"Jangan membicarakan soal Denzel. Mulai sekarang aku melarangmu untuk berhubungan dengan orang itu. Dia pria yang berbahaya. Untuk masalah perusahaan biar aku yang menanganinya.""Kenapa kamu sangat membenci Denzel, bahkan menuduhnya terlibat dengan kasus kematian Daddy? Padahal kalian tidak terlalu mengenal satu sama lain," tanya Rose keheranan."Kamu tahu siapa nama asli Denzel?""Denzel Miller," jawab Rose spontan."Salah. Miller adalah nama keluarga ibunya. Denzel sengaja menggunakan nama itu untuk menutupi identitasnya. Nama belakangnya adalah Adams. Aku mengetahui ini dari detektif yang aku sewa untuk menyelidikinya."Luke melanjutkan ucapannya."Aku ingat Daddy pernah berseteru dengan seorang pengusaha bernama Peter Adams. Aku tidak tahu apa masalah mereka karena saat itu aku masih remaja. Tapi aku melihat Daddy sangat gusar. Dia menyewa banyak pengawal pribadi dan terlihat gelisah selama beberapa minggu. Aku curiga Denzel ada hubungannya dengan Peter Adams.""I...ini mustahil,
Denzel meraih ponselnya sambil mendengus kasar. Terpaksa ia meminta bantuan dari seseorang yang selama ini sangat dihindarinya. "Selamat malam, Tuan Hendrick, ini aku Denzel." Terdengar suara tawa pria itu dari seberang telpon. "Akhirnya kamu membutuhkan bantuanku juga, Tuan Denzel. Pasti ini sesuatu yang sangat penting karena kamu menelponku malam-malam," ujar Hendrick merasa di atas angin. "Aku tidak akan meminta bantuanmu secara gratis. Jika kamu berhasil aku akan memberikan apa yang kamu inginkan selama ini. Dua puluh persen saham di Brown Group," cetus Denzel mengungkapkan tawarannya. Hendrick kembali terkekeh mendengar kata-kata Denzel. "Dua puluh persen, sedikit sekali. Tuan Denzel, aku bukan anak remaja yang membutuhkan uang hanya untuk membeli rokok atau minuman keras. Aku memiliki istri yang harus aku penuhi kebutuhannya." Denzel berdecih di dalam hati. Pria serakah ini masih meminta lebih di saat ia memberikan penawaran yang sangat menguntungkan. "Hanya itu yang bisa
Sinar matahari yang menembus lewat celah tirai membangunkan Rose. Jajaran bulu mata lentiknya bergerak ke kiri dan ke kanan sebelum ia mengerjapkan mata. Rose menggeliat perlahan, merasakan pegal di seluruh tubuhnya. Ketika kesadarannya sudah terkumpul, Rose baru menyadari bahwa Luke tidak ada di sampingnya. Entah dimana keberadaan pria itu. Yang jelas Rose hanya berharap dia tidak ditinggalkan begitu saja di tempat asing ini. Rose pun membuka selimutnya lalu menjejakkan kaki satu per satu ke atas ubin yang dingin. Dengan perlahan, ia menuju ke kamar mandi. Memutar keran ke kanan lalu membiarkan dirinya menikmati kucuran air shower yang hangat. Dalam kesendiriannya, Rose mengamati jejak berwarna merah keunguan yang ditinggalkan Luke. Tanda bahwa dirinya telah dimiliki pria itu. Rose menggosoknya, berusaha menghilangkan semua jejak dengan usapan air sabun meskipun usahanya ini akan berakhir sia-sia. Haruskah dia menangis atau merasa bahagia dengan keadaannya sekarang? Dengan sadar
"Tuan, Anda tidak ingin bertemu Tuan Muda?" tanya salah seorang pria yang berkaca mata.Pria paruh baya itu menghela napas dalam."Belum saatnya. Kalau aku memaksakan diri mengaku sebagai ayahnya, dia justru akan membenciku. Sepertinya dia sudah cukup bahagia menjadi seorang Brown.""Tapi Tuan, mungkin putra Anda ada dalam bahaya.""Aku tahu. Utus beberapa orang kita untuk melindunginya secara diam-diam.""Baik, Tuan," jawab pria itu patuh.Sementara Rose dan Luke sudah selesai berdoa di atas pusara Louis Brown. Kini mereka bersiap untuk pergi ke makam Karen Black."Luke, aku mau ke apotek sebentar sebelum ke makam Mommy," kata Rose saat mereka sudah ada di dalam mobil.Luke menoleh sebentar dari kursi kemudi untuk mengamati wajah Rose."Apotek? Apa kamu sakit?""Tidak, aku ingin membeli obat pencegah kehamilan."Alis Luke bertaut mendengar penuturan Rose yang terang-terangan. Ia tidak mengerti mengapa Rose begitu khawatir akan mengandung anaknya."Kenapa harus meminum obat? Tidak mas
"Aku tidak ingin timbul gosip atau desas desus mengenai Rose. Dan satu lagi jangan sampai berita ini tersebar ke luar mansion. Kalian semua mengerti?" Suara Luke terdengar begitu tegas sehingga Rose yang berdiri di sampingnya ikut tertunduk. Seperti biasa, Benjamin sebagai kepala pelayan mansion menjawab titah yang diberikan oleh sang majikan. "Kami semua akan mematuhinya, Tuan Muda." "Sekarang kalian semua boleh beristirahat," ujar Luke seraya mengajak Rose menaiki tangga ke lantai dua. Rose masih setia dalam kebungkamannya. Di ujung tangga, mereka berpapasan dengan Esme. Ekspresi wanita itu nampak terkejut melihat kedatangan majikannya. "Kenapa kamu disini? Apa tugas yang kuberikan sudah selesai?" tanya Luke. Esme segera membungkukkan badannya penuh hormat. "Sudah, saya baru akan memberitahukannya kepada Tuan Muda." "Kalau begitu kembalilah ke paviliun."
