LOGINDi luar, matahari semakin condong ke arah barat. Azan Asar telah berkumandang. Nur Ardina mengajak ketiga anaknya, Nabil dan Fitra juga Ibrahim untuk salat berjamaah.
Dia menghamparkan sajadah dengan penuh kehusyuan. Wanita itu selalu mengarahkan ketiga anaknya agar selalu mendekatkan diri pada Sang Pencipta dengan doa dan tilawah agar mengurangi penatnya hati. "Nabil, bagaimana keadaanmu?" tanyanya pada putra sulungnya setelah mereka selesai salat berjamaah. "Mama harap, kejadian ini tak akan membuat kamu putus asa. Percayalah, apa yang Allah ambil, itu akan diganti dengan yang lebih baik," lanjutnya. Nabil terlihat menghela napas sambil berusaha tersenyum lembut. Pemuda itu berusaha tetap tenang meski hatinya dipenuhi rasa kecewa yang mendalam. "Nabil gak apa-apa, Ma. Setelah ini, Nabil akan mendaftar untuk melanjutkan kuliah S2 ke London, semoga Mama mengizinkan," jawab Nabil sambil mengelus tangan ibunya. Ardina pun tersenyum bangga pada anak sulungnya. Dia merasa lega karena Nabil tak terpengaruh oleh musibah yang menimpanya. "In sya Allah, Mama pasti mengizinkan. Semoga kamu mendapat yang terbaik. Mama bangga sama kamu, Nak!" ucap Dina seraya memeluk si sulung dengan tangis haru. Belum selesai mereka berbincang, dari arah pintu terdengar suara orang mengucap salam. "Assalamualaikum, Tante," ucap orang itu yang tak lain adalah Sintya. Mereka menoleh ke arah Sintya. Rina kembali dibuat heran saat melihat Thariq berjalan beriringan dengan gadis itu. "Alaikum salam, ada apa, Sin?" Ardina menjawab salam Sintya. Meski hatinya hancur, tapi dia tetap berusaha untuk tidak marah dan tetap membiarkan Sintya tinggal di rumahnya. "Saya mau pamitan, Tante. Saya mau ngontrak aja, Tan," jawab Sintya setelah berada di depan Dina. "Kenapa kamu mau pergi? Saya gak akan mengusir kamu. Meski kamu sudah mengecewakan saya, tapi saya tak sejahat itu. Jadi, silakan tetap di sini. Toh, Nabil juga akan pergi ke luar negeri," ungkap Dina dengan tulus. Sayangnya, dia tak tahu bahwa ketulusannya itu malah dibalas dengan penghianatan. "Biarkan saja, Din. Mungkin Sintya mau mandiri. Jadi, biarkan dia pergi dari rumah ini," sahut Thariq sambil duduk di sebelah istrinya. Dina pun menoleh ke arah laki-laki itu dan menatapnya dengan pandangan heran. Dia heran kenapa kali ini suaminya malah mendukung Sintya pergi dari rumah ini, padahal selama ini Thariq selalu bersikukuh meminta anak-anaknya dan juga istrknya agar tetap respect pada Sintya dan tetap membiarkan dia tinggal di sini bersama mereka. "Hmm, baiklah, jika itu yang kamu inginkan, Tante akan izinkan. Yang penting kamu tidak menganggap bahwa Tante yang mengusir kamu," jawab Dina sambil memandang ke arah Sintya dan suaminya secara bergantian. Hati wanita itu mencelos melihat sikap dua orang di depannya yang terlihat saling pandang. Mata Dinaa sempat melihat Sintya melirik ke arah Thariq, begitu juga Thariq sempat mencuri pandang pada gadis di hadapannya itu. Seminggu berlalu, tadinya Dina mengira dengan kepergian gadis itu, suasana di rumahnya akan kembali tenang seperti sebelum Sintya hadir di rumahnya, tetapi ternyata dugaannya salah. Setelah kepergian Sintya, dia justru melihat sikap suaminya terlihat semakin aneh. Biasanya Thariq setiap hari selalu pulang tepat waktu, tapi akhir-akhir ini suaminya sering pulang malam. Apa lagi saat ini, dia malah berpamitan akan keluar kota, dengan alasan untuk menghadiri seminar kepenulisan. Thariq memang mempunyai perusahaan penerbitan dan selalu mengadakan event kepenulisan, tapi selalu diadakan secara online dan ditangani oleh karyawannya. "Dina, Mas ada undangan seminar kepenulisan di kota Bandung. Nanti Mas akan menginap dua hari," ungkap Thariq sambil mengeluarkan pakainnya dari lemari. "Kok, tumben Mas. Biasanya kan selalu online?" tanya Ardina menyelidik. "Ya, namanya juga diundang, Din. Ya, Mas nerima aja, cuma dua hari dn itu juga di hari libur, kan?" Thariq terus berkilah sehingga akhirnya Rina diam dan terpaksa mengiyakan. Karena tak mau ribut, Ardina terpaksa menelan semua rasa penasaran yang menggelitik hatinya. Rasa penasaran yang kini berubah menjadi sebuah ketakutan ketika dia melihat tingkah Thariq yang terlihat sangat aneh. Sebelum berangkat, Thariq terlihat beberapa kali mematut dirinya di depan cermin, berkaca dan memeriksa penampilannya sendiri, persis seperti tingkah Nabil ketika dia akan melangsungkan akad. "Pah, Papa mau kemana, dandan rapih begitu? bawa koper pula," tanya Fitra ketika melihat ayahnya turun dari tangga. Laki-laki itu terlihat tersenyum dan mendekati anak-anaknya yang kini berkerumun di depannya. "Papa pamit ya, Papa mau ke Bandung ngadiri undangan seminar," jawab Thariq sambil mengulurkan tangannya agar disalami oleh anak-anaknya. "Ouh, apa mama ikut juga?" tanya Ibrahim menimpali ayahnya. "Gak lah, kan Mama kalian kerja, iya kan, Din?" Thariq malah mengalihkan jawaban pada Ardina. Rina pun hanya menjawab dengan senyum simpul. "Ya udah, Papa pergi ya," ucap Mas Thariq sambil menggeret kopernya keluar. Dia bahkan lupa untuk berpamitan pada sang istri . Biasanya, kalau laki-laki itu akan pergi ke luar kota, Tharìq akan memeluk Rina sebelum pergi. Namun, kali ini dia benar-benar lupa pada istrinya. Keesokan harinya, Rina merasakan sebuah kegelisahan yang tak biasa. Kegelisahan yang membuat dia berkeinginan memantau gerak-gerik suaminya. Karena dorongan itu, dia pun membuka sosmed dan melihat-lihat postingan Thariq di akun pribadinya. Di laman sosmed itu, biasanya Tharìq memposting kegiatannya. Ia memposting acara seminar yang ia hadiri. Rina pun bernapas lega, karena ternyata suaminya tidak berbohong. Namun, rasa lega itu hanya berlangsung sebentar, dan berubah menjadi sebuah rasa heran ketika dia melihat wajah yang tak asing di antara orang yang menghadiri seminar itu. "Sintya? Kok, ini seperti Sintya?" Dina bergumam sendiri sambil melihat dengan seksama ke arah video yang diunggah Thariq. "Kenapa Mas Thariq mengajak Sintya? Dan, itu ... Sintya menggandeng tangan Mas Thariq dengan mesra begitu. Apa-apa an ini?"(POV; Thariq)Aku menatap nanar ke arah tanganku yang tadi melayang ke pipi putra sulungku. Aku sungguh merasa menjadi ayah yang tak berguna, aku sudah menghianatinya, kini aku juga memukul fisiknya.Jika Dina tahu, dia pasti tak akan memaafkanku. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sekarang? "Mas, Mas gak apa-apa?" tanya Sintya sambil mengguncang tanganku dan menyadarkanku dari lamunanku. Aku pun menoleh ke arahnya dengan tatapan sendu."Mas gak apa-apa, tapi Mas takut sekali sekarang. Nabil pasti akan memberi tahu ibunya, dan ... dan Dina pasti marah pada Mas," jawabku. Sintya terlihat tak suka dengan jawabanku."Apa Mas segitunya memikirkan Tante Dina? Kenapa sih Mas itu cuma mikirin Tante Dina?" teriak Sintiya seraya berlalu menuju mobil kemudian masuk ke dalam mobil dengan membanting pintu dengan keras.Aku tak mau ambil pusing dengan sikapnya, karenanya aku hanya diam membisu tak meladeninya. Pikiranku kini hanya tertuju pada Dina dan anak-anak kami. Tak bisa kubayangkan j
Setelah kami sampai di Jakarta, aku pun gegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Usai itu, aku pun langsung pergi ke rumah Sintya. "Assalamu alaikum. Sin, kamu di mana?" Sambil memanggilnya, aku langsung memasuki kamar kami, tapi tak kutemukan Sintya di sana. "Bu Yanti, Mbak Sintya mana?" tanyaku pada ART yang sengaja kugaji untuk menemani Sintya. "Eh, Bapak, udah pulang? Mbak Sintya dari pagi pergi ke Tangerang, katanya mau ziarah ke makam orang tuanya," terang Bu Yanti. "Ya Allah, dia pasti marah sama saya, ya Bu?" "Hmm, iya, Pak. Dari kemaren, Mbak Sintya uring-uringan terus karena Bapak gak datang-datang." Mendengar penjelasan Bu Yanti, aku pun gegas menyambar kunci mobilku dan langsung melesat pergi ke Tangerang untuk menyusul istri kesayanganku itu. Rasa bersalah dan cemas pun berbaur menjadi satu. Aku yakin dia marah padaku. Setelah hampir dua jam diperjalanan, akhirnya aku tiba di TPU tempat Almarhum ayah dan ibu Sintya dikuburkan. Benar saja, ku
Aku gegas menemui Sintya yang kini terlihat merajuk. Aku pun berusaha menghiburnya hingga membuatnya kembali ceria. Beberapa jam kami mengobrol, akhirnya dia membuatku terlena dengan manisnya madu yang ia suguhkan. Aku lupa dengan janjiku pada Dina untuk pulang cepat. "Ya Allah, sudah jam 3 malam, aku belum pulang. Dina pasti makin kecewa," gumamku di saat aku terbangun dan menyadari bahwa aku masih ada di rumah Sintya. "Sin, Mas pulang dulu, ya! Mas gak mau Dina curiga!" pamitku pada Sintya yang tertidur sambil memelukku. Dia menggeliat manja dan merengek memintaku tetap tinggal. Dia terus merajuk manja sehingga membuatku melemah dan akhirnya tetap tinggal di sisinya sampai pagi tiba. Keesokan harinya, aku langsung bergegas pulang ke rumah Dina. "Papa, kok, Papa barusan dari luar, emangnya Papa dari mana?" tanya Fitra menyambutku. Dia dan Ibrahim terlihat sedang bersiap-siap pergi. "Pa, kami mau ke puncak, ayo ikut Pa! nanti Kak Nabil juga nyusul, biar kita barengan, ya,
(Pov Thariq)Mentari terlihat sudah menguning pertanda senja sudah tiba. Sepulang dari kantor, aku langsung pulang ke rumah Sintya, tetapi aku tiba-tiba teringat sikap Dina yang tak biasanya. Ada rasa bersalah menggelayuti hati. Mungkinkah Dina kecewa padaku karena selama dua bulan ini, aku selalu mengacuhkannya."Sin, Mas pulang ke rumah Dina dulu, ya?" ucapku pada Sintya yang disambut oleh sikap juteknya. "Mas ini kan baru datang ke sini, kok, udah mau pergi?" "Sin, Mas gak enak hati sama Dina. Sejak nikah sama kamu kan Mas gak pernah pulang sore, Mas selalu pulang malam. Mas gak mau menjadi orang yang tak adil," terangku pada istri manjaku itu. Sintya terlihat mencebik dan memanyunkan bibirnya, membuatku kembali merasa bimbang, sikap lucu dan manjanya ini lah yang selalu membuatku tak berdaya dan akhirnya selalu menuruti keingananya.Aku terus berusaha membujuknya sampai ia pun akhirnya setuju dengan syarat, aku harus kembali setelah magrib. Karena tak mau ribut, aku pun menyetuj
Mas Thariq yang mendapat pertanyaan dari anak gadisnya itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Ya Allah, sepertinya Mas Thariq benar-benar sudah kehilangan semua rasa cintanya padaku."Tentu saja Papa akan terus mencintai Mama dan akan terus setia sama Mama, iya kan? Karena kalau sampai Papa tak setia, Papa akan berhadapan dengan anak-anak Papa," timpal Nabil sambil memandang ayahnya dengan pandangan tajam. Entah apa yang terjadi dengan anak ini.Mendengar ancaman Nabil itu, wajah Mas Thariq berubah pias. "Sudahlah, sekarang Mama dan Papa harus pergi ke Gunung sebelum senja, biar kita di sana menyaksikan matahari tenggelam," leraiku sambil menarik tangan suamiku. Aku sengaja menyelamatkan Mas Thariq dari anak-anaknya Agar wibawanya tak jatuh di depan mereka.Sebelum kami pergi, aku meninggalkan ponsel Mas Thariq di bawah ranjang dan mematikannya terlebih dahulu.Setibanya di Gunung Pancar, kami segera menyewa kemah dan memasangnya. Ada rasa bahagia di hati ini mengingat kami akan mela
Nasehat Khadijah terus saja terngiang di telingaku. Ya, dia benar, aku harus berusaha pertahankan pernikahanku. Aku tak boleh menyerah hanya karena anak kecil itu. Usai aku meyakinkan diri, aku pun pergi ke sebuah salon kecantikan dan mulai melaksanakan saran Khadijah untuk mengubah penampilanku agar lebih fresh. Aku juga membeli beberapa baju yang warnanya lebih cerah dan model yang lebih sesuai dengan fashion yang kekinian. Setelah menjalani berbagai ritual perawatan, aku pun bergegas pulang. "Assalamu alaikum." Aku menyapa Fitra yang sedang duduk bersama Ibrahim di ruang tamu."Alaikum salam, Ma sya Allah, Mama! Mama cantik banget!" seru Fitra menyambut kedatanganku."Duh, emangnya kemaren-kemaren Mamah gak cantik, ya?" "Cantik, dong, tapi sekarang lebih cantik," sahut Ibrahim sambil berhambur memelukku.Kami pun tertawa lepas, sampai-sampai kami tak mendengar ada orang lain masuk."Assalamu alaikum," sapa seseorang yang ternyata Mas Thariq. Entah kenapa laki-laki itu datang







