“Mmm.. Kak.” aku memanggil Bayu ragu saat ia sedang serius bekerja dengan notebook di hadapannya.
“Apa?” jawabnya tak lama kemudian tanpa menatapku dan fokus membolak-balik lembaran kertas di samping notebook-nya, seperti mengecek keakuratan data di notebook dan lembaran kertas tersebut.
“Soal.. Soal pesta itu..”
“Papa sudah memberitahumu rupanya.” sergahnya menatapku tanpa mengangkat wajahnya.
“Iya dan aku ingin bertanya, siapa pasangan..” tiba-tiba telephon di atas meja kantor Bayu berbunyi nyaring. Bayu menekan tombol speaker dan terdengar suara Sasa di sana.
“Iya ada apa, Sasa?” jawab Bayu menerima panggilan dengan nada tegas yang bijaksana seperti biasa.
“Maaf, Pak tapi Bapak ada tamu yang menunggu di luar?”
“Siapa?”
“Nona Armenita Chandra. Ia mengaku sebagai teman karib, Bapak.”
‘Armenita Chandra?’
Bayu terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut seolah baru saja mengingat sesuatu yang terlupakan.
“Ya, Sasa. Suruh dia masuk.” Panggilan dari interkom terputus.
“Kita lanjutkan pembicaraan soal pesta nanti.” kata Bayu padaku merapikan jas kerjanya seolah ingin menyambut tamu ‘wanitanya’ dengan rapi.
Tak berapa lama kemudian pintu ruangan Bayu terbuka dan muncul dari sana seorang wanita berparas cantik dalam balutan rok hitam pensil dengan paduan blouse berwarna merah muda. Ia memiliki kulit yang putih bersih dan juga kaki yang jenjang. Rambutnya tergerai sampai pada tengkuknya dan ia memiliki mata bulat besar yang tengah menatap Bayu dengan tatapan berbinar.
“Bayu Putra Dirgantara!” ucap wanita itu membentangkan tangannya saat melihat pada Bayu. Dadaku seperti teriris saat melihat Bayu keluar dari balik mejanya dan menyambut wanita itu dengan balas memeluknya sambil menyertakan sebuah senyuman yang lumayan lebar. Seorang Bayu tersenyum pada seorang wanita? Itu adalah hal yang jarang terjadi.
Aku memperhatikan gerak-gerik wanita itu saat mengamati Bayu dari ujung kepala sampai ujung kakinya.
“Tidak ada yang berubah dari kamu, kecuali kamu yang sekarang memimpin perusahaan Dirgantara.” Perempuan itu tertawa diikuti tawa kecil seorang Bayu yang hanya terlihat berusaha sopan. Saat perempuan itu tertawa, tak sengaja tatapan mata kami bertemu. Tawanya terhenti dan ia menatapku penuh tanya. Cepat-cepat aku menundukan kepalaku dan kembali pada pekerjaanku.
“Adikku.” jelas Bayu kemudian membuatku menatap kosong pada lembaran dokumen kerjaku.
“Aku tidak tahu kau memiliki seorang adik lagi, selain Kevin dan Safira tentunya.”
“Begitulah.. terjadi begitu saja.” sahut Bayu singkat.
“Lalu apa yang dilakukannya di ruanganmu?” aku memberengut dalam tatapan yang merunduk. Kenapa juga wanita ini mempertanyakanku dengan begitu menyelidik? Apakah Bayu harus membeberkan semuanya kepadanya baru ia mau berhenti bertanya.
“Ia masih memerlukan bimbinganku.” wanita itu memberikan nada O besar kepada Bayu. Kurasakan suara heels merah mudanya terdengar mendekat dan begitu aku menengadahkan kepalaku, kulihat tangan wanita itu sudah terulur ke arahku dengan sebuah senyuman yang lebar. Aku terperanjat kaget sebelum akhirnya aku berdiri lalu balas menjabat tangannya.
“Armenita. Kau bisa memanggilku Ara.” aku balas tersenyum padanya sebelum kemudian menyahut.
“Rinata. Panggil aku Rina.”
“Apa kau mau berbicara di cafeteria?” suara Bayu menyela acara perkenalan kami.
“Tentu. Kebetulan banyak sekali yang ingin kubicarakan denganmu.” Detik berikutnya fokus Armenita kembali pada Bayu. Aku meringis pelan.
