanya rasa segan dan ingin menghargainya sebagai ibu dari anak-anakku. Pernah suatu malam, Dina berdandan rapi, dengan make up dan memakai gaun tak berlengan."Ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status