Setelah Sonya pergi, Denzel mendapat panggilan video dari anak buahnya. Mereka memperlihatkan bagaimana mobil milik Luke terbakar karena dilalap kobaran api. Denzel merasa puas. Sejauh ini semua usahanya melenyapkan Luke berjalan dengan lancar. Hanya saja ia belum tenang sebelum melihat mayat Luke dengan mata kepalanya sendiri. "Apa kalian sudah memeriksa isi mobil itu sebelum membakarnya?" "Sudah Tuan. Kami berhasil menemukan dompet dan identitas Luke Brown. Seperti perintah Anda, kami meletakkan mayat orang lain dan sengaja meninggalkan dompet Luke Brown di dekat lokasi. Mereka pasti mengira dia meninggal dalam peristiwa kebakaran itu." "Kerja kalian sangat bagus. Lalu apa kalian sudah menemukan mayat Luke Brown yang asli?" "Maaf, Tuan, kami sudah menyusuri sekitar lokasi tapi tidak berhasil menemukannya. Kemungkinan besar mayat Luke telah dibawa oleh orang lain." Denzel menghembuskan napas kasar sebelum mengakhiri percakapan itu. "Sekarang cepat tinggalkan lokasi sebelum ada
"Dimana Rose?" tanya Denzel kepada Benjamin yang berjaga di depan pintu."Nyonya ada di dalam, Tuan."Denzel bergegas masuk ke mansion. Ia melihat Rose duduk dengan mata sembap di sudut sofa. Di sebelahnya ada Esme yang memijat kaki Rose. Esme langsung bergeser dari posisinya ketika Denzel datang."Nona, saya sudah mendengar tentang kecelakaan mobil yang dialami Luke.""Aku yakin dia belum meninggal, Daddy," ucap Rose dengan tatapan kosong.Denzel mendekat kepada Rose sambil memegang tangannya."Tabahlah, Nona. Jika Nona ingin memastikan mayat yang ditemukan polisi itu bukan Luke, kita harus pergi ke rumah sakit. Saya akan menemani Nona."Seolah mendapat kekuatan baru, Rose bangkit berdiri. Perkataan Denzel memang benar. Ia tidak boleh hanya meratapi suaminya tapi harus segera mengambil tindakan. Lagipula hati kecilnya mengatakan bahwa Luke masih hidup dan akan kembali padanya.Melihat Rose begitu terpukul, Denzel bermaksud menggandeng tangan Rose keluar dari mansion. Tapi Rose sudah
Seolah tuli, Rose tidak mendengarkan panggilan pamannya. Ia menaiki dua anak tangga sekaligus lalu masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil biola. Denzel hendak menyusul Rose tapi Josh segera melarangnya."Tuan Denzel biarkan saja Rose melakukan apa yang dia mau. Konser biola itu sangat penting untuknya. Mungkin dengan hadir di acara itu, kesedihan Rose bisa sedikit berkurang.""Tapi dalam kondisinya sekarang, dia bisa pingsan di atas panggung. Lagipula Luke sudah meninggal, dia tidak mungkin muncul," jawab Denzel cemas."Sebaiknya kita temani saja Rose sebagai bentuk dukungan kita kepadanya. Besok kita laksanakan upacara pemakaman Luke."Denzel menarik napas panjang sambil mengangguk. Cukup lama mereka menunggu di ruang tamu, hingga akhirnya Rose turun. Mereka semua terkesiap melihat perubahan pada diri Rose. Wanita muda itu tampak begitu cantik dengan gaun berwarna putih dan rambut yang diikat dengan pita senada. Rose memang merias wajahnya dengan make up tebal untuk menghapus semua
Pria paruh baya itu segera menekan tombol berwarna merah untuk memanggil dokter pribadinya. Tak berselang lama, dua orang pria dan satu wanita masuk ke dalam ruangan. Mereka adalah dokter, perawat, dan asisten pria itu. "Dokter, cepat periksa putra saya. Baru saja dia memanggil nama istrinya. Mungkin dia akan sadar," ujar pria itu penuh harap. "Baik, Tuan Sebastian." Pria bernama Sebastian itu menjauh dari ranjang pasien dan berdiri di samping asistennya. Dengan cemas, ia mengamati bagaimana dokter memeriksa putra tunggalnya. "Maaf, Tuan Sebastian, Tuan Luke belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Menurut saya, lebih baik kita pindahkan dia ke rumah sakit pusat yang peralatannya lebih lengkap. Dengan begitu Tuan Luke akan...." "Dokter, sudah saya katakan berulang kali, saya tidak akan membawa Luke kemanapun. Bagi saya keselamatannya jauh lebih penting," pungkas Sebastian dengan suara baritonnya. Melihat ketegasan Sebastian, dokter itu tidak berani membantah lagi. Terlebih pria
