LOGIN(POV; Thariq)Aku menatap nanar ke arah tanganku yang tadi melayang ke pipi putra sulungku. Aku sungguh merasa menjadi ayah yang tak berguna, aku sudah menghianatinya, kini aku juga memukul fisiknya.Jika Dina tahu, dia pasti tak akan memaafkanku. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sekarang? "Mas, Mas gak apa-apa?" tanya Sintya sambil mengguncang tanganku dan menyadarkanku dari lamunanku. Aku pun menoleh ke arahnya dengan tatapan sendu."Mas gak apa-apa, tapi Mas takut sekali sekarang. Nabil pasti akan memberi tahu ibunya, dan ... dan Dina pasti marah pada Mas," jawabku. Sintya terlihat tak suka dengan jawabanku."Apa Mas segitunya memikirkan Tante Dina? Kenapa sih Mas itu cuma mikirin Tante Dina?" teriak Sintiya seraya berlalu menuju mobil kemudian masuk ke dalam mobil dengan membanting pintu dengan keras.Aku tak mau ambil pusing dengan sikapnya, karenanya aku hanya diam membisu tak meladeninya. Pikiranku kini hanya tertuju pada Dina dan anak-anak kami. Tak bisa kubayangkan j
Setelah kami sampai di Jakarta, aku pun gegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Usai itu, aku pun langsung pergi ke rumah Sintya. "Assalamu alaikum. Sin, kamu di mana?" Sambil memanggilnya, aku langsung memasuki kamar kami, tapi tak kutemukan Sintya di sana. "Bu Yanti, Mbak Sintya mana?" tanyaku pada ART yang sengaja kugaji untuk menemani Sintya. "Eh, Bapak, udah pulang? Mbak Sintya dari pagi pergi ke Tangerang, katanya mau ziarah ke makam orang tuanya," terang Bu Yanti. "Ya Allah, dia pasti marah sama saya, ya Bu?" "Hmm, iya, Pak. Dari kemaren, Mbak Sintya uring-uringan terus karena Bapak gak datang-datang." Mendengar penjelasan Bu Yanti, aku pun gegas menyambar kunci mobilku dan langsung melesat pergi ke Tangerang untuk menyusul istri kesayanganku itu. Rasa bersalah dan cemas pun berbaur menjadi satu. Aku yakin dia marah padaku. Setelah hampir dua jam diperjalanan, akhirnya aku tiba di TPU tempat Almarhum ayah dan ibu Sintya dikuburkan. Benar saja, ku
Aku gegas menemui Sintya yang kini terlihat merajuk. Aku pun berusaha menghiburnya hingga membuatnya kembali ceria. Beberapa jam kami mengobrol, akhirnya dia membuatku terlena dengan manisnya madu yang ia suguhkan. Aku lupa dengan janjiku pada Dina untuk pulang cepat. "Ya Allah, sudah jam 3 malam, aku belum pulang. Dina pasti makin kecewa," gumamku di saat aku terbangun dan menyadari bahwa aku masih ada di rumah Sintya. "Sin, Mas pulang dulu, ya! Mas gak mau Dina curiga!" pamitku pada Sintya yang tertidur sambil memelukku. Dia menggeliat manja dan merengek memintaku tetap tinggal. Dia terus merajuk manja sehingga membuatku melemah dan akhirnya tetap tinggal di sisinya sampai pagi tiba. Keesokan harinya, aku langsung bergegas pulang ke rumah Dina. "Papa, kok, Papa barusan dari luar, emangnya Papa dari mana?" tanya Fitra menyambutku. Dia dan Ibrahim terlihat sedang bersiap-siap pergi. "Pa, kami mau ke puncak, ayo ikut Pa! nanti Kak Nabil juga nyusul, biar kita barengan, ya,
(Pov Thariq)Mentari terlihat sudah menguning pertanda senja sudah tiba. Sepulang dari kantor, aku langsung pulang ke rumah Sintya, tetapi aku tiba-tiba teringat sikap Dina yang tak biasanya. Ada rasa bersalah menggelayuti hati. Mungkinkah Dina kecewa padaku karena selama dua bulan ini, aku selalu mengacuhkannya."Sin, Mas pulang ke rumah Dina dulu, ya?" ucapku pada Sintya yang disambut oleh sikap juteknya. "Mas ini kan baru datang ke sini, kok, udah mau pergi?" "Sin, Mas gak enak hati sama Dina. Sejak nikah sama kamu kan Mas gak pernah pulang sore, Mas selalu pulang malam. Mas gak mau menjadi orang yang tak adil," terangku pada istri manjaku itu. Sintya terlihat mencebik dan memanyunkan bibirnya, membuatku kembali merasa bimbang, sikap lucu dan manjanya ini lah yang selalu membuatku tak berdaya dan akhirnya selalu menuruti keingananya.Aku terus berusaha membujuknya sampai ia pun akhirnya setuju dengan syarat, aku harus kembali setelah magrib. Karena tak mau ribut, aku pun menyetuj
Mas Thariq yang mendapat pertanyaan dari anak gadisnya itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Ya Allah, sepertinya Mas Thariq benar-benar sudah kehilangan semua rasa cintanya padaku."Tentu saja Papa akan terus mencintai Mama dan akan terus setia sama Mama, iya kan? Karena kalau sampai Papa tak setia, Papa akan berhadapan dengan anak-anak Papa," timpal Nabil sambil memandang ayahnya dengan pandangan tajam. Entah apa yang terjadi dengan anak ini.Mendengar ancaman Nabil itu, wajah Mas Thariq berubah pias. "Sudahlah, sekarang Mama dan Papa harus pergi ke Gunung sebelum senja, biar kita di sana menyaksikan matahari tenggelam," leraiku sambil menarik tangan suamiku. Aku sengaja menyelamatkan Mas Thariq dari anak-anaknya Agar wibawanya tak jatuh di depan mereka.Sebelum kami pergi, aku meninggalkan ponsel Mas Thariq di bawah ranjang dan mematikannya terlebih dahulu.Setibanya di Gunung Pancar, kami segera menyewa kemah dan memasangnya. Ada rasa bahagia di hati ini mengingat kami akan mela
Nasehat Khadijah terus saja terngiang di telingaku. Ya, dia benar, aku harus berusaha pertahankan pernikahanku. Aku tak boleh menyerah hanya karena anak kecil itu. Usai aku meyakinkan diri, aku pun pergi ke sebuah salon kecantikan dan mulai melaksanakan saran Khadijah untuk mengubah penampilanku agar lebih fresh. Aku juga membeli beberapa baju yang warnanya lebih cerah dan model yang lebih sesuai dengan fashion yang kekinian. Setelah menjalani berbagai ritual perawatan, aku pun bergegas pulang. "Assalamu alaikum." Aku menyapa Fitra yang sedang duduk bersama Ibrahim di ruang tamu."Alaikum salam, Ma sya Allah, Mama! Mama cantik banget!" seru Fitra menyambut kedatanganku."Duh, emangnya kemaren-kemaren Mamah gak cantik, ya?" "Cantik, dong, tapi sekarang lebih cantik," sahut Ibrahim sambil berhambur memelukku.Kami pun tertawa lepas, sampai-sampai kami tak mendengar ada orang lain masuk."Assalamu alaikum," sapa seseorang yang ternyata Mas Thariq. Entah kenapa laki-laki itu datang