Setibanya di kamar mereka, Luke langsung menaikkan dagu Rose dan melumat bibirnya. Rose tidak melawan karena ia pun menantikan sentuhan pria ini. Terkadang Rose merasa dirinya tidak waras karena menghamba pada lelaki yang jelas tidak mencintainya. Namun ciuman Luke kali ini terasa berbeda. Bukan hanya didominasi oleh hasrat tapi ada kelembutan dan kasih sayang di dalamnya. "Jujurlah, apa sampai detik ini kamu masih terpaksa menikah denganku?" tanya Luke melepaskan tautan bibir mereka. Rose tidak menjawab tapi ia malah balik bertanya. Ia yakin pria ini sedang berusaha mengorek isi hatinya untuk memastikan seberapa kuat pengaruhnya. "Bagaimana denganmu?" Luke mengelus pipi Rose dengan lembut. Sesaat pandangan mata mereka saling mengunci satu sama lain. "Jika aku mengatakan bahwa aku mencintaimu apa kamu akan percaya?" Rose menunduk untuk memutus tatapan mata mereka. Ia menghembuskan napas pelan. "Kalau kamu menyatakan cinta pada Anneth, pasti dia akan meleleh dan menyerahkan diri p
Rose sedang berkonsentrasi penuh untuk menyelesaikan bagian sayap dari patung dewi Eos yang dibuatnya. Ia tinggal punya sisa waktu satu jam lagi sebelum acara gladi bersih dimulai. "Menurutmu apa sayap kanan dan kiri sudah seimbang, Gwen?" tanya Rose kepada sahabatnya itu. "Sudah, Rose. Kamu tinggal menambahkan aksen garis di dalamnya. Kerjamu cepat sekali. Lihat patungku baru sampai di bagian kaki," puji Gwen. "Aku harus buru-buru, Gwen. Aku tidak mau Mr. Robert menungguku terlalu lama. Oh ya, besok kamu datang ke konserku, kan? Acaranya dimulai jam tujuh malam." "Pasti, Baby. Aku juga akan mengajak Sean," jawab Gwen bersemangat. "Aku berharap dia akan semakin mencintaimu setelah menonton konser Valentine." Rose tersenyum seraya melepaskan apron yang dipakainya. Sementara Gwen memperhatikan raut muka sahabatnya itu. "Rose, kalau kuperhatikan wajahmu lebih berseri dari biasanya. Jangan-jangan kamu sudah punya kekasih," tebak Gwen penasaran. Rose hanya tersenyum simpul tanpa mem
"Siapapun yang menyuruh kalian, katakan padanya aku tidak takut mati. Paling tidak aku bukan seorang pengecut seperti dia. Ingin melenyapkan aku, tapi tidak berani menghadapi aku secara langsung! Satu lawan satu!" ancam Luke tanpa rasa takut. Ia yakin bahwa pelakunya adalah orang yang sama dengan pembunuh ayahnya.Kedua lelaki itu terbahak mendengar ucapan Luke."Nyalimu besar juga. Tapi gertakanmu itu tidak berpengaruh apa-apa untuk kami. Terima saja kematianmu sekarang!"Pria yang bertubuh paling besar mengarahkan ujung pistolnya kepada Luke. Dalam hitungan detik, ia menarik pelatuk pistol itu dan terdengarlah suara tembakan yang mengudara.Bersamaan dengan itu, Rose memecahkan piring yang dipegangnya. Entah mengapa dadanya mendadak terasa nyeri seolah terkena bidikan benda tajam."Nyonya, Anda kenapa?" tanya Esme khawatir."Aku tidak tahu, Esme. Tiba-tiba saja dadaku sakit.""Nyonya, istirahat saja di kamar. Saya akan membereskan pecahan piring ini," ucap Benjamin segera mengambil