"Lepaskan istriku!" hardik Evan pada lelaki tersebut.
Melihat suaminya datang, Alana langsung menarik tangannya sekuat tenaga. Namun, bukannya melepaskan Alana, pria itu malah mencengkramnya semakin kuat. Tangan Alana memerah, ia meringis kesakitan.Tanpa basa-basi, Evan pun menghajar pria yang berusaha menyakiti istri tercintanya tersebut. "Beraninya menyentuh istriku!" bentaknya."Sial, apa yang pria miskin sepertimu lakukan padaku? Berani sekali tangan kotormu itu menyentuh wajah mahalku" bentak pria itu sambil memegangi pipinya yang baru saja dihajar Evan.Alana tak ingin pertikaian itu berlanjut. Ia langsung menghampiri Evan dan menahan suaminya itu agar tidak terus terbawa emosi."Sayang, jangan terlibat dengannya. Lebih baik kita pergi dari sini," ajak Alana, ia menarik-narik tangan suaminya itu."Jadi ini lelaki miskin yang menikah denganmu. Ternyata wajahmu saja yang cantik tapi kamu sangat bodoh. Melepas orang hebat sepertiku dan malah memilih orang rendahan sepertinya," ledek pria itu.Evan benar-benar sudah tak tahan lagi. Siapa pun bebas menghinanya tapi tidak dengan orang yang dicintainya. Karena sudah dipenuhi emosi, tanpa sadar ia mendorong Alana. Istrinya itu pun terjatuh dan tanpa sengaja keningnya membentur batu, hingga mengeluarkan sedikit darah.Evan tersadar, ia kemudian memeluk Alana. "Sayang, maafkan aku," ucapnya, lirih.Alana tersenyum, "jika kamu menyayangiku. Tolong dengarkan aku. Berhenti berkelahi dan kita pulang sekarang," titahnya.Kasih sayang Evan pada Alana jauh lebih besar dibanding rasa amarahnya pada pria itu. Karena itulah, ia langsung menurut saat diajak pulang.Pria itu tertawa melihat Evan yang menurut pada seorang perempuan. "Pantas saja hidupmu miskin, ternyata hanya seorang suami takut istri," ledeknya."Diam, Robi! Sudah cukup! Jika suamiku mau, dia pasti bisa menghajarmu lebih dari ini. Lihat saja tubuhmu yang sangat kurus dan lemah itu, apa bisa melawan suamiku yang jauh lebih tinggi dan berotot ini?" teriak Alana, membungkam pria yang bernama Robi tersebut.Apa yang dikatakan Alana benar adanya. Robi pun mulai merasa gelisah, apalagi setelah menyadari jika tubuh Evan sangatlah atletis, bukan hal sulit bagi suami Alana untuk membuatnya babak belur.Robi pun pergi sambil menggerutu."Sayang, kita pulang sekarang," ajak Alana menarik lengan Evan."Tunggu, aku beli plester dulu."Evan langsung menempelkan plester di kening istrinya. Ia juga mengecup bagian yang terluka. "Maafkan aku sayang," bisiknya.Mereka memutuskan pulang. Saat melewati gerobak sate, penjual itu pun tersenyum ke arah Evan. Ia ingin mengucapkan terima kasih, tapi anak buah Evan yang memberikan uang tadi memintanya untuk tak mengatakan apa pun saat ada Alana."Sayang, tukang sate tadi tidak komplain atau marah kan?" tanya Alana yang sekilas melihat di penjual sate itu terus memandangi Evan."Sudah, katanya boleh bayar besok."Alana menghela napas. "Syukurlah…"Keduanya pun memutuskan untuk langsung kembali ke rumah. Karena merasa bersalah, Evan pun langsung menggendong Alana meski sang istri beberapa kali menolak."Jangan menolak terus! Lagian jalan ini kan sepi, tidak perlu khawatir ada orang yang melihat," protes Evan.Alana yang sedang menaiki punggung Evan pun tersenyum, ia menaruh dagunya di bahu Evan."Sayang, jangan sampai berurusan dengan Robi lagi. Dia itu manager di salah satu kantor cabang Astira Corp. Dia juga tak segan membayar orang untuk menyakiti siapapun yang tak disukainya," jelas Alana."Astira Corp?" tanya Evan, memastikan."Iya, perusahaan nomor satu di Indonesia. Begini-begini, aku pernah melamar kerja di sana, loh.""Lalu, apa diterima? Sepertinya kamu tidak pernah cerita pernah kerja disana.""Tentu saja tidak," sahut Alana, tertawa, "waktu itu cuma aku saja pelamar kerja yang bukan bawaan orang dalam. Jadi, dari sekian puluh orang, aku sendiri yang tidak lulus."Mendengar cerita Alana, Evan pun merasa kasihan. Seandainya ia kenal Alana saat itu, sudah pasti Evan akan langsung mempekerjakan Alana di bagian yang paling bagus di perusahaan.Sepanjang perjalanan, Alana terus saja mengoceh. Banyak hal yang ia ceritakan, sang suami yang begitu mencintainya itu pun selalu berusaha menjadi pendengar yang baik. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan Alana menjadi semakin cinta pada Evan setiap harinya.Sesampainya di rumah, keduanya pun memutuskan untuk langsung tidur. Bukan tanpa alasan, karena besok Evan akan menghadiri rapat penting perusahaan, sedangkan Alana, ia berencana untuk berkeliling melamar kerja.Keesokan harinya.Setelah selesai sarapan, Evan pun bersiap-siap berangkat."Aku berangkat dulu ya, sayang! Baik-baik di rumah, jangan terlalu capek." Evan mengecup kening Alana dengan penuh cinta.Evan kemudian berjalan ke depan gang, ia berdiri sambil menunggu angkutan umum untuk menuju kantornya. Danu sudah seringkali meminta untuk menjemputnya di depan gang, tapi Evan selalu menolak karena khawatir jika ada tetangga atau teman Alana yang melihatnya.Sesampainya di depan kantor, beberapa orang anak buah Evan sudah menunggu kedatangannya. Mereka juga telah menyiapkan pakaian ganti dan juga keperluan lainnya."Direktur, rapat hari ini menghadirkan beberapa orang penting. Saya harap Anda tak keluar dari rapat karena masalah pribadi lagi," pinta Danu yang sangat khawatir dengan atasannya yang selalu berbuat semaunya."Apa kamu sedang mengaturku?" gertak Evan, sambil menatap tajam.Bagi Evan, perusahaan adalah urusan nomor dua. Alana tetap prioritas utamanya, bahkan ia pernah meninggalkan rapat hanya karena Alana mengirim pesan kalau perutnya sangat sakit efek datang bulan. Evan yang siaga pun langsung pulang dan memberikan pereda sakit untuk Alana, ia bahkan menyempatkan diri untuk sekedar mengusap punggungnya.Rapat akan segera dimulai, beberapa investor pun mulai berdatangan. Evan yang telah berganti pakaian pun kini sudah terlihat layaknya seorang Direktur. Setiap ia melangkah, semua karyawan membungkuk memberi hormat padanya.Setelah dua jam berlalu, rapat pun akhirnya selesai. Lagi-lagi kinerja Evan membuat para investor semakin tertarik padanya."Pak Evan, saya senang dengan cara kerja Anda. Semoga kedepannya kita bisa terus menjalin kerja sama," ucap salah seorang investor sambil berjabat tangan dengan Evan."Benar sekali, kami benar-benar puas dengan cara kerja Anda," sambung salah seorang investor lainnya.Evan tersenyum tipis. "Terima kasih, saya juga senang bisa bekerja sama dengan Anda sekalian" sahutnya.Karena telah selesai, Evan memutuskan untuk kembali ke toko miliknya yang berada tak jauh dari rumah. Ia memang berniat datang ke perusahaan hanya untuk hadir dalam rapat saja. Namun, saat ia baru saja menginjakan kaki di luar gedung. Matanya tanpa sengaja menatap seseorang yang sangat ia kenali sedang duduk beristirahat dibawah pohon."Tolong panggilkan security kemari," perintahnya pada Danu."Maaf, ada keperluan apa, Pak?" Danu merasa heran."Panggilkan saja," jawab Evan sambil tersenyum.Danu kemudian memanggil salah seorang security yang kebetulan sedang berdiri tak jauh dari sana."A-ada apa, Direktur?" Security tersebut gugup, ia berpikir jika dirinya dipanggil oleh Evan karena telah melakukan kesalahan. Wajar saja, karena hampir seluruh karyawan tahu jika atasannya itu tak segan untuk memecat siapa saja yang menurutnya melalaikan tugas."Mengapa kamu sangat gugup?" Evan, keheranan."S-saya masih baru disini, saya tidak tahu telah melakukan kesalahan apa sampai Direktur memanggil kemari," ucap Security itu sambil terus menunduk. Ia tak berani menatap mata sang Direktur."Aku ingin kamu melakukan sesuatu!" tatapan Evan menghunus jantung satpam.Mendengar hal itu, anak buah Evan yang berada di sana pun terkejut. Mereka yang awalnya menunduk karena segan pada Evan, kini mengangkat wajah sambil menatap sang Direktur yang sikapnya terlihat sedikit tak seperti biasanya."Saya siap melakukan apa pun yang Direktur perintahkan," ucap Security, yang dari nada bicaranya sudah