“Baiklah, sampai jumpa Rinata.” Kata perempuan itu berusaha sopan padaku sebelum akhirnya menghilang dibalik pintu bersama Bayu yang bahkan tak mengucapkan satu patah katapun padaku. Gagal sudah usahaku hari ini untuk menanyakan pada Bayu tentang partner pestanya. Mungkin aku bisa menanyakannya di lain waktu.
***
“Kalian akan mengadakan pesta? Wooww..” ucap wanita itu antusias pada ayah tiriku. Ayah tiriku itu, tertawa renyah menanggapi komentarnya diikuti tawa kecil Bayu. Hari ini entah sudah berapa kali aku menyaksikan tawa Bayu itu. Sepertinya perempuan ini memiliki pengaruh yang besar pada dirinya dan aku akui aku cemburu sedari tadi.
“Kakak juga boleh hadir jika Kakak mau, iya kan Pa?” terdengar suara manja khas Safira pada ayah tiriku. Ia bergelayut manja seolah ingin menunjukkan kedekatannya pada papanya itu.
“Tentu saja. Papa akan sangat senang jika kamu mau datang. Kamu bisa menjadi partner Bayu pada acara itu.”
Papa melihat sekilas padaku saat menekankan kata partner, seolah ingin menyindirku secara bersamaan. Ayah tiriku itu pasti tahu kalau aku belum bisa menemukan partner untuk acara itu.
“Sepertinya pestanya akan seru. Kalau begitu aku ikut.” Wajah wanita itu lagi-lagi terlihat berbinar bahkan kali ini ia menyentuh tangan Bayu yang tergeletak di atas meja.
“Lalu Safira, kamu akan berpasangan dengan siapa? Tidakkah ada seorang pria yang ingin kau jadikan partner-mu malam itu?” kulihat Safira menyembunyikan wajahnya malu saat mendengar pertanyaan Armenita padanya.
“Sebenarnya ada.. tapi Papa menyuruhku untuk datang bersamanya.” ucapnya dengan wajah merah merona. Setauku Safira memang belum kulihat sekalipun menggandeng seorang pria semenjak tiga tahun yang lalu ia putus dengan anak rekanan bisnis Papa. Belum ada satu orang pria pun yang datang ke sini untuk menemuinya atau bahkan sekadar menjemputnya.
“Kalau kamu Kevin?”
Kevin sendiri memiliki banyak teman wanita. Kebanyakan dari mereka bahkan menjadi pemuas napsunya. Betapa menjijikannya Kevin dan aku yakin ia tidak akan sulit menemukan partner untuk dirinya sendiri.
“Aku bingung ingin mengajak yang mana.” Sahutnya terlihat bangga diikuti tawa para anggota keluarga Dirgantara dan Ara, kecuali aku dan Bayu. Sesaat tatapan mata kami bertemu dan Kevin menyeringai padaku. Aku memutus tatapan mata kami cepat.
“Lalu bagaimana denganmu, Rina?” Ara kini mengalihkan pertanyaannya padaku. Semua mata kini tertuju padaku.
“A.. Aku..”
Bingung harus bagaimana menjawabnya.
“Aku rasa Rina akan mengejutkan kita nanti di pesta dengan partner-nya.” sahut ayah tiriku tiba-tiba. Aku bahkan tidak berpikir akan mengejutkan mereka dengan pasangan pestaku, kecuali mereka akan terkejut saat mendapati aku datang sendiri ke pesta itu! Aku menggeleng ragu kemudian menjawab.
“Mungkin ya.” kataku dengan cepat menjejali mulutku dengan makanan di piring, berharap mereka melihat bahwa mulutku telah penuh sehingga tidak memungkinkan untuk diajak bicara lagi.
***
“Jangan bercanda!”
“Aku tidak sedang bercanda.” seru suara seseorang dari ponselku. Waktu menunjukkan pukul 10 malam dan aku memilih menghabiskan waktuku untuk terus merayu Anton agar ia mau menjadi partner-ku dalam pesta. Namun, bukannya respon positif yang aku dapatkan, ia justru malah memberikan aku sebuah kabar buruk yang seharusnya membahagiakan, jika saja aku tidak dalam situasiku saat ini.
“Bagaimana bisa?”
"Semua terjadi begitu saja. Aku pikir Sasa juga tidak akan mau tapi ia mengiyakan ajakanku.”
“Dan itu alasanmu menolak ajakanku?” kataku skeptis.
“Oh ayolah, kamu seharusnya ikut berbahagia untukku, sweetheart!”
