"Saya rekan kerjanya, Sus," ucap Risa yang kemudian menghampiri Perawat tersebut."Apa keluarganya tidak ada?" tanya perawat itu lagi."Kebetulan saya tidak tahu keluarganya, dan ponsel teman saya juga dalam keadaan dikunci," terang Risa.Perawat tersebut tampak kebingungan dan kemudian masuk ke dalam UGD lagi. Risa dan Danu tampak cemas. Hanya bisa berharap tidak terjadi apa-apa lada Alana.Beberapa menit kemudian, Perawat tersebut keluar lagi dan menghampiri Risa."Saya sudah konfirmasi ke atasan, pasien sudah bisa pindah ke ruang rawat inap. Tolong tanda tangan berkas terlebih dahulu," jelas perawat tersebut."Terima kasih, Sus. Kalau begitu, saya akan pergi ke bagian administrasi dulu." Risa kemudian menghampiri Danu."Bagaimana?" tanya Danu, cemas."Om urus administrasinya dulu saja! uangku tak akan cukup untuk membiayai rumah sakit besar begini," bisik Risa.Danu menatap sinis pada Risa. Bisa-bisanya keponakannya itu masih memikirkan uang disaat genting seperti ini."Om juga tah
Risa datang dengan membawa bakso. Didapatinya Alana sedang menangis tersedu. Ia pun buru-buru menaruh bakso ke meja samping kasur dan langsung memeluk Alana."Apa ada yang sakit? Atau kamu sedih karena belum ada kabar dari suamimu?" tanya Risa, berusaha menenangkan Alana.Bukannya berhenti, perasaan Alana malah semakin merasa tersentuh. Bukan orang terdekatnya, tapi malah orang yang baru beberapa hari dikenalnya lah yang saat ini sedang memeluknya.Risa semakin bingung, jangankan berhenti, Alana malah menangis semakin kencang."Alana, katakanlah padaku, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Risa yang panik."Barusan, aku menelepon suamiku, dan seorang perempuan yang mengangkatnya," terang Alana sambil menghapus air mata.Risa bingung harus mengatakan apa, ia takut salah bicara, apalagi suami Alana adalah sang Presdir."Bersabarlah dulu, kita tunggu suamimu, biar dia yang akan menjelaskannya nanti." Risa menjawab sebisanya, beruntung selama ini ia selalu menjadi tempat curhat teman-temann
"Siapa perempuan yang mengangkat teleponku?" bentak Alana, membuat Risa tersentak kaget."Anu… Aku ke toilet dulu, Ya!" ujar Risa yang tak mau masuk ke dalam urusan rumah tangga orang lain.Seolah tak dihiraukan, tak ada yg menjawab Risa. Alana dan Evan malah sibuk berdebat."Aku sama sekali tak tahu siapa perempuan itu!" Evan berusaha membela diri."Lalu, memangnya dimana kamu seharian kemarin? Bahkan kamu lupa pada janjimu untuk menjemputku!"Evan berusaha mencari alasan, karena terburu-buru menemui Alana, ia sampai lupa untuk memikirkan sebuah alasan yang tepat."Kenapa diam saja? Apa kamu berselingkuh di belakangku?" tanya Alana yang mulai meneteskan air mata."Aku sangat mencintaimu! Mana mungkin aku menyelingkuhimu!" sanggah Evan yang memang tak mungkin selingkuh disaat cintanya pada Alana begitu besar.Evan berusaha untuk berpikir. Hingga terbesit sebuah pikiran untuk mengatakan yang sebenarnya saja."Aku habis menemui kedua orang tuaku," jelas Evan."Lalu, mengapa ada suara pe
"Jangan angkat!" teriak Evan berusaha menghentikan Alana."Memangnya kenapa?" Alana merasa heran."Itu… itu ponsel Pak Bos yang tak sengaja terbawa olehku," jelas Evan dengan perasaan berdebar. Ia takut jika Alana tak percaya padanya."Oh, maaf. Kupikir ponsel Risa, karena barusan sepertinya ada yang menelepon dengan nama Danu," sahut Alana yang kali ini tak menaruh curiga pada Evan karena ponsel tersebut harganya mahal. Ia berpikir jika tak mungkin suaminya mampu membeli ponsel semahal itu.Evan kembali keluar dari ruangan, ia belum sempat membeli bubur karena buru-buru kembali setelah ingat ponsel kerjanya tertinggal di kursi.Saat diluar rumah sakit, Evan tak hanya membeli bubur, ia juga membeli beberapa makanan dan buah-buahan kesukaan Alana."Banyak sekali, beli apa saja?" tanya Alana saat melihat Evan membawa banyak kantong plastik."Beberapa makanan kesukaanmu," jawab Evan sambil menyusun makanan di meja."Terima kasih." Alana merasa senang dengan perhatian kecil Evan.Evan men
"Tentu saja tidak, itu adalah hadiah untuk keluarga Alana," jelas Rudi."Tapi, ini tidak ada satu pun hadiah untuk Alana." Evan merasa heran."Ya, karena Alana akan menikah denganmu. Kelak dia akan sering mendapat hadiah darimu bukan?""I-iya, Om. Bagaimana kalau semua permintaan Om dan Tante ini saya berikan dalam bentuk uang lima puluh juta?" tanya Evan yang merasa sedikit tak nyaman.Rudi langsung terkejut saat mendengar uang lima puluh juta, karena apa yang tertulis di daftar saja jika dijumlahkan hanya sekitar tiga puluh jutaan."Baiklah, kapan kamu akan mengirimkan uangnya?" tanya Rudi sudah tak sabar menerima uang."Mungkin besok siang, Om. Nanti saya kabari lagi kalau sudah di transfer," ucap Evan.Ternyata Alana menguping di dalam, ia tak menyangka jika kedua orang tuanya sampai hati meminta uang untuk mereka. Alana saja yang kekasih Evan, malah tidak pernah berani meminta apapun meski hanya sekedar makanan murah sekalipun."Apa yang Ayah dan Ibu lakukan? Kenapa kalian tega s
Joni dan teman-temannya mengetuk-ngetuk pintu rumah orang tua Alana dengan sangat kencang."Woy, keluar! Bayar hutang kalian!" teriak Joni.Desy yang jelas-jelas sedang berada di rumah ternyata lebih memilih tak membukakan pintu."Tadi ada di rumah, kok! Barusan menantunya juga baru saja pulang," ujar salah seorang tetangga yang merasa risih dengan keributan yang Joni buat."Bu Desy, keluar dong! Berisik tau!" teriak salah seorang tetangga lain.Desy yang merasa kesal pada tetangganya itu pun akhirnya keluar."Ngomong apa kamu? Aku memang mau keluar, kok," sahut Desy sambil melotot pada tetangganya.Akhirnya, saat itu juga terjadi adu mulut antara Desy dan tetangganya.Mendengar keributan tersebut, tetangga lain pun banyak yang keluar. Joni yang semula ingin menagih hutang malah jadi kebingungan dibuatnya."Ibu-ibu tolong berhenti sebentar! Aku sedang ada urusan dengan Bu Desy, dia sudah berhutang tiga puluh juta, tapi tidak mau membayar!" teriak Joni yang berusaha mempermalukan Desy.
"Siapa? Aku tidak kenal kamu!" ucap Evan, gugup."Loh, Direktur tidak kenal saya? Saya kan sering ke ruangan Anda," jelas pria tersebut berusaha menjelaskan."Tidak, kamu salah orang! Aku bukan Direktur! Mana mungkin Direktur naik motor," sanggah Evan yang kemudian melajukan motornya.Pria itu pun mematung sambil menggaruk kepala, ia sangat yakin jika orang yang ada di hadapannya barusan adalah sang Presiden Direktur Astira Corp.Alana langsung pergi setelah tahu jika pria itu keliru menganggap Evan adalah Direktur. Meski ada perasaan mengganjal di hatinya, tapi pikiran Alana berusaha menyanggah karena bagaimanapun sangat tidak mungkin jika suami miskinnya itu ternyata adalah seseorang yang memiliki jabatan tinggi.Seperti biasa, Alana mengerjakan pekerjaannya dengan sangat telaten dan cekatan. Bahkan, jika dibanding para senior nya saja Alana terbilang jauh di depan. Karena itulah atasan Alana sangat menyukai kinerjanya bahkan berniat merekomendasikannya untuk menjadi karyawan tetap.
Kepala Divisi itu pun terkejut saat mendengar teriakan dari orang yang mendobrak pintu."Siapa kau? Berani sekali mengganggu kesenanganku!" bentak Kepala Divisi."Aku memang hanya karyawan rendahan, tapi, aku sudah muak dengan perbuatanmu pada para perempuan! Kau bahkan sudah merebut istriku!" teriak seorang Pria yang ternyata sudah mengamati Alana sejak pertama kali masuk."Sial, apa kau tidak takut ku pecat?" tanya Kepala Divisi."Pecat saja! Aku tidak takut," ucap Pria itu sambil berusaha membantu Alana untuk lepas dari pelukan Kepala Divisi.Setelah perjuangan beberapa menit, akhirnya Alana pun lepas dari genggaman Kepala Divisi. Ia berlari ke arah Pria yang membantunya tadi."Terima kasih, sudah menyelamatkan saya," ucap Alana dengan suara gemetar."Tidak masalah. Aku tak ingin ada perempuan yang menjadi korban lagi," sahut Pria itu, berusaha menghalangi Alana dari Kepala Divisi.Kepala Divisi yang merasa sudah kalah itu langsung menelepon Security dan mengatakan hal yang tidak-t