Langit baru saja berhenti menangis ketika tubuh Gohan hampir runtuh.
Ia berjalan sempoyongan di jalan setapak berlumut, tanpa arah, tanpa nama. Dunia telah menghapus identitasnya. Ibunya telah tiada. Desanya tinggal abu. Dan satu-satunya warisan yang ia bawa adalah pedang yang tak ingin disentuh siapa pun. Tapi di balik kabut pegunungan Qilin yang tak pernah disinggahi manusia, seseorang menantinya. Bukan sekadar penunggu sunyi. Tapi pria yang telah melihat bintang runtuh, dan tahu bahwa langit sedang mempersiapkan perang. “Kau datang lebih cepat dari takdir,” suara itu terdengar, “dan itu artinya kematian akan lebih cepat pula mencarimu.” Langkah Gohan terseok, memikul pedang bersimbah darah. Tak ada sinar matahari yang tembus ke celah pepohonan tinggi pegunungan Qilin. Kabut menggantung, pekat seperti mimpi buruk yang menolak hilang. Ia tak tahu sudah berapa lama berjalan sejak meninggalkan abu Desa Langit Sepi. Perutnya kosong. Napasnya membakar. Tapi sesuatu di dalam jiwanya, mungkin bisikan pedang atau kehendak ibunya yang baru mati, mendorongnya terus maju. Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Di hadapannya, sebuah pondok reyot berdiri miring di antara dua pohon pinus kuno. Atapnya penuh lumut. Tirai bambu menggantung usang. Tapi anehnya, di sekeliling pondok tidak ada kabut. "Tempat ini..." Gohan mengerutkan kening. "Kenapa seakan tidak tersentuh waktu?" Sebelum ia sempat mengetuk pintu, suara tua menggema dari dalam. “Pedang di punggungmu bergetar karena tahu aku yang membuatnya.” Gohan refleks menarik senjata, tapi pedangnya menolak keluar dari sarung. Langkah dari dalam pondok terdengar. Dan dari balik tirai, muncullah seorang lelaki tua dengan tongkat bambu. Rambutnya putih seperti kapas tua. Kulitnya keriput, tapi auranya tenang dan berat seperti batu yang menahan langit. Yang paling mencolok adalah matanya yang tertutup kain hitam. Dan kain itu bersinar samar dengan pola segel berwarna emas. "Namamu telah dihapus dari tulangmu, anak muda," katanya. "Tapi aku tetap bisa melihatmu. Bukan dengan mata ini, tapi dengan mata takdir." Gohan mundur satu langkah. “Siapa kau?” Orang tua itu tersenyum. “Orang-orang menyebutku Maestro Yu Heng. Tapi langit dulu memanggilku Penjaga Ketujuh.” Gohan menatap lelaki tua itu sejenak, lalu menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Ia kehabisan tenaga. Yu Heng tak banyak bicara. Ia membawanya masuk, memberinya semangkuk bubur panas yang anehnya terasa seperti sup semangat. Tubuh Gohan sedikit pulih. “Kenapa kau bilang pedangku kau yang buat?” tanya Gohan akhirnya. Yu Heng menaruh tongkatnya. “Karena aku dulu memalu besi langit selama tujuh hari tujuh malam. Itu untuk menyegel kegelapan yang sama yang sekarang mengalir di nadimu.” Gohan tersentak. “Kegelapan?” “Kau pikir pewaris Langit Ketujuh hanyalah penyelamat? Tidak, anak muda. Kau juga pewaris dari Kutukan Pertama yang membuat seluruh dimensi langit gentar.” Yu Heng lalu berdiri. “Itu sebabnya sebelum dunia tahu siapa kau sebenarnya, kau harus belajar mengendalikannya.” Gohan bangkit lemah. “Tapi bagaimana? Aku bahkan tak bisa mengangkat pedang ini tanpa kehilangan kesadaran.” Maestro Yu Heng mengangkat