Guruh petir masih bergema di benaknya ketika ia membuka mata. Dunia tampak retak, seperti batas antara mimpi dan kenyataan telah terhapus. Di hadapannya, padang berlubang terbentang sunyi, bekas reruntuhan gua tempat ia tersadar. Hujan telah reda, menyisakan udara lembap, bercampur bau tanah gosong dan abu tak bernama.
Pedang hitam, yang dulunya emas, masih dalam genggamannya. Warnanya kini lebih gelap dari malam, dan auranya makin berat, seperti menarik jiwa ke jurang tanpa dasar. Kilatan merah melesat dari langit. “Desa... Desaku...” Bisikan itu meluncur dari hatinya, bukan dari mulut. Ada sesuatu yang membakar lebih cepat dari api, panik. Ia melangkah, namun suara lirih menghentikannya. “Nak… kau…” Suara itu lembut, penuh kasih, dan menua. Ia mengenali nada itu bahkan dalam detik sekarat. Bu Ah. Di antara reruntuhan kayu terbakar dan debu yang belum mengendap, tubuh tua itu tergeletak. Matanya terbuka, menatap Gohan seolah menahan rahasia besar di ujung hidup. “Ma… apa yang terjadi?” Suaranya serak, nyaris tak terdengar. Bu Ah tak menjawab langsung. Ia hanya menangis diam, lalu berbisik, “Maafkan aku, Nak... demi menutup takdirmu...” Darah. Dua tetes, perlahan menetes dari dadanya. Saat menyentuh tanah, pedang di tangan Gohan seolah hidup. Ia menyerap darah itu seperti anak yang haus, lalu bergetar dalam cahaya pekat. Bu Ah memejamkan mata. Tak bernapas lagi. Langit runtuh dalam jiwanya. Malam itu, Desa Langit Sepi menjadi kisah dalam legenda yang terulang. Dalam prasasti batu putih yang dilupakan waktu, para leluhur menulis: “Pewaris harus rela mengorbankan darah cinta, agar nama tetap tersegel, dan kutukan tidak bangkit.” Gohan mematung. Ia teringat kisah-kisah masa kecil, tentang kutukan klan Li, tentang kehancuran karena satu segel yang dibuka secara paksa. Sejak itu, klan mereka hidup dalam persembunyian, memikul aib dan sumpah sunyi. Dan Bu Ah bukan darah klan, tapi memilih mengorbankan dirinya. Demi Gohan. Air mata jatuh diam-diam. “Ma... semua ini... untukku?” Tiba-tiba, pedang di tangan Gohan menyala, dan api biru meledak dari langit, seolah tersulut oleh kehilangan. Desa yang dulu tenang kini terbakar. Bukan hanya rumah, tapi juga roh, tradisi, dan ikatan. Teriakan warga, raungan hewan, suara puing runtuh bercampur menjadi simfoni kehancuran. Lalu... Petir kembali membelah langit, kali ini biru pekat. Dari balik awan, siluet para penerbang muncul. Sekte Langit Bening. Mereka turun dalam formasi. Senyap, presisi. Pedang kristal biru di tangan mereka memantulkan cahaya dingin. Dan saat itulah Gohan melihat, pedang di tangannya juga menyala. Tapi bukan warna yang sama. Ia membara. Berontak. Hidup. Dan di dalam dirinya, terdengar teriakan: “Mustahil… itu pedang menyerap api langit?!” Para penerbang mendarat. Seorang bertopeng perak melangkah ke depan. Wibawa dinginnya menyelimuti malam. “Pewaris ketujuh… kau tak boleh membiarkan kutukan lama bangkit kembali. Desa ini harus dimurnikan.” Gohan menggigil. Tapi bukan karena takut. Karena kehilangan. Pedang di tangannya menggigil. Cahaya hitam hijau membentuk bayang pelindung di sekelilingnya, prajurit bayangan dari kekuatan yang tak ia pahami. Salah satu penerbang tertegun. “Itu... itu kekuatan darah dewa...” Lalu mundur. Gohan menatap mereka. Sudut bibirnya terangkat getir. “Wah... darah dewa ternyata tidak cuma mitos.” Pertempuran pun meledak. Pedang emas hitam melawan kristal biru. Api biru dari langit dibalas