Beberapa hari setelah pertemuan keduanya yang penuh dengan ketegangan itu, Nathaniel kembali muncul di klinik. Pagi itu, Arissa sedang sibuk menyusun beberapa catatan dan menyiapkan perlengkapan pijat untuk kliennya yang lain. Ia terkejut saat mendengar suara pintu dibuka, dan untuk kedua kalinya, Nathaniel muncul, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya. Ia tidak terlihat hanya ingin relaksasi sesaat. Ada tujuan yang jelas, dan ia membawa aura yang lebih serius daripada sebelumnya.
Arissa menatapnya sejenak, merasa canggung meski sudah mengenal pria itu lebih baik. "Nathaniel, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, berusaha tetap profesional, meskipun hatinya sedikit berdebar.
Nathaniel berdiri di ambang pintu, memandang Arissa dengan tatapan yang penuh ketegasan, tetapi juga ada kelembutan yang tak bisa disembunyikan. "Saya ingin menawarkan sesuatu kepada Anda," katanya, suaranya terdengar lebih dalam dari sebelumnya, seolah menyimpan beban berat.
Arissa mengangkat alis. "Tawaran?" tanyanya, masih merasa ragu. Sebelumnya, ia tidak bisa mengabaikan perasaan cemas yang datang bersamaan dengan kedatangan Nathaniel. Meski pria itu memberikan kesan kuat dan terhormat, ada sesuatu yang menakutkan dalam pesona misteriusnya.
Nathaniel menghela napas panjang, kemudian melangkah lebih dekat ke meja resepsionis tempat Arissa berdiri. “Saya ingin Anda menjadi terapis pribadi saya, Arissa. Tidak hanya sekali, tetapi secara rutin. Saya ingin datang ke sini setiap minggu, dan saya bersedia membayar lebih dari tarif biasa.”
Arissa merasa matanya terbelalak sejenak, tidak percaya dengan tawaran yang baru saja keluar dari mulut Nathaniel. Ia memeriksa wajahnya, melihat apakah ada tanda-tanda guyonan atau kebohongan, tetapi tak ada. Nathaniel tampak sangat serius.
“Apakah Anda yakin ingin melakukan ini?” Arissa bertanya pelan, mencoba mencari tahu lebih lanjut tentang motivasinya. “Saya hanya seorang terapis biasa, Nathaniel. Dan saya tidak ingin melanggar prinsip profesional saya.”
Nathaniel tersenyum sedikit, meskipun ada kecanggungan yang jelas di antara mereka. “Saya tahu ini terdengar agak tidak biasa,” katanya. “Namun, saya merasa bahwa hanya Anda yang bisa memberikan bantuan yang saya butuhkan. Saya sudah mencoba berbagai cara untuk mengurangi tekanan dan stres saya, tetapi belum ada yang berhasil. Pijatan Anda, Arissa, memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar efek fisik. Saya merasa lebih tenang, lebih fokus setelahnya.”
Arissa merasa sedikit terharu mendengar pujian itu, namun juga merasa cemas. Tawarkan ini lebih dari sekadar menawarkan uang, itu menawarkan ikatan yang lebih erat antara mereka—sesuatu yang membuatnya ragu. Ia mengingat kembali semua prinsip yang telah ia tetapkan sejak lama. Sebagai seorang terapis, ia berusaha menjaga batas yang jelas antara dirinya dan kliennya. Ia tidak ingin menyimpang dari garis profesionalisme yang telah ia bangun.
“Nathaniel,” Arissa akhirnya berkata dengan hati-hati, “saya tahu apa yang Anda maksud, dan saya menghargai kepercayaan yang Anda berikan pada saya. Tapi, saya khawatir tawaran ini bisa merusak hubungan profesional kita. Saya tidak ingin terjebak dalam situasi yang bisa membuat kita berdua merasa tidak nyaman nanti.”
Nathaniel mengangguk perlahan, menyadari bahwa Arissa sedang berpikir matang-matang. Ia mengerti bahwa, bagi seorang terapis seperti Arissa, profesionalisme adalah hal yang paling penting. Namun, ia merasa cemas. Tidak banyak orang yang bisa dia percayai, dan ia merasa bahwa Arissa adalah satu-satunya yang bisa membantunya mengatasi beban yang menimpanya.
“Apa yang saya tawarkan bukan hanya soal uang, Arissa,” kata Nathaniel, suaranya lebih lembut. “Ini tentang mendapatkan apa yang saya butuhkan untuk menjalani hidup saya dengan lebih baik. Mungkin saya tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata yang tepat, tetapi Anda mengerti apa yang saya maksudkan. Saya ingin Anda menjadi bagian dari rutinitas saya—sebagai seorang terapis, bukan hanya sebagai seorang wanita. Saya ingin membuat ini berjalan dengan cara yang sesuai dengan prinsip Anda.”
Arissa terdiam sejenak, mempertimbangkan semuanya. Tawarannya terasa menggoda, dan semakin lama ia mengenal Nathaniel, semakin sulit baginya untuk tetap menjaga jarak. Namun, di balik keinginan untuk membantu dan merasa dihargai, ia juga tahu bahwa menerima tawaran itu akan merubah segalanya. Ia tidak hanya akan kehilangan batasan profesional yang ia jaga dengan hati-hati, tetapi ia mungkin juga akan terjerat dalam dunia Nathaniel yang penuh intrik dan ketegangan.
Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti bertahun-tahun, Arissa menarik napas dalam-dalam dan memandang Nathaniel dengan tatapan serius. “Saya akan menerima tawaran Anda, Nathaniel,” katanya, meskipun nada suaranya sedikit ragu. “Tapi saya ingin ada batas yang jelas antara pekerjaan ini dan hubungan pribadi kita. Saya tidak ingin sesuatu yang lebih rumit daripada yang sudah ada.”
