Share

Bab 5 (Kekhawatiran Husien)

"Hmm ...." Aku pura-pura batuk. Sebenarnya tenggorokanku tidak gatal.

"Nah minum!" Jannah memberikanku sebotol air mineral.

"Iya, terima kasih." Aku meminumnya sesenggukan.

"Kamu pilih baju yang mana?" Tanyaku membuka pembicaraan.

"Entahlah, di sini bajunya bagus semua." Jannah bingung.

"Ini pegang." Aku memberikan botol air mineral padanya.

Aku mencoba memilihkan gaun untuk Jannah, aku bolak-balik gaun jualanku sendiri. Aku pilih warna gaun yang cocok dengan kulit Jannah. Warna kuning langsat sebagai pilihanku. Ya, sepertinya ini cocok.

"Ini, coba pakailah di ruang ganti." Aku memberikan gaun itu pada Jannah.

Tanpa banyak tanya dan basa-basi Jannah menurut saja apa kataku.

"Ya Allah ini bidadari cantik sekali." Aku pusut-pusut kedua bola mataku berulang kali saat melihat Jannah keluar dari ruang ganti.

"Bagaimana? Bagus tidak?" Tanya Jannah yang telah berdiri tepat di hadapanku.

Aku terdiam. Aku terpana melihat kecantikan Jannah. Cantiknya alami hanya polesan bedak dan celak mata doang tanpa memakai apa pun yang melekat di wajah.

"Lihat tuh gaun pilihan suaminya pas sekali bikin istrinya makin cantik saja." Pengunjung tokoku bergunjing di samping aku dan Jannah.

"Hah? Istri?" Tanyaku.

"Hah? Suami?" Tanya Jannah.

"Kalian memang cocok menjadi pasangan yang serasi, yang satunya ganteng dan yang satunya cantik jelita." Begitulah obrolan dan penilaian pengunjung tokoku pada aku dan Jannah.

"Tapi ... kami ...." Aku bingung mau jawab apa, tetapi sejujurnya aku ingin jadi suami Jannah.

"Sudah, tidak usah tapi-tapi lagi. Kalian itu memang cocok. Semoga bahagia ya sampai kakek nenek kelak." Begitulah kata pengunjung tokoku yang berada di dekat kami sambil mereka menjabat tangan kami.

Aku dan Jannah hanya melongo saja tanpa menjawab lagi kata-kata mereka.

"Apa benar kita serasi?"

"Coba kita bercermin, serasi enggak?" tanyaku balik.

"Menurutmu?"

"Serasi, sih."

Jannah tak menjawab.

"Jilbabnya yang ini saja ya? cocok kayaknya di wajah kamu serasi dengan gaunnya." Aku mengambilkan jilbab yang warnanya serupa pula dengan gaunnya.

Tanpa banyak tanya, Jannah kembali lagi masuk ke dalam ruang ganti untuk mencoba jilbabnya.

Aku menunggu beberapa menit di depan ruang ganti.

"Masya Allah cantik sekali gadis ini. Rasanya ingin sekali aku meremas-remas wajahnya." Aku semakin terpesona saja dengannya.

"Halo, bagaimana Sien? Kok melamun." Jannah mengibaskan telapak tangan kanannya di depan wajahku.

"Enggak! Aku enggak melamun. Aku hanya ....," ucapanku itu terputus ketika aku mendengar suara burung beo itu memanggil Jannah dan menghampiri kami. Duh, ganggu saja. Aku menepuk keningku dengan telapak tangan kananku.

"Jannah, sudah belum pilih gaunnya?" teriak Atul.

"Sudah. Ini gaunnya masih aku pakai." Jannah memamerkan gaun pilihanku itu.

"Wah, cantik sekali. Kamu pilih sendiri? Itu cocok banget loh di tubuh kamu yang langsing bak gitar Spanyol," puji Atul.

"Ah, kamu bisa saja." Jannah menepuk pundak Atul.

"Kamu banyak banget belanjanya?" Tanya Jannah sambil melirik kantong keresek yang berwarna merah besar.

"Iya, mumpung gratis," bisik Atul pelan di telinga Jannah.

Jannah merasa senang melihat kebahagiaan terpancar di wajah Atul karena dulu semasa kecil Atul sering memberi Jannah uang jajan saat Jannah tak punya uang untuk jajan sedangkan teman yang lainnya pada jajan. Atul tak tega melihat sahabatnya itu hanya gigit jari saja dan ketika Atul punya banyak uang jajan berlebih, ia berikan saja pada Jannah separonya agar ia dan Jannah bisa jajan sama-sama.