semburan energi hijau. Tanah bergetar, langit menangis. Desa berubah menjadi medan spiritual, antara dunia dan neraka. Tapi mereka tak hanya menyerang. Empat orang mengunci Gohan dalam formasi, memaksanya tetap di tengah. Dan tubuhnya lelah. Sangat lelah. Seolah setiap tetes darah sudah menyatu dengan beban pedang. Gohan jatuh terduduk, tubuhnya mengendur. Di kepalanya, suara kembali datang: “Bangun... pewaris... waktumu belum selesai.” Namun ia tak bisa bangun. Dunia terasa runtuh dari dalam. Dan bisikan itu… makin jelas: “Jangan percaya darahmu.” Siapa? Ibunya? Dirinya sendiri? Pedang itu? Bayangan melintas. Wajah Bu Ah tersenyum lirih, menatap pedang. “Hush, Nak. Jangan takut menjadi pewaris. Tapi jangan juga rela dirasuki by blood.” Lalu... Bayangan pecahan cermin. Dirinya, dengan mata iblis. Tertawa di atas darah. Bukan pelindung. Tapi penghancur. Cerah dan gelap. Harapan dan kehancuran. Segalanya campur. Gohan pingsan. Tubuhnya jatuh ke tanah, tenggelam dalam air mata dan abu. Pedang emas hitam masih menyala, samar, namun hidup. Dalam bisikan terakhir sebelum kesadaran padam, ia mendengar suara… Bukan suara manusia. Suara naga. Suara roh tua. “Selamat datang di ujung jalanmu... Kini kau merasakan darah yang menyembelih cinta.” Pedang itu kini menancap dalam puing, menyala pelan. Dari jauh… Tawa dingin menggema. Dan langit? Masih terbakar biru. Gohan tak tahu lagi, siapa yang layak dipercaya. Dirinya, ibunya, atau pedang yang telah menyegel takdir.Petir itu masih menggaung dalam kepalanya. Gohan membuka mata dengan napas terputus-putus. Tapi ia tidak lagi berada di arena. Tidak ada Zhao Wuji. Tidak ada Yue Xiulan. Yang tersisa hanya... kehampaan. Dunia seputih tulang. "Apa... di mana ini?" gumamnya, matanya menyipit, mencari horizon yang tak ada. Langkah kakinya bergema tanpa gema, seolah dunia ini tak punya ujung atau dinding. Udara di sini sunyi, tapi tajam seperti pisau. Dingin. Seperti memori yang membeku. Tiba-tiba, di hadapannya, tanah retak. Retakan itu menjulur seperti guratan petir, dan dari dalamnya, muncul satu demi satu pedang. Terbangun dari tanah. Dari langit. Dari bayangan. Mereka tak mengarah padanya, tapi mengelilingi, membentuk lingkaran raksasa. Seratus. Seribu. Mungkin lebih. Dan di tengah mere
Petir merah muda masih menggantung di cakrawala saat bayangan kelam melintasi arena yang masih berasap. Debu dan cahaya belum sepenuhnya sirna ketika udara mendadak mendingin, seolah waktu sendiri menahan napas. Gohan, yang baru saja berhasil berdiri kembali setelah insiden di arena retak, belum sempat bernapas lega. Tiba-tiba, tekanan spiritual menyapu langit seperti tsunami yang tak terlihat. Dari langit, sosok berjubah ungu tua muncul dengan tenang, seperti tetes tinta di atas kanvas putih senja. Di belakangnya, langit sendiri tampak retak. Sosok itu tidak memperkenalkan diri, namun semua penonton langsung tahu siapa dia. Zhao Wuji. Pemburu Dewa. Pemilik Segel Pembantai Langit. "Akhirnya... si Pewaris Ketujuh keluar dari lubangnya," gumam Wuji, suaranya serak tapi menghantam dada setiap murid seperti palu. Ia melayang turun perlahan, dan tanah bergetar saat
Langit memekik. Bumi mengerang. Kilatan petir membelah cakrawala tepat saat Pedang Langit di tangan Gohan kembali bersinar, liar seperti jiwa yang telah dibangunkan dari tidur panjangnya. Di arena utama Sekte Langit, ribuan mata menatap satu titik: bocah berlumuran debu dengan mata bersinar emas. "Itu... bukan kekuatan murid tingkat dasar!" "T-tidak mungkin! Arena!" Retakan pertama muncul di tengah gelanggang batu giok. Lalu yang kedua. Ketiga. Suara retaknya bukan sekadar bunyi; itu ratapan tanah yang kalah. Gohan terdiam. Di tangannya, pedang bergetar keras, seolah hendak meledak. Lalu bumi di bawah kakinya benar-benar hancur. BRAKHHH! Tanah membelah. Cahaya hijau pekat menyembur dari celah-celahnya. Aroma purba menguar seperti bau d
Langit di atas Gunung Xuanming tampak jernih pagi itu. Tapi Gohan tahu, kedamaian itu hanyalah ilusi tipis yang bisa robek kapan saja. Darah emasnya telah membuka gerbang kuno. Sekarang, ia berdiri di hadapan gerbang luar Sekte Langit Bening, bersama Maestro Yu Heng yang berjalan perlahan di sampingnya. Pandangan murid-murid di pelataran tak bisa menyembunyikan rasa curiga—dan ketakutan. "Jangan bicara terlalu banyak. Biarkan dunia yang menyimpulkan siapa dirimu," bisik Maestro. Gohan mengangguk pelan. Tapi dadanya bergemuruh. Ini bukan sekadar pendaftaran murid biasa—ini adalah ujian takdir. Di tengah lapangan utama, sebuah altar kristal berdiri menjulang. Di sanalah setiap calon murid diuji bakat spiritualnya. Ribuan anak muda dari desa dan sekte kecil telah antri sejak fajar, berharap diterima di sekte paling berpengaruh di wilayah Zhongtian bagian selatan. Gohan berdiri di belakang barisan, menunggu gilirannya. Teriakan tiba-tiba memecah suasana. "Itu dia! Bocah kampung dar
Gelap. Sunyi. Tapi langit tidak benar-benar diam. Gohan terbangun dalam runtuhan malam, napasnya berat, dada terasa diremukkan oleh ribuan panah tak kasatmata. Hujan sudah berhenti, namun bau tanah basah bercampur abu masih menyengat. Ia menggeliat perlahan, menyentuh dada yang terasa terbakar. Di sana, darah masih mengalir pelan. Tapi bukan merah. Emas. "Apa… ini?" desisnya pelan, menggigil melihat cairan keemasan yang mengalir dari lukanya. Bumi tiba-tiba bergetar. Retakan kecil menjalar dari tanah tempat darahnya jatuh. Suara retak-retak terdengar seperti jerit batu. Lalu... boom—tanah di depannya meledak membentuk lubang besar, dan dari dalamnya muncul cahaya pilar yang menyembur ke langit. Langit kembali menyala. Bukan petir. Tapi gerbang. Sebuah struktur batu melayang, seperti terbuat dari langit yang membatu. Gerbang berukir naga dan bintang, tertulis dalam aksara kuno yang seolah bergetar dalam batinnya: Gerbang Mitian — Hanya Darah Langit yang Bisa Membuka. “Tidak mun
Langit baru saja berhenti menangis ketika tubuh Gohan hampir runtuh. Ia berjalan sempoyongan di jalan setapak berlumut, tanpa arah, tanpa nama. Dunia telah menghapus identitasnya. Ibunya telah tiada. Desanya tinggal abu. Dan satu-satunya warisan yang ia bawa adalah pedang yang tak ingin disentuh siapa pun. Tapi di balik kabut pegunungan Qilin yang tak pernah disinggahi manusia, seseorang menantinya. Bukan sekadar penunggu sunyi. Tapi pria yang telah melihat bintang runtuh, dan tahu bahwa langit sedang mempersiapkan perang. “Kau datang lebih cepat dari takdir,” suara itu terdengar, “dan itu artinya kematian akan lebih cepat pula mencarimu.” Langkah Gohan terseok, memikul pedang bersimbah darah. Tak ada sinar matahari yang tembus ke celah pepohonan tinggi pegunungan Qilin. Kabut menggantung, pekat seperti mimpi buruk yang menolak hilang. Ia tak tahu sudah berapa lama berjalan sejak meninggalkan abu Desa Langit Sepi. Perutnya kosong. Napasnya membakar. Tapi sesuatu di dalam jiwanya