Dengan topi dan kaca mata hitam, Rose menyaksikan peti berukir itu terkubur di dalam tanah. Di kiri dan kanan Rose, berdiri Josh dan Suster Mary. Mereka mendampingi Rose sejak awal untuk menguatkan hatinya. Tidak ada air mata Rose yang mengalir hingga akhir dari upacara pemakaman. Kenyataan ini justru membuat Josh dan Suster Mary sangat khawatir. Mereka takut Rose akan berbuat nekat karena sedang mengalami depresi yang dalam. Padahal Rose tidak bereaksi karena ia menganggap pemakaman ini sekedar formalitas. Keyakinannya tetap teguh bahwa jenazah yang terkubur di bawah sana bukanlah Luke. Sementara Denzel berada dengan para bodyguardnya berjaga di belakang para pelayat. Mereka membentuk barisan untuk menghadang para wartawan yang hendak meliput prosesi pemakaman Luke. Meskipun dilarang, mereka tetap saja berdesakan untuk meliput upacara itu. Sebagian portal berita di internet bahkan sudah merilis headline dengan judul yang bombastis. Sebagian besar warga Amerika juga membicarakan tra
Rose terpaku mendengar ucapan Gwen. Ia baru ingat bahwa setelah percintaan terakhirnya dengan Luke, ia lupa meminum obat pencegah kehamilan. Jika benar dirinya tengah berbadan dua, entah dia harus merasa bahagia atau sedih."Apa mungkin aku hamil, Gwen?" tanya Rose ragu."Dari gejala yang kamu alami, aku rasa kamu memang hamil. Tapi supaya lebih akurat, sebaiknya kamu langsung saja memeriksakan diri ke dokter kandungan. Aku akan menemanimu."Rose mengangguk pertanda menyetujui usulan sahabatnya itu. Gwen pun mengapit lengan Rose dan mengajaknya keluar dari toilet."Nona, bagaimana kondisi Anda? Mau saya antar ke dokter sekarang?" tanya Denzel terlihat khawatir."Iya, Daddy, tapi aku akan ke dokter bersama Gwen.""Nona lebih baik bersama saya. Gwen bisa menunggu disini dengan anak-anak," ucap Denzel menunjukkan sisi posesifnya.Melihat Denzel bersikeras mengantar Rose, Gwen pun mengalah. Ia ingin memberikan kesempatan kepada Rose untuk berduaan dengan Denzel. Lagipula jika benar Rose m
Mendengar ucapan Denzel, Rose justru teringat kenangan dimana Luke melamarnya secara diam-diam kepada pamannya, Josh. Kemudian setelah itu mereka berdua bertengkar tanpa henti hingga tiba hari pernikahan. Namun bila dipikir lagi pertengkaran mereka kala itu sangat manis. Hanya saja kini sudah terlambat untuk menyadarinya. Josh dan Lily sangat terkejut mendengar lamaran yang diajukan Denzel. Apalagi Luke belum lama meninggal dunia. Namun alasan yang dikemukakan Denzel cukup masuk akal. Pria ini ingin melindungi Rose sepenuh hati sehingga bersedia menjadi ayah bagi anak yang dikandungnya. "Tuan Denzel, saya tidak pernah meragukan Anda sedikitpun karena Anda adalah pria yang baik. Jasa Anda begitu besar kepada Rose, terutama dalam menjalankan wasiat terakhir ayahnya. Bagi saya, Anda adalah calon suami yang paling tepat untuk Rose. Namun soal lamaran Anda barusan, saya serahkan semuanya kepada Rose. Dia yang berhak mengambil keputusan atas hidupnya." "Benar, Tuan Josh. Saya belum mengat
Ada yang berani mengancammu? Siapa dia?" tanya Peter geram. Ia tidak akan terima bila putra kebanggaannya sampai diusik oleh orang lain. Apalagi ia adalah salah satu tokoh yang cukup disegani di kalangan mafia."Justru itu aku belum tahu. Dia ingin main-main denganku dan aku akan meladeninya," geram Denzel. Matanya berapi-api menggambarkan kemurkaan yang tengah memuncak di kepalanya."Kirimkan saja nomer ponselnya. Papa akan menyuruh anak buah kita untuk melacak lokasinya.""Tidak perlu, aku bisa mengurusnya sendiri, Pa. Lagipula dia pasti memakai nomer samaran untuk menghubungiku.""Denzel jangan sekali-kali meremehkan orang itu. Kita harus waspada terhadap berbagai kemungkinan. Apalagi mayat Luke Brown belum kita temukan sampai sekarang."Denzel menghembuskan napas kasar untuk mengekspresikan kekesalannya."Aku tidak akan membiarkan siapapun mengganggu sampai aku berhasil menikahi Rose."Peter Adams maju lalu menepuk bahu putranya."Bagus, Denzel. Beginilah seharusnya seorang Adams