"Berapa lembar?" Jannah menengok kantong keresek yang dibawa oleh Atul.

"Delapan lembar," jawab Atul singkat.

"Kalau di hitung jumlah semuanya bisa mencapai sepuluh juta," jawab Atul bangga dengan gaun mewah dan bermerek pemberian Zay.

"Hah? Apa aku enggak salah dengar?" Tanya Jannah yang langsung merobohkan tubuhnya ke lantai. Pingsan.

"Jannah," teriakku dan Atul.

Mendengar teriakan aku dan Atul, bola mata pengunjung seisi tokoku itu terarah pada kami. Zay yang mendengar teriakan kami segera menghampiri kami.

"Ada apa, Sien?" Tanya Zay terkejut.

"Jannah tiba-tiba pingsan saat aku bilang jika belanjaanku ini kalau di total mencapai sepuluh juta," sahut Atul sambil menangis terisak-isak. Eh, malah burung beo ini yang jawab pertanyaan Zay.

Aku segera mengangkat tubuh Jannah ke dalam mobil. Aku baringkan ia di kursi mobil belakang bersama Atul yang memegang tubuhnya agar tak terguling karena aku membawa mobil dengan kecepatan yang tak biasa.

"Pelan-pelan Bang Husien." Atul ketakutan.

Aku tak menjawab sepatah kata pun. Aku membawa Jannah ke klinik terdekat. Aku takut kalau Jannah ada penyakit dalam terutama penyakit jantung karena ia terkejut saat Atul bicara tentang nominal gaun yang harganya selangit.

****

Tiba di klinik, aku mengangkat tubuh Jannah untuk memasuki ruangan dokter. Pihak medis segera mengambil tindakan.

"Tolong Bapak tunggu di luar saja," pinta salah satu perawat di klinik itu.

Pintu ruangan pun di tutup. Kami menunggu di luar.

"Apa Jannah punya penyakit dalam sebelumnya?"

"Dulu sih enggak, tapi kalau sekarang aku enggak tahu karena kami kan lama tidak bertemu," jawab Atul yang air matanya terus meleleh.

Aku berjalan maju mundur. Pikiranku kacau. Semoga tidak terjadi sesuatu dengan Jannah.

Tolong beri ia kekuatan, aku mencintainya. Aku panjatkan doa di dalam hatiku kepada Sang Maha Pencipta.

Lima menit ....

Sepuluh menit ....

Lima belas menit ....

Dua puluh menit ....

Aku toleh arloji dipergelangan tangan kiriku, sudah dua puluh menit aku menunggu di luar ruangan dokter.

Krek!

Pintu terbuka. Seorang perawat keluar dari ruangan itu dan memanggilku.

"Apa di sini ada keluarganya?" tanya perawat itu.

"Iya, saya suaminya," sahutku tanpa banyak pikir lagi.

Burung beo yang berada di sebelahku ini sangat terkejut ketika mendengar ucapanku tadi. Mulutnya ternganga diiringi netranya yang tak berkedip sedikit pun melihat wajahku.

"Silakan masuk," ucap perawat itu.

"Maaf, Ibu tunggu di luar saja." Perawat itu menahan Atul yang akan mengekorku masuk ke dalam ruangan Jannah.

"Ada apa, Dok? Penyakit apa yang di deritanya?" Tanyaku dengan sangat khawatir karena Jannah belum sadar juga.

"Tenang, Pak! Tidak akan terjadi apa-apa dengan pasien. Ia hanya kelelahan saja dan hanya asam lambungnya yang naik. Mungkin pagi tadi perutnya kosong tidak terisi apa pun," jawab dokter.

"Terus?"

"Ini aku beri vitamin beserta obat asam lambungnya. Lain kali di perhatikan pola makan istrinya ya, pak, agar tidak terjadi pingsan seperti ini lagi," saran dokter.

"Sudah berapa lama menikah, Pak?"

"Baru satu bulan. Iya, baru satu bulan, Dok," jawabku tanpa pikir panjang lagi.

"Wah, masih hangat-hangatnya, ya. Berarti masih menikmati bulan madu. Semoga saja istrinya cepat sehat dan kalian lekas diberi momongan," kata dokter sembari tersenyum.

"Terima kasih, Dok."

"Sudah boleh saya bawa pulang istri saya, Dok?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Silakan, Pak!"

"Terima kasih, Dok."

