Share

Perubahan Thariq

Author: Maunah-Muflih
last update Last Updated: 2025-09-04 03:56:19

Di luar, matahari semakin condong ke arah barat. Azan Asar telah berkumandang. Nur Ardina mengajak ketiga anaknya, Nabil dan Fitra juga Ibrahim untuk salat berjamaah.

Dia menghamparkan sajadah dengan penuh kehusyuan. Wanita itu selalu mengarahkan ketiga anaknya agar selalu mendekatkan diri pada Sang Pencipta dengan doa dan tilawah agar mengurangi penatnya hati.

"Nabil, bagaimana keadaanmu?" tanyanya pada putra sulungnya setelah mereka selesai salat berjamaah.

"Mama harap, kejadian ini tak akan membuat kamu putus asa. Percayalah, apa yang Allah ambil, itu akan diganti dengan yang lebih baik," lanjutnya.

Nabil terlihat menghela napas sambil berusaha tersenyum lembut. Pemuda itu berusaha tetap tenang meski hatinya dipenuhi rasa kecewa yang mendalam. "Nabil gak apa-apa, Ma. Setelah ini, Nabil akan mendaftar untuk melanjutkan kuliah S2 ke London, semoga Mama mengizinkan," jawab Nabil sambil mengelus tangan ibunya.

Ardina pun tersenyum bangga pada anak sulungnya. Dia merasa lega karena Nabil tak terpengaruh oleh musibah yang menimpanya. "In sya Allah, Mama pasti mengizinkan. Semoga kamu mendapat yang terbaik. Mama bangga sama kamu, Nak!" ucap Dina seraya memeluk si sulung dengan tangis haru.

Belum selesai mereka berbincang, dari arah pintu terdengar suara orang mengucap salam.

"Assalamualaikum, Tante," ucap orang itu yang tak lain adalah Sintya. Mereka menoleh ke arah Sintya. Rina kembali dibuat heran saat melihat Thariq berjalan beriringan dengan gadis itu.

"Alaikum salam, ada apa, Sin?" Ardina menjawab salam Sintya. Meski hatinya hancur, tapi dia tetap berusaha untuk tidak marah dan tetap membiarkan Sintya tinggal di rumahnya.

"Saya mau pamitan, Tante. Saya mau ngontrak aja, Tan," jawab Sintya setelah berada di depan Dina.

"Kenapa kamu mau pergi? Saya gak akan mengusir kamu. Meski kamu sudah mengecewakan saya, tapi saya tak sejahat itu. Jadi, silakan tetap di sini. Toh, Nabil juga akan pergi ke luar negeri," ungkap Dina dengan tulus.

Sayangnya, dia tak tahu bahwa ketulusannya itu malah dibalas dengan penghianatan.

"Biarkan saja, Din. Mungkin Sintya mau mandiri. Jadi, biarkan dia pergi dari rumah ini," sahut Thariq sambil duduk di sebelah istrinya.

Dina pun menoleh ke arah laki-laki itu dan menatapnya dengan pandangan heran. Dia heran kenapa kali ini suaminya malah mendukung Sintya pergi dari rumah ini, padahal selama ini Thariq selalu bersikukuh meminta anak-anaknya dan juga istrknya agar tetap respect pada Sintya dan tetap membiarkan dia tinggal di sini bersama mereka.

"Hmm, baiklah, jika itu yang kamu inginkan, Tante akan izinkan. Yang penting kamu tidak menganggap bahwa Tante yang mengusir kamu," jawab Dina sambil memandang ke arah Sintya dan suaminya secara bergantian. Hati wanita itu mencelos melihat sikap dua orang di depannya yang terlihat saling pandang. Mata Dinaa sempat melihat Sintya melirik ke arah Thariq, begitu juga Thariq sempat mencuri pandang pada gadis di hadapannya itu.

Seminggu berlalu, tadinya Dina mengira dengan kepergian gadis itu, suasana di rumahnya akan kembali tenang seperti sebelum Sintya hadir di rumahnya, tetapi ternyata dugaannya salah.

Setelah kepergian Sintya, dia justru melihat sikap suaminya terlihat semakin aneh. Biasanya Thariq setiap hari selalu pulang tepat waktu, tapi akhir-akhir ini suaminya sering pulang malam.

Apa lagi saat ini, dia malah berpamitan akan keluar kota, dengan alasan untuk menghadiri seminar kepenulisan.

Thariq memang mempunyai perusahaan penerbitan dan selalu mengadakan event kepenulisan, tapi selalu diadakan secara online dan ditangani oleh karyawannya.

"Dina, Mas ada undangan seminar kepenulisan di kota Bandung. Nanti Mas akan menginap dua hari," ungkap Thariq sambil mengeluarkan pakainnya dari lemari.

"Kok, tumben Mas. Biasanya kan selalu online?" tanya Ardina menyelidik.

"Ya, namanya juga diundang, Din. Ya, Mas nerima aja, cuma dua hari dn itu juga di hari libur, kan?"

Thariq terus berkilah sehingga akhirnya Rina diam dan terpaksa mengiyakan.

