Setelah Nathaniel pergi, Arissa merasa sedikit canggung dan bingung. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda setiap kali pria itu datang ke kliniknya. Pikirannya terus dipenuhi dengan wajah Nathaniel, sikapnya yang agak kaku namun penuh ketegasan, dan bahkan sedikit ketenangan yang ia rasakan setelah melayani pria itu. Sesi pijat tersebut terasa begitu berbeda dari biasanya.
Arissa berjalan keluar dari ruangannya, mengambil secangkir teh hangat, dan mencoba menenangkan dirinya. Namun, saat melangkah menuju ruang depan klinik, ia mendengar suara percakapan ringan dari beberapa kolega yang sedang berbincang di meja resepsionis.
"Hei, kamu tahu siapa yang baru saja datang kemarin malam?" tanya salah seorang kolega.
"Siapa?" jawab kolega lainnya dengan penasaran.
"Pria itu... yang datang dengan wajah lelah dan tampak sangat penting. Ternyata dia itu Nathaniel Alvaro, CEO Alvaro Group. Kamu tahu, yang sering muncul di berita itu!"
Arissa terhenti sejenak, secangkir teh di tangannya hampir terjatuh. Nathaniel Alvaro? Nama itu seperti menyentak kesadarannya. CEO terkenal yang sering muncul di berita dan menjadi sorotan media? Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa pria yang baru saja ia layani di klinik kecil ini adalah salah satu orang paling berpengaruh di dunia bisnis.
"Sungguh? Nathaniel Alvaro?" tanya kolega lainnya dengan nada terkejut. "Saya dengar dia cukup tertutup, jarang sekali terlihat tanpa pengawalan."
"Benar. Tapi saya dengar dia beberapa kali datang ke sini. Mungkin dia mencari ketenangan dari dunia yang penuh tekanan itu," jawab kolega yang pertama.
Arissa merasa tubuhnya mulai kaku. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dengar. Tak pernah ia bayangkan bahwa pria yang datang ke kliniknya adalah seorang CEO besar yang dikenal banyak orang. Itu menjelaskan mengapa dia begitu penuh dengan ketegasan dan aura yang sulit didekati. Namun, di sisi lain, itu juga membuat Arissa merasa sedikit tidak nyaman. Bagaimana bisa ia, seorang terapis pijat di klinik kecil, bertemu dengan seorang pria yang memiliki status setinggi itu?
Dengan perlahan, Arissa meletakkan cangkir teh di meja dan melangkah kembali ke ruangannya. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia merasa terkejut dan sedikit cemas, namun di sisi lain, ia tidak bisa menahan rasa penasaran yang semakin membesar. Apa yang membuat Nathaniel Alvaro datang ke kliniknya? Apa yang dia cari di sini, di tempat yang jauh dari gemerlap dunia bisnisnya yang penuh intrik?
Keesokan harinya, Nathaniel kembali muncul di klinik, seperti yang sudah menjadi kebiasaannya. Namun kali ini, Arissa merasa ada sedikit ketegangan di dalam dirinya. Ia tahu, setelah mendengar gosip itu, bahwa pria ini bukanlah sembarang orang. Sejak pertama kali bertemu, Nathaniel sudah menunjukkan sisi-sisi yang menarik, namun kini, mengetahui siapa sebenarnya dia, membuat Arissa merasa sedikit canggung.
"Selamat pagi, Nathaniel," sapa Arissa dengan suara sedikit lebih hati-hati daripada sebelumnya. "Ada yang bisa saya bantu lagi?"
Nathaniel mengangguk, duduk di kursi ruang tunggu, lalu menatap Arissa dengan tatapan yang penuh perhatian. Meskipun dia tahu bahwa Arissa kini tahu siapa dirinya, ia tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan dalam sikapnya. "Pagi, Arissa. Saya hanya ingin melanjutkan yang kemarin," jawabnya singkat, namun ada sesuatu dalam suaranya yang terasa lebih lembut dibandingkan biasanya.
Arissa mengangguk, mencoba untuk tetap fokus pada tugasnya. "Tentu, silakan berbaring. Saya akan memulai."
Selama sesi pijat berlangsung, Arissa bisa merasakan ketegangan yang berbeda. Nathaniel lebih tenang, namun ada sesuatu yang mengendap di balik ketenangannya. Mungkin, setelah mengetahui bahwa Arissa tahu siapa dirinya, dia merasa lebih terbuka, meskipun tetap menjaga jarak. Arissa sendiri berusaha untuk tetap profesional, meskipun dalam pikirannya muncul banyak pertanyaan tentang pria ini.