****

Aku angkat tubuh Jannah masuk ke dalam rumahku yang cukup besar dan luas. Aku rebahkan Jannah di dalam kamarnya.

"Kenapa Jannah, Sien?" Tanya ibu ketika sedang duduk di ruang keluarga.

"Pingsan," jawabku singkat.

"Ini siapa?" Tanya ibu menoleh ke arah Atul.

"Temannya Jannah dari kampung."

"Selamat sore Tante. Namaku Raudatul dan biasa di panggil Atul."

"Sore juga. Sudah lama tinggal di Ibu Kota?" Tanya ibu sambil mempersilahkan Atul duduk di dekatnya.

"Baru tiga bulan Tante," jawab Atul sopan.

"Kerja apa di sini?" Tanya ibu yang memang suka mengobrol. Jadi kalau tanya orang itu pasti sampai ke akar-akarnya.

"Kerja jadi sopir angkot, Tante," jawab Atul tersipu malu.

"Hah? Sopir angkot? Kamu kan gadis, kenapa kerja jadi sopir angkot? Ibu Kota ini banyak tindak kejahatan. Apa kamu enggak takut?" Tanya mami sembari membulatkan kedua bola mata. Kaget.

"Takut sih Tante, tetapi harus bagaimana lagi karena tidak ada pekerjaan kantor yang mau menerima aku yang hanya lulusan sekolah tinggi tingkat pertama saja," jawab Atul sambil menunduk.

"Oh, ya sudah jalani saja dulu. Semoga nanti kamu dapat pekerjaan yang lebih baik." Ibu memberi semangat pada Atul.

"Nyonya, bagaimana ini?" Tanyaku datang dan memotong pembicaraan mereka di ruang tengah.

"Ada apa?" Tanya ibu.

"Jannah belum sadar juga." Seluruh wajahku berkeringat.

"Tenanglah, Sien. Nanti juga dia akan sadar," kata ibu mencoba menenangkanku.

Aku memalingkan tubuhku dan berjalan menuju kamar Jannah. Aku duduk di samping Jannah menunggu Jannah yang sedang terbaring di atas kasur. Sementara itu, pintu kamar Jannah aku biarkan terbuka.

"Bi, buatkan tamu minum," teriak ibu memanggil Bi Lasmi.

"Iya, Nyonya," sahut Bi Lasmi.

Kring!

"Halo, Bapak."

"Halo juga, Ibu. Husien mana?"

"Husien sedang menunggu Jannah yang lagi pingsan di kamar."

"Kenapa Jannah bisa pingsan?"

"Pagi tadi ke kampus lalu dia enggak makan," jawab ibu.

"Ya sudah. Kirim sopir pribadi Ibu saja untuk menjemput Bapak di kantor," pinta bapak dari balik telepon.

"Iya, Pak."

Telepon terputus.

"Silakan di minum tehnya," ucap Bi Lasmi yang sedang menaruh teh di atas meja.

"Terima kasih, Bi," sahut Atul.

"Bi, panggilkan Pak Awam ya," pinta ibu.

"Iya, Nyonya."

****

"Ada apa Nyonya memanggil saya?" Tanya Pak Awam.

"Jemput Tuan sekarang di kantor," perintah ibu.

"Iya, Nyonya," jawab pak Awam lalu memalingkan tubuhnya berjalan ke arah garasi mobil.

Atul yang sedang tengak-tengok matanya menoleh ke kanan dan ke kiri melihat kemewahan rumahku yang amat besar dan hanya di huni dengan bapak, ibu, dua sopir, dan dua asisten rumah tangga juga tak ada satu pun foto yang menandakan jika keluarga ini mempunyai putra ataupun putri.

"Rumah sebesar ini kok sepi sekali dan tidak terlihat ada anak kecil bermain?" Tanya Atul mencoba memancing ibu dengan basa-basi dulu padahal niatnya ingin menanyakan anak ibu dan bapak.

"Tante enggak punya anak kecil. Anak Tante cuma satu. Ia sekarang sedang berada di luar negeri," jawab ibu sambil mempersilahkan Atul menghabiskan secangkir teh buatan Bi Lasmi.

"Iya, terima kasih Tante. Laki-laki atau gadis?" Tanya Atul lagi. Burung beo mulai berkicau.

"Laki-laki, kira-kira seumuran kamu juga," jawab ibu.

Atul menatap dinding di sekitar ruang keluarga. Alisnya terangkat satu ke atas.

"Ada apa, Tul?" Tanya ibu melihat wajah Atul yang kebingungan.

