Di sang hari yang panas tersebut, Leo urung tidur siang bersama istri pertamanya setelah membaca pesan di gawai itu. Leo cepat-cepat memakai baju dan memastikan mata Vania masih menutup. Wanita yang ia sayang itu tidak boleh tahu ia meninggalkan kamar. ‘’Kau menipuku? Sebenarnya kau di mana?’’ Leo bertanya beruntun setelah mengecek ke luar rumah dan tidak menemukan wanita yang di dalam pesan mengatakan sedang berada di kediamannya. ‘’Saya salah ketik.’’ Apa dia serius? Leo menahan kesal mendengar kalimat polos Valerie. Seperti mendapatkan syok terapi. ‘’Sekarang kau di mana?’’ Kekesalannya masih belum hilang. Leo berkata keras sampai Valerie harus menjauhkan gawai dari telinga. ‘’Saya di luar. Sedang berbelanja.’’ ‘’Bukankah sudah ku bilang jangan menghubungi bila tidak penting?’’ Susu ibu hamil di depan mata urung ia raih. Sebegitu terganggunya kah Leo dengan pesan typo tersebut? Padahal ia ingin mengetikkan ”saya sudah makan’’ dan mengirimkannya pada Inah. ‘’Maaf, Mas. S
Hari itu, dengan penerbangan yang sama namun di kelas yang berbeda, Vania, Leo dan Valerie berangkat dari Kalimantan menuju Jakarta. Valerie di kelas ekonomi sementara suami istri itu tersebut di kelas bisnis.Leo mengatur segalanya agar Valerie tidak bertemu dengan Vania. Termasuk dengan membuat Valerie mengenakan hijab dan juga masker agar tidak dikenali oleh siapapun. Terutama istrinya.Perjalanan memakan waktu kurang lebih dua jam dan untuk sampai ke rumah duka sekitar empat puluh lima menit dari bandara. Valerie tiba belakangan menggunakan taksi sedangkan Leo dan Vania sudah sampai lebih awal karena dijemput oleh Pak Sena.Tepat pukul tiga sore, kembali Valerie menginjakkan kaki di rumah yang pergi maupun pulang membuat air mata Valerie berlinang. Keluarga dan kerabat dekat berbisik-bisik satu sama lain dan memandanginya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seolah Valerie adalah orang asing yang tak seharusnya hadir. Inah menjadi satu-satunya orang yang menyambutnya dengan langs
‘’Halo, Valerie,’’ Telepon dari sahabat Valerie nan jauh di Solo. Layar gawai berkedip tak lama setelah ia duduk. Dengan suara yang dibuat ceria Valerie berdehem untuk mengatur suara sebelum menyapa. ‘’Delia. Kamu apa kabar?’’ sapanya. ‘’Aku baik. Tapi aku tahu kamu enggakkan, Val? Maaf ya aku jauh. Gak bisa menemani kamu di saat-saat seperti ini.’’ Delia tidak berbasa-basi. Valerie mengerti. Jarak menjadi penghalang niat Delia. ‘’Tidak apa-apa. Terimakasih sudah meneleponku.’’ ‘’Aku turut berduka,’’ ujar Delia. ‘’Aku dengar apa yang terjadi sama kamu, Val.’’ Deg. Sontak jantung Valerie berdegup resah. Kabar yang mana yang didengar Delia? Ia yang hamil di luar nikah atau ia yang menjadi penyebab meninggalnya Mahendra? ‘’Maksud kamu apa, Del?’’ Valerie berpura-pura. ‘’Aku tahu dari Vania. Kabar papa kamu dan kamu yang…’’ Seperti tau akan menyakiti hati Valerie, Delia enggan melanjutkan. Dia memang sahabat yang baik. Tapi teganya Vania membocorkan aibnya pada orang lain. ‘’
Selepas keributan di kamar Valerie, ada yang berbeda dari sikap Leo. Biasanya Leo akan mengirimkan uang di tanggal lima. Tapi sudah tanggal tujuh pun tidak ada uang masuk ke rekening Valerie. Leo sepertinya marah. Banyak kebutuhan untuk ibu mengandung. Walau jumlahnya tak banyak dan hanya lima juta, tapi Valerie sangat butuh. Lalu kemana lima puluh juta setiap bulan yang seperti Leo janjikan? Valerie tidak mau uang sebanyak itu. Jadi Leo hanya memberi sekedarnya. Catat. Sekedarnya! Mungkin Vania yang mendapatkan uang belanja sebesar itu. Bisa jadi lebih. Valerie kerap bolak-balik ke rumah sakit. Rutin mengkonsumsi susu serta vitamin khusus ibu hamil. Untuk alasan itulah Valerie mencari cara untuk bicara dengan Leo empat mata. ‘’Aku perlu uang. Kebutuhan untuk bayiku sudah habis.’’ Begitu yang Valerie katakan pada Leo di teras belakang. ‘’Baik. Aku akan membelikannya.’’ ‘’Apa tidak bisa bila kamu memberikan saja uang itu padaku, Mas? Biar aku yang belanja sendiri.’’ ‘’Bukannya
