Aku kembali mematut diriku di cermin. Tak percaya dengan hasil karyaku sendiri. Aku memoleskan make-up tipis pada wajahku agar menampilkan kesan senatural mungkin. Rambut hitamku kugelung ke atas dan menyisakan sedikit bagian anak-anak rambut yang bebas pada tengkukku.
Aku kini memperhatikan tubuhku yang dibalut oleh gaun yang panjang sebatas mata kaki.
‘Ini merupakan gaun yang indah.’ Batinku.
Gaun hitam dengan aksen glitter yang tak berlebihan. Gaun ini memiliki model lengan yang terbelah dan menampakkan belahan dada dan punggungku, namun tak cukup jelas karena tertutupi oleh kain transparan yang menyambung pada tanganku. Ya, aku bagaikan memiliki sepasang sayap untuk terbang. Aku memutar tubuhku sekali lagi dan terlihat jelas heels dengan warna perak di kakiku. Penampilanku sempurna dan terima kasih untuk ayah tiriku. Hal ini mengingatkanku pada percakapan kami siang tadi.
Flashback
“Bagaimana jika aku tak pergi ke pesta?”kataku pada ayah tiriku yang sedang menikmati waktunya meminum teh di halaman samping rumah.
“Jangan konyol, Anakku. Aku membuat pesta ini jelas untukmu. Jadi, bagaimana mungkin pesta terselenggara tanpa pemeran utama.”
“Kalau begitu maukah Papa mengabulkan satu permintaanku.” kulihat ayah tiriku mendelik menyunggingkan senyum padaku yang duduk di sampingnya. Ia meletakkan korannya di atas meja dan menatapku dengan penuh tanya.
“Tentu saja, jangankan satu, semua permintaanmu akan kulakukan dan apa permintaanmu itu, Anakku?”
“Ini berkaitan dengan partner-ku.” tanpa sadar ayah tiriku menaikkan sebelah alis matanya padaku.
“Baiklah, apa itu?”
“Seperti yang kau katakan, aku akan memberikan kejutan untukmu dengan partner-ku, tapi sebagai gantinya, maukah Papa meminjamkan satu hal?”
“Benarkah? Ok, lalu apa yang ingin kau pinjam dariku?”
“Aku ingin membawa mobil sendiri karena sepertinya aku harus menjemput partner-ku secara langsung. Jadi, maukah Papa meninjamkannya kepadaku?” kudengar suara tawa Aryo memekak di telingaku. Aku mengernyit bingung padanya.
“Apa hanya itu permintaanmu?” ia masih terkekeh geli dan aku mengangguk mantap.
“Oh tentu saja sayang, kau boleh membawanya. Kau boleh memakai semua jenis mobil yang aku miliki di garasi keluarga Dirgantara.” aku menghela napas pelan. Lagi-lagi ia menyombongkan kekayaannya yang sangat berlimpah itu.
“Kalau begitu boleh aku pinjam mobil sedan tuamu, Papa?” kulihat tawanya terhenti. Sekarang ia ganti menatapku bingung.
“Kenapa dari semua mobil mewah yang keluarga Dirgantara miliki, kau justru menginginkan mobil itu?” tanya tak mengerti. Aku mengedik dan tersenyum padanya.
“Karena aku menyukai segala sesuatu yang berbau klasik. Lagipula mobil itu tidak akan terlalu mencolok dan yang paling penting, aku tidak perlu membayar mahal jika sewaktu-waktu aku membuat kerusakan padanya.” tawa ayah tiriku kembali memekak.
“Aku tidak menyangka kau akan memikirkannya sampai situ, Nak. Walaupun pada faktanya aku tidak mempermasalahkan jika kau merusak semua mobil mewah yang kumiliki.” ia mengedip dan aku tersenyum puas menatap padanya.
“Jadi, boleh aku membawanya?” ia menatapku sejenak. Ada segurat tatapan sendu pada wajahnya yang dikemas dengan senyuman menawan khas seorang pria tua.
“Tentu, kau boleh memakainya sesukamu.”