"Kok tidak ada fotonya ya, Tante. Maaf, maksudnya apa dia enggak suka foto-foto?" Tanya Atul sembari menyipitkan mata.

"Iya, anakku satu-satunya itu memang tidak suka foto-foto, tetapi tahun depan ia akan pulang ke Indonesia. Nanti kamu bisa kok mengenal dia," jawab ibu.

"Yang benar Tante? Aku boleh dong kenalan sama dia?" Tanya Atul yang mulai lagi deh mata duwitan.

"Iya, boleh kok," jawab ibu sembari tersenyum lebar.

"Kamu menginap di sini saja dulu ya malam ini menemani Jannah," pinta ibu.

"Baik Tante." Wajah Atul berbinar-binar.

"Tante ke kamar dulu ya mau istirahat," ucap ibu.

"Iya, silakan Tante." Atul berdiri dan melangkahkan kakinya ke kamar Jannah.

****

"Bang," panggil Jannah dengan membuka matanya.

"Diam dulu. Jangan bicara. Kamu masih lemas," kataku sembari menyentuh bibir Jannah dengan jari telunjuk kananku.

"Ini minumlah dulu." Aku memberikan air mineral yang berada di atas meja pada Jannah.

Jannah meminumnya beberapa cegukan.

"Bi," teriakku.

"Iya, Sien," sahut Bi Lasmi yang dengan segera menghampiriku.

"Tolong ambilkan sepiring nasi beserta lauk pauknya," perintahku pada Bi Lasmi.

"Baik, Sien," jawab Bi Lasmi berjalan lagi menuju dapur.

Setelah Bi Lasmi keluar dari kamar Jannah, terdengar bunyi perut Atul yang keroncongan.

"Aku?" Tanya Atul dengan menunjuk hidungnya sendiri.

"Kamu ke dapur lalu minta Bi Lasmi makan," perintahku pada Atul. Aku tahu sekali maksud Atul jika cacing di dalam perutnya sudah lapar dan memanggil berkali-kali minta di kasih makan.

"Asyik." Atul kegirangan sambil berjalan ke dapur.

Aku terus berada di samping Jannah.

"Aku kenapa tadi Bang Husien?" Jannah mulai bicara.

"Jangan bicara dulu. Tenanglah. Kamu masih lemah," tegurku.

Aku genggam terus tangan kanannya. Jannah hanya diam melihat tingkahku.

"Apa mungkin ia punya perasaan yang sama sepertiku? Entahlah! Pertanyaan itu akan terjawab nanti setelah aku benar-benar yakin jika ia adalah gadis yang pantas untuk mendampingiku.

Bi Lasmi datang membawa makanan untuk Jannah.

"Terima kasih, Bi." Aku menyambut piring nasi yang berisi ayam goreng beserta sayur bening bayam.

"Ayo buka mulutnya," pintaku pada Jannah agar ia mau membuka mulutnya. Aku menyuapi Jannah memakai sendok.

Jannah membuka mulut sambil tersenyum tipis.

"Oh, mesranya. Kalian pacaran ya?" Tanya Atul yang secara tiba-tiba nongol diambang pintu kamar Jannah. Huh, pengganggu ini datang lagi. Enggak bisa lihat orang senang tiba-tiba saja nongol.

"Enggak," jawabku dan Jannah berbarengan.

"Kenapa sih kalian selalu jawab barengan terus? Janjian ya?" Tanya Atul.

"Enggak," jawabku.

"Lelah kan?" tanya Jannah.

"Iya," jawab Atul melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Jannah.

"Tidurlah di samping Jannah. Aku masih mau menyuapi Jannah makan dulu," kataku.

"Baiklah. Terima kasih," sahut Atul.

Aku pandangi terus wajah Jannah yang cantik jelita. Betapa beruntungnya lelaki mendapatkan cinta wanita ini. Satu rencanaku untuk tahu sifat mata duwitannya sudah berhasil. Ternyata ia bukan wanita yang hanya menomor satukan materi karena saat di toko tadi ia hanya memilih satu baju saja sedangkan Zay menyuruhnya untuk mengambil beberapa baju apa saja yang ia suka.

Rencana kedua, aku ingin tahu apakah ia sangat menyayangi orang yang lebih tua, yaitu bapak dan ibuku. Aku lagi memikirkan rencanaku selanjutnya. Memilih calon istri, aku tidak mau sembarangan karena yang aku inginkan adalah cinta sejati bukan cinta yang semata-mata memandang harta, derajat, dan fisikku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status