Dari jendela yang sengaja di singkap tirainya, Valerie lagi-lagi melihat pemandangan yang sebenarnya sangat sejuk untuk di pandang mata. Leo membukakan pintu mobil untuk Vania. Lalu mencuri sebuah ciuman sebagai balas jasa atas pekerjaan memasang seatbelt dan menutup pintu untuk ratu Vania. Mata Valerie seperti ingin berair. Andai dialah istri pertama dan Vania yang jadi madunya, pastilah ia akan menarik rambut wanita berparas cantik itu sekarang juga. ‘’Non Valerie kok di sini?’’ ‘’Eh?’’ Kehadiran Inah membuat Valerie buru-buru menghapus matanya yang basah. ‘’Mengagetkan saja.’’Tapi Inah hanya cengengesan. Dia tidak bisa melakukannya bila itu Vania. ‘’Nyonya Vira lagi teriak-teriak. Saya cari-cari Non Vania tapi tidak ketemu.’’‘’Mbak Van lagi pergi sama Mas Leo. Biar saya saja yang nenangin mama.’’ Tidak ada yang berubah dari Valerie. Dia masihlah anak yang penyayang meski tak lagi mendapatkan kasih sayang dari Vira.Tiga bulan terlewati, rumah terasa lebih sepi terlebih setela
Melihat gadis itu tampak malu-malu saat membuka gaun tidur, darah Leo langsung berdesir. Lekuk indah tubuh istri keduanya itu ia amati dengan jelas meski di tengah gelapnya kamar.Hati memang mencintai Vania, tapi melihat dada Valerie yang membusung, sudah tak tertutup apapun, membuat Leo gelap mata. Apalagi Valerie mendesah pasrah menerima sentuhan-sentuhan dirinya. Keduanya dimabuk birahi. Hingga tanpa sadar suara erangan dan kenikmatan tak hanya mengisi kamar Valerie. Apalagi ranjang juga berderit nyaring. Yang ternyata membangunkan seseorang di rumah itu.‘’Biadab kalian berdua.’’Valerie dan Leo terkejut. Vania sudah berada di ambang pintu.‘’Sayang!’’‘’Tega kamu, Mas!’’ pekikan Vania mengguncang Leo saat itu juga. Leo bangkit dari ranjang. Mendorong tubuh telanjang Valerie begitu saja. Ingin mendekati Vania, tapi…‘’Mas, bangun!’’Leo membuka mata. Lampu sudah terang saat ia melihat Vania di sebelahnya. Terlihat khawatir.Astaga. Syukurlah itu hanya mimpi. Gumam Leo dalam hat
‘’Sayang, apa tidak bisa kita bawa saja mama ke Kalimantan?’’ Vania merengek. ‘’Aku sudah bicara dengan mama pelan-pelan. Tapi setiap aku bilang kita harus tinggalin rumah ini, mama langsung histeris. Aku gak mau ambil resiko.’’ Vania mendengus pasrah di mana Leo masih sibuk mengurus pekerjaan lewat gawainya. Tidak berada di tempat di mana ia bekerja membuat fokus Leo terpecah. Jadi hari ini Leo harus kembali ke Kalimantan dan berada di sana untuk beberapa hari ke depan. ‘’Kalau begitu aku ikut, ya?’’ Vania memeluk Leo dari belakang. ‘’Tidak perlu, Sayang. Kamu di sini saja. Aku yakin kamu lebih senang berada di sekitar mama.’’ ‘’Ya sudah kalau begitu aku masukin baju kamu dulu ke dalam koper,’’ balasnya pasrah yang sekarang bergegas melepaskan pelukan. ‘’Jangan banyak-banyak. Seperlunya aja.’’ Vania mengangguk lemah. Entahlah, tiba-tiba perasaannya tak karuan melepas kepergian Leo. Rasanya seperti tidak rela. ‘’Aku mau pamit sama mama dulu.’’ Leo berkata sambil berlalu meni
‘’Sayang kamu pulang?’’ Vania berlarian menuruni tangga. Wanita itu sengaja tidak tidur demi menunggu kepulangan Leo.Vania merangsek, memeluk Leo yang sangat ia rindukan. Tapi…‘’Sayang?’’ tegur Vania menyadari tak mendapat pelukan balasan. Tatkala ia menengadah, raut wajah Leo terlihat marah dengan pandangan yang tertuju ke ruang tamu. Pada sosok laki-laki yang sekarang sedang menggenggam erat kedua tangan Valerie. ‘’Oh ada Nathan ya,’’ Vania berujar ramah. Nathan menganggukkan kepala, tersenyum. Menyapa hangat bersopan santun.Jangan heran dengan sikap Vania yang terlihat sangat bersahabat. Di depan orang lain, Vania selalu bersikap layaknya seorang kakak yang menyayangi sang adik. ‘’Valerie, ajak Nathan ngobrol dong, jangan berdiri aja kaya patung.’’‘’Iya, Mbak,’’ jawab Valerie kikuk. Ada perasaan bersalah yang sekarang sedang mendiami diri Valerie saat tak sengaja bertautan pandang dengan Leo.‘’Sayang kamu bawa oleh-oleh banyak banget,’’ Dilihatnya Pak Sena menurunkan paper ba