Bab Utama Hari Ini : 3/5. Terima kasih untuk gemsnya ya sobat readers...
Hening menggantung di udara, begitu tebal hingga setiap detik terasa seperti sebuah palu yang menghantam dada. Semua orang menahan napas.Kevin akhirnya bergerak. Dengan gerakan perlahan namun penuh wibawa, ia meraih gagang pedangnya.SREEENG!Suara logam itu seperti petir yang membelah langit. Begitu bilah pedang keluar sepenuhnya dari sarung, cahaya keemasan meledak, memancar ke setiap sudut ruangan.WHUUUM!Seakan-akan seratus matahari kecil meledak sekaligus di Paviliun Drakenis. Dinding kristal bergetar, lantai berderak halus. Para tamu refleks menutup mata, sebagian bahkan jatuh terduduk, berteriak karena silau.Cahaya itu bukan hanya terang—ia membawa tekanan spiritual yang membuat jantung semua orang berdebar panik. Aura pedang itu memancarkan perpaduan yang aneh... suci namun mengancam, surgawi namun iblis. Udara di sekeliling bilahnya berputar, berdesis, seolah ruang itu sendiri menolak keberadaan senjata tersebut.Simbol-simbol kuno di pedang itu bergetar, menyala seperti r
Kabut keheningan kembali turun setelah nama itu terlontar. Alaric Xarxis. Dua kata yang seakan mengguncang dinding Paviliun Drakenis.Semua mata tertuju pada sosok pria itu. Alaric masih duduk tenang, jubah hitamnya jatuh rapi tanpa lipatan. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, seolah tuduhan Raisa hanyalah angin lalu. Namun justru ketenangannya yang membuat bulu kuduk setiap orang berdiri.Kevin berdiri tegak, pedang hitamnya berkilau temaram. Aura spiritualnya merambat perlahan, tapi cukup untuk membuat udara di dalam paviliun terasa berat, menekan paru-paru siapa pun yang lemah. Sementara itu, Alaric akhirnya mengangkat wajah, menatap Kevin dengan tatapan setajam pisau.“Jadi... kau percaya pada ocehan seorang wanita yang hampir mati?” suara Alaric dalam, tenang, namun di baliknya ada getaran amarah yang ditahan.Kevin tidak langsung menjawab. Ia melangkah maju, suara langkah sepatunya bergema keras di lantai batu. Tap... tap... tap. Setiap langkah seperti menggedor jantung para tamu y
Darah menetes deras dari lengan Raisa, membasahi lantai paviliun. Setiap tetesnya terdengar jelas di telinga semua orang, tik... tik... tik, seperti hitungan waktu menuju eksekusi.Raisa terhuyung, wajahnya pucat pasi. Tangannya bergetar hebat, mencoba menahan luka yang perih. Namun yang lebih menakutkan baginya bukan rasa sakit, melainkan tatapan Kevin Drakenis—dingin, tak tergoyahkan, seperti malaikat maut yang hanya menunggu alasan terakhir untuk menebas nyawanya.“Bicara,” desis Kevin, suaranya rendah namun bergema dalam kepala Raisa.Aura pedang spiritual di tangannya kembali berdenyut, seolah lapar akan darah. Para tamu menahan napas. Bahkan Celestine Aschne yang biasanya selalu tenang pun terlihat menegang, sementara pembunuh-pembunuh Organisasi Pembunuh Dunia tersenyum samar, menikmati tontonan seperti sekawanan serigala yang melihat kelinci terjebak.Raisa berusaha mengalihkan pandangan, tapi tatapan Kevin mengunci dirinya. Lalu ia melirik sekilas ke arah Alaric Xarxis—sosok
Ruang utama Paviliun Drakenis mendadak terasa sesak. Sunyi, tapi bukan sunyi biasa—melainkan sunyi yang menekan dada, seolah udara ditarik habis dari paru-paru. Semua mata tertuju pada Raisa Aleta. Perempuan itu berdiri kaku, jemarinya gemetar samar di balik lengan jubah ungu gelap yang ia kenakan.Kevin melangkah maju, seakan tidak terburu-buru, tapi setiap langkahnya menggema tajam di lantai paviliun. Tap... tap... tap. Suara itu terdengar seperti palu godam di telinga Raisa.“...satu,” suara Kevin dingin, tanpa intonasi, namun menyayat seperti bilah pedang tipis yang menembus tulang.Aura tekanan spiritual menyebar darinya. Beberapa tamu yang masih bertahan spontan mengerutkan kening; bahkan mereka yang terbiasa dengan energi murni pun bisa merasakan perbedaan. Aura Kevin bukan hanya tajam, tapi menekan, seperti lautan hitam yang siap menelan siapa saja.Raisa menggigit bibirnya. Wajahnya tetap menunduk, tapi peluh dingin sudah menetes dari pelipisnya.“Dua...” suara Kevin naik set
Setelah insiden berdarah yang baru saja mengguncang Paviliun Drakenis, suasana di aula utama berubah drastis. Aroma besi darah masih terasa samar di udara, bercampur dengan bau dupa hitam yang sejak awal dibakar untuk menyambut tamu. Kilau lampu kristal yang tergantung di langit-langit seakan kehilangan sinarnya; bayangan panjang jatuh menutupi wajah-wajah para tamu yang kini dipenuhi kecemasan.Satu per satu, beberapa tamu bangsawan dan praktisi dari sekte minor buru-buru berdiri. Mereka berbisik panik, lalu meninggalkan paviliun dengan langkah cepat. Tak ada yang berani menoleh ke arah Kevin Drakenis, yang kini duduk dengan tatapan dingin di kursi kebesarannya. Bagi mereka, pria muda itu bukan lagi seorang pewaris paviliun, melainkan iblis yang menyamar sebagai manusia.Namun, tidak semua memilih pergi. Beberapa kelompok masih bertahan, berdiri tenang seolah ingin menguji batas kepercayaan diri mereka. Dari barisan tamu elit itu terlihat jubah hitam pekat milik Klan Iblis Semesta,
Lantai marmer aula Paviliun Drakenis kini dipenuhi bercak darah. Draven terkapar, tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi namun masih dipenuhi kebencian. Urat di pelipisnya menonjol, nafasnya tersengal seperti orang yang tinggal menunggu ajal.Para pembunuh masih berdiri melingkari mangsanya, sebagian dengan senyum sinis, sebagian lagi menatap Kevin menunggu perintah. Aura kematian memenuhi udara—seolah setiap detik bisa menjadi akhir hidup Draven.Kevin berjalan perlahan mendekat. Sepatunya berdecit di atas lantai, suaranya begitu jelas di antara keheningan yang mencekam. Ia berhenti tepat di hadapan Draven yang masih berusaha bangkit dengan tubuh remuk.“Lihat dirimu,” ujar Kevin dengan suara tenang, hampir seperti bisikan maut. “Tadi kau datang dengan sombong, mengaku anggota Organisasi Dokter Spiritual Dunia … sekarang?”Kevin menunduk sedikit, matanya menatap dalam ke mata Draven. Tatapan yang dingin, tak berperasaan, membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.“Kau hanya bangkai hidup y