Nathaniel tersenyum sedikit, seolah merasa lega. “Tentu, Arissa. Saya menghormati itu. Batasan yang Anda inginkan akan saya patuhi. Terima kasih telah mempertimbangkan tawaran ini.”
Arissa mengangguk, meskipun hatinya masih merasa terombang-ambing. Ia tahu bahwa ini adalah langkah besar, dan meskipun ia merasa tertarik untuk membantu Nathaniel, ia juga merasa cemas tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Menerima tawaran itu berarti membuka pintu untuk sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang mungkin mengubah segalanya.
Setelah keputusan itu diambil, suasana di klinik menjadi sedikit lebih ringan. Arissa merasa ada sedikit ketegangan yang mencair di antara mereka, tetapi sekaligus, ia merasakan gelombang kecemasan yang datang. Bagaimana ini akan berpengaruh pada kehidupannya? Bagaimana ia akan menghadapi perasaan yang mulai muncul begitu dekat dengan Nathaniel? Dan yang lebih penting lagi, apakah ia bisa menjaga profesionalisme dalam hubungan ini?
Nathaniel menyadari bahwa Arissa masih terlihat ragu, namun ia juga bisa melihat ketulusan dalam keputusan yang diambilnya. Ia tahu bahwa tawaran itu datang dengan harga yang lebih tinggi daripada sekadar uang. Arissa harus melangkah keluar dari zona nyaman dan menjaga jarak emosional yang selalu ia pertahankan dengan klien.
"Saya akan menghubungi Anda untuk detail lebih lanjut," kata Nathaniel, mencoba membuat suasana lebih santai. "Dan saya ingin memastikan bahwa ini tidak akan mengganggu rutinitas Anda."
Arissa mengangguk pelan. "Tentu saja. Kita akan tentukan jadwal yang sesuai. Tapi ingat, Nathaniel, ini adalah layanan profesional, bukan hubungan pribadi. Itu yang saya harapkan."
Nathaniel tersenyum tipis, dan untuk sesaat, ada kilatan kehangatan dalam matanya yang seolah mengungkapkan bahwa ia menghargai kejujuran Arissa. “Saya mengerti, Arissa. Tidak akan ada masalah dengan itu.”
Setelah percakapan itu, Nathaniel meninggalkan klinik dengan langkah pasti. Arissa berdiri di belakang meja resepsionis, menatap pintu yang baru saja ditutup. Ada perasaan campur aduk dalam hatinya. Dia tahu bahwa hari-hari berikutnya akan penuh tantangan. Tapi ada juga rasa penasaran yang mulai tumbuh. Siapa Nathaniel Alvaro sebenarnya? Apa yang membuat pria sekaya dan sepenuhnya terfokus pada bisnis ini begitu membutuhkan bantuan dari seorang terapis pijat? Arissa merasa terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa hubungan profesional ini bisa jadi lebih dari yang ia duga.
Beberapa hari berlalu dengan kesibukan rutin di klinik, dan meskipun ia mencoba untuk fokus pada pekerjaan, pikiran Arissa tak bisa lepas dari Nathaniel. Ia mulai merasa cemas tentang langkah berikutnya. Kapan Nathaniel akan menghubunginya? Bagaimana jika semuanya tidak berjalan sesuai dengan harapannya? Apakah ia akan mampu menjaga jarak profesional itu?
Pada suatu pagi yang cerah, ketika Arissa sedang menyiapkan ruangan untuk klien berikutnya, telepon di meja resepsionisnya berdering. Ia mengangkatnya dengan cepat, berharap itu bukan telepon yang tak diinginkan.
“Arissa, ini Nathaniel,” suara pria itu terdengar tegas, namun juga sedikit lebih santai dari yang ia kenal. “Saya ingin mengatur jadwal untuk pertemuan pertama kita. Saya pikir kita bisa mulai besok.”
Arissa merasa jantungnya berdebar, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. “Baik, Nathaniel. Kapan Anda ingin saya mulai?” tanyanya, berusaha menjaga nada suara tetap profesional meski ada sedikit kegugupan di dalamnya.
“Besok sore, setelah jam kerja. Saya akan langsung ke sini. Kita bisa tentukan bagaimana sesi pertama ini berjalan,” jawab Nathaniel. “Terima kasih sudah menyanggupi ini, Arissa.”
“Tidak masalah,” Arissa menjawab singkat. “Saya akan siap.”
Setelah percakapan itu berakhir, Arissa meletakkan telepon dengan tangan sedikit gemetar. Ia menatap cermin di dinding, mencoba menenangkan dirinya. Persiapan mental untuk pertemuan besok sudah dimulai, meski ia merasa sedikit cemas. Namun, di sisi lain, ada juga perasaan ingin membantu Nathaniel. Ia tahu bahwa pria itu terbeban oleh banyak hal, dan jika ada yang bisa sedikit meringankan beban hidupnya, ia ingin menjadi bagian dari itu.
Namun, bagian dalam hatinya yang lebih pragmatis mengingatkan untuk tetap menjaga jarak. Ia sudah memutuskan untuk menerima tawaran Nathaniel, tetapi ia juga harus sangat hati-hati agar tak terjerumus dalam situasi yang tak terduga.
Arissa mengambil napas dalam-dalam, bertekad untuk tetap tegas. Ini hanya sebuah pekerjaan, ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Dan ia akan melakukannya dengan cara yang benar—seperti yang selalu ia lakukan. Tapi meski ia berusaha mengatur pikirannya, satu hal tak bisa ia hindari: rasa penasaran terhadap Nathaniel semakin besar.
"Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam