Share

Bab 6 (Perhatianku)

“Sudah?” tanyaku sambil menaruh piring di atas meja yang terletak di sudut kamar.

“Iya, terima kasih,” jawab Jannah sembari menyapu mulutnya dengan tisu.

“Minum obat dulu,” pintaku dengan membuka bungkus obat lalu memberikannya ke telapak tangan kanan Jannah.

“Ini airnya.” Kuberikan sebotol air mineral.

Saat Jannah meminum obat, kurapikan bantalnya.

“Istirahatlah!” perintahku lalu aku belai rambut Jannah. Saat ia pingsan tadi aku meminta Atul untuk melepas Jilbabnya.

Tanpa banyak komentar Jannah merebahkan tubuhnya kembali di atas kasur tepat bersebelahan dengan Atul. Aku ambil selimutnya yang tersusun di lemari, kuselimutkan ke tubuhnya agar ia merasa hangat.

“Terima kasih.” begitulah sahutan dari mulut Jannah sebelum ia menutup mata untuk bermimpi indah malam itu.

“Selamat malam. Tidur yang nyenyak.” kuakhiri kata dengan menutup pintu kamarnya.

Pagi yang indah. Malam tadi aku serasa tak bisa tidur. Kugulingkan tubuhku ke sana kemari. Aku selalu ke pikiran Jannah. Aku takut jika ia tidak bisa tidur juga sama sepertiku di sini.

Walaupun kami satu atap, tetapi beda kamar. Aku ingin mengetuk pintu kamarnya melihat keadaannya di tengah malam, tetapi aku takut jika terjadi fitnah.

Kulangkahkan kakiku menuju ke dapur. Biasanya jika pagi begini Jannah ada di dapur membantu Bi Lasmi yang sedang memasak untuk sarapan pagi bapak dan ibu.

Kutoleh ke kanan dan ke kiri, tapi yang kudapati hanya Bi Lasmi yang ada di dapur. Malah terdengar suara yang memanggilku dari belakang, sepertinya aku kenal benar dengan suara itu.

Aku menoleh mengikuti arah suara itu. “Bang Husien,” panggil Atul.

Huh, burung beo ini lagi. Aku memejamkan mataku dan menarik nafasku dalam-dalam lalu kuhembuskan lagi secara perlahan. Kupalingkan tubuhku ke arah Atul.

“Iya,” sahutku singkat.

“Jannah ke mana ya?” tanya Atul sembari menaikkan satu alisnya.

“Apa?” tanyaku dengan mata yang melotot memandang wajah Atul disertai dengan kenaikan kedua alisku.

“Kenapa jadi geram padaku?” tanya Atul dengan ketakutan yang hebat karena melihat wajahku yang bisa dibilang mirip harimau yang akan keluar dari sarangnya. Tidak seperti biasanya ekspresi wajahku seperti ini.

“Jam berapa Jannah sudah tidak ada di dalam kamar?” tanyaku panik.

“Dari aku bangun tidur Jannah sudah tidak ada di dalam kamar,” jawab Atul dengan gemetar.

“Sudah kamu cari ke semua penjuru rumah?” tanyaku yang tingkat kepanikannya luar biasa layaknya kehilangan separuh hatiku.

“Sudah kucari ke semua penjuru kamar. Bahkan, sampai ke lemari pakaian sekali pun. Namun, tidak jua kutemukan,” jawab Atul.

“Memangnya Jannah tikus, kamu cari juga ke lemari pakaian. Aku serius nih!” nada bicaraku naik.

“Aku juga serius.” Atul berkicau lagi.

“Ah, sudahlah! Aku cari sendiri saja.” aku mengibaskan tangan kananku dan berlalu meninggalkan Atul di dapur bersama Bi Lasmi.

Jantungku berdetak kencang. Aku takut terjadi sesuatu pada Jannah. Akhirnya pikiranku pun bermacam-macam. Aku takut jika Jannah diculik, tetapi siapa juga yang menculik Jannah? Untuk apa juga Jannah diculik? Jika hal itu sampai terjadi pada Jannah, mungkin bisa jadi Jannah diculik karena dia kan cantik atau bisa pula untuk dijual pada bos wanita malam. Aduh, bagaimana ini? Ketakutanku luar biasa.

Kucari ke ruang keluarga, ke kamar bapak dan ibuku, ke ruang tamu, ke ruang olahraga, ke teras depan, ke taman depan rumah, ke garasi mobil, ke halaman belakang rumah, bahkan ke semua sudut ruangan dan semua hasilnya nihil. Batang hidungnya Jannah tidak terlihat.