tongkatnya dan mengarahkannya ke tanah. Seketika, tanah bergetar dan tiga batu besar melonjak keluar membentuk lingkaran. Udara berubah berat. Seperti medan gravitasi yang memburu siapa pun yang berdiri di dalamnya. “Masuk,” perintah sang maestro. Gohan melangkah masuk. Dan tiba-tiba tubuhnya seakan terkoyak dari dalam. Kakinya bergetar hebat. Darah keluar dari telinga. Aura di sekelilingnya seperti menolak kehadiran tubuh manusia biasa. Yu Heng bicara dari luar, tenang. “Kau sedang berada dalam formasi Pembalik Jiwa. Jika niatmu lemah, formasi ini akan memutus napasmu.” Gohan menggertakkan gigi. Ia teringat wajah ibunya. Teringat api yang membakar rumahnya. Teringat simbol tiga mata yang merasuk ke dadanya. Ia berteriak. Dan aura hitam menyembur keluar dari tubuhnya, membentuk pusaran di sekeliling lingkaran batu itu. Yu Heng tersenyum tipis. “Bagus. Aura penghancurmu sudah mulai mendengar.” Lelaki tua itu melangkah mendekat, lalu mencabut sesuatu dari balik jubahnya. Sebuah segel emas kecil berbentuk mata. “Latihan pertamamu dimulai sekarang. Tapi ingat baik-baik.” Ia menatap langsung ke arah Gohan. Dan kali ini, meski matanya tertutup kain, tatapannya menusuk seperti mata elang surgawi. “Jika kau gagal, segel ini akan menyerap jiwamu. Dan kau akan lenyap dari sejarah.” Mata emas terbuka. Dan Gohan melihat masa lalu yang bukan miliknya. Begitu segel emas dalam genggaman Yu Heng menyala, pusaran aura hitam di sekitar Gohan membeku seketika. “Sekarang, tatap segel ini dan biarkan ia menatap balik,” kata Maestro itu. Tanpa sempat bertanya, mata segel itu terbuka. Dan seketika dunia terbalik. Gohan terjerembap dalam dunia tak berbatas. Langit merah darah. Gunung mengambang. Ribuan tubuh tergantung di udara dengan pedang menancap di dada mereka. Semua mengenakan jubah yang sama. Jubah langit. Di tengah medan perang surgawi itu, seorang pria berdiri di atas pilar tulang naga. Rambutnya hitam legam. Matanya menyala seperti bara. Dan yang membuat napas Gohan tercekat adalah wajah itu. Wajahnya sendiri. Tapi lebih tua. Lebih dingin. Lebih haus darah. “Pewaris Ketujuh,” suara dari bayangan itu bergaung di langit. “Bukan penyelamat. Bukan penjaga. Tapi penghapus dosa langit.” Gohan ingin menjerit. Tapi tubuhnya terkunci dalam ilusi. Lalu sosok lain muncul. Seorang gadis dengan rambut perak dan mata biru bulan. Yue Xiulan? Tapi ini bukan dia. Wajahnya lebih matang. Aura iblis mengelilinginya. Mereka berdiri saling membelakangi. Dikepung pasukan cahaya dan kegelapan. Lalu... Gohan melihat dirinya sendiri membunuh gadis itu. Dan ia tersadar kembali dalam formasi batu. Tubuhnya menggigil. Gohan terjatuh, memeluk tanah dingin. Dadanya berdenyut nyeri. Tapi bukan karena latihan, melainkan karena penglihatan itu. Ia telah membunuh gadis itu. Siapa pun dia. “Ilusi apa itu?!” Gohan berseru, napas terputus-putus. “Itu bukan aku!” Yu Heng diam lama sebelum akhirnya berkata pelan, “Itu adalah dirimu yang lama. Inkarnasi sebelum tubuh ini.” “Kenapa aku, kenapa dia membunuh gadis itu?” Yu Heng memejamkan mata di balik segel emas. “Karena langit tak bisa dipertahankan dengan cinta. Hanya dengan darah.” Gohan menunduk. Tubuhnya masih lemah. Tapi