Karena tak mau ribut, Ardina terpaksa menelan semua rasa penasaran yang menggelitik hatinya.

Rasa penasaran yang kini berubah menjadi sebuah ketakutan ketika dia melihat tingkah Thariq yang terlihat sangat aneh.

Sebelum berangkat, Thariq terlihat beberapa kali mematut dirinya di depan cermin, berkaca dan memeriksa penampilannya sendiri, persis seperti tingkah Nabil ketika dia akan melangsungkan akad.

"Pah, Papa mau kemana, dandan rapih begitu? bawa koper pula," tanya Fitra ketika melihat ayahnya turun dari tangga. Laki-laki itu terlihat tersenyum dan mendekati anak-anaknya yang kini berkerumun di depannya.

"Papa pamit ya, Papa mau ke Bandung ngadiri undangan seminar," jawab Thariq sambil mengulurkan tangannya agar disalami oleh anak-anaknya.

"Ouh, apa mama ikut juga?" tanya Ibrahim menimpali ayahnya.

"Gak lah, kan Mama kalian kerja, iya kan, Din?" Thariq malah mengalihkan jawaban pada Ardina. Rina pun hanya menjawab dengan senyum simpul.

"Ya udah, Papa pergi ya," ucap Mas Thariq sambil menggeret kopernya keluar. Dia bahkan lupa untuk berpamitan pada sang istri . Biasanya, kalau laki-laki itu akan pergi ke luar kota, Tharìq akan memeluk Rina sebelum pergi. Namun, kali ini dia benar-benar lupa pada istrinya.

Keesokan harinya, Rina merasakan sebuah kegelisahan yang tak biasa. Kegelisahan yang membuat dia berkeinginan memantau gerak-gerik suaminya. Karena dorongan itu, dia pun membuka sosmed dan melihat-lihat postingan Thariq di akun pribadinya.

Di laman sosmed itu, biasanya Tharìq memposting kegiatannya. Ia memposting acara seminar yang ia hadiri. Rina pun bernapas lega, karena ternyata suaminya tidak berbohong. Namun, rasa lega itu hanya berlangsung sebentar, dan berubah menjadi sebuah rasa heran ketika dia melihat wajah yang tak asing di antara orang yang menghadiri seminar itu.

"Sintya? Kok, ini seperti Sintya?" Dina bergumam sendiri sambil melihat dengan seksama ke arah video yang diunggah Thariq. "Kenapa Mas Thariq mengajak Sintya? Dan, itu ... Sintya menggandeng tangan Mas Thariq dengan mesra begitu. Apa-apa an ini?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Petaka Puber Kedua   Pov Thariq

    (Pov Thariq)Mentari terlihat sudah menguning pertanda senja sudah tiba. Sepulang dari kantor, aku langsung pulang ke rumah Sintya, tetapi aku tiba-tiba teringat sikap Dina yang tak biasanya. Ada rasa bersalah menggelayuti hati. Mungkinkah Dina kecewa padaku karena selama dua bulan ini, aku selalu mengacuhkannya."Sin, Mas pulang ke rumah Dina dulu, ya?" ucapku pada Sintya yang disambut oleh sikap juteknya. "Mas ini kan baru datang ke sini, kok, udah mau pergi?" "Sin, Mas gak enak hati sama Dina. Sejak nikah sama kamu kan Mas gak pernah pulang sore, Mas selalu pulang malam. Mas gak mau menjadi orang yang tak adil," terangku pada istri manjaku itu. Sintya terlihat mencebik dan memanyunkan bibirnya, membuatku kembali merasa bimbang, sikap lucu dan manjanya ini lah yang selalu membuatku tak berdaya dan akhirnya selalu menuruti keingananya.Aku terus berusaha membujuknya sampai ia pun akhirnya setuju dengan syarat, aku harus kembali setelah magrib. Karena tak mau ribut, aku pun menyetuj

  • Petaka Puber Kedua   Keanehan Nabil

    Mas Thariq yang mendapat pertanyaan dari anak gadisnya itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Ya Allah, sepertinya Mas Thariq benar-benar sudah kehilangan semua rasa cintanya padaku."Tentu saja Papa akan terus mencintai Mama dan akan terus setia sama Mama, iya kan? Karena kalau sampai Papa tak setia, Papa akan berhadapan dengan anak-anak Papa," timpal Nabil sambil memandang ayahnya dengan pandangan tajam. Entah apa yang terjadi dengan anak ini.Mendengar ancaman Nabil itu, wajah Mas Thariq berubah pias. "Sudahlah, sekarang Mama dan Papa harus pergi ke Gunung sebelum senja, biar kita di sana menyaksikan matahari tenggelam," leraiku sambil menarik tangan suamiku. Aku sengaja menyelamatkan Mas Thariq dari anak-anaknya Agar wibawanya tak jatuh di depan mereka.Sebelum kami pergi, aku meninggalkan ponsel Mas Thariq di bawah ranjang dan mematikannya terlebih dahulu.Setibanya di Gunung Pancar, kami segera menyewa kemah dan memasangnya. Ada rasa bahagia di hati ini mengingat kami akan mela

