Merasa kesal, ia pun langsung menelepon Danu.
"Hallo… ada apa, Pak?" Danu merasa, heran."Segera pantau laki-laki yang duduk di belakang Alana. Sejak tadi dia terus menatap istriku sambil senyum-senyum sendiri," perintah Evan.Danu terdiam, ia tak habis pikir dengan sikap pencemburu atasannya itu. Di saat seperti ini saja, masih sempat-sempatnya melihat pria lain yang belum tentu menatap istrinya."Hallo… kenapa malah diam saja?" bentak Evan dari balik telepon."I-iya, Pak. Saya akan memantaunya," jawab Danu, terpaksa mengiyakan."Ya sudah, kerjakan tugasmu dengan benar. Jangan sampai ada laki-laki yang menatap istriku! Jika sampai ketahuan, langsung coret namanya dari daftar kandidat," gertak Evan."Siap, Pak!" teriak Danu yang terkejut mendengar gertakan Evan.Mendengar teriakan Danu, para peserta yang sedang mengikuti tes pun langsung terkejut dibuatnya. Bahkan Alana yang tadinya fokus menulis pun langsung menoleh menatap Danu.Evan yang masih memandangi layar laptopnya pun dibuat kesal oleh Danu. Ia merasa jika bawahannya itu telah mengganggu konsentrasi istrinya itu."Sepertinya Danu memang harus diberi sedikit hukuman," gumam Evan, kesal.Meski kesal, ia masih terus menatap layar laptopnya. Beberapa jam berlalu, Evan benar-benar hanya diam terpaku menatap Alana. Bahkan ia merasa sedikit cemas saat sesi wawancara akan segera dimulai.Evan yang pencemburu pun menelepon Danu lagi."Hallo, ada apa lagi, Pak?" tanyanya, gelisah."Jangan biarkan Alana bertatapan dengan laki-laki lain! Apalagi HRD muda itu," titah Evan."Tapi… ini kan sesi wawancara, Pak. Bagaimana caranya supaya tidak bertatap muka?" tanya Danu yang dibuat pusing oleh kelakuan atasannya itu."Kau saja yang mewawancara Alana!""Tapi… saya juga laki-laki, Pak! Apa perlu saya carikan HRD perempuan?""Tidak perlu. Alana takkan tertarik padamu!" Evan menutup telepon.Danu merasa sedih dan berkecil hati. Bisa-bisanya seorang atasan yang selalu ia kagumi malah meledeknya secara tak langsung. Walaupun umur Danu sudah tak muda lagi, ia selalu berpikir jika ketampanannya tak kalah jauh dari sang atasan. Hanya rambutnya saja yang semakin menipis membuatnya terlihat sedikit botak dan tua."Baiklah, selanjutnya saudari Alana, silahkan melakukan wawancara dengan Bapak Danu," teriak salah satu HRD yang masih heran mengapa Danu ingin melakukan pekerjaan yang bukan bagiannya.Alana berjalan perlahan ke arah Danu, ia tak tahu jika orang yang akan mewawancarainya adalah bawahan sang suami yang sedang dalam keadaan gelisah karena terus mendapat tekanan dari suaminya yang pencemburu."Silahkan duduk!" pinta Danu dengan sangat hati-hati."Baik, Pak!"Bukannya menatap Alana, Danu malah sibuk mencari CCTV yang sedang menyorot ke arahnya. Hingga, ponselnya berdering lagi, yang menandakan adanya telepon masuk."H-hallo," ucap Danu gugup."Jangan terus menatap CCTV, fokuslah untuk mewawancarai istriku!" bentak Evan yang kemudian menutup telepon.Danu menghela napas panjang, ia berusaha untuk kuat menghadapi tekanan akibat atasannya kini menjadi budak cinta.Sesi wawancara pun dimulai. Danu berusaha mewawancarai Alana dengan maksimal