Daniel merenung tentang semua yang terjadi padanya hari ini. Ia merasa hidupnya mulai berada di titik paling rendah. Daniel teringat bagaimana para preman dan anak buah Brams datang untuk merobohkan rumah panti.
Rumah tempatnya bertumbuh besar, rumah yang mempertemukan dirinya yang masih berusia sepuluh tahun dengan Maria. Banyak kenangan yang terjadi di panti itu, Maria yang begitu lembut dan penuh kasih sayang menjadikannya anak yang tumbuh dengan baik. Meski tak bisa memberikan yang terbaik, tapi Daniel sangat bersyukur bisa bertemu dengan Maria. Daniel mengepalkan tangannya, matanya memerah menahan emosi. Ia mencoba untuk bersabar dan menatap adik-adiknya yang sangat kelaparan dan menyantap roti yang ia belikan dengan lahap. Jika bukan untuk melindungi adik-adiknya, mungkin Daniel akan membalas para preman itu dan tak perduli jika harus berakhir di penjara. Daniel yang sangat emosi itu memejamkan matanya. Meredupkan emosi dan kemarahan yang membuatnya tak bisa berpikir untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini.. Hingga sebuah suara mengejutkan Daniel. "Daniel?" sapa seorang wanita yang baru saja pulang dari mini market. Ia berjalan heran menatap Daniel yang duduk di pinggir toko yang sudah tutup. Daniel membuka matanya dan menoleh ke sumber suara. Ia membelalak saat melihat siapa yang datang mendekatinya. "Rachel? Kenapa kau berkeliaran malam-malam begini?" Tanya Daniel dengan cemas. Ia melihat pandangan Rachel pada anak-anak yang sedang memakan roti di sisi Daniel. "Apa kau tidak tau sedang ada di mana?" Tanya Rachel yang sudah berdiri di depan Daniel. Daniel menatap ke sekeliling dan menyadari sesuatu. Bahwa ia berada di tempat tinggal Rachel. Kekasih hatinya yang sudah berlangsung selama tiga tahun. "Kenapa kau ke sini dengan adik-adikmu?" Tanya Rachel yang mengenali anak-anak panti. "Kak Rachel?" ucap Sammy menyadari keberadaan Rachel. Diapun berdiri dan berhambur memeluk Rachel. "Kak Rachel...." Seru yang lain, melakukan hal yang sama. Rachel membalas pelukkan mereka dengan senyuman yang ramah. Kini mereka sedang meminum susu yang dibelikkan Rachel. Tak hanya susu, tapi juga beberapa biskuit dan cemilan lainnya juga. "Di mana Ibu Maria?" Tanya Rachel yang sudah duduk di samping Daniel dan menatap iba pada anak panti lainnya. "Aku tidak tau, ibu bilang akan mencari tempat tinggal sementara. Dan kalau pun dapat, uang dari mana dia akan membayar. Sementara aku... baru saja kehilangan pekerjaan dan tidak dapat pesangon," tutur Daniel menunduk malu. Rachel yang mengerti menggenggam tangan Daniel. "Daniel... jika tidak keberatan kau dan anak-anak bisa tinggal di rumahku sementara. Aku akan cerita pada orang tuaku dan-" "Tidak Rachel, aku tidak bisa melakukan itu. Orang tuamu, masih tidak menyukaiku. Aku tidak yakin mereka bisa menerima kami semua," tolak Daniel sadar diri, la tau bagaimana sikap orang tua Rachel padanya selama ini. Dan tak mungkin harus merepotkan Rachel, terlebih dia bukan seorang diri. Tapi masih ada Maria dan ke sepuluh anak-anak lainnya. Sammy bermain dengan anak-anak lainnya. Mereka yang sudah merasa kenyang saling bercanda dan tertawa satu dengan yang