  • Petaka Puber Kedua   Menggali Sisa Cinta

    Nasehat Khadijah terus saja terngiang di telingaku. Ya, dia benar, aku harus berusaha pertahankan pernikahanku. Aku tak boleh menyerah hanya karena anak kecil itu. Usai aku meyakinkan diri, aku pun pergi ke sebuah salon kecantikan dan mulai melaksanakan saran Khadijah untuk mengubah penampilanku agar lebih fresh. Aku juga membeli beberapa baju yang warnanya lebih cerah dan model yang lebih sesuai dengan fashion yang kekinian. Setelah menjalani berbagai ritual perawatan, aku pun bergegas pulang. "Assalamu alaikum." Aku menyapa Fitra yang sedang duduk bersama Ibrahim di ruang tamu."Alaikum salam, Ma sya Allah, Mama! Mama cantik banget!" seru Fitra menyambut kedatanganku."Duh, emangnya kemaren-kemaren Mamah gak cantik, ya?" "Cantik, dong, tapi sekarang lebih cantik," sahut Ibrahim sambil berhambur memelukku.Kami pun tertawa lepas, sampai-sampai kami tak mendengar ada orang lain masuk."Assalamu alaikum," sapa seseorang yang ternyata Mas Thariq. Entah kenapa laki-laki itu datang

  • Petaka Puber Kedua   Nasehat Terindah

    Langit terlihat begitu cerah, matahari pun bersinar dengan terang, tak ada sedikit pun mendung yang menghiasi. Kendaraan yang kutumpangi terus melaju menuju sebuah Pesantren yang terletak di luar kota Jakarta. Aku sengaja meminta izin pada suamiku dan anak-anak untuk pergi mengunjungi sahabatku di Ponpes yang ia tempati. Sebuah Ponpes yang terletak di Kota Bogor."Assalamu alaikum," sapaku ketika berada di gerbang pesantren. "Alaikum salam," jawab seorang laki-laki penjaga gerbang. Aku dipersilakan masuk ke dalam Pesantren. Sebuah Pesantren yang khusus untuk Dzuafa dan anak yatim. Suami Khodijah adalah seorang Ustadz yang benar-benar ingin mendedikasikan ilmunya untuk berdakwah di jalan Allah. "Ma sya Allah, Nur, kamu udah datang, ayo masuk!" sambut Khadijah dengan penuh keramahan. Dia dan keluargaku memang selalu memanggilku Nur, bukan Dina seperti Mas Thariq memanggilku.Khadijah mengajakku ke tempat anak-anak yang sedang belajar. Aku sengaja membawakan hadiah untuk anak-a

  • Petaka Puber Kedua   Pov Dina

    (Dina)Malam semakin larut, usai aku mengerjakan tugas kantor, aku tetap duduk di ruang kerjaku. Akhir-akhir ini, aku memang sengaja menghindar dari Mas Thariq. Aku tak sanggup melihat wajah laki-laki itu ketika dia di sampingku, tetapi dia pokus berchat ria bersama istri barunya. Aku lelah terus diam begini, tetapi jika aku berbicara, dan melampiaskan amarahku, aku khawatir keluargaku akan terpecah dan anak-anakku akan kehilangan sosok ayah. Apalagi Nabil, dia pasti sangat terluka, kalau sampai dia tahu, ayahnya sendiri sudah menikungnya dan menikahi perempuan yang dia cintai.Aku menghela napas sambil tetap emnatap laptop ku yang masih menyala. Entah kenapa aku tiba-tiba penasaran dengan isi chat suamiku dengan Sintya. Karena aku gegas membuka ponselku yang khusus aku gunakan untuk menyadap wa suamiku. Dengan penuh keraguan, aku membuka chat Mas Thariq dengan Sintya. Aku membaca chat yang hari ini saja. Kubaca kalimat demi kalimat yang Mas Thariq tulis, hingga akhirnya aku memba

  • Petaka Puber Kedua   Terlena

    Hari demi hari berlalu, entah kenapa aku semakin merasa nyaman berada di rumah Sintya. Setiap hari aku memang pulang ke rumah dan tidur di samping Dina, tapi perasaan ini semakin terasa hambar.Kalau saja aku tak menghargainya, mungkin aku tak akan pulang ke rumah. Meski Dina selama ini tak pernah berpenampilan kusut, tapi entah kenapa rasa di hati ini seakan sudah pudar dan yang ada hanya ingin menghargainya saja.Meski aku berada di samping Dina, hati dan mataku terus saja dipenuhi oleh bayang wajah Sintya, karenanya aku sering menghabiskan waktu dengan mengechat istri keduaku itu sebelum aku tidur.Dua bulan berlalu, selama itu aku sama sekali tak menyentuh Dina. Keberadaan Sintya seakan mendominasi semua ruang di hati dan seluruh jiwa ragaku. Karenanya, saat bersama Dina, gairahku seakan hilang. Yang ada di hati ini hanya rasa segan dan ingin menghargainya sebagai ibu dari anak-anakku. Pernah suatu malam, Dina berdandan rapi, dengan make up dan memakai gaun tak berlengan."Ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status