pikirannya jauh lebih goyah. “Kalau semua ini benar, maka aku tak ingin menjadi pewaris apa pun.” Tapi Yu Heng mendekat, menyentuh bahunya. “Takdir tidak menunggu persetujuan, Gohan. Tapi ia menunggu kesiapan.” Gohan sedang memejamkan mata saat suara kecil terdengar dari dalam kantong pakaiannya. Ia membuka mata. Pedang kecil yang selama ini tak pernah ia keluarkan, pedang yang tak punya nama, bergetar pelan. Lalu tiba-tiba, kilatan emas muncul dari dalamnya. Membentuk lambang naga terbelah dua. Dan bisikan lirih keluar, bukan dari luar... tapi dari dalam pikirannya: “Waktumu hampir habis. Darah naga akan bangkit.” Yu Heng membelalak. “Itu... itu simbol darah kekaisaran naga!” Sebelum Gohan sempat bertanya, suara petir bergemuruh di kejauhan. Langit terbelah. Dan dari sela awan, sosok berkerudung turun. Ia membawa pedang bercahaya yang menyala seperti bintang. “Serahkan pewaris itu. Sekarang,” katanya. Sosok yang turun dari langit tampak seperti biksu langit biasa. Tapi saat ia melangkah mendekat, tanah retak di bawahnya. Aura pembunuhnya menusuk seperti duri di balik angin. “Serahkan bocah itu, Maestro Yu Heng,” suaranya pelan tapi tajam. “Ia membawa darah yang harus dikembalikan ke takdir.” Yu Heng berdiri pelan. Kakinya goyah tapi napasnya tetap stabil. “Zhao Wuji...” gumamnya lirih. “Jadi kau akhirnya keluar dari bayangan sejarah.” Gohan tersentak. Nama itu terasa asing. Tapi hatinya langsung berdenyut nyeri. Wuji tersenyum miring. “Aku tak akan menyentuhmu, pertapa tua. Tapi bocah itu harus ikut denganku.” Gohan menggertakkan gigi. “Aku tidak kenal kau!” Wuji mengangkat pedangnya. Panjang, ramping, dengan coretan hitam di sepanjang bilahnya. “Karena kau telah melupakan masa lalu. Tapi aku belum. Aku ingat siapa kau, Pewaris Ketujuh. Aku ingat siapa yang kau bunuh.” Kilatan bayangan gadis bermata biru muncul lagi di benak Gohan. “Jangan biarkan takdir menipu lidahmu,” bisik suara dari dalam pedang kecilnya. “Darahmu belum sepenuhnya bangkit.” Wuji mengayun pedang. Udara terbelah. Tanah tercabik. Formasi batu pun meledak seperti kaca pecah. Tapi Yu Heng berdiri tenang, lalu melambai satu jari. Denting. Seketika, waktu melambat. Wuji terpental mundur sejengkal, matanya membelalak. Yu Heng menunjuk ke Gohan. “Lari ke barat. Di sana ada gerbang cahaya yang hanya bisa kau buka. Bawa pedangmu. Jangan menoleh.” “Tapi—” “Pergi, Gohan!” Seketika, tanah di bawah kaki Gohan menyala. Rasi bintang terbentuk di tanah dan tubuhnya tersedot ke pusaran cahaya. Dan yang terakhir ia lihat sebelum lenyap adalah Maestro Yu Heng mengangkat tongkat, menyambut tebasan Wuji... dengan senyum penuh rahasia. Gohan jatuh di tengah hutan berkabut, tepat di tepi danau biru keperakan. Ia terbatuk, tubuhnya terbakar. Tapi yang membakar bukan luka, melainkan sesuatu dalam darahnya. Pedang kecil di tangannya mengeluarkan cahaya merah samar. “Buka... pintu gerbang...” Suara itu lagi. Tapi kini lebih dalam. Lebih tua. Gohan melirik danau. Airnya seperti cermin. Dan di sana, pantulannya bukan dirinya. Tapi pria dengan jubah naga dan mata emas. “Siapa kau?” bisik Gohan. Pantulan itu tersenyum tipis. “Aku? Aku adalah kau. Saat kau memilih langit, bukan cinta.” Lalu bayangan itu menyatu dengan danau. Dan seberkas cahaya memancar dari tengah air, menyibak jalan menuju sebuah makam kuno di bawah permukaan. Di gerbang batu tertulis: Gerbang Warisan Langit: Hanya Darah Dewa yang Bisa Masuk. Gohan melangkah maju. Tapi saat darahnya menetes di ukiran batu itu, suara mengerikan terdengar dari dalam danau. Suara tawa. Dan jeritan. “Akhirnya... pewaris ketujuh kembali.” Batu-batu mulai bergerak sendiri, membuka celah sempit menuju kegelapan. Gohan menelan ludah. Ia tahu, jika masuk... tak akan ada jalan kembali. Tapi ia sudah memilih sejak desa terbakar. Dengan langkah gemetar, ia masuk. Dan di dalam, seseorang telah menunggunya sejak ribuan tahun lalu.Hening itu mematikan.Ujung pedang emas bergetar di leher Rouye, nyaris menyentuh kulit. Cahaya dari bilahnya berdenyut, bukan sekadar cahaya. Melainkan desakan, dorongan haus darah yang kian kuat. Seakan pedang itu sendiri ingin segera menenggelamkan diri ke dalam daging sahabat yang kini berdiri sebagai pengkhianat.“Han,” suara Rouye lirih, senyumnya anehnya tenang. “Kau tidak berani. Karena di balik semua keberanianmu, kau masih bocah desa yang takut kehilangan satu-satunya orang yang pernah menatapmu sebagai saudara.”Gohan menggertakkan gigi. Jantungnya berdegup gila, seakan ingin merobek dadanya. Xiulan di sisi ruangan berteriak, air mata berkilat di wajahnya.“Jangan lakukan itu! Jika kau mendengarkan pedang, kau akan kehilangan dirimu!”Tapi bagaimana mungkin ia tidak mendengarkan? Bisikan pedang itu seperti gelombang yang menghantam terus-menerus. Masuk lewat telinga, meresap ke dalam nadi.“Tebas. Dia adalah bayangan.
Angin malam menyapu hening kuil. Sisa-sisa cahaya dari pedang emas masih berdenyut samar, namun di balik keindahan itu ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Gohan meremang. Bisikan halus yang menghantam pikirannya tidak sepenuhnya hilang, ia hanya bersembunyi, menunggu. “Gohan,” suara Xiulan lirih, “matamu… masih berubah-ubah warnanya.” Ia mengusap sudut wajah Gohan, seakan ingin memastikan lelaki itu masih utuh. Gohan hanya mengangguk, menutup matanya sejenak untuk menahan denyutan gelap di dada. Rouye berdiri di pintu kuil, matanya tajam menatap kegelapan malam. “Aku merasakan sesuatu. Ada yang mengintai. Sekte Bayangan… mereka tidak akan tinggal diam setelah kau menguasai pedang itu.” Gohan mengangkat kepalanya. Kata-kata itu langsung membuat napasnya berat. Sekte Bayangan, sekte kuno yang dipercaya telah lenyap ratusan tahun lalu, terkenal karena doktrin licik mereka: ‘Bayangan lebih tajam daripada pedang.’ Mereka tidak m
Gohan terduduk, tubuhnya gemetar, pedang emas di tangan seperti membakar kulit. Napas tersengal, jantung berdegup liar, dan dunia di sekelilingnya terasa melayang, kuil Langit Ketujuh lenyap, menyisakan ruang hampa dan cahaya. “Tidak… tidak mungkin,” desisnya. Kepala berat, suara dalam pikirannya berputar, bukan lagi kabut kuil. Itu… suara pedangnya. “Gohan… kau lemah,” bisik lembut tapi menusuk. “Kau tak pantas mewarisi ini. Ikuti aku… semua penderitaan akan berhenti.” Cahaya emas memudar, berganti semburat hitam pekat berputar di udara, menyentuh kulit dengan dingin mengerikan. Jantungnya berdetak lebih kencang, tubuh gemetar. Pedang itu… hidup. “Bicara padaku?” suaranya serak. Tubuh menggigil, pandangan menelan kuil sunyi, setiap detak terdengar seperti gendang perang. “Tidak, aku bicara melalui kau. Aku tersegel ribuan tahun, menunggu pemilik kuat dan putus asa. Kini aku bangkit.” Suara berbaur dengan det
Udara di sekeliling Gohan seolah berhenti berputar ketika kakinya menjejak tangga terakhir. Setiap langkah menggemakan suara asing, seperti batu-batu kuno itu mengenali siapa yang berjalan di atasnya. Di hadapannya menjulang bangunan yang tak bisa digambarkan dengan kata manusia, Kuil terakhir di Langit Ketujuh. Pilar-pilarnya menggantung di udara, berkilau seperti potongan bintang yang membeku, atapnya dipenuhi ukiran naga dan phoenix yang bergerak samar, seakan bernapas. Gohan menelan ludah, rasa logam masih tersisa di lidahnya dari darah yang belum sempat kering sejak pertempuran terakhir. Tubuhnya sakit, teknik terlarang yang dipakai menuntut balasan, tapi matanya tak bisa lepas dari cahaya kuil itu, emas, sama dengan pedang yang dulu jatuh di depannya di desa sepi. “Ini… tujuan akhir…” bisiknya serak. Xiulan di sisi kiri menatapnya teguh meski pucat, Rouye di kanan, tangan terkepal hingga buku jarinya memutih. Keduanya
Darah terasa seperti mendidih di seluruh tubuh Gohan. Nafasnya terhuyung, seperti paru-paru menolak udara. Teknik terlarang yang barusan ia ciptakan masih bergetar di setiap serat ototnya, memaksa tubuhnya menerima beban yang tak pernah diciptakan untuk ditanggung. Setiap denyut nadi adalah cambuk. Setiap gerakan adalah hukuman.Matanya mengabur. Pandangan terbelah antara dunia nyata dan sesuatu yang lain, sebuah ruang yang tak memiliki warna. Bising dari pertempuran tadi lenyap, terganti oleh keheningan yang terlalu dalam untuk disebut damai. Langkah-langkah ringan terdengar di belakangnya, tapi kaki itu tak pernah menyentuh tanah. Suaranya seperti bisikan dari balik pintu yang tak pernah terbuka.“Gohan… apa kau pikir kau bisa menghapusku dengan membunuh tubuhku?”Suara itu membuat tengkuknya kaku. Ia tahu suara itu. Suara yang dulu mengajari, lalu mengkhianati. Suara yang ia pastikan sudah membeku bersama tubuh pemiliknya di dasar jurang maut lima tahun
Gohan terhuyung, pandangannya kabur, dunia di sekelilingnya seperti kehilangan warna. Suara langkah-langkah asing terdengar samar, bercampur dengan napasnya yang berat."Hei, anak muda... kau bahkan berdiri pun tak sanggup," suara itu serak namun mengandung sesuatu yang menusuk hatinya.Gohan memaksa menoleh. Di hadapannya berdiri seorang lelaki renta berbalut jubah compang-camping, matanya redup seperti nyala lilin di ujung malam. Namun anehnya, tatapan itu memancarkan pengenalan, bukan pada dirinya, tapi pada darah yang mengalir di nadinya.“Ayahmu... pernah menyelamatkan seluruh lembah ini,” gumam lelaki itu, membuat Gohan membeku. Dunia tanpa dewa ini mestinya tak mengenal kisah tentang Langit Ketujuh, tapi kata-kata itu menusuk seperti tombak perak.“Kau... mengenal ayahku?” suara Gohan bergetar, tubuhnya goyah, dan sebelum jawaban itu datang, pandangannya menghitam.Ia terbangun di tengah gubuk reyot yang berbau asap kayu. Tubuhnya basah oleh