lain. Namun, seorang anak yang paling kecil hanya terdiam sejak tadi. Dia bahkan tidak menghabiskan susunya dan terus murung. "Bella, kenapa susunya tidak diminum?" Tanya Sammy pada adiknya yang baru berusia lima tahun. Tapi Bella hanya menggelengkan kepalanya. Wajahnya pucat dan saat Sammy menyentuhnya, tubuhnya sangat panas. "Kak Daniel... Bella sakit. Badannya panas sekali," teriak Sammy mengejutkan Daniel maupun Rachel. Mereka langsung menghampiri. "Bella, apa yang terjadi denganmu? Katakan apa ada yang sakit?" Tanya Daniel panik. Rachel memeriksa kening Bella dan merasakan panas tubuhnya yang sangat tinggi. "Sepertinya dia demam, kalian sudah berapa lama berada di luar seperti ini? Sebaiknya Bella segera diobati," ucap Rachel. Daniel menggendong Bella dengan bingung. Tepat saat itu Maria datang dengan wajah yang lesu. Maria tak mendapatkan tempat tinggal karena uang yang la miliki sangat kurang. Saat melihat Bella digendong oleh Daniel, Maria langsung berlari dengan cemas. "Apa yang terjadi pada Bella?" Tanya Maria dan mengambil Bella dari gendongan Daniel. "Astaga, badannya panas sekali. Kita harus membawanya ke dokter," ucap Maria hendak pergi. Tapi baru beberapa langkah ia terhenti. "Kenapa? Apa Ibu tidak tahu klinik dokternya ada di mana? Rachel, apa kau tahu klinik dokter yang terdekat di sini?" Tanya Daniel. "Ah ada, sepuluh menit dari sini-" "Tidak bisa," ucap Maria dengan suara yang pelan. "Apa? Ibu bilang apa?" "Kita tidak bisa membawanya ke klinik." "Kenapa tidak bisa? Bu... Bella sedang sakit dan ibu tidak mau membawanya ke klinik?" protes Daniel mulai marah. "Siapa yang tidak mau? Ibu... sangat ingin membawanya ke klinik. Tapi, bahkan untuk menyewa kamar untuk tidur semalam saja, ibu tidak punya uang. Bagaimana harus membawa Bella ke dokter?" ucap ibu meninggikan suaranya. Sammy dan anak-anak lain yang mendengar menundukkan kepala mereka. Mereka tahu bahwa mereka hanya beban untuk Maria dan merasa sangat tidak enak. "Ibu... kita bisa tinggal di jalanan kan. Tidak apa-apa uangnya buat berobat Bella saja. Aku dan lainnya akan mencari uang mulai besok," ucap Sammy dan diiyakan oleh yang lain. "Sammy kau bilang apa? Ibu tidak bermaksud berkata seperti itu. Tapi, kalian harus mendapatkan tempat tinggal dan tidur. Bella masih bisa diobati dengan obat yang ibu punya dan mengompresnya," ucap Maria menyesal karena sudah berteriak di depan semua anak-anaknya. Daniel menunduk merasa menjadi pecundang. Rachel yang melihat semua ini sangat tidak tega dan berinisiatif untuk membawa mereka semua ke rumahnya. "Bagaimana jika malam ini kalian tinggal di rumahku. Ibu... kita bisa merawat Bella di rumahku. Aku mohon untuk tidak menolak bantuanku," ucap Rachel mengejutkan Daniel. "Rachel! Aku bilang aku tidak mau. Bagaimana dengan orang tuamu!" hardik Daniel dengan menarik tangan Rachel. "Lalu? Kau mau membiarkan mereka semua terlantar di jalanan seperti ini? Apa kau tega membiarkan Bella yang sakit untuk tidur di pinggir jalan? Kalian bisa menginap malam ini, besok kita pikirkan jalan keluarnya," ucap Rachel marah. "Daniel... aku tau kau memiliki harga diri yang tinggi. Tapi, jangan korbankan Ibu Maria dan