Langit di atas Gunung Xuanming tampak jernih pagi itu. Tapi Gohan tahu, kedamaian itu hanyalah ilusi tipis yang bisa robek kapan saja.
Darah emasnya telah membuka gerbang kuno. Sekarang, ia berdiri di hadapan gerbang luar Sekte Langit Bening, bersama Maestro Yu Heng yang berjalan perlahan di sampingnya. Pandangan murid-murid di pelataran tak bisa menyembunyikan rasa curiga—dan ketakutan. "Jangan bicara terlalu banyak. Biarkan dunia yang menyimpulkan siapa dirimu," bisik Maestro. Gohan mengangguk pelan. Tapi dadanya bergemuruh. Ini bukan sekadar pendaftaran murid biasa—ini adalah ujian takdir. Di tengah lapangan utama, sebuah altar kristal berdiri menjulang. Di sanalah setiap calon murid diuji bakat spiritualnya. Ribuan anak muda dari desa dan sekte kecil telah antri sejak fajar, berharap diterima di sekte paling berpengaruh di wilayah Zhongtian bagian selatan. Gohan berdiri di belakang barisan, menunggu gilirannya. Teriakan tiba-tiba memecah suasana. "Itu dia! Bocah kampung dari Desa Langit Sepi! Yang katanya membawa pedang dari langit!" Beberapa murid menunjuk, tertawa. Ada yang mencibir, ada pula yang hanya menggeleng, tak percaya. Seorang gadis dengan jubah putih berlapis perak berdiri tak jauh darinya—Qin Rouye, pewaris Sekte Naga Surga. Ia menatap Gohan tanpa emosi. “Pedang langit ya? Apa pedangmu juga bisa mengukur kadar bakat?” tanyanya datar. Gohan hendak menjawab, tapi suara tua bergema dari altar. "Berikutnya: Gohan Lee dari... Desa Langit Sepi." Hening. Langkah Gohan terasa berat saat ia menaiki panggung. Pandangan semua orang kini tertuju padanya. Bahkan tetua penguji, seorang pria tua bernama Mo Liang, menyipitkan mata penuh keraguan. "Letakkan tangan di kristal, tuangkan napas pertamamu. Jika kau punya jiwa kultivasi, warna akan muncul. Jika tidak—kau tahu akibatnya." Gohan menarik napas dalam. Tangan kanannya menyentuh kristal. Seketika, cahaya menyala. Merah... lalu oranye... lalu biru. Warna demi warna muncul, saling bertabrakan. Murid-murid di bawah panggung berteriak kaget. Mo Liang melangkah mundur. Kristal itu... bergetar. "Apa?!" Satu ledakan cahaya membuncah dari altar. Kristal retak. Lalu... meledak menjadi ribuan pecahan. Semua terdiam. Dari reruntuhan altar, Gohan berdiri dengan tangan berdarah. Tapi bukan merah. Emas. Darah emasnya menetes ke tanah, menyerap ke dalam. Dan ketika tetes kelima menyentuh batu... semua pedang latihan di sekitar arena—termasuk milik para murid elit—bergetar. Lalu satu per satu... mereka jatuh. Bukan karena patah. Tapi... bersujud. Pedang-pedang itu, seperti hidup, membungkuk ke arah Gohan. "Itu... tidak mungkin..." gumam Mo Liang, wajahnya pucat. Tiba-tiba langit berubah. Mendung pekat menyelimuti arena. Angin menggila. Awan berputar. Dan dari dalam pusaran awan, petir emas menyambar turun. Bzzzzzzzzt! Sembilan petir, masing-masing dengan suara seperti naga meraung, menukik dari langit dan menghantam arena di sekeliling Gohan. Tanah terbelah. Pilar-pilar kuno runtuh. Banyak murid jatuh tersungkur. Beberapa menangis. Ada yang pingsan. Tapi Gohan... berdiri di tengah sembilan petir itu. Tak terbakar. Tak terluka. Ia... menyerapnya. Tubuhnya berpendar keemasan, dan sigil aneh mulai terbentuk di dahinya—lingkaran dengan tujuh cabang, satu di antaranya bersinar terang. "Tujuh