Bab Utama Hari Ini : 4/5. Apa yang akan terjdi di dalam pesta peresmian Paviliun Drakenis?
Darah menetes deras dari lengan Raisa, membasahi lantai paviliun. Setiap tetesnya terdengar jelas di telinga semua orang, tik... tik... tik, seperti hitungan waktu menuju eksekusi.Raisa terhuyung, wajahnya pucat pasi. Tangannya bergetar hebat, mencoba menahan luka yang perih. Namun yang lebih menakutkan baginya bukan rasa sakit, melainkan tatapan Kevin Drakenis—dingin, tak tergoyahkan, seperti malaikat maut yang hanya menunggu alasan terakhir untuk menebas nyawanya.“Bicara,” desis Kevin, suaranya rendah namun bergema dalam kepala Raisa.Aura pedang spiritual di tangannya kembali berdenyut, seolah lapar akan darah. Para tamu menahan napas. Bahkan Celestine Aschne yang biasanya selalu tenang pun terlihat menegang, sementara pembunuh-pembunuh Organisasi Pembunuh Dunia tersenyum samar, menikmati tontonan seperti sekawanan serigala yang melihat kelinci terjebak.Raisa berusaha mengalihkan pandangan, tapi tatapan Kevin mengunci dirinya. Lalu ia melirik sekilas ke arah Alaric Xarxis—sosok
Ruang utama Paviliun Drakenis mendadak terasa sesak. Sunyi, tapi bukan sunyi biasa—melainkan sunyi yang menekan dada, seolah udara ditarik habis dari paru-paru. Semua mata tertuju pada Raisa Aleta. Perempuan itu berdiri kaku, jemarinya gemetar samar di balik lengan jubah ungu gelap yang ia kenakan.Kevin melangkah maju, seakan tidak terburu-buru, tapi setiap langkahnya menggema tajam di lantai paviliun. Tap... tap... tap. Suara itu terdengar seperti palu godam di telinga Raisa.“...satu,” suara Kevin dingin, tanpa intonasi, namun menyayat seperti bilah pedang tipis yang menembus tulang.Aura tekanan spiritual menyebar darinya. Beberapa tamu yang masih bertahan spontan mengerutkan kening; bahkan mereka yang terbiasa dengan energi murni pun bisa merasakan perbedaan. Aura Kevin bukan hanya tajam, tapi menekan, seperti lautan hitam yang siap menelan siapa saja.Raisa menggigit bibirnya. Wajahnya tetap menunduk, tapi peluh dingin sudah menetes dari pelipisnya.“Dua...” suara Kevin naik set
Setelah insiden berdarah yang baru saja mengguncang Paviliun Drakenis, suasana di aula utama berubah drastis. Aroma besi darah masih terasa samar di udara, bercampur dengan bau dupa hitam yang sejak awal dibakar untuk menyambut tamu. Kilau lampu kristal yang tergantung di langit-langit seakan kehilangan sinarnya; bayangan panjang jatuh menutupi wajah-wajah para tamu yang kini dipenuhi kecemasan.Satu per satu, beberapa tamu bangsawan dan praktisi dari sekte minor buru-buru berdiri. Mereka berbisik panik, lalu meninggalkan paviliun dengan langkah cepat. Tak ada yang berani menoleh ke arah Kevin Drakenis, yang kini duduk dengan tatapan dingin di kursi kebesarannya. Bagi mereka, pria muda itu bukan lagi seorang pewaris paviliun, melainkan iblis yang menyamar sebagai manusia.Namun, tidak semua memilih pergi. Beberapa kelompok masih bertahan, berdiri tenang seolah ingin menguji batas kepercayaan diri mereka. Dari barisan tamu elit itu terlihat jubah hitam pekat milik Klan Iblis Semesta,
Lantai marmer aula Paviliun Drakenis kini dipenuhi bercak darah. Draven terkapar, tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi namun masih dipenuhi kebencian. Urat di pelipisnya menonjol, nafasnya tersengal seperti orang yang tinggal menunggu ajal.Para pembunuh masih berdiri melingkari mangsanya, sebagian dengan senyum sinis, sebagian lagi menatap Kevin menunggu perintah. Aura kematian memenuhi udara—seolah setiap detik bisa menjadi akhir hidup Draven.Kevin berjalan perlahan mendekat. Sepatunya berdecit di atas lantai, suaranya begitu jelas di antara keheningan yang mencekam. Ia berhenti tepat di hadapan Draven yang masih berusaha bangkit dengan tubuh remuk.“Lihat dirimu,” ujar Kevin dengan suara tenang, hampir seperti bisikan maut. “Tadi kau datang dengan sombong, mengaku anggota Organisasi Dokter Spiritual Dunia … sekarang?”Kevin menunduk sedikit, matanya menatap dalam ke mata Draven. Tatapan yang dingin, tak berperasaan, membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.“Kau hanya bangkai hidup y
Draven merasakan kulit di tengkuknya dingin saat puluhan pasang mata para pembunuh menatapnya. Senjata-senjata tipis yang berkilat seperti taring ular semakin mendekat. Ruangan yang semula hangat dengan cahaya lampu kristal, kini seakan dipenuhi aura kematian.“Menjauhlah dariku!” teriak Draven sambil melontarkan jarum-jarum beracunnya. Gerakannya cepat, bahkan hampir tak terlihat oleh mata awam. Jarum-jarum itu meluncur seperti kilatan cahaya hijau, mengarah ke dada dan tenggorokan para pembunuh.Namun—Ting! Ting! Ting!Semua jarum itu terpental, ditangkis dengan mudah oleh pedang tipis, kipas baja, bahkan sekadar gerakan jari dari para pembunuh. Beberapa bahkan sengaja membiarkan jarum itu menempel di pakaian mereka, lalu menatap Draven dengan senyum mengejek.“Kau pikir racunmu cukup untuk membuat kami ketakutan?” salah seorang pembunuh berambut panjang tertawa, matanya merah menyala.Draven menggertakkan gigi. “Dasar sampah! Jangan remehkan aku!”Ia bergerak cepat, tubuhnya melomp
Suasana seketika riuh. Beberapa tamu saling berbisik, sebagian menahan napas, menunggu reaksi dari Kevin.PLAAAK!Suara tamparan keras memecah udara. Semua mata terbelalak. Draven terhuyung ke samping, pipinya memerah membengkak. Bukan Helena yang menamparnya, melainkan Kevin yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin menusuk.“Jangan pernah...” Kevin mendesis, suaranya rendah namun mengandung tekanan yang membuat bulu kuduk meremang. “Jangan pernah membentak atau kurang ajar terhadap kekasihku. Atau... aku akan merobek mulut besarmu itu.”Draven mendengus, darah menetes dari sudut bibirnya. “Cih! Kau... bajingan! Kau sudah membunuh ayahku! Semula kukira kau juga sudah membunuh kakakku—ternyata dia masih hidup!” Ia menunjuk Helena dengan gemetar. “Pasti kalian bersekongkol untuk membunuh ayahku!”PLAAAK!Tamparan kedua mendarat. Kali ini bukan dari Kevin, melainkan dari Helena. Matanya penuh kilatan amarah. Tangannya bergetar tapi tegas, tak sudi lagi menahan sakit hatinya.