“Tidak malam ini Anton dan tidak sampai akhir pekan ini berakhir, karena aku membutuhkanmu.” Keluhku terdengar egois. Bukan, tapi aku akui aku memang egois saat ini dan keadaanlah yang mendesakku untuk bersikap egois.
“Chill, Nats.. aku berjanji akan membantumu untuk menemukan partner-mu untuk pesta itu.”
“Kau sudah berjanji.” tekanku lagi padanya.
“Ya, aku berjanji.” katanya terdengar bersungguh-sungguh.
Hening.
“Oh, shit!” tiba-tiba saja kudengar suara Anton yang tengah mengumpat di sebrang.
“Ada apa? Ada apa?” tanyaku panik dan dengan cepat terbangun dari ranjangku.
“Tidak. Tiba-tiba saja hal ini terlintas di kepalaku. Kenapa tidak terpikirkan olehku lebih awal.”
“Apa maksudmu?”
“Kenapa kamu tidak mencoba mengajak Dandy ke pesta itu?”
“Dandy??” kataku mengulangi kata-kata Anton kembali.
“Iya, Dandy. Kamu bisa sedikit mempermaknya dan voila!”
“Tidak!” seruku cepat pada Anton. Kudengar ia menghela napas kasar.
“Kenapa memangnya? Aku pikir hubungan kalian baik-baik saja.”
Hubungan kami memang baik-baik saja, tapi aku tidak mungkin mengambil resiko membawa seorang preman yang sedang dalam pengejaran sekelompok gangster ke dalam pesta. Belum lagi penampilan Dandy yang terlalu..menyeramkan? Ia memakai sebuah gelang perak dan sebuah kalung berantai dan aku juga baru menyadari bahwa ia memiliki tindikan kecil di telinga sebelah kirinya. Belum lagi kemungkinan ia memiliki tattoo di beberapa bagian tubuhnya. Membayangkannya saja membuatku merinding. Ketampanan tidak begitu saja menutupi kemungkinan ke-brengsek-an seseorang, kan?.
Ayah tiriku memang mengatakan bahwa akulah pemeran utamanya pesta itu, tapi aku juga tidak bisa mengambil resiko tatapan menilai dari para anggota Dirgantara lainnya. Tante Salma, Om Radian, Catherine—sepupu ketiga kakak tiriku, dan yang lainnya. Mereka semua pasti menekanku dan berusaha menyudutkanku.
“Kami memang baik tapi..”
“Tapi apa?”
“Kurasa tugas ini tidak cocok untuknya, ini berbeda dengan tugasnya meng-handle café.” Bahkan tugas itu saja aku sempat meragukannya, kalau saja ia tidak menunjukkan kinerjanya, mungkin aku akan memaki Anton saat ini.
“Hmmm.. aku rasa dia cocok. Justru sangat sangat cocok.”
“Kenapa kamu berkata seperti itu?”
“Karena dia memang terlahir untuk itu.”
“Maksudmu?”
Tiba-tiba kudengar suara decitan pelan di sebrang sana.
“Papa datang!” seru Anton menjawab pertanyaanku akan suara itu. “Mungkin kita bisa melanjutkan obrolan ini besok. Bye.” dengan cepat Anton menutup teleponnya dan panggilan terputus. Begitu saja dan ia masih meninggalkan aku menggantung.
“Arrghhhh!” erangku kesal.
***
Aku kembali mematut diriku di cermin. Tak percaya dengan hasil karyaku sendiri. Aku memoleskan make-up tipis pada wajahku agar menampilkan kesan senatural mungkin. Rambut hitamku kugelung ke atas dan menyisakan sedikit bagian anak-anak rambut yang bebas pada tengkukku. Aku kini memperhatikan tubuhku yang dibalut oleh gaun yang panjang sebatas mata kaki. ‘Ini merupakan gaun yang indah.’ Batinku. Gaun hitam dengan aksen glitter yang tak berlebihan. Gaun ini memiliki model lengan yang terbelah dan menampakkan belahan dada dan punggungku, namun tak cukup jelas karena tertutupi oleh kain transparan yang menyambung pada tanganku. Ya, aku bagaikan memiliki sepasang sayap untuk terbang. Aku memutar tubuhku sekali lagi dan terlihat jelas heels dengan warna perak di kakiku. Penampilanku sempurna dan terima kasih untuk ayah tiriku. Hal ini mengingatkanku pada percakapan kami siang tadi. Flashback “Bagaimana jika aku tak pergi ke pesta?”kataku pada ayah tiriku yang sedang menikmati waktunya
5 Hari Sebelum Pesta “Ini laporan apa, huh? Kacau semua isinya, coba kamu lihat!!” Vivian, kepala divisiku melempar kasar map biru yang berisi lembaran-lembaran dokumen pekerjaanku ke atas meja. Aku mengerjap kaget mendapati reaksinya tersebut. Aku terlalu fokus memikirkan tentang Bayu yang tengah bersama Ara. Menghabiskan waktu berdua dengannya. Hal itulah sebenarnya yang juga melatarbelakangi kekacauan pekerjaanku belakangan ini. Semenjak Armenita hadir, Bayu lebih sering berada di luar kantor. Aku baru saja mengetahui dari Sasa bahwa Ara adalah teman SMA Bayu dulu dan merupakan seorang fashion designer yang sebenarnya telah lama berdomisili di Perancis. Keberadaan Armenita yang mendominasi Bayu ternyata membawa dampak buruk bagi diriku. Bayu bahkan tidak menyukaiku. Aku selalu hanya dapat berharap agar Bayu dapat membalas perasaanku. Tapi itu tidak mungkin, jadi aku menurunkan perasaanku sampai pada level ‘aku berharap agar aku selalu dapat berada di sisinya, walaupun tanpa memi
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya secara perlahan dengan intonasi suara yang tegas dan dalam. Aku masih tertunduk tidak dapat mengangkat wajahku untuk menatap matanya. Terbersit dibenakku saat ini tentang kepergiaan mama, lalu tentang betapa konyolnya peraturan ayah tiriku sehingga membuatku kembali terjebak dalam keluarga Dirgantara, tentang celaan orang-orang yang tiada habisnya, pesta itu, kedekatan Bayu dengan Ara, pekerjaan, café, dan saat ini Dandy. Tiba-tiba semua pemikiran itu menyerbuku bersamaan dan tepat sebelum air mataku jatuh, tangan Bayu menggapai tanganku dan menarikku masuk ke dalam pelukannya. Membenamkan wajahku ke dadanya yang bidang. Wangi tubuhnya yang maskulin menguar di sekelilingku. “Syukurlah aku menemukanmu di sini!” katanya membuat jantungku berdegup kencang tidak karuan. “Papa mencemaskanmu, ayo ikut aku pulang sekarang.” Bayu menatap wajahku sesaat sebelum akhirnya menuntunku untuk duduk di mobilnya. “Maafkan aku, Kak.. aku merepotkanmu. Ada se
Sesampainya di kantor, aku langsung menekan tombol lift menuju ke lantai 23A. Pintu lift terbuka dan aku langsung disuguhi oleh pemandangan wajah Sasa yang menghadangku di depan pintu lift di lantai 23A. Raut wajahnya terlihat mantap dan gelisah secara bersamaan. “Maaf Rin, aku harus mengatakan ini.” “Ada apa?” aku bahkan belum keluar dari lift saat ia mengatakan hal itu padaku. “Pak Bayu telah memindahkanmu ke salah satu ruangan di lantai tujuh. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu di sana. Barang-barangmu juga sudah dipindahkan ke sana.” “Tapi kenapa tiba-tiba? Apa yang terjadi?” “Aku juga tidak tahu tapi beliau sedang tidak ingin diganggu saat ini.” Tiba-tiba hatiku menciut. Teringat kembali olehku peristiwa semalam. ‘Sepertinya kami baik-baik saja semalam, lalu kenapa tiba-tiba aku merasa ada yang aneh dengan Bayu?’Hatiku terasa semakin hampa karena tidak dapat memandang wajah Bayu lagi terutama di sela-sela rasa frustasiku oleh semua permasalahanku saat ini. “Kamu serius denga
Waktu Saat Ini Satu permasalahan telah selesai. Aku sudah mendapatkan partner untuk pesta itu tapi muncul permasalahan baru lainnya. Bayu. Semenjak kejadian di mana ia menjemputku, ia sudah jarang sekali terlihat di rumah. Begitu pula di kantor. Ruanganku berada di koridor pojok lantai tujuh dan selama di kantor aku hanya bolak-balik pergi ke ruangan divisi marketing. Di cafeteria, aku juga tak pernah lagi melihatnya. 'Apa ia menghindariku?' “Arrgghhhh!!” aku mengerang frustasi saat aku kembali memikirkannya. Selain itu, ini sudah memasuki hari kelima semenjak Dandy menghilang tanpa kabar dan Anton yang tetap tak bisa dihubungi. Rasa frustasi itu juga tergambar jelas pada wajah Sasa. Ia nampak tak bersemangat setiap kali kami meluangkan waktu untuk makan bersama di cafeteria. Berkat semua peristiwa membingungkan yang terjadi belakangan ini akhirnya Sasa pun mengetahui perasaanku yang sebenarnya pada kakak tiriku. Awalnya ia sempat terkejut namun, rasa keterkejutannya tak berlangsu
"Apakah harus sekarang? Di sini? Di hadapanku? Dengan situasiku saat ini?" Tanyaku bahkan tak digubris oleh pasangan kasmaran di hadapanku ini. Beberapa pasang mata berbisik dan menatap mereka dengan wajah yang berbinar, seolah juga senang akan permintaan Anton untuk Sasa, walaupun mereka hanya sekadar lalu-lalang sambil sesekali memperhatikan. “Pergilah bersamaku, Sasa. Kita tinggalkan semuanya yang menghalangi cinta kita dan menikahlah denganku.” ucapnya sekali lagi membuatku terbelalak. Pergi? Melarikan diri, maksudnya? “Whatever, Anton! Haruskah kau membicarakan semua ini di sini? Saat ini juga?” Selaku kembali tetapi mereka tetap tak menggubris pertanyaanku. Kulihat binar-binar pada wajah Sasa. Sebulir air mata jatuh membasahi pipinya namun hal itu tak sampai membuat make-up-nya berantakan. “I do, Anton. Aku bersedia.” “APA?!” seruku lagi kali ini dengan lebih keras. Kulihat Anton mengeluarkan sebuah cincin dari saku jasnya dan memasangkannya pada jari manis Sasa. Aku bahkan
Aku menggamit lengan Dandy erat saat memasuki gedung aula. Sorot lampu warna-warni menyambut kedatangan kami. Seluruh pasang mata seolah terhenti untuk menatap kami. Begitu pula musik dari band pengiring yang membawakan lagu-lagu jazz. Mereka bahkan terpana dan berhenti memainkan musik untuk beberapa saat seolah ada jeda. Entah kenapa jantungku tak kunjung berhenti membuat keributan di dalam sana akibat tatapan orang-orang padaku. Oh tidak! Tentu saja, mereka menatap pada Dandy! Aku melirik sekilas pada Dandy yang berada di sampingku. Pembawaannya nampak tenang saat ini. ‘Ke mana perginya aura berandalan itu?’ Dandy tersenyum saat mendapati aku mengeratkan genggaman tangannya. Aku melihat sekilas ia mengerling nakal padaku. “Tenanglah, babe. Semua akan baik-baik saja.” katanya seolah mengerti akan kekhawatiran terbesarku. Sepertinya kekahwatiranku tergambar jelas pada wajahku. Tapi tunggu, dia bilang apa barusan? Babe? Aku tidak salah dengar, kan? Aku menggelengkan kepalaku cepat s
Ayah tiriku menepuk-nepuk pundak Dandy seolah bangga. Aku kini tidak bisa mengekspresikan wajahku dengan benar. Ayah tiriku berkata ia terkejut? Justru aku yang dibuat terkejut dengan hal ini. Aku membelalakkan mataku menatap pada Dandy. Berusaha meminta penjelasan darinya. Aku berniat melepaskan rangkulan tanganku pada tangannya tetapi Dandy menahannya. Ia berkedip genit padaku lalu kemudian berbisik. “Mmm..mm.. belum saatnya kau melepas tangan ini, Nona cantik.” bisiknya di telingaku bersamaan dengan perkataan ayah tiriku yang kembali menggema. “Tangkapan yang bagus, Sayang. Aku akui seleramu sangat bagus malam ini.” Ucapnya diiringi tawa para pria tua yang terdengar memekakan telingaku. Aku berbalik menatap pada Bayu. Sesaat lupa akan kehadirannya, saat aku menemukannya dengan cepat ia meneguk habis minuman di gelasnya dan menatapku dingin. Rahangnya mengeras. “Aku yang beruntung mendapatkan putrimu, Tuan Dirgantara.” sahut Dandy menimpali komentar gila ayahku. Wajahku memerah ka