Gelap. Sunyi. Tapi langit tidak benar-benar diam.
Gohan terbangun dalam runtuhan malam, napasnya berat, dada terasa diremukkan oleh ribuan panah tak kasatmata. Hujan sudah berhenti, namun bau tanah basah bercampur abu masih menyengat. Ia menggeliat perlahan, menyentuh dada yang terasa terbakar. Di sana, darah masih mengalir pelan. Tapi bukan merah. Emas. "Apa… ini?" desisnya pelan, menggigil melihat cairan keemasan yang mengalir dari lukanya. Bumi tiba-tiba bergetar. Retakan kecil menjalar dari tanah tempat darahnya jatuh. Suara retak-retak terdengar seperti jerit batu. Lalu... boom—tanah di depannya meledak membentuk lubang besar, dan dari dalamnya muncul cahaya pilar yang menyembur ke langit. Langit kembali menyala. Bukan petir. Tapi gerbang. Sebuah struktur batu melayang, seperti terbuat dari langit yang membatu. Gerbang berukir naga dan bintang, tertulis dalam aksara kuno yang seolah bergetar dalam batinnya: Gerbang Mitian — Hanya Darah Langit yang Bisa Membuka. “Tidak mungkin…” Gohan bergumam, kakinya melangkah pelan menuju gerbang bercahaya itu. Pedang hitam di tangannya berdenyut, seolah merespons sesuatu. Aura langit yang lembut tapi mematikan mulai menarik tubuhnya. Sebelum ia bisa menyentuh gerbang itu, suara langkah ringan menyela. "Akhirnya... kita bertemu lagi." Gohan berbalik cepat. Di antara rerimbun pohon yang terbakar, berdiri seorang gadis berbaju putih. Rambutnya panjang, hitam kebiruan, dan matanya… entah mengapa terasa familiar. Ada bayang bulan dalam bola matanya. Tenang, tapi menyimpan badai. "Kamu… siapa?" Gadis itu menunduk pelan, lalu tersenyum tipis. “Yue Xiulan. Namaku sudah kau dengar, kan? Meski hanya dalam mimpi.” Gohan membeku. Ia teringat kilasan aneh selama ini—seorang gadis yang menangis di bawah bulan, memanggil namanya, menyentuh pedang di dadanya. Tapi selama ini ia mengira itu hanya delusi dari luka dan duka. “Kenapa kamu ada di sini?” Xiulan mendekat, seolah tak takut pada aura maut dari gerbang atau pedang hitam Gohan. “Aku sudah mencarimu sejak aku berumur lima tahun,” bisiknya. “Kau ada dalam penglihatan pertamaku. Saat aku mulai bermeditasi, aku melihatmu… berdarah emas… di depan gerbang ini.” Gohan mundur setengah langkah, matanya menelisik. “Apa maksudmu?” Xiulan memandangnya dalam. “Kau adalah kunci. Gerbang Mitian tidak akan terbuka kecuali darah langit menyentuh nisan leluhur.” Ia menunjuk ke belakang gerbang. Di sana berdiri sebuah batu nisan tua, menjulang setinggi dua meter, diselimuti akar dan lumut, tapi samar terlihat ukiran naga bermata satu. “Kamu ingin aku meneteskan darah ke situ?” tanya Gohan curiga. Xiulan mengangguk. “Dan jika gerbang itu terbuka, jalan menuju rahasia Langit Ketujuh akan terlihat. Tapi hanya kau… yang bisa membukanya.” Gohan masih terdiam. Tapi di dalam dadanya, suara pedang kembali berbisik, lirih namun menusuk: “Darahmu adalah kunci, tapi juga kutukan.” Seketika, tanah kembali gemetar. Gerbang bersinar terang, dan nisan kuno itu bersuara… seperti memanggil. “Teteskan darah… dan langit akan menilai.” Gohan maju perlahan, tubuhnya terasa berat, seolah ratusan beban masa