"Sersan Andin, tolong nanti urus proposal kemasyarakatan ya. Sudah kutitipkan di meja resepsionis. Ambil saja kalau nanti mau berangkat"
Sersan membentuk tangannya antara jempol dan telunjuk, berarti oke.
"Hei kau- "
Aku merespon dengan menaikkan kedua alis. Dan secara tiba-tiba kapten melemparkan sesuatu ke arahku. Mau tidak mau aku menangkapnya secara reflek.
"Itu tolong kau simpan. Jam tangan mahal milikku. Besok akan aku ambil, sebelum berangkat. Dan ya .... jangan di buka"
Dengan sangat terpaksa aku menampilkan senyum semanis mungkin, untuk menjaga citraku di depan Sersan Andin. Dan sebenarnya aku sudah menyumpahi kapten itu di dalam hati, dengan semua nama hewan yang ada.
Kurelakan box kecil itu untuk kumasukkan ke tas. Walaupun tudak ikhlas.
"Kalian saudaraan? Atau .. kerabat. Karena Kapten Andika orang nya pendiam, tidak mudah friendly ke siapa saja, yaa.. terkecuali orang terdekatnya?" Pertanyaan Sersan Andin membuatku tertawa renyah. Bisa-bisanya dia menyimpulkan kami bersaudara.
"Hehe bukan. Kami hanya baru kenal beberapa hari lalu. Dan dekat sedikit" Aku merutuk ucapanku tadi. Aku pikir Sersan Andin akan ambigu dengan kata 'dekat'. Menggigit bibir sambil menunggu kalimat apa yang akan di ucapkan Sersan Andin selanjutnya. Tapi tidak seperti ekspektasi.
"Mari, istirahat. Kamar saya di depan sana. Saya duluan ya .."
Tersenyum lebar lalu menjawab. "Silahkan, selamat istirahat" Lalu aku menghembuskan nafas lega. Kupikir Sersan Andin akan menanyakan pertanyaan yang aneh-aneh.
Setelah memastikan Sersan Andin sudah masuk ke kamarnya, aku melanjutkan perjalanan ke kamar nomor 204, yaitu kamarku sendiri. Sangat banyak pintu di koridor hotel, sambil berjalan juga sambil berfikir tentang hal-hal yang random.
"202, 203, yap .. 204"
Aku sudah menemukan kamarku. Dengan menyeret koper yang sangat berat, membayangkan bagaimana nikmatnya rebahan di kasur yang super empuk dan AC yang super cool. Krena kepalaku juga cukup pusing terkena panas.
Setelah masuk dan menyimpan koper, aku langsung merebahkan badan di kasur.
"Haaahh, capek sekali Ya Tuhan. Sejuk sekali disini. Huahh huahh" Sangat memalukan jika ada yang melihat, karena sangat bahagianya, aku sampai berguling ke kanan dan ke kiri.
Tiba-tiba saja aku langsung teringat dengan dokter Alice. Yang katanya satu kamar bersama 2 orang. Benar, aku sangat beruntung untuk tinggal sendiri malam ini.
Dan yang paling menggangguku adalah Aldo. Aku hanya heran kenapa dia berubah. Sikapnya seperti orang asing.
Kuambil ponsel dari dalam tas, lalu mencari kontak Aldo. Berniat untuk meneleponnya, berharap juga akan mendapat respon yang baik.
Panggilan pertama tidak di angkat, lalu panggilan kedua sampai selanjutnya di tolak.
Oke, aku mencoba untuk positif thinking, mungkin sibuk. Pasien sedang melunjak.
Tidak ingin bertambah pusing dan sedih, aku berjalan kearah dapur. Kupikir dengan segelas cokelat panas akan lebih merileks kan pikiran.
...
{Aldo} : Kenapa lo belum tidur?
{Nabil} : Bukan apa-apa
Read.
Dia melakukannya. Selama aku dan dia berteman, tidak ada hal yang lebih mengesalkan dari tidak mengucapkan selamat malam. Aldo selalu rutin memberikan 'good night' setap saat. Kupikir Aldo tidak akan merespon panggilan dariku pagi tadi. Betapa senangnya diriku saat ada notice Aldo menanyakan 'ada apa?'. Tapi tidak berlangsung lama, hanya sekedar bertanya lalu pesan ku hanya di baca.
Yaa, setidaknya aku tahu Aldo-ku itu masih sangat peduli kan kepada adiknya. Dan satu hal lagi, tidak pernah aku merasa sesenang ini saat Aldo membalas pesanku. Haha, kalau dilihat-lihat aku seperti remaja labil yang baru kasmaran. But, aku hanya punya perasaan sayang yang tulus kepada Aldo. Hanya sebagai adik ke kakak, tidak lebih dari itu atau yang lainnya.
"Up ada apa lagi ini?"1 pesan lagi dari Aldo membuatku penasaran setengah mati.
{Aldo} : Nabilah, besok jangan hubungi gue lagi ya. Gak enak sama rekan lainya, gue sibuk.
Mood ku langsung down. Baru saja diterbangkan ke langit yang sangat tinggi lalu di jatuhkan begitu saja.
Pesan itu tidak kubalas, hanya ku baca dengan nafas tercekat. Ingin menangis tapi tidak mau. Wajahku semerah tomat. Menahan tangis itu sumpah sangat sakit.
...
"Hai dokter Nabilah. Pagi!"
"Hai sersan Andin. Pagi juga!"
Sersan Andin membawa 2 orang. Satu laki-laki setengah baya dan satunya perempuan muda seusiaku. Mungkin temannya, tapi tidak mengenakan seragam militer.
"Perkenalkan ini pak Hendro, ketua camat Mengkulai. Dan ini putrinya, Karina"
Aku menjabat tangan keduanya, ternyata di depanku ini adalah ketua camat dari Kecamatan salah satu desa yang akan kudatangi.
"Perkenalkan saya Nabilah. Dokter koas dari Jakarta"
"Wah cantik sekali ya dokter ini"
Aku tersenyum malu-malu dan sekilas melirik ke Karina. Berbeda dengan hawa ayahnya, terlihat dari wajah dan raut mukanya seperti bukan gadis yang ramah, sinis sekali wajahnya.
"Mari pak saya antar ke ketua"
Setelah mereka berdua melewatiku, aku menggelengkan kepala. Ada-ada saja kelakuan manusia.
"Nabilah. Mana jam tanganku. Mau kupakai" Kapten Andika dengan seenak jidat berbicara seolah aku budaknya.
"Apa kau tidak bisa menyimpannya sendiri? Merepotkan orang saja" Dengan menggerutu kesal, aku mengeluarkan kotak kecil berisi jam tangan milik kapten lalu menyerahkan kepadanya. Masih terbungkus plastik dan mengkilap, telihat sekali kalau baru.
Aku tersenyum miring lalu berkata. "Apa itu dari pacarmu? kau terlihat sangat menyayangkan jam itu haha"
Setelah memakai jam tangannya, kapten bersedekap dada dan memandangku remeh.
"Aku bukan budak cinta sepertimu" Aku melototinya dan menginjak kakinya dan berniat pergi. Tapi tangan kapten menarik rambut panjang milikku yang terikat kuda.
"Ah, kau punya masalah apa sih denganku?"
Dia terdiam sejenak bersamaan dengan angin yang berhembus pelan.
"Nothing, I just wanna play with you" Dengan lirih kapten berkata seperti itu sedikit membuat jantungku berdetak kencang. Dan keadaan juga berubah awkward.
Kalimat itu membuat pipiku semerah tomat, entah kenapa. Tapi hawa nya sedikit berbeda. Tampak kapten setelah mengatakan hal itu juga berubah jadi agak canggung. Deheman kapten membuyarkan haluanku, seketika juga langsung sadar.
"Ehem, emm ini jam untuk berangkat. Segeralah bersiap atau kau akan terlambat"
Dia pergi dari hadapanku, dengan susah payah aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Sesak sekali seolah oksigen menghilang. Hingga saat ini juga jantungku belum kembali normal.
"Apa kau baik-baik saja?" Suara seringan kapas itu mengejutkan ku dari belakang. Sersan Andin menatap bingung karena aku hanya bengong sejak kapten beranjak dari tempat.
"Eh ya, aku okay. Sudah selesai?"
Sersan Andin mengangguk. "Ya ayo kita naik"
Bis yang aku dan para tim tumpangi sudah siap. Hanya tinggal menunggu siapa saja yang belum naik. Kali ini aku duduk dengan sersan Andin. Karena dokter Alice bersama perawat Evan duduk bersama.
Koper yang kubawa kali ini jauh lebih berat daripada kemarin, ditambah dengan berkas-berkas yang bertumpuk banyak sekali. Bobot koper menjadi naik beberapa kilogram.
"Kalau boleh tau, kamu disana ngapain?"
Sersan Andin mengerutkan dahi, mendengar pertanyaan dariku yang sangat konyol.
"Emm aku dengan beberapa rekan lainnya bertugas untuk membantu warga mencari makanan, membantu di sawah, mencari air bersih, yaa seperti pekerjaan yang lumayan berat"
Kedua alisku naik, bersyukur aku hanya di suruh untuk mengajar anak-anak. Tidak berat, malah aku sangat suka dengan pekerjaan ini.
"Kalau dokter?"
"Aku biasa saja, mengajar anak-anak. Hanya ingin mengajari mereka" Sersan Andin menganggukkan kepala 3 kali.
"Berapa lama lagi? Jauh?"
"Jarak nya 13 km dari pusat kota. Perkiraan kita sampai satu jam lagi"
Lumayan lama untuk duduk di kursi bis yang keras, aku yakin saat bangun nanti punggung ku akan sakit.
Setelah itu, tidak ada lagi percakapan antara kami berdua. Suara yang terdengar dari para tim lainnya yang saling mengobrol. Sersan Andin memainkan ponsel canggihnya, sementara aku tidak tahu harus melakukan apa. Cukup bosan untuk satu jam kedepan.
"Dokter Nabilah, apa kau tidak merasa kalau kapten sedang mendekati mu?"
Hampir saja aku tersedak ludahku sendiri setelah mendengar suara sersan Andin.
"Hah? Bagaimana?"
"Kapten dikenal sebagai orang yang pendiam, dingin, dan cenderung tidak peduli kepada yang bukan orang terdekatnya-
-Tapi .... kepada dirimu yang beberapa hari ini baru dikenalnya. Kapten sudah se humbld itu kepada dirimu. Tidakkah kau merasa begitu? Kalau para fans kapten tahu, sudah habis kau dibuatnya"
Seketika badanku langsung merinding, mendengar kata 'fans', terdengar sangat fanatik. Mataku memandang kearah sersan dengan teliti.
"Bukan .... Aku bukan dari salah satu fans kapten. Aku sudah bertunangan" Ucapnya sembari menunjuk kan cincin di jari manis miliknya.
"Ah iya!"
"Tapi kupikir kapten menyukai mu, terlihat jelas di mata dan sikapnya kepada mu"
Rumah terakhir, dan hari terakhir menjalankan aksi penunjangan. Jumlah rumah adalah 100 rumah di satu Kelurahan Kaliwuhan. Tak banyak tapi kami harus menghabiskan waktu selama 4 hari lamanya.Ada saja gangguan yang menghambat, jika tidak ada badai hujan kemarin lusa mungkin akan selesai dalam waktu dua hari saja.Butiran air hujan masih menggelayut manja di dedaunan. Jam 2 siang ini akan berakhir di rumah Wak Dolah. Mantan kepala RT periode kemarin.Masalahnya kali ini lebih kompleks, karena kami harus turun tangan langsung untuk mengatasinya."Masalahnya kau sudah beberapa tahun tak bayar hutang! Lihat kebunmu itu, kau sudah panen kan? Oi, bunga nya akan berkali-kali lipat naiknya!."Disini dia disebut Juragan Jerigen. Karena dia punya pabrik minyak kelapa sawit yang diisi di banyak tabung jerigen. Kebun kelapa yang berhektar-hektar, dan kekayaan yang tentu saja melimpah ruah.Tapi sifatnya yang sombong dan suk
Rasi-rasi bintang membentuk bentuk yang sangat indah. Walau aku tidak percaya akan maknanya, yang aku tahu bintang diatas sana sedang sangat cantik-cantiknya.Berkilap indah dan berwarna warni. Terkadang ungu, merah, lalu biru. Melihat dari atas bukit adalah kegiatan yang menyenangkan. Ditemani sebotol teh hangat, dan musik pengiring tidur.Aku menggelar matras, lalu berbaring diatasnya. Rumput-rumpur bergoyang karena angin. Suara jangkrik dan hewan sawah saling bersahutan. Bulan sedang berada di puncaknya, bersinar terang bundar sempurna.Sambil memejamkan mata sambil mengingat wajah ayah dan ibu. Mengingat wajah Noah dan Reno. Mengingat wajah Aldo dan Pak Roy.Ah aku sangat merindukan mereka. Jika aku bermimpi bertemu mereka malam ini, aku pasti akan berdoa dalam mimpiku :"Ya Tuhan. Jangan lah Engkau hentikan apa yang Kau berikan padaku malam ini."Bukit ini tak jauh dari pemukiman, dan tidak menyeramkan seperti di dalam hutan
Kapten dan aku berpapasan di depan ruang Komite Puskesmas. Dia bersama Letkol Gerald dan Sersan Jessica. Kedua orang itu setelah menyapaku langsung pergi ke kamar Adam. Menyisakan aku dan Kapten yang sedang canggung-canggung nya.Aku menyambutnya dengan dingin. Dia terlihat tenang dan tidak berekspresi.Kukira tidak akan percakapan diantara kami, tapi saat hendak beranjak, Kapten memanggil namaku dengan tegas."Dokter Nabilah!."Aku menoleh sekilas. "Apa?.""Kau marah padaku ya?.""Atas dasar apa opinimu itu?." Sarkastik aku keluarkan.Berbalik badan, dengan tampang rileks aku melanjutkan kalimat. "Dengar Kapten terhormat! Sekarang waktuku dituntut oleh pekerjaan. Aku jarang bersantai karena tugasku juga melimpah ruah. Dan asal kau tau saja, saat kau pulang ke Jakarta aku akan tetap disini selama sebulan lagi. Jadi jangan beranggapan kalau aku sedang marah atau merajuk. Itu konyol sekali!."
"Sudah kubilang bodoh! Jangan banyak bergerak dulu. Lukamu akan lama sembuhnya nanti!." Adam menghela nafas lelah. Dia seperti anak kecil saja kalian tau. Susah sekali dibilangin.'Aku hanya ingin ke toilet''Aku ingin keluar sebentar''Ini loh punggungku gatal!'Halah alesan!Pagi ini gerimis melanda. Aku datang ke Puskesmas pagi-pagi sekali saat semua orang mulai memasak. Karena ada Adam yang notabene sedang sakit hampir sekarat, hihi. Dan pekerjaanku mulai menumpuk dari lusa kemarin."Nabilah! Apa ini tak bisa dilepas sebentaaaar... aja? Gatal sekali gila!."Aku mengabaikan Adam. Tanganku sibuk meyisir rambut nya. Karena lama tak keramas jadilah lepek. "Ini rambut apa sabut kelapa? Kusut amat!." Ejekku.Adam menepis tanganku dari kepalanya. Melarang diriku untuk menyisir rambutnya lagi."Ih apaan sih? Orang dibantu juga malah sok banget.""Ini loh lepasin bentar aja. Ak
"Mulai hari ini kau ditugaskan ke Puskesmas saja. Untuk mengajar anak-anak akan digantikan oleh Sersan Andin."Aku menutup buku. Sudah kuduga, pasti jadwalku akan terganti. "Oke."Dokter Alice menyerahkan selembar kertas, disitu tertulis tentang data-data milikku. "Coba periksa lagi apa ada kesalahan."Aku mengambil kertas itu. Membacanya hingga akhir, "Ini sudah benar. Tapi buat apa?."Dokter Alice mengambil kembali kertas itu, menaruhnya di dalam map berwarna biru. "Bukan apa-apa. Sekarang berangkatlah kesana, aku nanti menyusul."Hari ini suhu diatas 27° Celcius. Panas sekali. Bahkan pernah sehari bisa berganti 2 musim sekaligus. Pukul 7 pagi sampai 12 siang panasnya tak terkira. Dan jam 1 sampai malam hujannya seperti mau ada tsunami saja.Para petani membungkuk menanam padi yang masih berwarna hijau segar. Gembala hewan ternak membawa sapi-sapi mereka dan kambing-kambing yang besar nan gemuk.Laz
DUK! Kepalaku terbentur sesuatu.Aku mengaduh pelan. Jidatku terasa sakit. Pasti terkena penyangga tenda. Tanganku meraba-raba, berusaha duduk. Astaga! Karena terkejut bermimpi menabrak tong sampah sampai-sampai jidatku kejedot tiang tenda. Rasanya sakit, dan sedikit memar.Diluar sana hujan lebat disertai petir yang menggelegar. Aku menyibak jendela kecil, gelap, hanya lampu dapur yang tetap menyala.Sekali lagi aku meraba lantai, mencari arlojiku yang pasti terlempar saat aku menjatuhkan botol tadi.Benda panjang itu menunjukkan angka 01.23 artinya hampir setengah dua dini hari. Terbangun di tengah malam seperti ini bukanlah hal yang nyaman. Dijamin setelah ini mataku akan mustahil terlelap lagi.Luna meringkuk di lantai bawah, dengan mengenakan selimut bercorak 'Keroppi' warna hijau mentah. Udaranya dingin, tak heran Luna tidur dilapisi jaket juga.Aku ikut mengeluarkan selimut ku sendiri dari dalam kop
Sejak aku tahu apa itu senapan angin, rasa penasaranku memuncak. Apalagi kegiatan yang terjadi di depan mataku menambah rasa keingintahuanku.Para tentara sedang latihan mingguan. Kali ini mereka menggunakan senapan angin untuk latihan, dengan membuat papan berbentuk bundar, dan diisi warna merah ditengahnya, sebagai bidikan.Peserta bumi perkemahan dibubarkan sehari yang lalu. Setelah tiga hari mereka bersama kami untuk pelatihan Pramuka dasar. Dan ini saatnya aku melihat bagaimana gagahnya mereka menarik pelatuk di benda panjang nan berat itu.Benda ini lebih friendly daripada pistol, a.k.a low budget. Hanya untuk latihan biasa. Kalau untuk agenda tertentu sih bisa pakai sniper atau shotgun yang tentunya lebih bagus.Aku duduk dibawah pohon kelapa sambil membawa handphone dan minum sebotol air putih. Diam menonton mereka denga sesekali memotret pemandangan langka ini. Akan kujadikam polaroid rencananya saat pulang ke Jakarta, sed
4 tahun sebelum koas pt V Pernahkah aku bercerita tentang teman seangkatan ku yang bernama Cleopatra? Belum, karena aku sengaja ingin menceritakannya hingga tiba di bagian ini. Dia anak pendiam yang pintar, tidak punya kawan selain buku-bukunya yang tebal, dan kemana-mana selalu memakai kacamata bundar karena min yang dideritanya. Dia pandai sekali dalam pelajaran matematika, mungkin hanya dia yang mengelu-elukan pelajaran itu. Namanya Cleopatra, biasa dipanggil "Cleo" atau saat anak lain mengejeknya memanggil "Fir'aun". Itu adalah panggilan yang sangat kejam, hanya orang tidak beradab yang memanggilnya begitu. Aku menyukai namanya, selain unik juga punya makna tersendiri. Nama Cleopatra tentu saja kalian tahu itu siapa. Cleopatra adalah Ratu dari zaman Mesir kuno. Yang selalu diidentikkan dengan rambut pendek, memakai eyeliner panjang, dan bermahkota ular kobra. Dikabarkan Ratu itu memiliki kecantikan yang luar biasa,
Anak-anak ramai berkerumun di depan hutan kampung. Akhirnya aku memutuskan untuk ikut kesini melawan rasa takutku. Ketua panitia sudah ancang-ancang hendak memulai acara. Satu-persatu anak mulai masuk kedalam hutan dengan masing-masing membawa satu keranjang untuk wadah buah.Didalam hutan sana ada banyak pengawas untuk mengawasi dan menjaga anak-anak agar tetap hati-hati. Walaupun ini hutan aman, tetap saja waspada harus nomor satu.Banyak warga dan orang tua dari anak yang menonton. Duduk-duduk di batang pohon kelapa yang sudah roboh sambil menggendong anak balita, ada juga yang sambil menyuapi anaknya. Mereka sangat antusias melihat bagaimana aksi anak mereka didalam hutan sana."Siapapun yang membawa buah paling banyak, dia pemenangnya!"Buah didalam hutan sangat lebat. Mangga, salak, alpukat, sawo, dan banyak lagi. Ketua panitia sebut saja Letnan Unus. Laki-laki berumur sekitar 40 tahunan. Tak salah pilih untuk dijadikan ketua