karena Evan mengatakan jika ia harus benar-benar mengukur kemampuan istrinya tersebut.Baru saja beberapa menit, Evan sudah menelepon lagi.Danu menghela napas dulu sebelum mengangkat telepon."Kerja bagus… selanjutnya minta Alana dan yang lainnya untuk menunggu dan jangan dulu pulang," ujar Evan yang mulai tenang.Mendengar ucapan atasannya itu, Danu pun akhirnya bisa bernapas lega. Ia berusaha segera pergi dan menjauh dari Alana secepat mungkin, agar tak terus terlibat masalah dengan bosnya."Baiklah, untuk sesi kali ini semuanya sudah selesai. Pak Danu mengatakan jika kalian harus menunggu dan jangan dulu pulang," ujar salah seorang HRD.Para HRD pun meninggalkan ruangan, menyisakan beberapa peserta yang sedang saling bertukar pikiran hingga ujung-ujungnya bergosip."Hey, bro. Siapa yang membawamu?" tanya salah seorang peserta seleksi."Saudaraku di bagian personalia," jawabnya."Wah, ternyata kebanyakan dari kita disini memiliki hubungan dengan orang penting. Sepertinya, hanya mereka berdua yang berasal dari kalangan orang biasa," ledek salah satu perempuan dengan rok hitam di atas lutut, kepada Alana dan seorang laki-laki dengan pakaian sedikit lusuh.Alana yang sadar diri pun berusaha tak menghiraukan ucapan orang-orang itu. Ia tak mau kalau sampai adu mulut di tempat yang selama ini diimpikannya.Saat akan pindah duduk, tanpa sengaja ia berpapasan dengan seorang pria berpakaian lusuh yang ternyata adalah suami dari sahabatnya yang sedang hamil tua."Loh, Kak Aldi melamar kesini juga? Bagaimana kabar Rena? Kapan akan melahirkan?" cecar Luna dengan wajah berseri."Iya, tadi aku melihatmu masuk kemari. Saat bertanya pada Security, ternyata memang sedang mengadakan seleksi," jawab Aldi. "Rena diprediksi melahirkan bulan depan, sedangkan aku sampai sekarang masih belum mendapat pekerjaan," sambungnya, menghela napas panjang.Keduanya pun asyik berbincang. Aldi sebelumnya adalah Kakak kelas Alana saat masih SMA. Mereka menjadi akrab semenjak sahabatnya yang bernama Rena, mulai berpacaran dengan Aldi. Namun, saat Aldi dan Rena menikah, Alana tak pernah bisa berkomunikasi lagi dengan keduanya. Hanya mendengar kabar dari orang lain kalau Rena sedang mengandung.Disisi lain, Evan yang masih terus menatap CCTV pun dibuat heboh setelah melihat Alana berbincang dengan seorang pria."Danu... bawa identitas para peserta yang mengikuti seleksi tadi. Aku ingin tahu siapa laki-laki yang sedang menggoda istriku," titah Evan pada Danu yang baru saja sampai ruangan."Saya memang sudah membawanya, Pak," jawab Danu dengan napas terengah-engah."Kerja bagus!" Evan langsung mengambil tumpukan kertas yang berisi identitas para peserta seleksi.Ia mulai membaca satu persatu, hingga ditemukannya biodata lengkap dengan foto wajah persis seperti pria yang sedang mengobrol dengan Alana."Apa-apaan ini? Dia hanya lulusan SMA, mengapa berani sekali melamar bagian ini?" bentak Evan yang memang sengaja ingin menyingkirkan Aldi."Tapi, prestasi dan nilai akademiknya bagus, Pak. Jika perusahaan bisa membiayai kuliahnya, mungkin kita akan mendapat bibit yang unggul," jelas Danu, ia kesal pada Evan karena tak konsisten dengan ucapannya sendiri yang meminta untuk menerima karyawan sesuai kemampuannya."Tidak bisa, aku tak ingin orang seperti ini," sahutnya sambil melempar kertas.Danu yang sudah terlanjur pusing dibuat Evan pun langsung menghubungi bagian HRD, ia meminta agar nama Aldi masuk daftar yang gugur karena tidak masuk kriteria.Tak menunggu lama, HRD pun mendatangi Aldi yang masih berbincang dengan Alana."Apakah kamu yang bernama Aldi?" tanya HRD sambil membawa dokumen milik Aldi."Benar, kalau boleh tau, ada apa ya, Pak?" tanya Aldi, dengan wajah cemas."Maaf, karena kamu tidak masuk salah satu kriteria, maka untuk seleksi kali ini, kamu dinyatakan gugur," ucap HRD muda yang sebenarnya tak tega mengatakan hal tersebut. Apalagi nilai tes Aldi adalah yang paling tinggi meski dia hanya tamat SMA.Wajah Aldi yang semula sumringah, kini berubah menjadi lesu. Harapan untuk mendapatkan pekerjaan kini telah sirna."Baik, Pak. Terima kasih karena sudah memberi saya kesempatan untuk mengikuti tes," jawab Aldi, "Alana, aku duluan, ya! Semoga kamu lolos seleksi," ucapnya dengan senyum yang jelas terlihat palsu.Alana ikut sedih melihat Aldi yang gugur, padahal ia tahu sekali jika Kakak kelasnya itu sangatlah pintar meski hanya tamat SMA.Seleksi berikutnya pun dilanjutkan kembali, kali ini melibatkan atasan langsung dari divisi yang mereka lamar.Satu persatu para peserta pun selesai di wawancara. Hingga setelah pengumuman keluar, Alana dan beberapa orang pun akhirnya lolos dan hanya tinggal menunggu panggilan kerja.Alana bergegas untuk langsung pulang ke rumah, ia buru-buru ingin bertemu dengan suaminya dan menceritakan kabar bahagia tentang ia yang diterima kerja di perusahaan impiannya. Namun, baru saja setengah jalan, ia malah harus berpapasan dengan Robi yang sedang ada keperluan di kantor pusat."Wow, sedang melamar kerja rupanya. Apa suamimu tidak mampu memberimu uang?" ledek Robi sambil menatap Alana rendah."Maaf, Pak. Saya sedang buru-buru." Alana berusaha menghindari Robi. Ia tak mau kalau sampai harus bertengkar disana."Mau jual mahal, ya!" Robi memegang dagu Alana.Alana sudah tak tahu harus berbuat apa. Hingga tiba-tiba dari belakang ada seseorang yang mendekat ke arah Robi."Berhenti!" gertaknya sambil memegang tangan Robi."P-pakDanu?" Alana terkejut, tak menyangka jika seseorang yang memiliki jabatanseperti Danu malah membantunya."Siapa kamu? Berani sekali membuat keributan disini!" bentak Danuyang melampiaskan semua amarahnya pada Robi.Robi sejak tadi hanya melongo, ia bingung harus mengatakan apa karena tahu jikaseseorang yang bernama Danu adalah asisten dari orang nomor satu di AstiraCorp. Hingga terpikir olehnya sebuah ide untuk mengkambing hitamkan Alana."Saya tidak membuat keributan apa pun, Pak! Tapi perempuan inilah yangberusaha menggoda saya. Demi wajah perusahaan, saya pun berusaha menolaknyabaik-baik, tapi dia tetap memaksa. Maka terjadilah keributan kecil tadi,"terang Robi berusaha meyakinkan Danu dengan kebohongannya."Bohong! Saya sama sekali tak pernah menggodanya!" sanggah Alana, takterima."Saya memiliki saksi, Pak!" sahut Robi."Benar, Pak Danu. Perempuan ini yang menggoda Pak Robi terlebihdahulu," bela salah seorang bawahan Robi."Saya juga melihat jika perempuan itu yan
"Tapi, Pak…bukankah ini sudah sangat keterlaluan? Bagaimana nasib karyawan lain yang tidakbersalah?" Danu menelan ludah, ia tak percaya jika atasannya sampaiberbuat sejauh itu hanya karena cinta."Boyong semua karyawan ke pusat! Aku tak menginginkan lagi kantor cabangitu. Jika perlu aku akan membuat cabang baru di dekat situ," tegas Evan.Robi dan rekannya terkejut setengah mati. Dari perbincangan Evan dan Danu,sangat jelas jika kantor cabang tempat Robi bekerja akan ditutup."Pak, tolong jangan tutup kantor cabang. Saya masih ingin bekerja diAstira, saya berjanji akan melakukan apa pun yang Bapak minta," Robi kinibersujud di depan Evan.Rekan Robi dan juga bawahannya langsung mengikuti Robi untuk bersujud. Merekabenar-benar tak ingin sampai berhenti bekerja hanya karena hal sepele yang samasekali tak ada hubungan dengan pekerjaan. Bagaimanapun, selama ini mereka sudahmengabdikan hidup demi Astira Corp.Danu merasa kasihan pada ketiganya. Ingin membujuk Evan, tapi rasanya pe
"Benar-benarmerepotkan! Padahal aku sedang buru-buru!" Evan sedikit menggerutu.Salah seorangAjudan keluarga Lucio tampak sedang berdiri di depan meja Resepsionis.Evan panik, ia takut kalau sampai Ayahnya tahu jika Astira adalah perusahaanyang selama ini ia kelola tanpa sepengetahuan keluarganya.Evan yang sudah tak sabar ingin pulang pun mencari cara agar bisa melewatiAjudan tersebut tanpa harus ketahuan. Hingga terbesit sebuah ide gila yang relaia lakukan walau hal itu sangat tak sesuai dengan imejnya di kantor."Hey, kemarilah!" Evan melambai ke arah seorang Office Boy."S-saya, Direktur?" tanya pria yang sedang memegang sapu itu."Cepat kemari!" seru Evan yang membuat pria itu gugup."Apa saya telah membuat kesalahan?" tanya pria itu ketakutan."Ambil seragam baru Office Boy! Aku sedang membutuhkannya," perintahEvan sedikit mendesak.Pria itu pun terdiam, ia tak mengerti mengapa sang atasan meminta sesuatu yangsama sekali tak ada hubungan dengannya."Apa kamu tak dengar?"
"Ada seorang kenalanku, tadi dia ikut seleksi juga di Astira Corp. Tapi dia tidak lolos, sepertinya karena hanya lulusan SMA," jelas Alana sedikit bersedih mengingat sahabatnya Rena yang hamil tua."Memangnya kenapa? Bukankah memang seperti itu jika tidak sesuai kriteria.""Tapi, dia itu pintar sekali. Sangat disayangkan perusahaan hanya memandang gelar tanpa melihat kemampuan juga," keluh Alana.Evan merasa tersindir, karena dirinyalah yang telah membuat Aldi gugur. Bahkan alasannya pun lebih konyol dari yang Alana pikirkan."Mungkin memang dia belum beruntung. Mengapa kamu begitu perhatian padanya? Apa jangan-jangan, kamu menyukainya?" cecar Evan yang mulai merasa cemburu."Tentu saja tidak, aku hanya menyukai kamu seorang," sanggah Alana tak terima."Lalu kenapa?" Evan semakin penasaran."Dia itu suaminya sahabatku, namanya Rena. Sekarang Rena sedang hamil besar dan bulan depan akan melahirkan, sedangkan Kak Aldi sampai sekarang masih belum mendapat kerja karena tak memiliki gelar.
"Maaf, kamu siapa? Apa kita saling mengenal?" tanya Evan yang gugup karena harus berhadapan dengan sekretarisnya yang bernama Ella."Oh, maaf mungkin saya salah orang," jawab Ella.Meski Evan berkata seperti itu, tapi Ella masih ragu, ia yakin jika orang tersebut adalah atasannya. Seandainya memang hanya mirip saja, rasanya sangat mustahil sampai tahi lalat di dekat alisnya pun sama.Namun, melihat atasannya itu terus bergandengan dengan perempuan yang hanya dari kalangan orang biasa-biasa saja. Ia langsung berpikir jika pria itu bukanlah Evan. Mengingat bosnya terlalu angkuh dan arogan, terlalu kecil kemungkinannya untuk menyukai seorang perempuan yang sangat sederhana seperti itu.Angkutan umum pun berhenti tepat di depan restoran mewah yang mereka tuju."Sayang, apa benar kita bisa masuk sana?" Alana merasa ragu."Tentu saja bisa.""Tapi, aku tidak tahu cara memesan makanan di sana.""Tenang saja, aku tahu."Evan menggandeng tangan Alana sambil memasuki restoran. Hingga sesampainya
Evan menarik Alana untuk menaiki angkutan umum."Sayang, kita mau kemana?" tanya Alana, heran."Nanti juga kamu tahu."Alana dihantui rasa penasaran, ia tak tahu akan dibawa kemana oleh suaminya itu.Beberapa menit menaiki angkutan umum, Evan pun meminta sopir untuk berhenti di depan sebuah mall besar yang berada di pusat kota."Sayang, kamu tidak salah tempat, kan? Disini tak ada toko lain selain yang di dalam mall!""Tidak, aku memang mau membawamu masuk mall." Evan menggandeng Alana, kemudian keduanya memasuki mall.Saat di dalam mall, Alana merasa gelisah. Ia tak tahu apa yang ada dalam pikiran suaminya itu sampai membawanya ke tempat yang sudah jelas mereka takkan sanggup membeli barang disana."Sayang, uangku tidak cukup untuk membeli pakaian di mall ini," bisik Alana, sedikit mencubit tangan Evan."Tenang saja, kita tak perlu mengeluarkan uang banyak." Evan menatap Alana sambil tersenyum."Bagaimana caranya? Semua orang juga tahu jika harga barang disini tidak ada yang murah,"
Jeni pun langsung duduk di sebuah sofa yang berada di kantor.Joan segera berlari menghampiri Jeni karena khawatir akan terjadi pertengkaran antara Ibu dan Anak. Namun, tak seperti yang dia bayangkan, keadaan kantor sepi, Jeni terlihat sedang asyik memainkan ponsel."Tante, tidak terjadi sesuatu, kan?" tanya Joan celingak-celinguk."Memangnya apa yang terjadi?" Jeni mengerutkan alis.Joan tak mendapati Evan di ruangannya, ia berpikir mungkin temannya itu sempat keluar sebelum Jeni masuk."Ah, tidak ada apa-apa, Tante," jawab Joan, canggung.Joan hanya berdiam diri di kantor sambil memandangi Jeni. Iia merasa bersalah pada Evan setiap kali memandangi wajah Jeni."Ada apa Joan? Kamu terus memperhatikan Tante dari tadi. Kamu pikir Tante tak tahu?""Tidak ada Tante, saya hanya merasa tak enak dengan kejadian tadi saja.""Pak, pakaian Nyonya sudah selesai kami bersihkan," ucap salah satu staff toko.Jeni langsung berdiri dan mengambil pakaian itu. Ia kemudian pergi setelah membayar pakaian
"Maaf, Anda salah orang!" sahut Evan yang berusaha segera pergi menjauh dari ibunya."Tidak! Kamu Evanders. Tolong katakan kalau kamu Evanders!" teriak Jeni sambil menangis.Evan langsung buru-buru pergi saat itu juga, ia tak ingin melihat Ibunya menangis. Namun juga tak rela jika sampai harus dipisahkan dengan istrinya. Karena ia sangat tahu, jika di sekitar Ibunya ada Bodyguard yang sedang mengawasi dari kejauhan. Yang mana jika identitasnya sampai ketahuan, maka mereka akan segera menyeretnya pulang."Sayang, apa kamu mengenal perempuan tadi? Mengapa sepertinya dia sangat terpukul saat melihatmu?" tanya Alana."Ah, itu… aku pernah bertemu Ibu itu sebelumnya, dia berpikir jika aku mirip dengan anaknya yang sudah meninggal. Makanya aku sampai memakai masker begini," jelas Evan.Ada perasaan bersalah di hati Evan karena terus-menerus membohongi Alana. Ia selalu menutupi kebohongan dengan kebohongan. Hingga rasanya, semua yang ada pada diri Evan saat ini hanyalah kepalsuan.Evan memutus