cabang... Itu... simbol Langit Ketujuh!" teriak seorang tetua. Suara gemuruh terdengar lagi—bukan dari langit. Tapi dari dalam tanah. Sebuah batu nisan tua, yang terkubur di bawah altar selama ratusan tahun, tiba-tiba terangkat. Cahaya dari simbol Gohan menyalur ke batu itu. Tulisannya terbaca jelas: “Yang dipilih oleh sembilan petir, bukanlah pewaris. Tapi penghancur.” Keheningan berubah menjadi teriakan panik. Para tetua sekte berdatangan. Beberapa langsung menarik pedang. Qin Rouye ikut maju, ekspresinya gelap. Tapi sebelum ada yang sempat menyerang... Suara berat, seperti ribuan roh berbicara sekaligus, terdengar dari langit: "Pewaris Langit Ketujuh telah bangkit. Dunia lama akan runtuh. Dunia baru menunggu darahnya." Dan seketika itu juga, sigil di dahi Gohan padam. Ia ambruk. Namun sebelum kesadarannya hilang, matanya menangkap sepasang mata asing di antara kerumunan—mata gadis berjubah ungu dengan rambut sehitam obsidian. Yue Xiulan. Dia... nyata. Dan bibir gadis itu bergetar membentuk dua kata: “Mereka datang.” Langit gelap total. Di cakrawala, siluet sembilan burung api raksasa muncul, terbang ke arah sekte. Tanda bahwa segel dunia mulai pecah.Petir itu masih menggaung dalam kepalanya. Gohan membuka mata dengan napas terputus-putus. Tapi ia tidak lagi berada di arena. Tidak ada Zhao Wuji. Tidak ada Yue Xiulan. Yang tersisa hanya... kehampaan. Dunia seputih tulang. "Apa... di mana ini?" gumamnya, matanya menyipit, mencari horizon yang tak ada. Langkah kakinya bergema tanpa gema, seolah dunia ini tak punya ujung atau dinding. Udara di sini sunyi, tapi tajam seperti pisau. Dingin. Seperti memori yang membeku. Tiba-tiba, di hadapannya, tanah retak. Retakan itu menjulur seperti guratan petir, dan dari dalamnya, muncul satu demi satu pedang. Terbangun dari tanah. Dari langit. Dari bayangan. Mereka tak mengarah padanya, tapi mengelilingi, membentuk lingkaran raksasa. Seratus. Seribu. Mungkin lebih. Dan di tengah mere
Petir merah muda masih menggantung di cakrawala saat bayangan kelam melintasi arena yang masih berasap. Debu dan cahaya belum sepenuhnya sirna ketika udara mendadak mendingin, seolah waktu sendiri menahan napas. Gohan, yang baru saja berhasil berdiri kembali setelah insiden di arena retak, belum sempat bernapas lega. Tiba-tiba, tekanan spiritual menyapu langit seperti tsunami yang tak terlihat. Dari langit, sosok berjubah ungu tua muncul dengan tenang, seperti tetes tinta di atas kanvas putih senja. Di belakangnya, langit sendiri tampak retak. Sosok itu tidak memperkenalkan diri, namun semua penonton langsung tahu siapa dia. Zhao Wuji. Pemburu Dewa. Pemilik Segel Pembantai Langit. "Akhirnya... si Pewaris Ketujuh keluar dari lubangnya," gumam Wuji, suaranya serak tapi menghantam dada setiap murid seperti palu. Ia melayang turun perlahan, dan tanah bergetar saat
Langit memekik. Bumi mengerang. Kilatan petir membelah cakrawala tepat saat Pedang Langit di tangan Gohan kembali bersinar, liar seperti jiwa yang telah dibangunkan dari tidur panjangnya. Di arena utama Sekte Langit, ribuan mata menatap satu titik: bocah berlumuran debu dengan mata bersinar emas. "Itu... bukan kekuatan murid tingkat dasar!" "T-tidak mungkin! Arena!" Retakan pertama muncul di tengah gelanggang batu giok. Lalu yang kedua. Ketiga. Suara retaknya bukan sekadar bunyi; itu ratapan tanah yang kalah. Gohan terdiam. Di tangannya, pedang bergetar keras, seolah hendak meledak. Lalu bumi di bawah kakinya benar-benar hancur. BRAKHHH! Tanah membelah. Cahaya hijau pekat menyembur dari celah-celahnya. Aroma purba menguar seperti bau d
Langit di atas Gunung Xuanming tampak jernih pagi itu. Tapi Gohan tahu, kedamaian itu hanyalah ilusi tipis yang bisa robek kapan saja. Darah emasnya telah membuka gerbang kuno. Sekarang, ia berdiri di hadapan gerbang luar Sekte Langit Bening, bersama Maestro Yu Heng yang berjalan perlahan di sampingnya. Pandangan murid-murid di pelataran tak bisa menyembunyikan rasa curiga—dan ketakutan. "Jangan bicara terlalu banyak. Biarkan dunia yang menyimpulkan siapa dirimu," bisik Maestro. Gohan mengangguk pelan. Tapi dadanya bergemuruh. Ini bukan sekadar pendaftaran murid biasa—ini adalah ujian takdir. Di tengah lapangan utama, sebuah altar kristal berdiri menjulang. Di sanalah setiap calon murid diuji bakat spiritualnya. Ribuan anak muda dari desa dan sekte kecil telah antri sejak fajar, berharap diterima di sekte paling berpengaruh di wilayah Zhongtian bagian selatan. Gohan berdiri di belakang barisan, menunggu gilirannya. Teriakan tiba-tiba memecah suasana. "Itu dia! Bocah kampung dar
Gelap. Sunyi. Tapi langit tidak benar-benar diam. Gohan terbangun dalam runtuhan malam, napasnya berat, dada terasa diremukkan oleh ribuan panah tak kasatmata. Hujan sudah berhenti, namun bau tanah basah bercampur abu masih menyengat. Ia menggeliat perlahan, menyentuh dada yang terasa terbakar. Di sana, darah masih mengalir pelan. Tapi bukan merah. Emas. "Apa… ini?" desisnya pelan, menggigil melihat cairan keemasan yang mengalir dari lukanya. Bumi tiba-tiba bergetar. Retakan kecil menjalar dari tanah tempat darahnya jatuh. Suara retak-retak terdengar seperti jerit batu. Lalu... boom—tanah di depannya meledak membentuk lubang besar, dan dari dalamnya muncul cahaya pilar yang menyembur ke langit. Langit kembali menyala. Bukan petir. Tapi gerbang. Sebuah struktur batu melayang, seperti terbuat dari langit yang membatu. Gerbang berukir naga dan bintang, tertulis dalam aksara kuno yang seolah bergetar dalam batinnya: Gerbang Mitian — Hanya Darah Langit yang Bisa Membuka. “Tidak mun
Langit baru saja berhenti menangis ketika tubuh Gohan hampir runtuh. Ia berjalan sempoyongan di jalan setapak berlumut, tanpa arah, tanpa nama. Dunia telah menghapus identitasnya. Ibunya telah tiada. Desanya tinggal abu. Dan satu-satunya warisan yang ia bawa adalah pedang yang tak ingin disentuh siapa pun. Tapi di balik kabut pegunungan Qilin yang tak pernah disinggahi manusia, seseorang menantinya. Bukan sekadar penunggu sunyi. Tapi pria yang telah melihat bintang runtuh, dan tahu bahwa langit sedang mempersiapkan perang. “Kau datang lebih cepat dari takdir,” suara itu terdengar, “dan itu artinya kematian akan lebih cepat pula mencarimu.” Langkah Gohan terseok, memikul pedang bersimbah darah. Tak ada sinar matahari yang tembus ke celah pepohonan tinggi pegunungan Qilin. Kabut menggantung, pekat seperti mimpi buruk yang menolak hilang. Ia tak tahu sudah berapa lama berjalan sejak meninggalkan abu Desa Langit Sepi. Perutnya kosong. Napasnya membakar. Tapi sesuatu di dalam jiwanya