Merasa kesal, ia pun langsung menelepon Danu."Hallo… ada apa, Pak?" Danu merasa, heran."Segera pantau laki-laki yang duduk di belakang Alana. Sejak tadi dia terus menatap istriku sambil senyum-senyum sendiri," perintah Evan.Danu terdiam, ia tak habis pikir dengan sikap pencemburu atasannya itu. Di saat seperti ini saja, masih sempat-sempatnya melihat pria lain yang belum tentu menatap istrinya."Hallo… kenapa malah diam saja?" bentak Evan dari balik telepon."I-iya, Pak. Saya akan memantaunya," jawab Danu, terpaksa mengiyakan."Ya sudah, kerjakan tugasmu dengan benar. Jangan sampai ada laki-laki yang menatap istriku! Jika sampai ketahuan, langsung coret namanya dari daftar kandidat," gertak Evan."Siap, Pak!" teriak Danu yang terkejut mendengar gertakan Evan.Mendengar teriakan Danu, para peserta yang sedang mengikuti tes pun langsung terkejut dibuatnya. Bahkan Alana yang tadinya fokus menulis pun langsung menoleh menatap Danu.Evan yang masih memandangi layar laptopnya pun dibuat k
"P-pakDanu?" Alana terkejut, tak menyangka jika seseorang yang memiliki jabatanseperti Danu malah membantunya."Siapa kamu? Berani sekali membuat keributan disini!" bentak Danuyang melampiaskan semua amarahnya pada Robi.Robi sejak tadi hanya melongo, ia bingung harus mengatakan apa karena tahu jikaseseorang yang bernama Danu adalah asisten dari orang nomor satu di AstiraCorp. Hingga terpikir olehnya sebuah ide untuk mengkambing hitamkan Alana."Saya tidak membuat keributan apa pun, Pak! Tapi perempuan inilah yangberusaha menggoda saya. Demi wajah perusahaan, saya pun berusaha menolaknyabaik-baik, tapi dia tetap memaksa. Maka terjadilah keributan kecil tadi,"terang Robi berusaha meyakinkan Danu dengan kebohongannya."Bohong! Saya sama sekali tak pernah menggodanya!" sanggah Alana, takterima."Saya memiliki saksi, Pak!" sahut Robi."Benar, Pak Danu. Perempuan ini yang menggoda Pak Robi terlebihdahulu," bela salah seorang bawahan Robi."Saya juga melihat jika perempuan itu yan
"Tapi, Pak…bukankah ini sudah sangat keterlaluan? Bagaimana nasib karyawan lain yang tidakbersalah?" Danu menelan ludah, ia tak percaya jika atasannya sampaiberbuat sejauh itu hanya karena cinta."Boyong semua karyawan ke pusat! Aku tak menginginkan lagi kantor cabangitu. Jika perlu aku akan membuat cabang baru di dekat situ," tegas Evan.Robi dan rekannya terkejut setengah mati. Dari perbincangan Evan dan Danu,sangat jelas jika kantor cabang tempat Robi bekerja akan ditutup."Pak, tolong jangan tutup kantor cabang. Saya masih ingin bekerja diAstira, saya berjanji akan melakukan apa pun yang Bapak minta," Robi kinibersujud di depan Evan.Rekan Robi dan juga bawahannya langsung mengikuti Robi untuk bersujud. Merekabenar-benar tak ingin sampai berhenti bekerja hanya karena hal sepele yang samasekali tak ada hubungan dengan pekerjaan. Bagaimanapun, selama ini mereka sudahmengabdikan hidup demi Astira Corp.Danu merasa kasihan pada ketiganya. Ingin membujuk Evan, tapi rasanya pe
"Benar-benarmerepotkan! Padahal aku sedang buru-buru!" Evan sedikit menggerutu.Salah seorangAjudan keluarga Lucio tampak sedang berdiri di depan meja Resepsionis.Evan panik, ia takut kalau sampai Ayahnya tahu jika Astira adalah perusahaanyang selama ini ia kelola tanpa sepengetahuan keluarganya.Evan yang sudah tak sabar ingin pulang pun mencari cara agar bisa melewatiAjudan tersebut tanpa harus ketahuan. Hingga terbesit sebuah ide gila yang relaia lakukan walau hal itu sangat tak sesuai dengan imejnya di kantor."Hey, kemarilah!" Evan melambai ke arah seorang Office Boy."S-saya, Direktur?" tanya pria yang sedang memegang sapu itu."Cepat kemari!" seru Evan yang membuat pria itu gugup."Apa saya telah membuat kesalahan?" tanya pria itu ketakutan."Ambil seragam baru Office Boy! Aku sedang membutuhkannya," perintahEvan sedikit mendesak.Pria itu pun terdiam, ia tak mengerti mengapa sang atasan meminta sesuatu yangsama sekali tak ada hubungan dengannya."Apa kamu tak dengar?"
"Ada seorang kenalanku, tadi dia ikut seleksi juga di Astira Corp. Tapi dia tidak lolos, sepertinya karena hanya lulusan SMA," jelas Alana sedikit bersedih mengingat sahabatnya Rena yang hamil tua."Memangnya kenapa? Bukankah memang seperti itu jika tidak sesuai kriteria.""Tapi, dia itu pintar sekali. Sangat disayangkan perusahaan hanya memandang gelar tanpa melihat kemampuan juga," keluh Alana.Evan merasa tersindir, karena dirinyalah yang telah membuat Aldi gugur. Bahkan alasannya pun lebih konyol dari yang Alana pikirkan."Mungkin memang dia belum beruntung. Mengapa kamu begitu perhatian padanya? Apa jangan-jangan, kamu menyukainya?" cecar Evan yang mulai merasa cemburu."Tentu saja tidak, aku hanya menyukai kamu seorang," sanggah Alana tak terima."Lalu kenapa?" Evan semakin penasaran."Dia itu suaminya sahabatku, namanya Rena. Sekarang Rena sedang hamil besar dan bulan depan akan melahirkan, sedangkan Kak Aldi sampai sekarang masih belum mendapat kerja karena tak memiliki gelar.
"Maaf, kamu siapa? Apa kita saling mengenal?" tanya Evan yang gugup karena harus berhadapan dengan sekretarisnya yang bernama Ella."Oh, maaf mungkin saya salah orang," jawab Ella.Meski Evan berkata seperti itu, tapi Ella masih ragu, ia yakin jika orang tersebut adalah atasannya. Seandainya memang hanya mirip saja, rasanya sangat mustahil sampai tahi lalat di dekat alisnya pun sama.Namun, melihat atasannya itu terus bergandengan dengan perempuan yang hanya dari kalangan orang biasa-biasa saja. Ia langsung berpikir jika pria itu bukanlah Evan. Mengingat bosnya terlalu angkuh dan arogan, terlalu kecil kemungkinannya untuk menyukai seorang perempuan yang sangat sederhana seperti itu.Angkutan umum pun berhenti tepat di depan restoran mewah yang mereka tuju."Sayang, apa benar kita bisa masuk sana?" Alana merasa ragu."Tentu saja bisa.""Tapi, aku tidak tahu cara memesan makanan di sana.""Tenang saja, aku tahu."Evan menggandeng tangan Alana sambil memasuki restoran. Hingga sesampainya
Evan menarik Alana untuk menaiki angkutan umum."Sayang, kita mau kemana?" tanya Alana, heran."Nanti juga kamu tahu."Alana dihantui rasa penasaran, ia tak tahu akan dibawa kemana oleh suaminya itu.Beberapa menit menaiki angkutan umum, Evan pun meminta sopir untuk berhenti di depan sebuah mall besar yang berada di pusat kota."Sayang, kamu tidak salah tempat, kan? Disini tak ada toko lain selain yang di dalam mall!""Tidak, aku memang mau membawamu masuk mall." Evan menggandeng Alana, kemudian keduanya memasuki mall.Saat di dalam mall, Alana merasa gelisah. Ia tak tahu apa yang ada dalam pikiran suaminya itu sampai membawanya ke tempat yang sudah jelas mereka takkan sanggup membeli barang disana."Sayang, uangku tidak cukup untuk membeli pakaian di mall ini," bisik Alana, sedikit mencubit tangan Evan."Tenang saja, kita tak perlu mengeluarkan uang banyak." Evan menatap Alana sambil tersenyum."Bagaimana caranya? Semua orang juga tahu jika harga barang disini tidak ada yang murah,"