Nathaniel Alvaro duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan penting. Namun, matanya tidak fokus pada layar komputernya atau grafik yang terus bergerak. Semua itu tampak kabur baginya. Pikirannya kembali pada sesi pijat yang ia terima beberapa hari lalu—pijat sederhana, namun memiliki efek yang lebih mendalam daripada yang bisa ia bayangkan.
Biasanya, ia adalah sosok yang selalu mengendalikan segala hal di sekitar dirinya. Namun, ada sesuatu tentang Arissa—sesuatu yang membuatnya merasa lebih manusiawi. Sifat Arissa yang lembut, namun kuat, memancarkan ketenangan yang selama ini sulit ia temukan di dunia kerjanya yang penuh dengan tekanan. Bahkan ketika ia berusaha untuk tetap kaku dan menjaga jarak, Arissa tak pernah memberi ruang untuk ketegangan itu berkembang lebih jauh.
“Kenapa aku terus memikirkan itu?” Nathaniel bergumam pelan, menggoyangkan kepalanya seakan berusaha menyingkirkan pikiran itu. Namun, semakin ia mencoba untuk melupakan, semakin kuat perasaan itu kembali muncul.
Sudah beberapa hari sejak kunjungannya ke klinik kecil itu, dan meskipun ia sibuk dengan rutinitas perusahaannya yang padat, pikirannya masih melayang pada Arissa. Sesuatu dalam dirinya merasa aneh, seolah ada kaitan yang lebih dalam dengan terapis muda itu daripada sekadar pertemuan bisnis atau kebetulan.
“Seharusnya aku tidak perlu peduli,” pikir Nathaniel. Namun, seiring berjalannya waktu, keinginan untuk kembali ke klinik itu semakin kuat. Tubuhnya terasa lebih rileks, dan pikirannya lebih tenang setelah sesi pijat itu. Bahkan tekanan dari dewan direksi dan persaingan bisnis yang selalu membebaninya tampak sedikit lebih ringan.
Setelah beberapa detik diam, Nathaniel akhirnya menarik napas dalam-dalam dan meraih telepon genggamnya. Tanpa berpikir panjang, ia mencari nomor klinik Arissa dan menekan tombol panggil.
Arissa sedang merapikan ruangannya setelah beberapa pasien lainnya meninggalkan klinik. Saat ia menyelesaikan pekerjaannya, ponselnya berdering. Melihat nomor yang muncul di layar, hatinya sedikit berdegup kencang. Itu adalah nomor yang dikenalnya.
“Arissa,” suara Nathaniel terdengar di ujung telepon, tenang dan penuh ketegasan. “Saya ingin membuat janji untuk sesi pijat lagi. Apakah kamu tersedia hari ini?”
Arissa sedikit terkejut, tetapi mencoba untuk tetap tenang. “Tentu, Nathaniel. Ada waktu yang tepat bagi Anda?”
“Pukul enam sore. Saya akan datang setelah bekerja,” jawab Nathaniel tanpa keraguan. Suaranya terdengar sedikit lebih santai dari biasanya, meskipun masih ada rasa keseriusan dalam kata-katanya.
“Baiklah. Saya akan menunggu Anda,” jawab Arissa, mencoba menyembunyikan rasa terkejut dan rasa ingin tahunya.
Setelah menutup telepon, Arissa merasa sedikit bingung. Ia tidak pernah mengira bahwa Nathaniel akan kembali begitu cepat. Meskipun ia merasa senang bisa memberikan kenyamanan bagi seorang pria seperti Nathaniel, ia juga tidak bisa menghindari rasa penasaran yang semakin tumbuh dalam dirinya. Apa yang sebenarnya membuatnya kembali? Apakah hanya karena pijatan itu, atau ada alasan lain?
Ketika malam tiba dan Nathaniel muncul di klinik, Arissa sudah siap. Kali ini, suasana terasa sedikit berbeda. Meskipun mereka berdua telah melalui satu sesi bersama sebelumnya, ada ketegangan yang masih terasa di antara mereka. Mungkin ini karena kedekatan yang terjalin meski hanya dalam ruang pijat yang sederhana.
Nathaniel memasuki ruangan dengan langkah tenang, mengenakan jas hitam yang tetap membuatnya terlihat berkelas meski dalam suasana santai. Ia menatap Arissa dengan sedikit keraguan, seolah mencari tahu apakah ia benar-benar siap untuk merasakan ketenangan lagi.
“Selamat malam, Arissa,” kata Nathaniel, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
“Selamat malam, Nathaniel. Silakan duduk dan bersantai. Saya akan mulai segera,” jawab Arissa, meskipun dalam hatinya ada sedikit perasaan cemas.
Setelah Nathaniel duduk di atas meja pijat, Arissa mulai mempersiapkan perlengkapannya. Ia bekerja dengan cekatan, namun tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kehadiran Nathaniel kali ini terasa lebih penuh makna. Mungkin ia juga merasa lebih canggung, meski mencoba untuk tetap menjaga profesionalisme.
Saat pijatan dimulai, suasana di ruangan itu terasa lebih tenang daripada sebelumnya. Nathaniel menutup matanya dan menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Beberapa menit berlalu, dan Arissa merasakan perubahan dalam tubuhnya. Nathaniel lebih santai, lebih terbuka pada kenyamanan, seolah ia mulai melepaskan ketegangan yang selama ini membebaninya.
“Ini... lebih baik dari yang saya kira,” ujar Nathaniel, membuka matanya sejenak dan tersenyum kecil. “Saya merasa lebih tenang.”
Arissa hanya tersenyum, meskipun hatinya sedikit berdebar. "Senang bisa membantu," jawabnya singkat, berusaha fokus pada pekerjaannya.
Namun, meskipun suasana kini terasa lebih santai, Arissa tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih besar antara mereka. Nathaniel yang selalu tampak begitu terkendali, kini terlihat sedikit lebih rapuh dan manusiawi.
Dan bagi Arissa, itu adalah sebuah sisi baru dari Nathaniel yang ingin ia pahami lebih jauh. Namun, ia tahu bahwa ia harus berhati-hati. Dunia mereka begitu berbeda. Ia tidak bisa terlalu terlarut dalam perasaan ini, meskipun seiring berjalannya waktu, ia merasa lebih sulit untuk menjaga jarak.
Saat pijatan selesai, Nathaniel berdiri, merasakan tubuhnya yang kembali terasa lebih ringan. “Terima kasih, Arissa,” katanya, kali ini lebih tulus. “Kamu benar-benar tahu apa yang saya butuhkan.”
Arissa tersenyum kecil, merasa sedikit lebih lega. “Senang bisa membantu, Nathaniel. Semoga ini bisa membuat hari-hari Anda lebih baik.”
Nathaniel berdiri di sana untuk sesaat, seakan ragu untuk pergi. “Saya... saya akan kembali. Saya rasa saya perlu lebih sering datang ke sini.”
Arissa menatapnya dengan ragu. “Tentu saja. Anda selalu diterima di sini.”
Nathaniel mengangguk, namun sebelum berbalik untuk pergi, ia menambahkan satu kalimat yang membuat Arissa terdiam.
“Terima kasih telah membuat saya merasa seperti manusia biasa, Arissa.”
Arissa merasa seolah ada sesuatu yang lebih besar dari kata-kata itu. Namun, ia tetap mengangguk, berusaha menyembunyikan perasaan yang tiba-tiba muncul.
Ketika Nathaniel keluar dari klinik dan melangkah kembali ke dunia luar yang penuh tekanan, Arissa merasa seolah pintu yang tertutup rapat selama ini sedikit terbuka. Tapi apakah ia siap untuk menghadapinya? Waktu yang akan menjawab.
Bab 7: Pertemuan yang Tak Terduga (Lanjutan)
Arissa berdiri di depan pintu klinik, menatap ke arah jalan yang kosong setelah Nathaniel pergi. Pikirannya berkecamuk, seolah dunia di luar klinik itu begitu jauh dari kehidupannya yang sederhana. Meskipun Nathaniel sudah pergi, atmosfer di klinik masih terasa berbeda—lebih berat, namun penuh dengan rasa penasaran yang sulit untuk ditepis.
Ia mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaan, menyelesaikan beberapa catatan dan membersihkan ruangan. Namun, pikirannya terus kembali pada pria itu. Nathaniel Alvaro, CEO muda yang tampaknya memiliki segala yang diinginkan dunia—kekayaan, kekuasaan, dan status. Namun, ia baru saja merasakan sisi yang lebih rapuh dari pria itu, sebuah sisi yang jarang terlihat oleh orang lain.
Arissa menyandarkan punggungnya pada dinding klinik, mengingat kata-kata Nathaniel yang terakhir. “Terima kasih telah membuat saya merasa seperti manusia biasa.” Kata-kata itu terasa begitu dalam, seolah-olah menyentuh bagian dari dirinya yang selama ini tersembunyi. Ia tahu bahwa dalam setiap kata itu, ada sebuah kejujuran yang jarang ia temui di dunia yang selalu mengutamakan tampilan luar.
Namun, Arissa juga tahu bahwa perasaan ini—perasaan ingin mengetahui lebih banyak tentang Nathaniel—adalah perasaan yang harus ia kendalikan. Ia tidak bisa terbawa arus. Dunia mereka sangat berbeda. Nathaniel memiliki kehidupan yang penuh dengan ketegangan dan tekanan yang tidak bisa ia bayangkan. Sedangkan ia hanya seorang terapis pijat yang menjalani hidup sederhana dan penuh tantangan. Bagaimana mungkin dua dunia yang begitu jauh bisa bersatu?
“Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang belum pasti,” Arissa bergumam pada dirinya sendiri, berusaha untuk mengusir kebingungannya.
Sambil membersihkan meja dan menyiapkan ruangan untuk sesi berikutnya, ia berusaha menyibukkan diri. Namun, meskipun ia berusaha keras, wajah Nathaniel terus muncul dalam pikirannya—suaranya, tatapannya, dan senyum kecil yang hampir tak terlihat saat ia berterima kasih.
Keesokan harinya, Arissa kembali ke klinik seperti biasa, mencoba untuk mengabaikan perasaan yang muncul setelah pertemuannya dengan Nathaniel. Namun, tak dapat dipungkiri, setiap kali seseorang menyebutkan nama Nathaniel Alvaro, ia merasakan sedikit getaran di dalam dirinya.
Selama beberapa hari berikutnya, Nathaniel tidak kembali ke klinik. Arissa merasa sedikit lega, tetapi juga ada rasa kekosongan yang aneh. Apakah ia sudah salah menilai hubungan yang begitu singkat itu? Atau apakah perasaan ini hanya sekadar perasaan sementara yang muncul karena ketegangan yang ia rasakan selama sesi pijat?
Namun, kemudian, tanpa diduga, Nathaniel kembali.
Pagi itu, saat Arissa sedang merapikan beberapa perlengkapan pijat, ia mendengar pintu klinik terbuka. Ia menoleh dan melihat Nathaniel berjalan masuk dengan langkah pasti. Namun, kali ini, penampilannya sedikit berbeda. Tidak hanya wajahnya yang terlihat lebih segar, tapi ada sesuatu dalam cara dia berjalan—lebih santai, lebih terbuka.
“Arissa,” suara Nathaniel terdengar lembut namun penuh makna. “Apakah kamu bisa meluangkan waktu untuk saya lagi?”
Arissa tersentak, merasakan sebuah perasaan campur aduk. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang. “Tentu saja, Nathaniel. Saya bisa melayani Anda lagi.”
Nathaniel mengangguk dan duduk di meja pijat seperti sebelumnya, hanya kali ini suasana terasa sedikit lebih nyaman. Ia tidak langsung berbicara, tetapi Arissa bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Mungkin dia mulai merasa lebih terbuka.
Saat Arissa memulai sesi pijat, suasana kali ini terasa lebih tenang. Nathaniel tidak terlihat terburu-buru, dan Arissa merasa lebih rileks. Mereka berbicara sedikit tentang kehidupan masing-masing—namun hanya hal-hal kecil. Nathaniel jarang berbicara tentang pekerjaannya atau masalahnya yang lebih pribadi, tetapi Arissa bisa merasakan bahwa pria itu sudah mulai merasa lebih nyaman di sekitarnya.
“Sepertinya, ini bukan hanya soal pijat,” ujar Nathaniel setelah beberapa saat berbaring dengan mata terpejam.
Arissa tersenyum ringan, menyelesaikan pijatannya dengan hati-hati. “Terkadang, tubuh kita membutuhkan lebih dari sekadar istirahat fisik, bukan? Kadang kita hanya butuh sedikit waktu untuk berhenti sejenak dari dunia luar.”
Nathaniel mengangguk pelan. “Saya rasa itu benar. Mungkin saya sudah terlalu lama terjebak dalam rutinitas.”
Pijat selesai, dan Arissa membantu Nathaniel bangun dari meja. Kali ini, keduanya saling bertatap mata lebih lama dari biasanya, dan ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka. Sesuatu yang lebih dari sekadar rasa terima kasih atau profesionalisme.
“Terima kasih, Arissa. Saya rasa saya mulai mengerti mengapa orang-orang lebih memilih cara sederhana untuk mengatasi masalah mereka,” kata Nathaniel, masih terlihat sedikit merenung.
Arissa hanya tersenyum, meskipun hatinya sedikit berdebar. “Saya hanya berusaha membantu, Nathaniel. Tidak ada yang lebih dari itu.”
Namun, meskipun ia mencoba untuk tetap rendah hati, ada rasa hangat yang tumbuh di dalam dirinya. Nathaniel mulai membuka dirinya sedikit demi sedikit, meskipun ia masih menyimpan banyak hal untuk dirinya sendiri.
Seperti halnya Nathaniel, Arissa juga merasa sulit untuk mengungkapkan perasaannya yang semakin berkembang. Ia tidak tahu apakah itu hanya ketertarikan sementara atau apakah ia benar-benar ingin lebih dekat dengan pria itu.
Namun, satu hal yang pasti—sesuatu di antara mereka mulai berubah, meskipun mereka belum siap untuk menghadapinya.
"Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam