Share

bab 7

Author: amathiaston
last update Last Updated: 2021-06-18 11:48:31

Suara tubuh menghantam air dengan kencang. 

Menyusul yang kedua. 

BUM! Lima anak lain serempak loncat.

Tubuh-tubuh kecil itu meluncur kedalam sungai, gelembung udara bergerak keatas. Di bawah sana, air sungai yang jernih, anak-anak itu saling menjulurkan lidah, saling mengacungkan jari. Berdebat gaya siapa yang paling bagus. 

"Kau lihat gayaku tadi? Itu baru loncat gaya duyung!" Anak celana merah berseru. 

"Duyung apanya? Gaya ku tadi baru lebih bagus. Gaya atlet!" Anak celana biru menimpali. Hingga anak lain pun berusaha membela diri sendiri bahwa gaya nya paling bagus. Aku tertawa pelan, menganggap bahwa ini hiburan yang lucu. Kepalaku kuarahkan kebawah, melihat jam melingkar di pergelangan tangan. Ternyata sudah jam 8 pagi, padahal aku kesini masih petang setelah subuh tadi. 

Sebelum kesini, aku mengatakan kepada anak-anak itu bahwa aku akan mengajari mereka berbagai pelajaran. Senang? Tentu saja, mereka sangat riang bersemangat. Karena selama ini hanya anak orang yang mampu dapat pergi ke sekolah, jika mereka ingin sekolah pun harus menunggu hari Sabtu dan Minggu. Jika anak lain libur nya pada hari itu, mereka malah masuk karena guru hanya libur di akhir pekan. Guru masih berbaik hati untuk mengajar mereka tanpa upah, aku cukup lega mendengar hal itu. 

"Hai anak-anak, apa kalian sudah selesai?" Tanyaku hingga mereka kompak menoleh kepadaku. Tentu saja jika mereka belum selesai, hanya saja aku tidak ingin melewatkan kesempatan pertama ini, walau masih ada kesempatan pertama yang lain. 

"Apa kakak sudah selesai menulis?" Aku memegang buku jurnal yang selalu ada di genggaman. Buku itu sangat membantu di segala hal, khususnya untuk mengingat sesuatu. Aku tadi menulis sedikit, tentang desa ini. Hanya untuk kenangan saja. 

"Ya, kakak sudah selesai. Kalian juga?" Mereka mengangguk antusias. "Kalau begitu ganti pakaiannya, lalu kakak tunggu di pondok itu ya. Oh ya.. ajak kawan kalian juga yang banyak!" Aku berkata sambil tertawa membawa suasana santai. 

"Siap komandan!" Kugelengkan kepalaku, melihat polosnya tingkah mereka semua. 

Saat mereka berenang ke tepian sungai, aku mengangkat tubuhku yang terduduk di batu besar. Melangkah ke pondok yang tak jauh dari jangkauan mata. Tempat nya cukup luas, dengan kayu yang digunakan sebagai tumpuan panggung pondok itu, sebagai tiang-tiang juga, dan alas yang digunakan untuk bertempat. Atap dari jerami yang rapat, tidak ada celah untuk melihat langit. Di belakang pondok ada sungai tadi, jernih dengan suara deras yang menenangkan. Lalu pohon-pohon mangga, kelapa, jambu saling berjejeran. Di samping pondok ini juga ada sawah yang sangat luas. Banyak sekali suber daya alam disini, pikirku. 

Saat aku sampai di pondok itu, aku mengira-ngira kalau tempat ini muat sampai 30 atau 40 orang. Biasanya digunakan warga dan ketua kampung untuk mengadakan rapat dusun, karena di balai hanya untuk pak Rt atau pak camat setempat. 

Dengan kayu jati berwarna cokelat matang, terasa dingin sejuk saat kududukkan bokongku disana. Angin sepoi yang menambah ketentraman hati. 

