Rose mendengarkan musik klasik dengan earphone sepanjang perjalanan menuju kantor. Ia tidak ingin mengatakan sesuatu yang akan menyinggung Denzel. Rose ingin hubungannya dengan pria itu tetap hangat layaknya kakak dan adik.
Sementara Denzel lebih memilih fokus pada kemudinya. Ia berusaha mempercepat laju mobil agar segera tiba di tempat tujuan. Sungguh baru kali ini suasana terasa sangat canggung bagi mereka berdua."Nona kita sudah sampai," kata Denzel masuk ke area parkir.Rose mengangguk kecil sambil melepas earphone dari telinganya. Ia menunggu Denzel selesai memarkirkan mobil lalu mereka keluar bersama."Daddy, nanti tolong bawakan laporan perkembangan proyek apartemen Raffles Tower. Aku ingin memeriksanya.""Baik, Nona."Sebenarnya Rose ingin sesekali mengunjungi lokasi proyek untuk melakukan peninjauan secara langsung, namun Denzel melarangnya. Ia tidak ingin kehadiran Rose terlalu mencolok dan mengundang kecurigaan di kalangan pekerja.Rose memakai kaca mata minusnya lalu mengikuti Denzel memasuki gedung Brown Crop. Beberapa karyawan yang berpapasan dengan Denzel mengucapkan salam kepada asisten CEO tersebut. Mereka tahu bahwa pria inilah yang sekarang berkuasa menjalankan perusahaan. Sedangkan untuk Rose, mereka tidak terlalu menghiraukannya. Gadis itu jarang sekali terlihat di kantor. Dari penampilannya yang biasa saja, mereka mengira Rose sekedar karyawan magang atau staf level bawah yang akan dipekerjakan Denzel.Denzel mendahului Rose masuk ke dalam lift khusus CEO. Ia menekan tombol angka sepuluh lalu bersandar pada dinding lift. Lift merayap dengan lambat ke atas hingga terdengar suara berdenting.Denzel mendahului Rose keluar dari lift dan berjalan menyusuri koridor. Mereka berhenti di sebuah pintu kayu besar dengan plakat emas. Denzel mengeluarkan kunci dari sakunya lalu membuka pintu tersebut untuk Rose."Silakan, Nona."Ruangan besar itu terbagi menjadi dua. Satu ruangan yang luas untuk Rose dan di sebelahnya terdapat ruang kerja yang dipakai Denzel. Telpon di kedua ruangan itu pun tersambung untuk memudahkan mereka berkomunikasi."Saya ambilkan dulu berkas yang Nona butuhkan.""Iya, terima kasih. Aku akan memeriksa laporan keuangan," kata Rose menutup pintu.Sebelum bekerja, Rose memandang foto ayahnya yang ada di meja. Tak terasa matanya berkaca-kaca. Setelah penantian sekian lama ia baru mengetahui siapa ayah kandungnya ketika maut telah menjemput. Sungguh miris. Rasanya ingin sekali bisa memeluk Louis Brown dan memanggilnya "Daddy". Melepaskan kerinduan akan sosok ayah sebagai tempatnya bersandar. Sayang sekali semua itu tinggallah impian.Rose meletakkan foto itu dan memilih tenggelam dalam pekerjaannya. Memeriksa banyak laporan memberikan tantangan tersendiri bagi Rose hingga ia lupa waktu. Mungkin sifat ini diturunkan oleh mendiang ayahnya yang terkenal sebagai pria pekerja keras.Karena terlalu asyik bekerja, Rose sampai tidak menyadari jika Denzel telah masuk ke ruangannya. Pria itu meletakkan tiga buah file di meja. Ia duduk di hadapan Rose sambil memperhatikan ekspresi wajah gadis itu."Ada yang ingin Nona tanyakan?"Rose menggeleng pelan."Belum ada. Aku justru ingin berterima kasih karena laba perusahaan kita meningkat dua kali lipat dibandingkan trwilan sebelumnya. Oh ya, ini surat perjanjian dengan Grand Corp yang sudah aku tanda tangani," ujar Rose menyerahkan dokumen ke tangan Denzel."Sebentar Nona, ada telpon masuk."Dengan cepat Denzel mengangkat gagang telpon di ujung meja Rose."Halo, Eve, ada apa?"Denzel terdiam beberapa saat, mendengarkan apa yang disampaikan oleh sekretarisnya. Mimik wajahnya berubah serius seolah mendapatkan berita yang sangat penting."Baik, aku akan menyambutnya," kata Denzel menutup telpon."Daddy, apa yang terjadi?" tanya Rose mencari tahu."Nona, Tuan Max dari Grand Corp datang untuk meminta surat kontrak kerja sama. Saya akan menemuinya dulu.""Baik, Daddy, temui saja Tuan Max. Pekerjaanku disini masih banyak. Tidak perlu mencemaskan aku.""Saya permisi dulu, Nona."Dengan langkah lebar, Denzel membawa dokumen di tangannya lalu melangkah pergi.Rose kembali memusatkan perhatiannya pada pekerjaan. Namun konsentrasinya terpecah karena mendengar dering telpon untuk kedua kalinya.Semula Rose merasa ragu, tapi akhirnya ia menerima panggilan tersebut."Halo, Brown Group, selamat siang," sapa Rose ramah."Selamat siang, siapa ini? Apa Tuan Denzel ada?" terdengar suara merdu Trisha, resepsionis kantor Brown Group."Saya Rose, sekretaris magang. Tuan Denzel baru saja turun untuk menemui perwakilan Grand Corp," jawab Rose tenang. Ia telah terbiasa menggunakan identitas sekretaris sebagai bentuk penyamaran di kantor milik ayahnya."Maaf, Nona Rose saya hanya ingin memberitahukan bahwa di bawah ada pria bernama Luke Brown. Dia memaksa ingin bertemu dengan Miss Black dan Tuan Denzel. Saya tidak bisa mencegahnya naik ke lantai sepuluh karena dia mengaku sebagai putranya Tuan Louis.""Luke Brown?" tanya Rose mengernyitkan dahi.Wajah Rose memucat. Denzel pernah mengatakan bahwa ayahnya mengadopsi seorang anak laki-laki dari panti asuhan, karena istri sahnya tidak dapat memberikan keturunan. Mungkinkah Luke yang datang ini adalah anak angkat ayahnya? Tapi selama ini Luke tidak mempedulikan bagian harta yang diwariskan kepadanya. Bahkan Rose belum pernah sekalipun bertemu dengan pria itu. Kenapa sekarang Luke tiba-tiba mencarinya setelah tujuh tahun menghilang tanpa kabar?"Iya, Nona. Mungkin sebentar lagi dia akan sampai di ruang CEO," jawab Trisha memberikan informasi.Perut Rose mendadak terasa mulas. Jujur ia tidak tahu bagaimana harus bersikap kepada Luke Brown. Tapi Rose teringat pesan dari Denzel ketika pertama kali dia datang ke perusahaan."Jika ada staf atau manajer bertanya, Nona bisa menjawab bahwa Nona adalah sekretaris magang untuk Miss Black. Saya sudah menyiapkan identitas penyamaran Nona dalam database karyawan."Perkataan Denzel membuat Rose tenang. Denzel sangat sigap mengantisipasi semua kemungkinan yang ada, termasuk untuk kejadian tak terduga semacam ini. Dan kini ia akan menggunakan cara yang diajarkan Denzel untuk menghadapi Luke.Rose mematikan laptop dan membereskan berkas di mejanya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dengan tergesa-gesa ia keluar dari ruangan CEO. Namun tanpa sengaja ia malah membentur tubuh tegap seorang pria di ambang pintu.Sontak Rose terkejut dan mendongak ke atas. Matanya beradu pandang dengan bola mata berwarna hazel. Aroma parfum musk dari pria ini sampai tercium oleh hidung Rose karena jarak mereka yang begitu dekat."Maaf, Tuan," gumam Rose tidak enak hati.Bukannya menerima permintaan maaf Rose, pria ini malah balik menatapnya penuh selidik."Siapa namamu? Kenapa berada di ruangan CEO?" tanyanya sinis.Rose berusaha tetap tenang. Pria di hadapannya ini masih muda dan memiliki ketampanan di atas rata-rata. Namun pembawaannya terlihat angkuh dan dingin. Sekali melihatnya Rose bisa menebak bahwa pria ini adalah Luke Brown."Saya Rose, sekretaris magang.""Sekretaris magang? Kenapa sekretaris magang diizinkan berkeliaran sendiri di ruangan CEO? Bukankah peraturan di Brown Group sangat ketat?" tanya Luke tidak percaya."Tuan Denzel yang menyuruh saya bekerja disini karena saya akan menjadi sekretaris untuk Miss Black."Luke maju mendekat sambil memicingkan matanya."Kamu akan menjadi sekretaris Miss Black, artinya kamu pernah bertemu wanita itu. Katakan dimana dia? Aku Luke Brown, saudara angkatnya ingin bertemu dengannya.""Saya belum pernah bertemu Miss Black, Tuan. Saya hanya ditugaskan Tuan Denzel untuk merapikan ruangan dan membantu mengerjakan beberapa tugas," jawab Rose mencari alasan."Mustahil kamu tidak pernah melihatnya. Aku heran kenapa dia menyembunyikan diri dari orang-orang. Apa dia takut aku akan merampas bagian warisannya?" tanya Luke menekan Rose."Soal itu saya tidak tahu. Tuan bisa menanyakan langsung pada Tuan Denzel setelah Beliau selesai meeting. Silakan Tuan tunggu disini," kata Rose menunjukkan kursi sofa di dalam ruangan.Rose hampir berhasil mengelabuhi Luke, sayangnya ia melupakan satu hal. Rose tidak menyingkirkan cangkir teh yang tadi diminumnya. Dan sialnya mata tajam Luke menangkap keganjilan itu."Cangkir siapa itu yang di atas meja CEO? Apa milik Miss Black?" tanya Luke curiga."Bukan, Tuan, itu...cangkirnya Tuan Denzel. Dia minta dibuatkan teh sebelum pergi meeting."Luke maju mendekat dan mengangkat cangkir itu hingga sebatas mata."Kalau ini milik Denzel artinya dia sudah bertindak di luar batas. Dia bukan CEO atau pemilik perusahaan tapi berani menggunakan fasilitas di ruangan ini. Aku harus memberikan peringatan padanya."Seulas senyuman tercetak di sudut bibir Luke. Ia meletakkan gelas itu sambil mengetuk meja dengan jemarinya."Sayang sekali kamu tidak pandai berbohong, Nona Rose. Di gelas ini ada noda merah bekas lipstik. Yang meminumnya pastilah seorang wanita dan satu-satunya wanita di ruangan ini hanya kamu.""Kamu sudah bertindak lancang sebagai seorang sekretaris dengan minum di meja CEO. Atau jangan-jangan...kamu adalah...Miss Black," ucap Luke menatap tajam pada Rose.Sebastian membisikkan sesuatu ke telinga Luke. Kemudian ia memberi isyarat pada asistennya untuk melepaskan ikatan Denzel. "Baiklah, Peter, kita akan barter. Bebaskan Rose, Tuan Josh, dan Franky. Aku akan membebaskan Denzel." "Tidak bisa, aku akan menukar Rose dengan Denzel. Sedangkan kedua pria ini akan kulepaskan setelah kalian membiarkan aku dan putraku pergi." "Luke, turuti saja kemauannya. Yang terpenting Rose selamat," bisik Sebastian. Luke pun mengangguk. Ia berjalan dan menghampiri Denzel lalu menahan tubuh pria itu. "Aku hitung sampai lima. Kita sama-sama melepaskan mereka!" tegas Luke. Rose yang berada dalam genggaman Peter hanya bisa pasrah. Ia berharap dapat kembali secepatnya ke sisi Luke. Namun ketika bersitatap dengan Denzel, Rose menundukkan kepala. Ia merasa sangat bersalah melihat kondisi Denzel yang memprihatinkan. Apalagi sebagian wajahnya memar karena terkena bekas pukulan. Sebaliknya Denzel menatap nanar kepada Rose dan ayahnya. Hatinya sudah membeku sampa
Saat Rose turun ke bawah, ia melihat kondisi kediaman Gonzalez yang sangat lengang. Entah kemana semua orang saat ini. Sang suami dan mertuanya juga tidak ada, hanya ada empat orang pengawal yang berjaga-jaga di depan pintu."Nyonya, Anda mau kemana?" tanya salah seorang pengawal di kediaman Gonzalez. Rose tidak tahu nama-nama para pengawal itu sehingga ia bingung harus memberi jawaban apa."Maaf, Tuan, kemana Luke?" tanya Rose mencoba mencari tahu."Nama saya Franky, Nyonya. Tuan Muda dan Tuan Besar keluar rumah karena ada urusan penting. Sebaiknya Anda kembali ke kamar," jawabnya. Ia tidak mengatakan kemana Luke pergi sesuai dengan perintah dari Tuan Besarnya.Rose yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka. Terlebih Luke sengaja meninggalkan ponselnya di kamar sehingga ia tidak bisa dihubungi. Padahal Rose tidak bisa menunda lagi untuk segera membebaskan sang paman. Rose pun memberanikan diri untuk meminta tolong pada pria kekar bernama Franky itu."Franky, bisa aku minta tol
"Siapa kalian?" tanya Denzel bersiap merogoh pistol yang terselip di pinggangnya. Ia memang selalu membawa senjata untuk berjaga-jaga. Sialnya salah satu orang yang mengepungnya ternyata lebih waspada. Ia segera mengacungkan pistol ke arah Denzel."Buang senjatamu dan angkat tangan sekarang!!! Jika tidak, aku akan langsung menembakkan peluru ini ke kepalamu!" serunya dengan suara menggelegar.Karena tidak punya pilihan, Denzel terpaksa menurut. Ia membuang pistol miliknya ke tanah lalu menatap sengit orang-orang yang mengepungnya."Coba saja tangkap aku jika kalian berani! Tapi jangan menyesal bila setelahnya kalian semua akan mati secara mengenaskan. Kalian pasti sudah tahu siapa aku," tantang Denzel. Dilihat dari gerak-geriknya, jelas sudah bahwa orang-orang ini adalah bagian dari kelompok mafia. Hanya saja Denzel belum mengetahui secara pasti nama organisasi mereka.Beberapa dari mereka tertawa terbahak mendengar ancaman Denzel. "Kamu yang belum tahu siapa kami. Bahkan ayahmu pas
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
"Ini kamu, Rose?" tanya Gwen menggoyangkan lengan Rose. Ia bahkan menyuruh Rose berputar untuk meyakinkan bahwa yang di hadapannya ini adalah sahabatnya, bukan makhluk jadi-jadian."Tentu saja ini aku, Gwen," jawab Rose tenang."Tapi aku baru saja ke kamarmu dan kamu tidak ada.""Benar, Rose. Kami baru akan ke danau Blue Stone untuk mencarimu," timpal Suster Mary.Karena telah membuat semua orang panik, Rose pun memberikan penjelasan."Maafkan saya, Suster. Tadi pagi-pagi sekali saya pergi ke salon untuk mempersiapkan diri."Gwen memanyunkan bibirnya karena kecewa dengan pengakuan Rose."Padahal aku susah payah bangun pagi untuk meriasmu, ternyata kamu malah ke salon. Dan gaun cantik ini, dari mana kamu mendapatkannya?""Maafkan aku, Gwen. Aku berpikir lebih baik ke salon supaya tidak merepotkanmu. Gaun ini juga pihak salon yang menyediakan.""Kalau begitu kita masuk ke aula saja. Tuan Denzel pasti datang sebentar lagi," ucap Suster Mary menggandeng tangan Rose.Sepanjang jalan menuju