lalu menindih pundaknya. Tapi satu hal ia tahu—ini adalah jalan yang tak bisa ia hindari. Ia mencabut pedangnya pelan, lalu menggigit tangannya. Darah emas menetes… satu tetes… dua tetes… jatuh di atas batu nisan. Dan dunia runtuh. Batu nisan bergetar keras, mengeluarkan semburan cahaya yang membuat Xiulan terpental. Gohan terangkat ke udara, tubuhnya terhisap oleh formasi kuno yang muncul dari dasar tanah. Gerbang Mitian berputar, dan simbol naga menyala. "Kau telah membuka yang tersegel… Pewaris Ketujuh." Suara itu bukan milik siapa pun. Ia berasal dari langit. Dalam. Gaib. Tapi juga… sedih. Xiulan menatap ke atas dengan napas tercekat. “Kau benar-benar pewaris langit…” gumamnya. Tapi kebangkitan tidak pernah datang sendiri. Langit di atas gerbang tiba-tiba menghitam, diselimuti kabut merah. Suara tawa mengerikan terdengar dari balik bayangan. "Kalian terlalu cepat membuka gerbang itu." Dari kabut turun sosok berselimut jubah hitam, matanya bercahaya ungu, dan di tangannya terdapat belati bersimbah racun. Xiulan menggertakkan gigi. “Zhao Wuji…” Musuh itu muncul terlalu cepat. Wuji menyeringai. “Sudah kubilang, Xiulan. Pewaris itu harus dihentikan sebelum dia menyentuh kebenaran.” Gohan baru saja turun dari langit ketika Wuji menyerang. Belati melesat cepat, Xiulan melompat menghadang—tapi serangan itu melengkung ke arah Gohan, langsung menuju lehernya. Crang! Pedang hitam menahan tebasan. Tapi Gohan terpental, darah mengucur lagi. Darah emas. Namun kali ini, darah itu tidak jatuh ke tanah. Ia melayang. Dan berubah menjadi tulisan. Di udara, darah emas itu membentuk simbol aneh. Xiulan terpana. Wuji terhenti. Bahkan langit membeku. Simbol itu… adalah segel. Segel Langit Ketujuh. "Tidak mungkin… Kau belum seharusnya mengaktifkannya!” bentak Wuji. Tapi semuanya sudah terlambat. Cahaya meledak dari gerbang. Akar dan batu beterbangan, dan sebuah jalan terbuka—bukan tanah, tapi lajur cahaya di udara. Menuju tempat yang tidak bisa dipahami oleh pikiran biasa. Xiulan menggenggam tangan Gohan. “Itu jalan ke Mitian. Kita harus masuk sekarang!” Namun Gohan goyah, matanya kehilangan fokus. Terlalu banyak kekuatan membanjiri tubuhnya. Ia terhuyung. Wuji bersiap menyerang lagi. Tiba-tiba, pedang hitam di tangan Gohan berubah. Emas kembali muncul di bilahnya. Ukiran naga menyala, dan aura langit memancar liar. “Pewaris Ketujuh telah membangunkan nama.” Pedang itu… bersuara lagi. Tapi kali ini bukan dalam pikirannya. Semua orang mendengarnya. Bahkan Wuji. “Mustahil… Pedang itu bicara sendiri?” Xiulan menatap Gohan. “Dia bukan hanya pewaris. Dia… penerus takdir.” Pedang menebas ke depan tanpa komando. Gelombang cahaya memukul Wuji hingga terpental jauh, tubuhnya hancur sebagian. Tapi pria itu tertawa bahkan saat berdarah. “Kau… akan membawa kiamat itu kembali. Hahaha…” Ia menghilang dalam kabut sebelum Xiulan sempat mengejarnya. Gohan nyaris roboh. Tapi sebelum tubuhnya menyentuh tanah, gerbang bercahaya menariknya masuk. Xiulan melompat menyusul. Dan mereka… menghilang dalam cahaya. Gerbang Mitian perlahan menutup kembali, menyisakan bisikan nisan kuno: “Gerbang