Aku terdiam di sudut dapur sambil melihat Bi Lasmi yang sedang masak buat sarapan pagi bapak dan ibu. Kupencet-pencet kepalaku dengan kedua tanganku. Pikiranku pusing saat Jannah menghilang dari rumah. Apa ia tersinggung dengan sikapku yang terlalu perhatian dengannya? Apa ia marah, jika aku telah berani memeluknya malam kemarin? Padahal aku cuma bercanda saja.

Ya, aku ada ide. Aku akan menelepon beberapa bodyguard bapak yang biasa menemani bapak meeting atau keluar kota jika ada urusan penting. Kuambil gawaiku, kucari-cari nomor bodyguard yang tertera di kontak gawaiku. Saat aku sibuk mencari beberapa nomor itu, seseorang menepuk pundakku dari belakang.

“Ada apa, Sien?” tanya ayah.

“Jannah, Yah,” jawabku lemes. Seakan urat-urat sarafku rontok.

“Oh, Jannah, mungkin sama Ibu karena Ibu juga enggak ada tuh di kamar.”

“Ke mana Ibu?”

“Enggak tahu, tapi biasanya Ibumu itu jika hari minggu kayak begini sih olahraga. Biasalah lari pagi di sekitar Komplek perumahan ini,” jawab ayah dengan mencoba menenangkanku.

“Apa mungkin Ibu berolahraga dengan mengajak Jannah?” tanyaku pada ayah dengan masih dilanda ke tidak percayaan. Keningku mengerut. Bingung.

“Bisa jadi,” jawab ayah sembari duduk di meja makan sambil meminum kopi bikinan Bi Lasmi yang sudah terhidang di atas meja.

“Malam ini kamu gantikan Ayah ya datang ke acara teman Ayah,” pinta ayah untuk mengalihkan pembicaraan tentang Jannah.

“Husien.” Aku menunjuk hidungku yang lancip bak piramida.

“Iya, siapa lagi kalau bukan kamu? Anak bapak kan cuma kamu,” kata ayah dengan menyuap satu sendok nasi goreng hangat.

“Bagaimana Tuan rasanya?” tanya Bi Lasmi dari dapur.

“Mantap, Bi. Nasi goreng rasa restoran.” Selontaran pujian dilemparkan ayah pada Bi Lasmi.

“Terima kasih Tuan. Sesuatu itu loh,” jawab Bi Lasmi dengan mengibaskan rambutnya.

“Ah, dasar asisten rumah tangga centil,” ucapku dalam hati.

“Bagaimana ini Sien, tawaran Ayah?”

“Iya, Yah, tetapi aku ini kan lagi menyamar jadi sopir, bagaimana caranya aku bisa dandan layaknya Tuan muda. Nanti bisa terbongkar rahasia kita di depan Jannah?” tanyaku balik pada ayah setelah aku jawab pertanyaan ayah tadi tentang kesediaanku untuk datang ke acara pesta teman ayah.

“Ayah ada ide,” jawab ayah sembari mendekat padaku lalu berbisik sesuatu ke telingaku.

“Oke.” Ayah mengacungkan jari kelingking.

“Oke, Yah.” Aku merait jari kelingking ayah dengan jari kelingkingku.

Benar juga kata ayah, Jannah masuk lagi dalam permainanku. Aku semakin penasaran dengan Jannah. Seperti apakah ia sesungguhnya?

“Bang Husien,” panggil si burung beo. Atul.

“Kamu sudah sarapan apa belum?” tanyaku.

“Jannah ke mana ini? Aku sangat mengkhawatirkannya.” Atul menyapu air matanya. Eh, ia malah tanya balik tanpa menjawab pertanyaanku dulu.

“Tenang! Jannah mungkin di ajak Nyonya lari pagi di sekitar Komplek perumahan ini karena hari ini kan hari minggu.” Aku mencoba menenangkan Atul.

“Ya, sudahlah aku pamit pulang saja.” Atul berpamitan padaku dan ayah yang sedang duduk di meja makan.

“Tunggu!”

“Iya.” Atul memalingkan tubuhnya menghadap ke arahku dan ayah.

“Kamu jangan pulang dulu. Nanti malam kamu akan aku ajak ke pesta. Apa kamu mau?” tanyaku.

“Pesta? Benarkah?” Tanya Atul dengan kedua bola mata yang membulat.

“ Iya. Aku serius,” jawabku meyakinkan Atul.