adik-adikmu. Pikirkan mereka, dan biarkan mereka istirahat malam ini," lanjut Rachel. Rachel menarik tangannya dari Daniel dan membawa Maria serta anak lainnya untuk pergi ke rumahnya. Daniel sangat merasa kesal dan berteriak frustasi. Ia merasa malu dan menjadi pecundang karena tak bisa menolong keluarganya sendiri. Daniel pun terpaksa ikut pergi menyusul yang lainnya.Seorang suster masuk ke dalam ruang rawat Daniel dan memberitahu tentang hasil pemeriksaan yang sudah selesai. Daniel mengikuti langkah suster itu untuk menemui sang dokter. Di ruangan dokter ada Jonathan yang sudah datang sejak tadi.Daniel pun duduk di samping Jonathan untuk mendengarkan penjelasan dokter.“Baik ini adalah hasil dari pemeriksaan kesehatan keseluruhannya, untuk tes MRI otak syukurnya semua terlihat baik dan tidak ada gangguan apa pun. Kondisi dari tes kesehatan jantung, ginjal dan hati serta paru-paru juga bagus. Daniel tidak merokok ya?” Tanya dokter.“Ya, Aku tidak punya uang untuk dibakar,” ucap Daniel dan membuat sang dokter tersenyum.“Itu bagus, meski pun nanti ada uang yang bisa dibakar sebaiknya menghindari rokok. Karena itu sangat berbahaya untuk kesehatan di masa yang akan datang. Hanya saja Daniel ini mengalami tekanan darah yang rendah. Gula dalam darahnya pun di bawah angka aman meski pun tidak parah masih bisa diobati dengan obat dan makanan yang bergiz
Jonathan terkejut mendengar ucapan Daniel. Ia sudah mengira Daniel akan mencarinya di saat sudah terdesak. Tapi ia tak berpikir akan secepat ini.“Apa … kau serius?”“Kau anggap aku sedang bercanda?”“Tidak, bukan begitu. Aku hanya tidak ingin jika suatu hari nanti kau mengurungkan kembali ucapanmu dan berpikir untuk berhenti.”“Aku tidak bisa berhenti, sekali pun aku mau. Aku sudah tidak punya jalan untuk kembali. Jadi, apa yang kau ucapkan semuanya benar?” Tanya Daniel.Jonathan mengambil sebuah berkas dari dalam tasnya dan memberikannya pada Daniel.“Aku sudah memeriksa semuanya, kapan kau bertemu dengan Ibu panti asuhanmu bahkan foto pertama kau ditemukan. Sama persis dengan foto yang ditinggalkan mendiang ibu kandungmu. Meksi pun begitu, kami harus membuktikan dengan satu kali tes DNA,” ucap Jonathan dan membuat Daniel terkejut.“Jadi, maksudmu kalau aku menjalani tes DNA itu, dan ternyata tidak cocok. Kau akan membuangku begitu saja? Wah apaan ini, kau pikir aku mudah dipermain
Daniel bekerja di sebuah gedung yang sedang di bangun. Ia beruntung karena mendapatkan pekerjaan sebagai buruh tukang bangunan meski dibayar harian. Sepanjang hari Daniel bekerja untuk bisa menghasilkan uang yang tidak seberapa itu. Di saat jam istirahat, Daniel yang tidak memiliki uang hanya meminum air putih yang disediakan di sana. Sementara yang lain memakan bekal mereka masing-masing. Tiba-tiba seseorang datang menghampiri Daniel dan memberikan sepotong roti. "Makanlah, kau bisa sakit jika hanya minum air putih saja," ucap pria yang sudah berumur setengah abad itu. "Tidak usah, terimakasih," tolak Daniel merasa tidak enak. Pria itu menarik tangan Daniel dan menaruh rotinya di dalam tangan Daniel. "Jangan menolak, jika kau sakit pekerjaan yang lain semakin berat dan selesai lebih lama. Aku tahu mereka sangat pelit hingga tak memberikan makan siang dan hanya air minum saja. Tapi, jika kita protes upah kita akan dipotong dengan dalih sebagai uang makan. Aku sudah menjadi buruh
Kini mereka semua berada di rumah Rachel. Orang tua Rachel menyambut semuanya dengan baik. Meski pun wajah ayah Rachel tampak tidak suka. Tapi mereka tidak bisa menolak kedatangan mereka saat Rachel memohon. Maria sedang merawat Bella di kamar Rachel. Tiga anak perempuan lainnya, Luna, Rose, dan Kayla tidur di kamar Rachel. Sementara, Sammy, Bryan, Adam, Lucky, Hans, Petter dan Daniel tidur di kamar ketiga yang tidak terpakai. Mereka sudah tertidur lelap Karena kelelahan. Daniel yang tidak bisa tidur keluar dari kamar dan mencoba mencari udara segar. Tak sengaja ia mendengar suara Rachel yang sedang berbincang di kamar orang tuanya. "Sampai kapan mereka akan tinggal di sini? Rachel ibu dan ayah menerima mereka karena kasihan. Terlebih anak yang paling kecil sedang sakit, Tapi, kita tidak bisa menampung mereka selamanya. Apa yang akan orang-orang katakan kalau mereka mengetahui hal ini?" ucap Ibu yang lebih mencemaskan apa yang dikatakan orang lain meski pun kasihan dan iba. "Aya
Daniel merenung tentang semua yang terjadi padanya hari ini. Ia merasa hidupnya mulai berada di titik paling rendah. Daniel teringat bagaimana para preman dan anak buah Brams datang untuk merobohkan rumah panti. Rumah tempatnya bertumbuh besar, rumah yang mempertemukan dirinya yang masih berusia sepuluh tahun dengan Maria. Banyak kenangan yang terjadi di panti itu, Maria yang begitu lembut dan penuh kasih sayang menjadikannya anak yang tumbuh dengan baik. Meski tak bisa memberikan yang terbaik, tapi Daniel sangat bersyukur bisa bertemu dengan Maria. Daniel mengepalkan tangannya, matanya memerah menahan emosi. Ia mencoba untuk bersabar dan menatap adik-adiknya yang sangat kelaparan dan menyantap roti yang ia belikan dengan lahap. Jika bukan untuk melindungi adik-adiknya, mungkin Daniel akan membalas para preman itu dan tak perduli jika harus berakhir di penjara. Daniel yang sangat emosi itu memejamkan matanya. Meredupkan emosi dan kemarahan yang membuatnya tak bisa berpikir untuk
"Lepaskan tanganmu dariku! Aku akan beri kalian waktu sepuluh menit untuk membawa barang berharga kalian! Meski pun aku yakin kalau di sana tak ada barang berharga," ucap Brams. Daniel melotot dengan kesal. Ia sangat marah dan ingin sekali meninju Brams. Tapi, ia tak punya pilihan dan melepaskan tangannya. "Ayo masuk dan ajak anak-anak keluar dari sini," ucap Maria menarik tangan Daniel untuk masuk ke dalam. "Tapi Bu, kita tidak bisa diam saja seperti ini. Aku akan pergi ke kantor pemerintah dan meminta mereka membuktikan kalau tanah ini milik kita!" tolak Daniel hendak pergi. Tapi Maria menahan tangannya dan membuat Daniel terhenti. "Daniel, Ibu mohon. Selamatkan adik-adikmu, kita tidak bisa membiarkan mereka ketakutan dan trauma karena masalah ini. Ini sudah setahun lebih, sepertinya merekalah yang akan menang," ucap Maria pasrah serta menatap marah pada Brams yang sedang merokok. Daniel menatap ke arah jendela, di sana anak-anak berkumpul dan mengintip keluar. Daniel tak bisa