dibuka… nama telah dikenal… tapi harga belum dibayar.” Sementara itu, jauh di Langit Tengah, seorang tua bermantel putih memandang ke arah semburan cahaya dari kejauhan. Di tangannya, gulungan kuno terbuka sendiri. Satu nama bersinar di sana: Li Gehán. Dan di bawahnya, satu catatan terbakar pelan: Pewaris Langit Ketujuh — status: aktif. Pedang Gohan menyala sepenuhnya, simbol naga bergerak hidup. Tapi bisikan pedang terakhir membuat Xiulan merinding: “Jika ia membuka gerbang berikutnya, langit akan runtuh sebelum waktunya.”Hening itu mematikan.Ujung pedang emas bergetar di leher Rouye, nyaris menyentuh kulit. Cahaya dari bilahnya berdenyut, bukan sekadar cahaya. Melainkan desakan, dorongan haus darah yang kian kuat. Seakan pedang itu sendiri ingin segera menenggelamkan diri ke dalam daging sahabat yang kini berdiri sebagai pengkhianat.“Han,” suara Rouye lirih, senyumnya anehnya tenang. “Kau tidak berani. Karena di balik semua keberanianmu, kau masih bocah desa yang takut kehilangan satu-satunya orang yang pernah menatapmu sebagai saudara.”Gohan menggertakkan gigi. Jantungnya berdegup gila, seakan ingin merobek dadanya. Xiulan di sisi ruangan berteriak, air mata berkilat di wajahnya.“Jangan lakukan itu! Jika kau mendengarkan pedang, kau akan kehilangan dirimu!”Tapi bagaimana mungkin ia tidak mendengarkan? Bisikan pedang itu seperti gelombang yang menghantam terus-menerus. Masuk lewat telinga, meresap ke dalam nadi.“Tebas. Dia adalah bayangan.
Angin malam menyapu hening kuil. Sisa-sisa cahaya dari pedang emas masih berdenyut samar, namun di balik keindahan itu ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Gohan meremang. Bisikan halus yang menghantam pikirannya tidak sepenuhnya hilang, ia hanya bersembunyi, menunggu. “Gohan,” suara Xiulan lirih, “matamu… masih berubah-ubah warnanya.” Ia mengusap sudut wajah Gohan, seakan ingin memastikan lelaki itu masih utuh. Gohan hanya mengangguk, menutup matanya sejenak untuk menahan denyutan gelap di dada. Rouye berdiri di pintu kuil, matanya tajam menatap kegelapan malam. “Aku merasakan sesuatu. Ada yang mengintai. Sekte Bayangan… mereka tidak akan tinggal diam setelah kau menguasai pedang itu.” Gohan mengangkat kepalanya. Kata-kata itu langsung membuat napasnya berat. Sekte Bayangan, sekte kuno yang dipercaya telah lenyap ratusan tahun lalu, terkenal karena doktrin licik mereka: ‘Bayangan lebih tajam daripada pedang.’ Mereka tidak m
Gohan terduduk, tubuhnya gemetar, pedang emas di tangan seperti membakar kulit. Napas tersengal, jantung berdegup liar, dan dunia di sekelilingnya terasa melayang, kuil Langit Ketujuh lenyap, menyisakan ruang hampa dan cahaya. “Tidak… tidak mungkin,” desisnya. Kepala berat, suara dalam pikirannya berputar, bukan lagi kabut kuil. Itu… suara pedangnya. “Gohan… kau lemah,” bisik lembut tapi menusuk. “Kau tak pantas mewarisi ini. Ikuti aku… semua penderitaan akan berhenti.” Cahaya emas memudar, berganti semburat hitam pekat berputar di udara, menyentuh kulit dengan dingin mengerikan. Jantungnya berdetak lebih kencang, tubuh gemetar. Pedang itu… hidup. “Bicara padaku?” suaranya serak. Tubuh menggigil, pandangan menelan kuil sunyi, setiap detak terdengar seperti gendang perang. “Tidak, aku bicara melalui kau. Aku tersegel ribuan tahun, menunggu pemilik kuat dan putus asa. Kini aku bangkit.” Suara berbaur dengan det