Kenapa Nathaniel datang ke sini? Apa yang dia harapkan dari tempat yang sederhana ini? Apakah dia hanya mencari kenyamanan fisik, atau ada sesuatu yang lebih dalam dari itu?
Saat pijatan selesai, Nathaniel berbaring dengan mata tertutup sejenak, menikmati kenyamanan yang diberikan Arissa. Ia tampak lebih rileks daripada sebelumnya, namun dalam hatinya, ia merasakan perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Ada sesuatu yang berbeda dengan Arissa, sesuatu yang membuatnya merasa lebih manusiawi, lebih nyata. Di balik dunia bisnis yang selalu penuh dengan kalkulasi dan perhitungan, Arissa hadir sebagai oase yang menenangkan, meskipun ia hanyalah seorang terapis pijat di klinik kecil.
"Saya rasa saya akan sering ke sini," kata Nathaniel pelan, tanpa membuka matanya. "Tempat ini... berbeda."
Arissa tersenyum kecil, mencoba untuk tetap tidak terpengaruh oleh kata-kata itu. "Saya senang mendengarnya," jawabnya, meskipun hatinya mulai berdebar.
Setelah beberapa detik keheningan, Nathaniel membuka matanya dan menatap Arissa. "Jangan khawatir," katanya, memberikan senyum tipis. "Saya tidak akan mengganggu."
Arissa hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya, ia merasa bingung dan penuh pertanyaan. Ada sesuatu tentang Nathaniel yang selalu membuatnya ingin tahu lebih banyak, namun ia tahu bahwa ia harus menjaga batas-batas profesionalisme. Dunia mereka terlalu berbeda, dan meskipun ada ketertarikan yang tak bisa dihindari, Arissa sadar bahwa ia tidak bisa terjebak dalam perasaan yang lebih dalam.
Namun, saat Nathaniel meninggalkan klinik, Arissa merasa bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Ia tidak tahu bagaimana, tetapi satu hal yang pasti: pria ini telah memasuki hidupnya dengan cara yang tidak bisa ia pahami.
Arissa berdiri di depan pintu klinik, menatap Nathaniel yang semakin menjauh menuju mobil mewahnya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terikat pada pria itu, meskipun ia tahu hubungan mereka harus tetap profesional. Di satu sisi, ia merasa terganggu dengan kenyataan bahwa seorang CEO besar seperti Nathaniel bisa begitu saja datang ke klinik kecilnya, tetapi di sisi lain, ia juga merasa seperti ada sebuah misteri yang belum terungkap di balik sikap dan ketenangan pria itu.
"Kenapa kamu harus membuatnya rumit seperti ini, Arissa?" gumamnya pada dirinya sendiri.
Kliniknya sudah sepi, dan saat itulah Arissa merasakan kegelisahan yang tak biasa. Ia berusaha melepaskan perasaan itu dengan kembali menata ruangannya. Namun, bayangan Nathaniel, dengan segala kedalaman tatapannya dan sikap misteriusnya, terus menghantui pikirannya.
Esok harinya, Arissa kembali bekerja dengan rutinitas yang sama. Namun, pagi itu ada sesuatu yang berbeda. Pagi yang seharusnya biasa-biasa saja tiba-tiba terasa lebih tegang. Saat ia baru saja membuka pintu klinik, sosok yang sudah dikenalnya berdiri di sana, menunggu.
Nathaniel Alvaro.
"Selamat pagi, Arissa," sapanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya. Ia tidak datang dengan sikap kaku seperti sebelumnya. "Apakah saya mengganggu?"
Arissa tersenyum ragu. "Tidak sama sekali, Nathaniel. Silakan masuk."
Nathaniel berjalan masuk dengan langkah yang tenang, dan Arissa bisa merasakan ada ketegangan yang perlahan berubah menjadi kenyamanan di antara mereka. Tidak ada lagi rasa canggung yang muncul seperti sebelumnya. Meskipun ada batasan yang jelas di antara mereka, ada ketertarikan yang semakin terasa.
"Saya ingin melanjutkan yang kemarin," katanya lagi dengan suara datar, namun ada nada lebih pribadi dalam kalimatnya kali ini.
Arissa mengangguk, merasa sedikit cemas tetapi berusaha profesional. "Baiklah, jika Anda siap, saya akan mulai."
Saat sesi pijat berlangsung, suasana di dalam ruangan terasa sangat berbeda. Nathaniel yang awalnya selalu tampak serius dan terkendali, kini terlihat lebih rileks. Arissa bisa merasakan tubuhnya yang kaku mulai melemas, dan napasnya yang semakin dalam menandakan bahwa ia mulai merasa lebih nyaman.
Tapi meskipun suasana menjadi lebih santai, Arissa tidak bisa mengabaikan ketegangan yang tetap ada di antara mereka. Nathaniel tetaplah seorang pria yang sangat berbeda dari orang kebanyakan. Meskipun ia berada di ruang yang sederhana ini, ia tetap membawa aura kekuasaan dan dominasi yang tidak bisa dihindari.
"Apa yang membuat Anda tertarik datang ke sini?" Arissa akhirnya bertanya, mencoba untuk mengalihkan pikirannya dari kegelisahan yang terus mengganggu.
Nathaniel terdiam sejenak, seolah memikirkan jawaban yang tepat. "Kadang, dunia saya terlalu keras. Semua itu terasa sangat dingin. Saya... hanya butuh tempat untuk merasa lebih manusiawi."
Arissa merasa terkejut dengan jawaban itu. Untuk pertama kalinya, Nathaniel membuka sedikit sisi kelemahannya, meskipun ia tetap terlihat menjaga jarak. "Saya mengerti," kata Arissa pelan, berusaha untuk tidak terlalu menunjukkan keterkejutan dalam suaranya.
Nathaniel menghela napas panjang, seolah mengeluarkan beban yang selama ini ia tahan. "Dan saya kira tempat ini adalah satu-satunya tempat yang bisa memberikan ketenangan yang saya butuhkan."
Arissa melanjutkan pijatannya dengan hati-hati, berusaha menyampaikan kenyamanan tanpa menambah ketegangan yang sudah ada. Namun, setiap kali ia menyentuh kulit Nathaniel, ada perasaan yang muncul dalam dirinya yang sulit untuk diungkapkan. Ada perasaan bahwa, meskipun dunia mereka terpisah sangat jauh, mereka berdua memiliki kesamaan dalam hal ketegangan dan pencarian akan ketenangan.
Setelah sesi pijat selesai, Nathaniel duduk sejenak, seolah masih menikmati rasa tenang yang perlahan menguasai tubuhnya. Arissa berdiri di sampingnya, menunggu jika ia membutuhkan sesuatu lagi.
"Saya rasa, saya akan sering datang ke sini," kata Nathaniel dengan suara yang sedikit lebih ringan dari biasanya. "Tempat ini... bisa memberikan saya apa yang tidak bisa saya temukan di tempat lain."
Arissa hanya tersenyum kecil. "Saya senang bisa membantu," jawabnya sederhana.
Nathaniel berdiri, menatap Arissa untuk sejenak. "Terima kasih, Arissa. Kamu sangat berbakat."
Arissa merasa sedikit terkejut dengan pujian itu. Biasanya, orang-orang hanya datang untuk pijat dan pergi begitu saja, tetapi Nathaniel memberi penghargaan yang lebih. Sebuah penghargaan yang bukan hanya tentang keterampilan profesionalnya, tetapi juga tentang keberadaannya sebagai manusia yang bisa menawarkan kenyamanan.
Saat Nathaniel berbalik untuk meninggalkan klinik, Arissa merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Meskipun dia mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaannya dan menjaga jarak dengan Nathaniel, ada perasaan yang sulit untuk diabaikan. Sesuatu tentang pria itu membuat Arissa ingin tahu lebih banyak, lebih banyak tentang dunia yang tersembunyi di balik sikap dingin dan misteriusnya.
Namun, seperti biasanya, Arissa tidak bisa membiarkan perasaan itu menguasai dirinya. Dunia mereka terlalu berbeda, dan ia sadar bahwa tidak ada tempat untuk perasaan yang lebih dari sekadar profesionalisme di ruang klinik ini.
Tapi saat Nathaniel menghilang di balik pintu, Arissa merasa bahwa hidupnya mungkin sudah berubah lebih banyak daripada yang ia inginkan.
"Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam