Share

Bab 5. Memandangi Istri Tercinta Dari CCTV

Merasa kesal, ia pun langsung menelepon Danu.

"Hallo… ada apa, Pak?" Danu merasa, heran.

"Segera pantau laki-laki yang duduk di belakang Alana. Sejak tadi dia terus menatap istriku sambil senyum-senyum sendiri," perintah Evan.

Danu terdiam, ia tak habis pikir dengan sikap pencemburu atasannya itu. Di saat seperti ini saja, masih sempat-sempatnya melihat pria lain yang belum tentu menatap istrinya.

"Hallo… kenapa malah diam saja?" bentak Evan dari balik telepon.

"I-iya, Pak. Saya akan memantaunya," jawab Danu, terpaksa mengiyakan.

"Ya sudah, kerjakan tugasmu dengan benar. Jangan sampai ada laki-laki yang menatap istriku! Jika sampai ketahuan, langsung coret namanya dari daftar kandidat," gertak Evan.

"Siap, Pak!" teriak Danu yang terkejut mendengar gertakan Evan.

Mendengar teriakan Danu, para peserta yang sedang mengikuti tes pun langsung terkejut dibuatnya. Bahkan Alana yang tadinya fokus menulis pun langsung menoleh menatap Danu.

Evan yang masih memandangi layar laptopnya pun dibuat kesal oleh Danu. Ia merasa jika bawahannya itu telah mengganggu konsentrasi istrinya itu.

"Sepertinya Danu memang harus diberi sedikit hukuman," gumam Evan, kesal.

Meski kesal, ia masih terus menatap layar laptopnya. Beberapa jam berlalu, Evan benar-benar hanya diam terpaku menatap Alana. Bahkan ia merasa sedikit cemas saat sesi wawancara akan segera dimulai.

Evan yang pencemburu pun menelepon Danu lagi.

"Hallo, ada apa lagi, Pak?" tanyanya, gelisah.

"Jangan biarkan Alana bertatapan dengan laki-laki lain! Apalagi HRD muda itu," titah Evan.

"Tapi… ini kan sesi wawancara, Pak. Bagaimana caranya supaya tidak bertatap muka?" tanya Danu yang dibuat pusing oleh kelakuan atasannya itu.

"Kau saja yang mewawancara Alana!"

"Tapi… saya juga laki-laki, Pak! Apa perlu saya carikan HRD perempuan?"

"Tidak perlu. Alana takkan tertarik padamu!" Evan menutup telepon.

Danu merasa sedih dan berkecil hati. Bisa-bisanya seorang atasan yang selalu ia kagumi malah meledeknya secara tak langsung. Walaupun umur Danu sudah tak muda lagi, ia selalu berpikir jika ketampanannya tak kalah jauh dari sang atasan. Hanya rambutnya saja yang semakin menipis membuatnya terlihat sedikit botak dan tua.

"Baiklah, selanjutnya saudari Alana, silahkan melakukan wawancara dengan Bapak Danu," teriak salah satu HRD yang masih heran mengapa Danu ingin melakukan pekerjaan yang bukan bagiannya.

Alana berjalan perlahan ke arah Danu, ia tak tahu jika orang yang akan mewawancarainya adalah bawahan sang suami yang sedang dalam keadaan gelisah karena terus mendapat tekanan dari suaminya yang pencemburu.

"Silahkan duduk!" pinta Danu dengan sangat hati-hati.

"Baik, Pak!"

Bukannya menatap Alana, Danu malah sibuk mencari CCTV yang sedang menyorot ke arahnya. Hingga, ponselnya berdering lagi, yang menandakan adanya telepon masuk.

"H-hallo," ucap Danu gugup.

"Jangan terus menatap CCTV, fokuslah untuk mewawancarai istriku!" bentak Evan yang kemudian menutup telepon.

Danu menghela napas panjang, ia berusaha untuk kuat menghadapi tekanan akibat atasannya kini menjadi budak cinta.

Sesi wawancara pun dimulai. Danu berusaha mewawancarai Alana dengan maksimal karena Evan mengatakan jika ia harus benar-benar mengukur kemampuan istrinya tersebut.

Baru saja beberapa menit, Evan sudah menelepon lagi.

Danu menghela napas dulu sebelum mengangkat telepon.

"Kerja bagus… selanjutnya minta Alana dan yang lainnya untuk menunggu dan jangan dulu pulang," ujar Evan yang mulai tenang.

Mendengar ucapan atasannya itu, Danu pun akhirnya bisa bernapas lega. Ia berusaha segera pergi dan menjauh dari Alana secepat mungkin, agar tak terus terlibat masalah dengan bosnya.

"Baiklah, untuk sesi kali ini semuanya sudah selesai. Pak Danu mengatakan jika kalian harus menunggu dan jangan dulu pulang," ujar salah seorang HRD.

Para HRD pun meninggalkan ruangan, menyisakan beberapa peserta yang sedang saling bertukar pikiran hingga ujung-ujungnya bergosip.

"Hey, bro. Siapa yang membawamu?" tanya salah seorang peserta seleksi.

"Saudaraku di bagian personalia," jawabnya.

"Wah, ternyata kebanyakan dari kita disini memiliki hubungan dengan orang penting. Sepertinya, hanya mereka berdua yang berasal dari kalangan orang biasa," ledek salah satu perempuan dengan rok hitam di atas lutut, kepada Alana dan seorang laki-laki dengan pakaian sedikit lusuh.

Alana yang sadar diri pun berusaha tak menghiraukan ucapan orang-orang itu. Ia tak mau kalau sampai adu mulut di tempat yang selama ini diimpikannya.

Saat akan pindah duduk, tanpa sengaja ia berpapasan dengan seorang pria berpakaian lusuh yang ternyata adalah suami dari sahabatnya yang sedang hamil tua.

"Loh, Kak Aldi melamar kesini juga? Bagaimana kabar Rena? Kapan akan melahirkan?" cecar Luna dengan wajah berseri.

"Iya, tadi aku melihatmu masuk kemari. Saat bertanya pada Security, ternyata memang sedang mengadakan seleksi," jawab Aldi. "Rena diprediksi melahirkan bulan depan, sedangkan aku sampai sekarang masih belum mendapat pekerjaan," sambungnya, menghela napas panjang.

Keduanya pun asyik berbincang. Aldi sebelumnya adalah Kakak kelas Alana saat masih SMA. Mereka menjadi akrab semenjak sahabatnya yang bernama Rena, mulai berpacaran dengan Aldi. Namun, saat Aldi dan Rena menikah, Alana tak pernah bisa berkomunikasi lagi dengan keduanya. Hanya mendengar kabar dari orang lain kalau Rena sedang mengandung.

Disisi lain, Evan yang masih terus menatap CCTV pun dibuat heboh setelah melihat Alana berbincang dengan seorang pria.

"Danu... bawa identitas para peserta yang mengikuti seleksi tadi. Aku ingin tahu siapa laki-laki yang sedang menggoda istriku," titah Evan pada Danu yang baru saja sampai ruangan.

"Saya memang sudah membawanya, Pak," jawab Danu dengan napas terengah-engah.

"Kerja bagus!" Evan langsung mengambil tumpukan kertas yang berisi identitas para peserta seleksi.

Ia mulai membaca satu persatu, hingga ditemukannya biodata lengkap dengan foto wajah persis seperti pria yang sedang mengobrol dengan Alana.

"Apa-apaan ini? Dia hanya lulusan SMA, mengapa berani sekali melamar bagian ini?" bentak Evan yang memang sengaja ingin menyingkirkan Aldi.

"Tapi, prestasi dan nilai akademiknya bagus, Pak. Jika perusahaan bisa membiayai kuliahnya, mungkin kita akan mendapat bibit yang unggul," jelas Danu, ia kesal pada Evan karena tak konsisten dengan ucapannya sendiri yang meminta untuk menerima karyawan sesuai kemampuannya.

"Tidak bisa, aku tak ingin orang seperti ini," sahutnya sambil melempar kertas.

Danu yang sudah terlanjur pusing dibuat Evan pun langsung menghubungi bagian HRD, ia meminta agar nama Aldi masuk daftar yang gugur karena tidak masuk kriteria.

Tak menunggu lama, HRD pun mendatangi Aldi yang masih berbincang dengan Alana.

"Apakah kamu yang bernama Aldi?" tanya HRD sambil membawa dokumen milik Aldi.

"Benar, kalau boleh tau, ada apa ya, Pak?" tanya Aldi, dengan wajah cemas.

"Maaf, karena kamu tidak masuk salah satu kriteria, maka untuk seleksi kali ini, kamu dinyatakan gugur," ucap HRD muda yang sebenarnya tak tega mengatakan hal tersebut. Apalagi nilai tes Aldi adalah yang paling tinggi meski dia hanya tamat SMA.

Wajah Aldi yang semula sumringah, kini berubah menjadi lesu. Harapan untuk mendapatkan pekerjaan kini telah sirna.

"Baik, Pak. Terima kasih karena sudah memberi saya kesempatan untuk mengikuti tes," jawab Aldi, "Alana, aku duluan, ya! Semoga kamu lolos seleksi," ucapnya dengan senyum yang jelas terlihat palsu.

Alana ikut sedih melihat Aldi yang gugur, padahal ia tahu sekali jika Kakak kelasnya itu sangatlah pintar meski hanya tamat SMA.

Seleksi berikutnya pun dilanjutkan kembali, kali ini melibatkan atasan langsung dari divisi yang mereka lamar.

Satu persatu para peserta pun selesai di wawancara. Hingga setelah pengumuman keluar, Alana dan beberapa orang pun akhirnya lolos dan hanya tinggal menunggu panggilan kerja.

Alana bergegas untuk langsung pulang ke rumah, ia buru-buru ingin bertemu dengan suaminya dan menceritakan kabar bahagia tentang ia yang diterima kerja di perusahaan impiannya. Namun, baru saja setengah jalan, ia malah harus berpapasan dengan Robi yang sedang ada keperluan di kantor pusat.

"Wow, sedang melamar kerja rupanya. Apa suamimu tidak mampu memberimu uang?" ledek Robi sambil menatap Alana rendah.

"Maaf, Pak. Saya sedang buru-buru." Alana berusaha menghindari Robi. Ia tak mau kalau sampai harus bertengkar disana.

"Mau jual mahal, ya!" Robi memegang dagu Alana.

Alana sudah tak tahu harus berbuat apa. Hingga tiba-tiba dari belakang ada seseorang yang mendekat ke arah Robi.

"Berhenti!" gertaknya sambil memegang tangan Robi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status