“Oh, terima kasih, Papa.” kataku tanpa sadar dengan cepat mengecup pipinya. Ia nampak terkejut dengan tindakanku walaupun pada akhirnya ia kembali tertawa terbahak.
“Oh ya, satu hal.” ia menghentikan langkahku ketika aku ingin beranjak pergi meninggalkannya.
“Gunakan ini pada pesta nanti!” ia menyodorkan dua buah kardus besar dengan hiasan pita di atasnya kepadaku.
“Apa ini?”
“Bukalah, maka kau akan mengetahuinya.” ia mengedip sekali lagi kepadaku dan aku berlalu di hadapannya dengan pikiran penuh tanya terhadap dua buah kotak kardus besar di tanganku.
End Of Flashback
Ia benar-benar melakukan tugasnya sebagai seorang ayah rupanya. Aku mengedik tidak terlalu peduli.
Tapi siapa sangka mungkin aku akan mengecewakannya hari ini. Ia terlalu berekspektasi lebih terhadap ‘partner-ku’.
Dengan cepat aku menuruni anak tangga dan terkejut dengan pemandangan di bawah. Keluarga Dirgantara tengah berkumpul di sana. Maksudku dengan seluruh keluarga Dirgantara adalah kakak beradik dari ibu ketiga kakak tiriku. Tante Salma, Om Radian, Catherine—anaknya, dan adik bungsu mendiang istri ayah tiriku. Om Rudi dan partner-nya—yang pasti wanita itu bukan istrinya, karena Om Rudi belum menikah hingga saat ini. Aku hampir saja lupa bahwa pesta ini mengharuskan kita membawa partner.
Langkahku terhenti saat pada akhirnya menemukan sosok Bayu di sana. Setelah sekian lama ia menghilang sama seperti halnya Dandy dan juga Anton. Ia terlihat tampan dengan setelan tuxedo hitam yang membalut tubuh rampingnya yang tegap. Tatapan kami bertemu untuk beberapa saat dan jantungku kembali berdegup kencang. Namun, perasaan itu tak berlangsung lama saat menemukan Ara berdiri tepat di samping Bayu dengan sebuah senyumannya yang menawan
“Oh ini dia pemeran utama sudah datang!” ucap ayah tiriku terlihat sangat bahagia menatapku. Kini tatapan semua orang tertuju padaku. Safira yang nampak cantik dengan gaun merah mudanya terlihat enggan untuk menatapku. Ia memalingkan wajah bersamaan dengan bergabungnya aku bersama mereka. Kulihat Catherine merangkul lengan Kevin. Sepertinya mereka ber-partner malam ini dan ini merupakan sebuah kejutan karena Kevin tidak membawa wanita malamnya.
Catherine terlihat acuh padaku. Ia seolah tak tertarik dengan ucapan ayah tiriku sambil mengibaskan rambut panjangnya yang tergerai ke samping. Sementara Kevin, ia tercengang menatap kehadiranku. Entah apa yang membuatnya bersikap seperti itu. Tante Salma persis seperti Catherine yang acuh saat melihatku, bedanya Tante Salma mendengus geli walaupun ia terlihat tak peduli. Om Radian terlihat netral, ia tidak menunjukkan jenis ekspresi apapun saat menatapku. Hanya Om Rudi dan ayah tiriku yang menyambutku dengan sebuah senyuman.
“Kau terlihat sangat cantik malam ini, Nona.” Om Rudi mengulurkan tangannya untuk membantuku menuruni anak tangga terakhir setelah melepas rangkulan wanita cantik di sisinya.
“Terima kasih.” ucapku malu-malu.
“Kau memang layak menjadi pemeran utama malam ini.” aku mengernyit bingung mendapati komentar Ara padaku yang tiba-tiba. “Persis seperti yang Om Aryo katakan.” Ungkapnya dan membuat jelas dari mana ia mendapatkan informasi itu.
“Ya dan semoga saja ia tidak bersikap memalukan di pesta nanti.” tanggapan yang sarkastik kudengar dari mulut cantik Tante Salma.