“Asyik.” Atul bertepuk tangan layaknya anak kecil yang baru saja dibelikan mainan.

“Huh, seperti anak-anak saja,” gumamku.

“Terima kasih My Best Friends.” Atul mendekat dan langsung memelukku.

Ayah tersenyum melihat tingkah Atul. Dengan jilbab yang agak miring sedikit disertai celak mata yang tebal dan panjang menjulang hingga naik ke alis dan tanpa rasa malu, Atul memelukku di depan ayah. Mungkin ia terlalu bahagia karena akan di ajak ke pesta.

“Iya, sama-sama.” Aku mencoba untuk melepas pelukan Atul.

“Bu, dari mana saja jam segini baru pulang?” tanyaku pada ibu.

“Dari taman kota untuk mencari udara segar sambil berolahraga bersama Jannah,” jawab ibu.

“Mana Jannah?” tanyaku. Aku memastikan jika Jannah baik-baik saja.

“Tuh, masih di toko sembako Bu Lala. Katanya mau beli minuman dingin. Dia kelelahan ikut Ibu berolahraga,” jawab ibu sembari menyapu keringatnya dengan handuk kecil yang tergantung di lehernya.

“Kalian sudah makan?” tanyaku khawatir.

“Sudah tadi di warteg depan,” jawab ibu sambil berlalu meninggalkanku di teras depan.

Syukurlah Jannah tak kenapa-kenapa. Lega rasanya. Rupanya dia telah sehat. Cinta ini tumbuh tanpa izin terlebih dahulu padaku. Begitu pun dengan rindu ini tanpa konfirmasi padaku. Huh, pusing aku memikirkan cinta. Campur aduk rasanya hatiku.

Aku akui Jannah memang gadis yang mandiri. Demi mewujudkan impiannya menjadi desainer, ia berangkat sendiri dari desa ke kota, tapi semandiri apa pun perempuan, meski ke mana pun sudah berani sendiri, dalam suatu masa akan ada perasaan ingin dilindungi. Sekuat apa pun dia, secara fitrahnya, ia ingin di lindungi, tentu saja yang namanya perempuan itu pasti ingin menggantungkan diri pada sesuatu yang menurutnya lebih kuat. Bukan karena perempuan itu lemah. Bukan pula karena dia tidak bisa, tapi lebih kepada perasaannya sendiri. Ada rasa nyaman ketika dilindungi oleh seseorang. Ada rasa nyaman ketika diperhatikan oleh seseorang. Seperti itulah wanita. Aku menepuk keningku berulang kali dengan tangan kananku lalu membalikkan tubuhku dan menutup pintu rumahku.

“Kamu baru pulang?” tanyaku pada Jannah yang akan masuk ke kamar mandi.

“Iya, aku mandi dulu,” jawab Jannah.

“Sebentar!” pintaku dengan menahan pintu kamar mandi yang akan Jannah tutup.

“Apa lagi Bang Husien? Mau ikut mandi?” tanya Jannah.

“Enggak!”

“Lalu apa? Gerah nih! Aku mau mandi dulu, ya,” ucap Jannah.

“Aku mau mengajak kamu malam ini bersama Atul untuk ke pesta. Kamu mau kan ke pesta denganku?”

“Pesta? Aku tidak punya gaun yang bagus,” jawab Jannah menunduk.

“Tuan yang menyuruh aku mengajakmu dan Nyonya yang siapkan gaun untukmu,” jawabku.

“Kok sopir yang disuruh ke pesta? Harusnya kan Tuan muda di rumah ini.” Jannah bingung.

“Iya, aku kan orang kepercayaannya Tuan dan aku sudah lama ikut bekerja di sini. Aku seolah-olah berperan menjadi Tuan muda berakting sebagai putranya Tuan dan Nyonya rumah ini nanti malam di pesta,” ucapku dengan semangat bendera merah putih yang berkobar.

“Pesta apa sih?”

“Pesta pertunangan kliennya Tuan besar,” jawabku tanpa basa-basi.

“Baiklah! Aku mandi dulu ya.” Jannah menutup pintu kamar mandi.

“Yes, yes, akhirnya bisa juga mengajak kencan Jannah malam ini.” Aku kegirangan sambil tersenyum dan menutup sebelah mata kiriku.

“Kau kenapa?” tanya Atul yang muncul dari depanku.

Ya Allah, ini burung beo, kenapa sih selalu saja mengganggu kesenanganku? Enggak bisa banget kayaknya lihat aku senang?

“Memang aku kenapa?” tanyaku balik.

“Kok tadi kulihat kamu tersenyum sendiri sambil kedua bola matamu itu tertutup sebelah,” tunjuk Atul pada mata kiriku.

“Enggak kok, kamu salah lihat saja,” jawabku sembari membulatkan bola mataku.

“Kenapa kamu marah? Aku kan cuma tanya. Salahkah aku?”

“Tadi kan kamu tanya, kenapa bola mata di tutup sebelah? Jadi kubulatkan saja kedua bola mataku ini. Puas?” Aku berlalu meninggalkan Atul yang masih kebingungan.

Atul masih saja mengucek-ngucek matanya. Ia masih bingung rupanya denganku. Biar saja dia. Malam ini yang penting bagiku adalah kencan dengan Jannah. Sementara Atul, aku suruh saja kencan dengan Zay. Kebetulan Zay juga di undang ke pesta itu karena Ayahnya Zay juga salah satu teman bisnis yang punya pesta itu, tetapi berhubung Ayahnya Zay terlalu sibuk mengurus bisnisnya di beberapa daerah akhirnya Zay yang berhadir ke pesta itu.

“Jannah mana, Sien?” tanya ibu ketika aku sedang mencuci mobilku.

“Mungkin di dapur. Dia kan tidak lepas dari dapur untuk membantu Bi Lasmi,” jawabku sambil menyemprot kaca mobil yang telah aku sabun.

“Cepat bersihkan mobilnya! Ini sudah terlalu sore. Acaranya di mulai setelah magrib, Sien!” perintah ibu.

“Iya, Bu.”

“Jannah,” panggil ibu sambil berjalan menuju dapur.

“Iya, Tante. Ada apa?” tanya Jannah yang telah selesai mencuci piring.

“Itu nanti saja dulu. Ikut Tante ke kamar, ya?”

Tanpa bertanya lagi, Jannah mengekor ibu ke kamar.

“Mana Atul?” tanya ibu yang sedang membuka gagang pintu kamar.

“Mungkin sedang bersolek Tante. Dia kan juga di ajak ke pesta malam ini,” jawab Jannah dengan senyum yang melebar.

Ibu membuka lemari pintu delapan dan di dalamnya banyak tersusun gaun yang bagus-bagus. Gaun itu banyak dibeli di luar negeri. Harganya mahal dan tren di jaman sekarang ini.

“Coba pakai yang ini,” pinta ibu dengan memberikan satu gaunnya pada Jannah.

Tanpa banyak komentar, Jannah memakainya.

“Nah, terlihat cantik sekali kan? Tubuh kamu itu hampir sama langsingnya dengan tubuh Tante. Jadi gaun milik tante ini selalu pas berada di tubuh kamu,” kata ibu seraya mengambilkan jilbab yang sama warnanya dengan gaun yang dipakai oleh Jannah barusan.

“Sekarang aku mulai meriasmu, ya.” Ibu mengambil alat riasnya yang terdapat di dalam laci pada meja rias.

Jannah hanya diam dan menurut saja dengan ucapan ibu.

“Nah, selesai. sekarang pakailah perhiasan ini,” pinta ibu dengan mengambilkan kotak perhiasan di dalam lemari kayu jati.

“Ayo, pakai!” Pinta ibu.

Tanpa banyak komentar lagi, Jannah memakainya.

“Wah, cantik sekali,” puji ibu.

“Kamu temani Husien ya malam ini ke pesta,” pinta ibu dengan memegang dagu Jannah.

“Iya, Tante.” Jannah memeluk ibu.

“Kenapa sayang?” tanya ibu.

“Terima kasih atas kebaikan Tante selama ini kepadaku. Aku bukan hanya asisten rumah tangga di sini, tetapi Tante menganggapku sebagai anak Tante sendiri,” jawab Jannah dengan memeluk ibu.

“Sama-sama Jannah. Sudah menangisnya. Nanti terhapus riasannya,” tegur ibu.

Aku mengintip keakraban ibu dan Jannah. Ternyata Jannah bukan hanya cantik, tetapi Jannah juga bisa mengambil hati ibuku. Jannah bisa seakrab itu dengan ibuku layaknya orang tua kandungnya sendiri. Rencana kedua berhasil. Jannah memang wanita yang sangat menghargai dan menyayangi orang yang lebih tua darinya. Rencana ketigaku akan terjawab di pesta nanti. Aku akan tahu lebih dalam lagi tentang Jannah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status