Home / Fantasi / Pewaris Langit Ketujuh / Bab 3 - Desa Terbakar, Nama Tersegel

Share

Bab 3 - Desa Terbakar, Nama Tersegel

Author: Andi Iwa
last update Last Updated: 2025-07-21 03:03:51

Guruh petir masih bergema di benaknya ketika ia membuka mata. Dunia tampak retak, seperti batas antara mimpi dan kenyataan telah terhapus. Di hadapannya, padang berlubang terbentang sunyi, bekas reruntuhan gua tempat ia tersadar. Hujan telah reda, menyisakan udara lembap, bercampur bau tanah gosong dan abu tak bernama.

Pedang hitam, yang dulunya emas, masih dalam genggamannya. Warnanya kini lebih gelap dari malam, dan auranya makin berat, seperti menarik jiwa ke jurang tanpa dasar.

Kilatan merah melesat dari langit.

“Desa... Desaku...”

Bisikan itu meluncur dari hatinya, bukan dari mulut. Ada sesuatu yang membakar lebih cepat dari api, panik. Ia melangkah, namun suara lirih menghentikannya.

“Nak… kau…”

Suara itu lembut, penuh kasih, dan menua. Ia mengenali nada itu bahkan dalam detik sekarat. Bu Ah.

Di antara reruntuhan kayu terbakar dan debu yang belum mengendap, tubuh tua itu tergeletak. Matanya terbuka, menatap Gohan seolah menahan rahasia besar di ujung hidup.

“Ma… apa yang terjadi?”

Suaranya serak, nyaris tak terdengar.

Bu Ah tak menjawab langsung. Ia hanya menangis diam, lalu berbisik, “Maafkan aku, Nak... demi menutup takdirmu...”

Darah. Dua tetes, perlahan menetes dari dadanya. Saat menyentuh tanah, pedang di tangan Gohan seolah hidup. Ia menyerap darah itu seperti anak yang haus, lalu bergetar dalam cahaya pekat.

Bu Ah memejamkan mata. Tak bernapas lagi.

Langit runtuh dalam jiwanya.

Malam itu, Desa Langit Sepi menjadi kisah dalam legenda yang terulang. Dalam prasasti batu putih yang dilupakan waktu, para leluhur menulis:

“Pewaris harus rela mengorbankan darah cinta, agar nama tetap tersegel, dan kutukan tidak bangkit.”

Gohan mematung. Ia teringat kisah-kisah masa kecil, tentang kutukan klan Li, tentang kehancuran karena satu segel yang dibuka secara paksa. Sejak itu, klan mereka hidup dalam persembunyian, memikul aib dan sumpah sunyi.

Dan Bu Ah bukan darah klan, tapi memilih mengorbankan dirinya. Demi Gohan.

Air mata jatuh diam-diam.

“Ma... semua ini... untukku?”

Tiba-tiba, pedang di tangan Gohan menyala, dan api biru meledak dari langit, seolah tersulut oleh kehilangan. Desa yang dulu tenang kini terbakar. Bukan hanya rumah, tapi juga roh, tradisi, dan ikatan. Teriakan warga, raungan hewan, suara puing runtuh bercampur menjadi simfoni kehancuran.

Lalu...

Petir kembali membelah langit, kali ini biru pekat.

Dari balik awan, siluet para penerbang muncul. Sekte Langit Bening.

Mereka turun dalam formasi. Senyap, presisi. Pedang kristal biru di tangan mereka memantulkan cahaya dingin.

Dan saat itulah Gohan melihat, pedang di tangannya juga menyala. Tapi bukan warna yang sama. Ia membara. Berontak. Hidup.

Dan di dalam dirinya, terdengar teriakan:

“Mustahil… itu pedang menyerap api langit?!”

Para penerbang mendarat. Seorang bertopeng perak melangkah ke depan. Wibawa dinginnya menyelimuti malam.

“Pewaris ketujuh… kau tak boleh membiarkan kutukan lama bangkit kembali. Desa ini harus dimurnikan.”

Gohan menggigil. Tapi bukan karena takut.

Karena kehilangan.

Pedang di tangannya menggigil. Cahaya hitam hijau membentuk bayang pelindung di sekelilingnya, prajurit bayangan dari kekuatan yang tak ia pahami.

Salah satu penerbang tertegun. “Itu... itu kekuatan darah dewa...”

Lalu mundur.

Gohan menatap mereka. Sudut bibirnya terangkat getir.

“Wah... darah dewa ternyata tidak cuma mitos.”

Pertempuran pun meledak.

Pedang emas hitam melawan kristal biru. Api biru dari langit dibalas semburan energi hijau. Tanah bergetar, langit menangis. Desa berubah menjadi medan spiritual, antara dunia dan neraka.

Tapi mereka tak hanya menyerang.

Empat orang mengunci Gohan dalam formasi, memaksanya tetap di tengah.

Dan tubuhnya lelah. Sangat lelah. Seolah setiap tetes darah sudah menyatu dengan beban pedang.

Gohan jatuh terduduk, tubuhnya mengendur. Di kepalanya, suara kembali datang:

“Bangun... pewaris... waktumu belum selesai.”

Namun ia tak bisa bangun. Dunia terasa runtuh dari dalam.

Dan bisikan itu… makin jelas:

“Jangan percaya darahmu.”

Siapa?

Ibunya? Dirinya sendiri? Pedang itu?

Bayangan melintas.

Wajah Bu Ah tersenyum lirih, menatap pedang.

“Hush, Nak. Jangan takut menjadi pewaris. Tapi jangan juga rela dirasuki by blood.”

Lalu...

Bayangan pecahan cermin. Dirinya, dengan mata iblis. Tertawa di atas darah. Bukan pelindung. Tapi penghancur.

Cerah dan gelap.

Harapan dan kehancuran.

Segalanya campur.

Gohan pingsan. Tubuhnya jatuh ke tanah, tenggelam dalam air mata dan abu.

Pedang emas hitam masih menyala, samar, namun hidup.

Dalam bisikan terakhir sebelum kesadaran padam, ia mendengar suara…

Bukan suara manusia.

Suara naga. Suara roh tua.

“Selamat datang di ujung jalanmu... Kini kau merasakan darah yang menyembelih cinta.”

Pedang itu kini menancap dalam puing, menyala pelan.

Dari jauh…

Tawa dingin menggema.

Dan langit? Masih terbakar biru.

Gohan tak tahu lagi, siapa yang layak dipercaya. Dirinya, ibunya, atau pedang yang telah menyegel takdir.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 73 - Rahasia Pedang Langit Ketujuh Terkuak, Kunci Dunia dan Kutukan Abadi

    Hening itu mematikan.Ujung pedang emas bergetar di leher Rouye, nyaris menyentuh kulit. Cahaya dari bilahnya berdenyut, bukan sekadar cahaya. Melainkan desakan, dorongan haus darah yang kian kuat. Seakan pedang itu sendiri ingin segera menenggelamkan diri ke dalam daging sahabat yang kini berdiri sebagai pengkhianat.“Han,” suara Rouye lirih, senyumnya anehnya tenang. “Kau tidak berani. Karena di balik semua keberanianmu, kau masih bocah desa yang takut kehilangan satu-satunya orang yang pernah menatapmu sebagai saudara.”Gohan menggertakkan gigi. Jantungnya berdegup gila, seakan ingin merobek dadanya. Xiulan di sisi ruangan berteriak, air mata berkilat di wajahnya.“Jangan lakukan itu! Jika kau mendengarkan pedang, kau akan kehilangan dirimu!”Tapi bagaimana mungkin ia tidak mendengarkan? Bisikan pedang itu seperti gelombang yang menghantam terus-menerus. Masuk lewat telinga, meresap ke dalam nadi.“Tebas. Dia adalah bayangan.

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 72 - Sekte Bayangan Mengintai, Pengkhianatan dari Dalam

    Angin malam menyapu hening kuil. Sisa-sisa cahaya dari pedang emas masih berdenyut samar, namun di balik keindahan itu ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Gohan meremang. Bisikan halus yang menghantam pikirannya tidak sepenuhnya hilang, ia hanya bersembunyi, menunggu. “Gohan,” suara Xiulan lirih, “matamu… masih berubah-ubah warnanya.” Ia mengusap sudut wajah Gohan, seakan ingin memastikan lelaki itu masih utuh. Gohan hanya mengangguk, menutup matanya sejenak untuk menahan denyutan gelap di dada. Rouye berdiri di pintu kuil, matanya tajam menatap kegelapan malam. “Aku merasakan sesuatu. Ada yang mengintai. Sekte Bayangan… mereka tidak akan tinggal diam setelah kau menguasai pedang itu.” Gohan mengangkat kepalanya. Kata-kata itu langsung membuat napasnya berat. Sekte Bayangan, sekte kuno yang dipercaya telah lenyap ratusan tahun lalu, terkenal karena doktrin licik mereka: ‘Bayangan lebih tajam daripada pedang.’ Mereka tidak m

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 71 – Kebangkitan Terlarang

    Gohan terduduk, tubuhnya gemetar, pedang emas di tangan seperti membakar kulit. Napas tersengal, jantung berdegup liar, dan dunia di sekelilingnya terasa melayang, kuil Langit Ketujuh lenyap, menyisakan ruang hampa dan cahaya. “Tidak… tidak mungkin,” desisnya. Kepala berat, suara dalam pikirannya berputar, bukan lagi kabut kuil. Itu… suara pedangnya. “Gohan… kau lemah,” bisik lembut tapi menusuk. “Kau tak pantas mewarisi ini. Ikuti aku… semua penderitaan akan berhenti.” Cahaya emas memudar, berganti semburat hitam pekat berputar di udara, menyentuh kulit dengan dingin mengerikan. Jantungnya berdetak lebih kencang, tubuh gemetar. Pedang itu… hidup. “Bicara padaku?” suaranya serak. Tubuh menggigil, pandangan menelan kuil sunyi, setiap detak terdengar seperti gendang perang. “Tidak, aku bicara melalui kau. Aku tersegel ribuan tahun, menunggu pemilik kuat dan putus asa. Kini aku bangkit.” Suara berbaur dengan det

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 70 – Warisan atau Kematian?

    Udara di sekeliling Gohan seolah berhenti berputar ketika kakinya menjejak tangga terakhir. Setiap langkah menggemakan suara asing, seperti batu-batu kuno itu mengenali siapa yang berjalan di atasnya. Di hadapannya menjulang bangunan yang tak bisa digambarkan dengan kata manusia, Kuil terakhir di Langit Ketujuh. Pilar-pilarnya menggantung di udara, berkilau seperti potongan bintang yang membeku, atapnya dipenuhi ukiran naga dan phoenix yang bergerak samar, seakan bernapas. Gohan menelan ludah, rasa logam masih tersisa di lidahnya dari darah yang belum sempat kering sejak pertempuran terakhir. Tubuhnya sakit, teknik terlarang yang dipakai menuntut balasan, tapi matanya tak bisa lepas dari cahaya kuil itu, emas, sama dengan pedang yang dulu jatuh di depannya di desa sepi. “Ini… tujuan akhir…” bisiknya serak. Xiulan di sisi kiri menatapnya teguh meski pucat, Rouye di kanan, tangan terkepal hingga buku jarinya memutih. Keduanya

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 69 – Kehendak yang Tak Pernah Mati

    Darah terasa seperti mendidih di seluruh tubuh Gohan. Nafasnya terhuyung, seperti paru-paru menolak udara. Teknik terlarang yang barusan ia ciptakan masih bergetar di setiap serat ototnya, memaksa tubuhnya menerima beban yang tak pernah diciptakan untuk ditanggung. Setiap denyut nadi adalah cambuk. Setiap gerakan adalah hukuman.Matanya mengabur. Pandangan terbelah antara dunia nyata dan sesuatu yang lain, sebuah ruang yang tak memiliki warna. Bising dari pertempuran tadi lenyap, terganti oleh keheningan yang terlalu dalam untuk disebut damai. Langkah-langkah ringan terdengar di belakangnya, tapi kaki itu tak pernah menyentuh tanah. Suaranya seperti bisikan dari balik pintu yang tak pernah terbuka.“Gohan… apa kau pikir kau bisa menghapusku dengan membunuh tubuhku?”Suara itu membuat tengkuknya kaku. Ia tahu suara itu. Suara yang dulu mengajari, lalu mengkhianati. Suara yang ia pastikan sudah membeku bersama tubuh pemiliknya di dasar jurang maut lima tahun

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 68 - Teknik Terlarang yang Diciptakan Gohan

    Gohan terhuyung, pandangannya kabur, dunia di sekelilingnya seperti kehilangan warna. Suara langkah-langkah asing terdengar samar, bercampur dengan napasnya yang berat."Hei, anak muda... kau bahkan berdiri pun tak sanggup," suara itu serak namun mengandung sesuatu yang menusuk hatinya.Gohan memaksa menoleh. Di hadapannya berdiri seorang lelaki renta berbalut jubah compang-camping, matanya redup seperti nyala lilin di ujung malam. Namun anehnya, tatapan itu memancarkan pengenalan, bukan pada dirinya, tapi pada darah yang mengalir di nadinya.“Ayahmu... pernah menyelamatkan seluruh lembah ini,” gumam lelaki itu, membuat Gohan membeku. Dunia tanpa dewa ini mestinya tak mengenal kisah tentang Langit Ketujuh, tapi kata-kata itu menusuk seperti tombak perak.“Kau... mengenal ayahku?” suara Gohan bergetar, tubuhnya goyah, dan sebelum jawaban itu datang, pandangannya menghitam.Ia terbangun di tengah gubuk reyot yang berbau asap kayu. Tubuhnya basah oleh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status