‘Terima kasih!’ gerutuku dalam hati. ‘Dan semoga kau tidak merusak malamku dengan semua hinaanmu.’
“Lalu siapa partner-mu malam ini, Cantik? Aku yakin seseorang tidak ingin melewatkanmu.” kata Om Rudi. Aku menatap kembali Bayu dan tak kuduga Bayu masih menatapku dengan tatapannya yang dingin hingga akhirnya ia yang terlebih dahulu memutus kontak mata kami.
“Tentu saja orang yang special.” sahut ayah tiriku cepat.
“Dan semoga tak memalukan untuk keluarga Dirgantara.” celetuk Safira pelan namun dapat terdengar jelas di telinga kami semua. Ayah tiriku berdehem pelan menanggapi komentar anak bungsunya itu sebelum kembali menatapku.
“Siap menjadi bagian dari keluarga Dirgantara seutuhnya?” ia mengacungkan sebuah kunci kepadaku. Tentu saja, kunci mobil sedan bututnya. Aku tersenyum getir mengambil kunci itu dari tangannya.
“Oh ayolah, Papa. Aku tidak pernah bisa menjadi bagian dari kalian.”
“Baguslah kalau kau tahu itu.” perkataan Tante Salma kembali menggema dan kurasakan situasi sedikit menegang sebelum ayah tiriku kembali melanjutkan.
“Kenapa tidak? Buktinya setelah malam ini kau akan resmi menjadi bagian dari Dirgantara dan semua orang akan tahu mengenai hal itu.”
Aku menggeleng.
“Tapi aku yakin kau tahu bahwa aku tak pernah menginginkannya.” jawabku dengan nada yang hampir seperti berbisik walaupun keheningan mencekam di tengah-tengah ruang keluarga tetap dapat mengantarkan kata-kataku pada seluruh anggota Dirgantara lainnya. Kulihat sekilas tatapan kecewa ayah tiriku sebelum kemudian ia kembali mengulas senyumnya padaku.
“Aku berangkat, Papa.” kataku lagi-lagi mengecup pipinya cepat sebagai refleks. Entah kenapa belakangan aku terus melakukan hal itu padanya. Mungkin karena aku telah benar-benar menganggapnya sebagai ayahku sekarang. Aku melewati Bayu dan tersenyum kecil saat ia kembali menatapku. Aku tidak peduli tentang apa yang dipikirkannya terhadapku, terutama saat ini, tapi yang jelas aku mantap dengan satu hal, bahwa aku mencintainya.
***
5 Hari Sebelum Pesta “Ini laporan apa, huh? Kacau semua isinya, coba kamu lihat!!” Vivian, kepala divisiku melempar kasar map biru yang berisi lembaran-lembaran dokumen pekerjaanku ke atas meja. Aku mengerjap kaget mendapati reaksinya tersebut. Aku terlalu fokus memikirkan tentang Bayu yang tengah bersama Ara. Menghabiskan waktu berdua dengannya. Hal itulah sebenarnya yang juga melatarbelakangi kekacauan pekerjaanku belakangan ini. Semenjak Armenita hadir, Bayu lebih sering berada di luar kantor. Aku baru saja mengetahui dari Sasa bahwa Ara adalah teman SMA Bayu dulu dan merupakan seorang fashion designer yang sebenarnya telah lama berdomisili di Perancis. Keberadaan Armenita yang mendominasi Bayu ternyata membawa dampak buruk bagi diriku. Bayu bahkan tidak menyukaiku. Aku selalu hanya dapat berharap agar Bayu dapat membalas perasaanku. Tapi itu tidak mungkin, jadi aku menurunkan perasaanku sampai pada level ‘aku berharap agar aku selalu dapat berada di sisinya, walaupun tanpa memi
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya secara perlahan dengan intonasi suara yang tegas dan dalam. Aku masih tertunduk tidak dapat mengangkat wajahku untuk menatap matanya. Terbersit dibenakku saat ini tentang kepergiaan mama, lalu tentang betapa konyolnya peraturan ayah tiriku sehingga membuatku kembali terjebak dalam keluarga Dirgantara, tentang celaan orang-orang yang tiada habisnya, pesta itu, kedekatan Bayu dengan Ara, pekerjaan, café, dan saat ini Dandy. Tiba-tiba semua pemikiran itu menyerbuku bersamaan dan tepat sebelum air mataku jatuh, tangan Bayu menggapai tanganku dan menarikku masuk ke dalam pelukannya. Membenamkan wajahku ke dadanya yang bidang. Wangi tubuhnya yang maskulin menguar di sekelilingku. “Syukurlah aku menemukanmu di sini!” katanya membuat jantungku berdegup kencang tidak karuan. “Papa mencemaskanmu, ayo ikut aku pulang sekarang.” Bayu menatap wajahku sesaat sebelum akhirnya menuntunku untuk duduk di mobilnya. “Maafkan aku, Kak.. aku merepotkanmu. Ada se
Sesampainya di kantor, aku langsung menekan tombol lift menuju ke lantai 23A. Pintu lift terbuka dan aku langsung disuguhi oleh pemandangan wajah Sasa yang menghadangku di depan pintu lift di lantai 23A. Raut wajahnya terlihat mantap dan gelisah secara bersamaan. “Maaf Rin, aku harus mengatakan ini.” “Ada apa?” aku bahkan belum keluar dari lift saat ia mengatakan hal itu padaku. “Pak Bayu telah memindahkanmu ke salah satu ruangan di lantai tujuh. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu di sana. Barang-barangmu juga sudah dipindahkan ke sana.” “Tapi kenapa tiba-tiba? Apa yang terjadi?” “Aku juga tidak tahu tapi beliau sedang tidak ingin diganggu saat ini.” Tiba-tiba hatiku menciut. Teringat kembali olehku peristiwa semalam. ‘Sepertinya kami baik-baik saja semalam, lalu kenapa tiba-tiba aku merasa ada yang aneh dengan Bayu?’Hatiku terasa semakin hampa karena tidak dapat memandang wajah Bayu lagi terutama di sela-sela rasa frustasiku oleh semua permasalahanku saat ini. “Kamu serius denga
Waktu Saat Ini Satu permasalahan telah selesai. Aku sudah mendapatkan partner untuk pesta itu tapi muncul permasalahan baru lainnya. Bayu. Semenjak kejadian di mana ia menjemputku, ia sudah jarang sekali terlihat di rumah. Begitu pula di kantor. Ruanganku berada di koridor pojok lantai tujuh dan selama di kantor aku hanya bolak-balik pergi ke ruangan divisi marketing. Di cafeteria, aku juga tak pernah lagi melihatnya. 'Apa ia menghindariku?' “Arrgghhhh!!” aku mengerang frustasi saat aku kembali memikirkannya. Selain itu, ini sudah memasuki hari kelima semenjak Dandy menghilang tanpa kabar dan Anton yang tetap tak bisa dihubungi. Rasa frustasi itu juga tergambar jelas pada wajah Sasa. Ia nampak tak bersemangat setiap kali kami meluangkan waktu untuk makan bersama di cafeteria. Berkat semua peristiwa membingungkan yang terjadi belakangan ini akhirnya Sasa pun mengetahui perasaanku yang sebenarnya pada kakak tiriku. Awalnya ia sempat terkejut namun, rasa keterkejutannya tak berlangsu
"Apakah harus sekarang? Di sini? Di hadapanku? Dengan situasiku saat ini?" Tanyaku bahkan tak digubris oleh pasangan kasmaran di hadapanku ini. Beberapa pasang mata berbisik dan menatap mereka dengan wajah yang berbinar, seolah juga senang akan permintaan Anton untuk Sasa, walaupun mereka hanya sekadar lalu-lalang sambil sesekali memperhatikan. “Pergilah bersamaku, Sasa. Kita tinggalkan semuanya yang menghalangi cinta kita dan menikahlah denganku.” ucapnya sekali lagi membuatku terbelalak. Pergi? Melarikan diri, maksudnya? “Whatever, Anton! Haruskah kau membicarakan semua ini di sini? Saat ini juga?” Selaku kembali tetapi mereka tetap tak menggubris pertanyaanku. Kulihat binar-binar pada wajah Sasa. Sebulir air mata jatuh membasahi pipinya namun hal itu tak sampai membuat make-up-nya berantakan. “I do, Anton. Aku bersedia.” “APA?!” seruku lagi kali ini dengan lebih keras. Kulihat Anton mengeluarkan sebuah cincin dari saku jasnya dan memasangkannya pada jari manis Sasa. Aku bahkan
Aku menggamit lengan Dandy erat saat memasuki gedung aula. Sorot lampu warna-warni menyambut kedatangan kami. Seluruh pasang mata seolah terhenti untuk menatap kami. Begitu pula musik dari band pengiring yang membawakan lagu-lagu jazz. Mereka bahkan terpana dan berhenti memainkan musik untuk beberapa saat seolah ada jeda. Entah kenapa jantungku tak kunjung berhenti membuat keributan di dalam sana akibat tatapan orang-orang padaku. Oh tidak! Tentu saja, mereka menatap pada Dandy! Aku melirik sekilas pada Dandy yang berada di sampingku. Pembawaannya nampak tenang saat ini. ‘Ke mana perginya aura berandalan itu?’ Dandy tersenyum saat mendapati aku mengeratkan genggaman tangannya. Aku melihat sekilas ia mengerling nakal padaku. “Tenanglah, babe. Semua akan baik-baik saja.” katanya seolah mengerti akan kekhawatiran terbesarku. Sepertinya kekahwatiranku tergambar jelas pada wajahku. Tapi tunggu, dia bilang apa barusan? Babe? Aku tidak salah dengar, kan? Aku menggelengkan kepalaku cepat s
Ayah tiriku menepuk-nepuk pundak Dandy seolah bangga. Aku kini tidak bisa mengekspresikan wajahku dengan benar. Ayah tiriku berkata ia terkejut? Justru aku yang dibuat terkejut dengan hal ini. Aku membelalakkan mataku menatap pada Dandy. Berusaha meminta penjelasan darinya. Aku berniat melepaskan rangkulan tanganku pada tangannya tetapi Dandy menahannya. Ia berkedip genit padaku lalu kemudian berbisik. “Mmm..mm.. belum saatnya kau melepas tangan ini, Nona cantik.” bisiknya di telingaku bersamaan dengan perkataan ayah tiriku yang kembali menggema. “Tangkapan yang bagus, Sayang. Aku akui seleramu sangat bagus malam ini.” Ucapnya diiringi tawa para pria tua yang terdengar memekakan telingaku. Aku berbalik menatap pada Bayu. Sesaat lupa akan kehadirannya, saat aku menemukannya dengan cepat ia meneguk habis minuman di gelasnya dan menatapku dingin. Rahangnya mengeras. “Aku yang beruntung mendapatkan putrimu, Tuan Dirgantara.” sahut Dandy menimpali komentar gila ayahku. Wajahku memerah ka
Aku melihat tatapan mata Dandy padaku, ia berulang kali mengedipkan matanya padaku dan kemudian alunan musik gitar yang dimainkannya menggema ke antero gedung. Dan tiba-tiba saja ia berdiri. Musik terhenti untuk beberapa saat ketika ia mengambil sebuah microphone kepala menggantikan stand-mic di hadapannya dan menyerahkan gitar itu pada salah seorang pengiring band dan musik kembali mengalun di tangan si pengiring. *Jason Derulo – It Girl I’ve been looking under rocks and breaking locks Just tryna find ya I’ve been like a maniac insomniac, Five steps behind ya Tell them other girls, they can hit the exit Check please… Perlahan ia berjalan menuruni tangga panggung sambil menggoyangkan badannya dan menggoda para tamu undangan wanita sebelum fokus kembali ke tujuannya. ‘Astaga!’ ia mengarah ke sini dan tatapan para wanita mulai memicing sinis ke arahku. Ini buruk. Aku menatap pada Bayu yang seharusnya berada tidak jauh dari tempatku berdiri. Ia tidak ada. Dia menghilang. Aku men