Tak ada 10 menit, anak-anak itu sampai dengan pasukan mereka, jumlah yang tadi kuperkirakan ternyata salah. Kupikir akan ada 15 anak, tapi bahkan ada sampai 40 anak. Sungguh kejutan yang sangat membuatku menelan ludah kasar. Tidak yakin bahwa kalimatku akan dipahami oleh semuanya. "Gugup sekali aku, Ya Tuhan" 

"Assalamualaikum kakak" Suara mereka lantang sekali, kumaklumi bahwa orang Medan memiliki suara keras. Bahkan anak-anak seperti mereka. 

"Waalaikumussalam, ini sudah semua?" Bodoh sekali pertanyaanku, kuharap mereka tidak menambah kawan lagi. Entah kenapa aku menyesali kata-kataku tadi saat di sungai. 

"Sebenarnya masih ada, tapi mereka tidak diperbolehkan bapaknya. Membantu bekerja di kebun dan sawah" Hampir saja aku berteriak 'APA?' terkejut sekali kalau mereka sudah bekerja. Ingin sekali aku mengatakan kepada orang tua itu, bahwa sekolah di usia dini sangat penting. Tapi sayangnya nyaliku tak cukup besar, hingga mampu untuk adu mulut. Menyuruh kapten Andika saja lebih baik, dia kan lelaki kaku berwajah garang. 

"Baiklah, kalian duduk saja" Anak-anak itu duduk serempak. Mengikuti arahanku dengan sangat baik, saking antusiasnya, hingga tak mau membuat kesalahan di hari pertama. 

"Karena ini hari pertama, oleh karena itu mari berkenalan-" Aku menarik nafas perlahan, lalu melanjutkan, "Nama kakak Nabilah, kalian bisa pangil saja kak Nabil. Kakak kesini bertugas bersama para dokter lainnya dan para tentara yang ada di lapangan sana-" Telunjukku mengarah ke lapangan, "-Untuk mengajar anak-anak dan membantu warga memenuhi kebutuhan. Dan kak Nabilah ini, akan bertugas untuk mengajari kalian. Matematika, ipa, bahkan bahasa Inggris. Atau kalian juga bisa meminta kakak untuk mendongeng" 

Perkenalanku disambut baik oleh mereka, duduk manis sambil mendengarkan dengan khusyu. "Ada yang ditanyakan?" Banyak sekali tangan yang diangkat keatas, aku cukup senang karena mereka juga nyaman. 

"Ya kamu dulu, emm anak baju merah?" Karena aku sendiri belum tahu namanya, kupanggil ia dengan warna bajunya. Sungguh memalukan. 

"Umur kakak berapa?" Aku tidak terkejut karena sudah menduga mereka akan bertanya tentang hal itu. 

"Err... 23 tahun. Cukup tua ya.." Kutampakkan gigiku yang berjejer, tersenyum sepertinya sudah menjadi kebiasaanku sejak disini. "Kamu perempuan baju pink, ingin bertanya apa?" 

Anak itu tampak senang karena pertanyaannya kurespon. "Kita hari ini akan belajar apa kak?" Sejenak aku menilai bocah perempuan tadi, dia cukup pintar sepertinya. 

"Memangnya kalian ingin apa? Kakak bisa kok mengajari kalian apa saja" Dustaku sedikit, sangat sedikit. Aku hanya sedikit linglung tentang materi sosial. 

"Matematika-

-Ipa" 

Dua kubu, matematika dan ipa. Sepertinya bocah-bocah ini menyukai tentang sains. Sama sepertiku, aku mendesah lega karena mereka tidak meminta diajari hal yang aneh-aneh. Menggambar misalnya, yang satu ini. Sungguh bisa dikatakan aku mendapat telur pecah sebagai nilai. 

"Jadi... mana yang paling banyak?"

"Matematika-

-Ipa!" 

Suara lantang milik mereka bersahutan, berdebat antara matematika atau ipa. Kuputusakan untuk voting. 

"Baiklah, mari kita tentukan yang paling banyak. Untuk matematika angkat tangan kalian" Lalu mataku jeli menghitung berapa banyak kubu matematika ini. Cukup banyak, ada 18 anak. Anak anak ini sangat kompetitif. Mereka menyukai hal-hal berbau perhitungan. 

"Untuk ipa?" Sisa dari anak matematika mengangkat tangan. Ipa lebih banyak dari yang matematika. Jumlah ada 21 anak. Kujumlahkan lagi, ada total 39 anak. Hampir saja aku berkata bahwa ipa yang menang. Tapi mataku melihat ke arah bocah laki-laki di pojok pondok. Dia tidak mengangkat tangan sama sekali. 

"Hei kamu baju kuning. Kenapa tidak mengangkat tangan? Apa kamu ingin belajar hal lain?" Anak itu menatapku dengan pandangan tidak terbaca, mata nya bulat besar. Sebagai anak laki-laki, bisa disebut sebagai cowo manis. 

"Daripada berdebat tentang mana yang lebih banyak, kenapa kita tidak belajar tentang hubungan keduanya?" Aku mendelik kagum, bagaimana anak sekecil itu bisa berfikir sedetail-detailnya? Kusimpulkan anak ini jenius. 

"Kenapa kamu berfikir seperti itu?" 

Sejenak anak itu terdiam, tapi tetap melanjutkan, "Karena hal itu dapat mempermudah mempelajari keduanya. Keseimbangan sains tersebut mengajarkan bahwa ilmu tidak berdasarkan angka atau eksperimen" Sekali lagi aku dibuat tersekima dengan jawaban lugas anak berbaju kuning itu. Wajahnya datar tapi memancarkan ketegasan dan keseriusan, sama seperti kapten Andika. 

"Siapa namamu nak?" 

"Nanda" 

Aku mengangguk, lantas bertanya lagi. "Berapa umurmu?" 

"14 tahun" Oh remaja baru tumbuh ternyata, pantas saja bahasanya mudah kupahami, tapi tetap saja. Dimana-mana remaja tidak akan menampung pikiran setajam itu. 

"Kamu sekolah dimana?

"Aku tidak sekolah, hanya di ajarkan oleh kakakku" Setelah mendengar jawaban anak itu, aku merasa bersalah karena menanyakan pendidikannya. "Baiklah maaf kakak tidak tahu, emm bagaimana dengan yang lainnya. Kalian setuju dengan Nanda?" 

Bocah-bocah polos itu mengangguk setuju. Hanya karena remaja berwajah datar itu, aku dibuat kagum setengah mati.

"Dalam mempelajari Ipa, pengamatan dan percobaan sangat diperlukan karena pada dasarnya ilmu tersebut mendasarkan diri pada hasil-hasil pengamatan, sementara untuk matematika pengamatan dan percobaan langsung kurang diperlukan.  Obyek utama dari matematika adalah aspek-aspek dan dimensi-dimensi realitas yang diulang yang kemudian disebut aspek kontinu dan aspek kuantitas kontinu dari realitas. Dalam perkembangan selanjutnya matematika telah melepaskan diri dari ikatan realitas empiris. Semula geometri hanya membatasi diri pada dimensi tiga, sesuai dengan kenyataan yang ada. Namun kemudian berkembang menjadi geometri multidimensional. Tidak ada alasan rasional yang melarangnya. Langkah logis selanjutnya adalah metematika memutuskan diri dari setiap realitas konkrit. Matematika menjadi abstrak. Matematika ditentukan oleh aturan-aturan permainan matematika sendiri, tanpa referensi sedikit pun dengan realitas yang dapat dialami maupun dibayangkan-

-Tetapi yang menakjubkan adalah bahwa matematika dalam bentuk abstrak justru sangat berperanan penting dalam ilmu-ilmu empiris seperti IPA misalnya. Ternyata matematika dengan salah satu cara tetap tertambat pada realitas. Kenyataan ini dikarenakan matematika mengenal struktur pengulangan yang mendasari realitas jasmani yang juga dikenal dalam ilmu-ilmu lain. Jika kita menemukan simbol tertentu dalam matematika, maka tiap kali simbol tersebut digunakan akan menemui makna yang sama."

Penjelasan dariku sudah jelas malah menambah bingung para anak-anak yang sedang menatapku. "Kakak tahu bahwa tadi cukup membuat kalian bingung, yang jelas intinya. Matematika dan ipa adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan, walaupun metode dalam belajar sangat berbeda. Tapi matematika menuangkan sedikit caranya ke dalam ilmu pengetahuan alam tersebut. Catat ya, akan kakak tulis di papan ini. Setelah besar nanti kalian pasti akan mengerti dengan benar" 

Akhir pembelajaran singkat ini diakhiri dengan semua anak mencatat apa yang aku tulis. Mereka sangat membuatku nyaman, ketertiban dan kesopanan mereka membuatku berfikir seandainya anak kota sekarang seperti mereka. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pick You!   bab 41

    Rumah terakhir, dan hari terakhir menjalankan aksi penunjangan. Jumlah rumah adalah 100 rumah di satu Kelurahan Kaliwuhan. Tak banyak tapi kami harus menghabiskan waktu selama 4 hari lamanya.Ada saja gangguan yang menghambat, jika tidak ada badai hujan kemarin lusa mungkin akan selesai dalam waktu dua hari saja.Butiran air hujan masih menggelayut manja di dedaunan. Jam 2 siang ini akan berakhir di rumah Wak Dolah. Mantan kepala RT periode kemarin.Masalahnya kali ini lebih kompleks, karena kami harus turun tangan langsung untuk mengatasinya."Masalahnya kau sudah beberapa tahun tak bayar hutang! Lihat kebunmu itu, kau sudah panen kan? Oi, bunga nya akan berkali-kali lipat naiknya!."Disini dia disebut Juragan Jerigen. Karena dia punya pabrik minyak kelapa sawit yang diisi di banyak tabung jerigen. Kebun kelapa yang berhektar-hektar, dan kekayaan yang tentu saja melimpah ruah.Tapi sifatnya yang sombong dan suk

  • Pick You!   bab 40

    Rasi-rasi bintang membentuk bentuk yang sangat indah. Walau aku tidak percaya akan maknanya, yang aku tahu bintang diatas sana sedang sangat cantik-cantiknya.Berkilap indah dan berwarna warni. Terkadang ungu, merah, lalu biru. Melihat dari atas bukit adalah kegiatan yang menyenangkan. Ditemani sebotol teh hangat, dan musik pengiring tidur.Aku menggelar matras, lalu berbaring diatasnya. Rumput-rumpur bergoyang karena angin. Suara jangkrik dan hewan sawah saling bersahutan. Bulan sedang berada di puncaknya, bersinar terang bundar sempurna.Sambil memejamkan mata sambil mengingat wajah ayah dan ibu. Mengingat wajah Noah dan Reno. Mengingat wajah Aldo dan Pak Roy.Ah aku sangat merindukan mereka. Jika aku bermimpi bertemu mereka malam ini, aku pasti akan berdoa dalam mimpiku :"Ya Tuhan. Jangan lah Engkau hentikan apa yang Kau berikan padaku malam ini."Bukit ini tak jauh dari pemukiman, dan tidak menyeramkan seperti di dalam hutan

  • Pick You!   bab 39

    Kapten dan aku berpapasan di depan ruang Komite Puskesmas. Dia bersama Letkol Gerald dan Sersan Jessica. Kedua orang itu setelah menyapaku langsung pergi ke kamar Adam. Menyisakan aku dan Kapten yang sedang canggung-canggung nya.Aku menyambutnya dengan dingin. Dia terlihat tenang dan tidak berekspresi.Kukira tidak akan percakapan diantara kami, tapi saat hendak beranjak, Kapten memanggil namaku dengan tegas."Dokter Nabilah!."Aku menoleh sekilas. "Apa?.""Kau marah padaku ya?.""Atas dasar apa opinimu itu?." Sarkastik aku keluarkan.Berbalik badan, dengan tampang rileks aku melanjutkan kalimat. "Dengar Kapten terhormat! Sekarang waktuku dituntut oleh pekerjaan. Aku jarang bersantai karena tugasku juga melimpah ruah. Dan asal kau tau saja, saat kau pulang ke Jakarta aku akan tetap disini selama sebulan lagi. Jadi jangan beranggapan kalau aku sedang marah atau merajuk. Itu konyol sekali!."

  • Pick You!   bab 38

    "Sudah kubilang bodoh! Jangan banyak bergerak dulu. Lukamu akan lama sembuhnya nanti!." Adam menghela nafas lelah. Dia seperti anak kecil saja kalian tau. Susah sekali dibilangin.'Aku hanya ingin ke toilet''Aku ingin keluar sebentar''Ini loh punggungku gatal!'Halah alesan!Pagi ini gerimis melanda. Aku datang ke Puskesmas pagi-pagi sekali saat semua orang mulai memasak. Karena ada Adam yang notabene sedang sakit hampir sekarat, hihi. Dan pekerjaanku mulai menumpuk dari lusa kemarin."Nabilah! Apa ini tak bisa dilepas sebentaaaar... aja? Gatal sekali gila!."Aku mengabaikan Adam. Tanganku sibuk meyisir rambut nya. Karena lama tak keramas jadilah lepek. "Ini rambut apa sabut kelapa? Kusut amat!." Ejekku.Adam menepis tanganku dari kepalanya. Melarang diriku untuk menyisir rambutnya lagi."Ih apaan sih? Orang dibantu juga malah sok banget.""Ini loh lepasin bentar aja. Ak

  • Pick You!   bab 37

    "Mulai hari ini kau ditugaskan ke Puskesmas saja. Untuk mengajar anak-anak akan digantikan oleh Sersan Andin."Aku menutup buku. Sudah kuduga, pasti jadwalku akan terganti. "Oke."Dokter Alice menyerahkan selembar kertas, disitu tertulis tentang data-data milikku. "Coba periksa lagi apa ada kesalahan."Aku mengambil kertas itu. Membacanya hingga akhir, "Ini sudah benar. Tapi buat apa?."Dokter Alice mengambil kembali kertas itu, menaruhnya di dalam map berwarna biru. "Bukan apa-apa. Sekarang berangkatlah kesana, aku nanti menyusul."Hari ini suhu diatas 27° Celcius. Panas sekali. Bahkan pernah sehari bisa berganti 2 musim sekaligus. Pukul 7 pagi sampai 12 siang panasnya tak terkira. Dan jam 1 sampai malam hujannya seperti mau ada tsunami saja.Para petani membungkuk menanam padi yang masih berwarna hijau segar. Gembala hewan ternak membawa sapi-sapi mereka dan kambing-kambing yang besar nan gemuk.Laz

  • Pick You!   bab 36

    DUK! Kepalaku terbentur sesuatu.Aku mengaduh pelan. Jidatku terasa sakit. Pasti terkena penyangga tenda. Tanganku meraba-raba, berusaha duduk. Astaga! Karena terkejut bermimpi menabrak tong sampah sampai-sampai jidatku kejedot tiang tenda. Rasanya sakit, dan sedikit memar.Diluar sana hujan lebat disertai petir yang menggelegar. Aku menyibak jendela kecil, gelap, hanya lampu dapur yang tetap menyala.Sekali lagi aku meraba lantai, mencari arlojiku yang pasti terlempar saat aku menjatuhkan botol tadi.Benda panjang itu menunjukkan angka 01.23 artinya hampir setengah dua dini hari. Terbangun di tengah malam seperti ini bukanlah hal yang nyaman. Dijamin setelah ini mataku akan mustahil terlelap lagi.Luna meringkuk di lantai bawah, dengan mengenakan selimut bercorak 'Keroppi' warna hijau mentah. Udaranya dingin, tak heran Luna tidur dilapisi jaket juga.Aku ikut mengeluarkan selimut ku sendiri dari dalam kop

  • Pick You!   bab 35

    Sejak aku tahu apa itu senapan angin, rasa penasaranku memuncak. Apalagi kegiatan yang terjadi di depan mataku menambah rasa keingintahuanku.Para tentara sedang latihan mingguan. Kali ini mereka menggunakan senapan angin untuk latihan, dengan membuat papan berbentuk bundar, dan diisi warna merah ditengahnya, sebagai bidikan.Peserta bumi perkemahan dibubarkan sehari yang lalu. Setelah tiga hari mereka bersama kami untuk pelatihan Pramuka dasar. Dan ini saatnya aku melihat bagaimana gagahnya mereka menarik pelatuk di benda panjang nan berat itu.Benda ini lebih friendly daripada pistol, a.k.a low budget. Hanya untuk latihan biasa. Kalau untuk agenda tertentu sih bisa pakai sniper atau shotgun yang tentunya lebih bagus.Aku duduk dibawah pohon kelapa sambil membawa handphone dan minum sebotol air putih. Diam menonton mereka denga sesekali memotret pemandangan langka ini. Akan kujadikam polaroid rencananya saat pulang ke Jakarta, sed

  • Pick You!   bab 34

    4 tahun sebelum koas pt V Pernahkah aku bercerita tentang teman seangkatan ku yang bernama Cleopatra? Belum, karena aku sengaja ingin menceritakannya hingga tiba di bagian ini. Dia anak pendiam yang pintar, tidak punya kawan selain buku-bukunya yang tebal, dan kemana-mana selalu memakai kacamata bundar karena min yang dideritanya. Dia pandai sekali dalam pelajaran matematika, mungkin hanya dia yang mengelu-elukan pelajaran itu. Namanya Cleopatra, biasa dipanggil "Cleo" atau saat anak lain mengejeknya memanggil "Fir'aun". Itu adalah panggilan yang sangat kejam, hanya orang tidak beradab yang memanggilnya begitu. Aku menyukai namanya, selain unik juga punya makna tersendiri. Nama Cleopatra tentu saja kalian tahu itu siapa. Cleopatra adalah Ratu dari zaman Mesir kuno. Yang selalu diidentikkan dengan rambut pendek, memakai eyeliner panjang, dan bermahkota ular kobra. Dikabarkan Ratu itu memiliki kecantikan yang luar biasa,

  • Pick You!   bab 33

    Anak-anak ramai berkerumun di depan hutan kampung. Akhirnya aku memutuskan untuk ikut kesini melawan rasa takutku. Ketua panitia sudah ancang-ancang hendak memulai acara. Satu-persatu anak mulai masuk kedalam hutan dengan masing-masing membawa satu keranjang untuk wadah buah.Didalam hutan sana ada banyak pengawas untuk mengawasi dan menjaga anak-anak agar tetap hati-hati. Walaupun ini hutan aman, tetap saja waspada harus nomor satu.Banyak warga dan orang tua dari anak yang menonton. Duduk-duduk di batang pohon kelapa yang sudah roboh sambil menggendong anak balita, ada juga yang sambil menyuapi anaknya. Mereka sangat antusias melihat bagaimana aksi anak mereka didalam hutan sana."Siapapun yang membawa buah paling banyak, dia pemenangnya!"Buah didalam hutan sangat lebat. Mangga, salak, alpukat, sawo, dan banyak lagi. Ketua panitia sebut saja Letnan Unus. Laki-laki berumur sekitar 40 tahunan. Tak salah pilih untuk dijadikan ketua

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status