Evan menarik Alana untuk menaiki angkutan umum."Sayang, kita mau kemana?" tanya Alana, heran."Nanti juga kamu tahu."Alana dihantui rasa penasaran, ia tak tahu akan dibawa kemana oleh suaminya itu.Beberapa menit menaiki angkutan umum, Evan pun meminta sopir untuk berhenti di depan sebuah mall besar yang berada di pusat kota."Sayang, kamu tidak salah tempat, kan? Disini tak ada toko lain selain yang di dalam mall!""Tidak, aku memang mau membawamu masuk mall." Evan menggandeng Alana, kemudian keduanya memasuki mall.Saat di dalam mall, Alana merasa gelisah. Ia tak tahu apa yang ada dalam pikiran suaminya itu sampai membawanya ke tempat yang sudah jelas mereka takkan sanggup membeli barang disana."Sayang, uangku tidak cukup untuk membeli pakaian di mall ini," bisik Alana, sedikit mencubit tangan Evan."Tenang saja, kita tak perlu mengeluarkan uang banyak." Evan menatap Alana sambil tersenyum."Bagaimana caranya? Semua orang juga tahu jika harga barang disini tidak ada yang murah,"
Jeni pun langsung duduk di sebuah sofa yang berada di kantor.Joan segera berlari menghampiri Jeni karena khawatir akan terjadi pertengkaran antara Ibu dan Anak. Namun, tak seperti yang dia bayangkan, keadaan kantor sepi, Jeni terlihat sedang asyik memainkan ponsel."Tante, tidak terjadi sesuatu, kan?" tanya Joan celingak-celinguk."Memangnya apa yang terjadi?" Jeni mengerutkan alis.Joan tak mendapati Evan di ruangannya, ia berpikir mungkin temannya itu sempat keluar sebelum Jeni masuk."Ah, tidak ada apa-apa, Tante," jawab Joan, canggung.Joan hanya berdiam diri di kantor sambil memandangi Jeni. Iia merasa bersalah pada Evan setiap kali memandangi wajah Jeni."Ada apa Joan? Kamu terus memperhatikan Tante dari tadi. Kamu pikir Tante tak tahu?""Tidak ada Tante, saya hanya merasa tak enak dengan kejadian tadi saja.""Pak, pakaian Nyonya sudah selesai kami bersihkan," ucap salah satu staff toko.Jeni langsung berdiri dan mengambil pakaian itu. Ia kemudian pergi setelah membayar pakaian
"Maaf, Anda salah orang!" sahut Evan yang berusaha segera pergi menjauh dari ibunya."Tidak! Kamu Evanders. Tolong katakan kalau kamu Evanders!" teriak Jeni sambil menangis.Evan langsung buru-buru pergi saat itu juga, ia tak ingin melihat Ibunya menangis. Namun juga tak rela jika sampai harus dipisahkan dengan istrinya. Karena ia sangat tahu, jika di sekitar Ibunya ada Bodyguard yang sedang mengawasi dari kejauhan. Yang mana jika identitasnya sampai ketahuan, maka mereka akan segera menyeretnya pulang."Sayang, apa kamu mengenal perempuan tadi? Mengapa sepertinya dia sangat terpukul saat melihatmu?" tanya Alana."Ah, itu… aku pernah bertemu Ibu itu sebelumnya, dia berpikir jika aku mirip dengan anaknya yang sudah meninggal. Makanya aku sampai memakai masker begini," jelas Evan.Ada perasaan bersalah di hati Evan karena terus-menerus membohongi Alana. Ia selalu menutupi kebohongan dengan kebohongan. Hingga rasanya, semua yang ada pada diri Evan saat ini hanyalah kepalsuan.Evan memutus
Alana terkejut melihat foto di dalam ponsel perempuan itu yang menunjukan dirinya sedang berbincang bersama Danu. Bahkan ada foto yang menunjukan jika Danu sedang memberinya uang. Padahal cerita aslinya tak seperti foto yang terlihat."Pak Danu sedang membantuku saat itu. Aku benar-benar baru mengenalnya kemarin," jelas Alana."Kami tak minta penjelasan darimu! Mana ada pencuri yang mengaku," sahut perempuan itu."Benar, kami akan mengadukan ini pada HRD. Rasanya tidak adil, dia bisa mendapat bagian yang bagus hanya karena menjadi simpanan orang berpengaruh di perusahaan ini," ujar teman perempuan itu."Aku tidak pernah menjadi simpanan siapa pun! Aku juga sudah memiliki suami, tolong jaga ucapan kalian!" Alana menggebrak meja.Melihat sikap Alana yang ternyata berani melawan mereka meskipun kalah jumlah. Perempuan yang sejak tadi mengolok-olok Alana itu pun langsung merasa kesal dan marah. Ia kemudian menelepon orang yang ia akui sebagai saudara sepupunya di kantor itu."Hallo, aku i
"Ada apa lagi?" tanya Kepala HRD yang masih kesal."Itu, Pak. Demi kenyamanan karyawan lain, Pak Direktur meminta Alana untuk berganti pakaian yang sudah robek," jelas perempuan itu."Oh, kupikir ada apa," jawab Kepala HRD, "Alana, cepatlah berganti pakaian dulu," sambungnya.Alana kaget, ternyata sejak awal Direktur perusahaan sedang memperhatikannya. Ia merasa malu dan canggung saat sadar setiap gerak-geriknya diperhatikan oleh orang hebat sekelas Presiden Direktur."B-baik, dimana saya bisa berganti pakaian?" tanya Alana, canggung."Di ruang khusus milik Direktur, karena perusahaan tidak memiliki ruang ganti pakaian," terang perempuan itu.Alana merasa tak nyaman, bagaimanapun ia masih asing dengan lingkungan perusahaan. Ia juga tak tahu apakah Direktur ini orang mesum atau bukan. Bagaimana jika ternyata di ruangan itu ada kamera CCTV? Bukankah seseorang akan melihatnya berganti pakaian?"Bagaimana? Tenang saja, kami menjamin keamanan setiap karyawan," sambungnya lagi."O-oh, baikl
"Itu… Ajudan keluarga Lucio masih terus mengintai perusahaan kita. Tadi saya bertemu dengan mereka saat di restoran," jelas Danu."Apa mereka melihatmu?" tanya Evan, yang masih menatap istrinya."Tidak, saya sengaja mengenakan masker untuk berjaga-jaga.""Bagus. Nanti, suruh orang bayaran untuk mengintai Ajudan keluarga Lucio. Jangan sampai mereka mendekati perusahaan, apalagi sampai tahu keberadaanku.""Baik, Pak!"Menit hingga jam berganti, tak terasa sudah waktunya pulang. Evan sengaja pulang lebih awal agar bisa berpura-pura menjemput Alana dengan motor pinjaman tadi pagi.Evan sudah menunggu di depan gedung dengan mengenakan masker dan jaket bertudung. Hingga saat keluar dari gedung, Alana yang sedang berbincang dengan Aldi pun langsung melihat Evan."Sayang, ini Kak Aldi yang aku ceritakan kemarin," ucap Alana."Evan!" Menyodorkan tangan mengajak berjabat."Aldi... aku suami dari sahabatnya Alana," jelasnya yang takut Evan salah paham. "Kalau begitu, aku duluan ya." Aldi pamit d
Alana heran mengapa orang tuanya langsung bersembunyi saat melihat pria di luar rumah. Ia pun langsung keluar menghampiri pria tersebut."Maaf, cari siapa?" tanya Alana, penasaran."Apa benar ini rumah Alana? Anak dari Rudi dan Desy?" tanya pria itu dengan nada meninggi.Alana sedikit ragu saat menjawab."I-iya, saya Alana," jawabnya, sedikit gugup."Oh, ternyata kamu! Cantik juga," goda pria itu sambil menatap Alana dengan genit.Alana merasa ngeri sendiri melihat tatapan genit dari pria yang penampilannya seperti preman itu.Mendengar pria itu menggoda Alana, Evan langsung keluar dan menemuinya."Ada apa mencari istriku?" Evan menatap tajam pria bertubuh gempal tersebut."Aku tidak ada urusan denganmu. Orang tua perempuan ini mengatakan jika dialah yang akan melunasi hutang mereka padaku," jelas pria itu.Alana memegang tangan Evan sambil gemetaran. Ia sungguh tak menyangka jika orang tuanya sampai hati meminta dirinya untuk bertanggung jawab atas hutang mereka."Mengapa harus istri
"Ini, Kakak lihatlah sendiri." Brian menunjukan selembar kertas pada Alana."Tiga puluh juta? Hanya uang pendaftaran kuliah saja sudah sebanyak ini! Apa kamu tidak berpikir dulu sebelum masuk ke universitas bergengsi seperti ini?" bentak Alana."Kan Kakak sudah mulai kerja di Astira! Semua orang tahu kalau gaji di sana itu besar, makanya aku berani daftar kuliah," sahut Brian."Astira… Astira… Astira…! Kalian pikir aku tidak memiliki kebutuhan?" bentak Alana yang benar-benar muak dengan keluarganya sendiri.Evan hanya menyimak. Ia ingat sekali jika uang yang mereka pinjam dari Joni adalah lima puluh juta. Sedangkan uang pendaftaran Joni hanya tiga puluh juta."Rentenir itu menagih lima puluh juta! Lantas kemana yang dua puluh juta?" tanya Evan yang terpaksa ikut campur.Mendengar Evan ikut bicara, Rudi dan Desy langsung menatap tajam pada menantunya itu."Apa? Lima puluh juta? Kemana uang yang dua puluh juta?" gertak Alana, sambil memegangi keningnya karena pusing."Untuk membayar uan