Udara di sekeliling Gohan seolah berhenti berputar ketika kakinya menjejak tangga terakhir. Setiap langkah menggemakan suara asing, seperti batu-batu kuno itu mengenali siapa yang berjalan di atasnya. Di hadapannya menjulang bangunan yang tak bisa digambarkan dengan kata manusia, Kuil terakhir di Langit Ketujuh. Pilar-pilarnya menggantung di udara, berkilau seperti potongan bintang yang membeku, atapnya dipenuhi ukiran naga dan phoenix yang bergerak samar, seakan bernapas. Gohan menelan ludah, rasa logam masih tersisa di lidahnya dari darah yang belum sempat kering sejak pertempuran terakhir. Tubuhnya sakit, teknik terlarang yang dipakai menuntut balasan, tapi matanya tak bisa lepas dari cahaya kuil itu, emas, sama dengan pedang yang dulu jatuh di depannya di desa sepi. “Ini… tujuan akhir…” bisiknya serak. Xiulan di sisi kiri menatapnya teguh meski pucat, Rouye di kanan, tangan terkepal hingga buku jarinya memutih. Keduanya
Darah terasa seperti mendidih di seluruh tubuh Gohan. Nafasnya terhuyung, seperti paru-paru menolak udara. Teknik terlarang yang barusan ia ciptakan masih bergetar di setiap serat ototnya, memaksa tubuhnya menerima beban yang tak pernah diciptakan untuk ditanggung. Setiap denyut nadi adalah cambuk. Setiap gerakan adalah hukuman.Matanya mengabur. Pandangan terbelah antara dunia nyata dan sesuatu yang lain, sebuah ruang yang tak memiliki warna. Bising dari pertempuran tadi lenyap, terganti oleh keheningan yang terlalu dalam untuk disebut damai. Langkah-langkah ringan terdengar di belakangnya, tapi kaki itu tak pernah menyentuh tanah. Suaranya seperti bisikan dari balik pintu yang tak pernah terbuka.“Gohan… apa kau pikir kau bisa menghapusku dengan membunuh tubuhku?”Suara itu membuat tengkuknya kaku. Ia tahu suara itu. Suara yang dulu mengajari, lalu mengkhianati. Suara yang ia pastikan sudah membeku bersama tubuh pemiliknya di dasar jurang maut lima tahun
Gohan terhuyung, pandangannya kabur, dunia di sekelilingnya seperti kehilangan warna. Suara langkah-langkah asing terdengar samar, bercampur dengan napasnya yang berat."Hei, anak muda... kau bahkan berdiri pun tak sanggup," suara itu serak namun mengandung sesuatu yang menusuk hatinya.Gohan memaksa menoleh. Di hadapannya berdiri seorang lelaki renta berbalut jubah compang-camping, matanya redup seperti nyala lilin di ujung malam. Namun anehnya, tatapan itu memancarkan pengenalan, bukan pada dirinya, tapi pada darah yang mengalir di nadinya.“Ayahmu... pernah menyelamatkan seluruh lembah ini,” gumam lelaki itu, membuat Gohan membeku. Dunia tanpa dewa ini mestinya tak mengenal kisah tentang Langit Ketujuh, tapi kata-kata itu menusuk seperti tombak perak.“Kau... mengenal ayahku?” suara Gohan bergetar, tubuhnya goyah, dan sebelum jawaban itu datang, pandangannya menghitam.Ia terbangun di tengah gubuk reyot yang berbau asap kayu. Tubuhnya basah oleh