Hari pertama sebagai terapis pribadi Nathaniel dimulai. Arissa merasa sedikit cemas, meski ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana. Sejak pagi, ia mempersiapkan ruangan klinik dengan lebih hati-hati dari biasanya. Semua peralatan yang diperlukan sudah siap, dan suasana di dalam ruangannya sudah diatur agar terasa nyaman dan tenang. Namun, ada perasaan aneh yang tak bisa ia hilangkan. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar rutinitasnya sebagai seorang terapis.
Ketika bel pintu berbunyi, Arissa menoleh dan melihat Nathaniel berdiri di depan pintu, mengenakan jas hitamnya yang rapi dan wajahnya yang tampak lebih serius dari biasanya. Ia masuk tanpa berkata apa-apa, dan sesaat suasana menjadi canggung. Arissa mencoba menenangkan diri dan mengingat batas yang telah ia tetapkan sebelumnya.
“Selamat sore, Nathaniel,” sapa Arissa dengan nada formal. “Silakan duduk. Sesi ini hanya untuk relaksasi, sesuai dengan kesepakatan kita.”
Nathaniel duduk dengan sikap tegap, menatap Arissa tanpa ekspresi. "Saya sudah tidak sabar untuk merasakan apa yang Anda tawarkan, Arissa," ujarnya dengan nada datar, meskipun ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Arissa sedikit terkejut. Mungkin itu adalah cara berbicara yang penuh keyakinan dan kontrol yang selalu melekat pada diri Nathaniel.
Arissa mengangguk dan melangkah untuk memulai sesi pijat. Ia mencoba untuk tetap fokus, menjaga jarak profesional, namun hatinya sedikit berdebar. Nathaniel, yang biasanya tampak tak tergoyahkan, kini terbaring di meja pijat dengan sikap yang lebih tenang, meskipun Arissa tahu bahwa dalam pikirannya, ia pasti sedang memikirkan banyak hal.
"Saya ingin Anda tahu, Arissa," kata Nathaniel tiba-tiba, memecah kesunyian yang selama ini ada di ruang itu, "bahwa saya menghargai pekerjaan Anda. Anda tidak tahu seberapa besar tekanan yang saya rasakan dalam dunia ini, dan pijatan Anda memberi saya ketenangan yang sangat saya butuhkan."
Arissa menatap Nathaniel dari atas, mencoba menyembunyikan perasaan yang tiba-tiba muncul. "Terima kasih, Nathaniel," jawabnya dengan suara lembut, mencoba menjaga profesionalisme. “Saya hanya melakukan yang terbaik untuk setiap klien, termasuk Anda."
Namun, Nathaniel tampaknya tidak puas dengan jawaban itu. Ia mengangkat sedikit kepalanya, menatap Arissa dengan tatapan yang lebih intens. "Saya pikir Anda lebih dari sekadar terapis. Anda memiliki pengaruh yang lebih besar dari itu, Arissa. Saya bisa merasakannya," katanya, suara itu lebih dalam dari sebelumnya, seolah ada perasaan yang ia coba ungkapkan.
Arissa merasa sedikit tak nyaman dengan kata-kata Nathaniel. Ia sudah mengingatkan dirinya untuk tidak terjebak dalam dinamika yang lebih emosional. “Nathaniel, kita sudah sepakat untuk menjaga batas profesional,” katanya dengan hati-hati. “Saya di sini untuk membantu Anda, hanya sebagai terapis.”
Nathaniel terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kata Arissa. Namun, ekspresi wajahnya tidak menunjukkan rasa puas. "Saya tidak mudah menerima batasan," jawabnya akhirnya, dengan nada yang masih penuh percaya diri. “Dan saya bisa melihat bahwa Anda juga tidak mudah dibujuk.”
Arissa menghela napas. “Saya tahu Anda terbiasa mendapatkan apa yang Anda inginkan, Nathaniel. Tapi saya harus tetap menjaga prinsip saya. Ini adalah pekerjaan saya, dan saya ingin melakukannya dengan cara yang benar. Anda harus menghormati itu.”
Nathaniel memandangnya, seolah sedang menilai. Untuk pertama kalinya, Arissa bisa merasakan ada semacam ketegangan yang tak terlihat sebelumnya antara mereka berdua. Nathaniel terbiasa mengendalikan segala hal, termasuk orang-orang di sekitarnya. Tapi dengan Arissa, ia merasa ada sesuatu yang menantangnya. Sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan dengan mudah.
"Saya menghargai Anda, Arissa," kata Nathaniel, suaranya lebih rendah dan terasa lebih serius. "Dan saya tahu, di balik sikap Anda yang keras kepala ini, ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuat saya ingin lebih dekat dengan Anda."
Arissa merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Itu adalah pernyataan yang berbeda dari biasanya. Tidak ada yang lebih sulit baginya daripada menghadapi seseorang seperti Nathaniel, yang tak segan untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya tanpa rasa takut. Namun, ia harus tetap berpegang pada batasan yang ia buat.
“Nathaniel,” Arissa berkata dengan suara tegas, "Saya tidak akan membiarkan apa pun merusak prinsip saya. Pekerjaan ini adalah untuk kesejahteraan Anda, bukan untuk membuat kita terlibat lebih jauh. Saya harap Anda mengerti.”
Nathaniel terdiam lagi, wajahnya memancarkan ekspresi yang sulit dibaca. Sesaat, sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu lagi, namun ia menahannya. “Baiklah, Arissa,” katanya akhirnya, dengan nada yang tidak lagi mengandung paksaan. “Saya akan menghormati batas Anda. Tapi saya ingin Anda tahu bahwa saya akan kembali. Saya membutuhkan Anda.”
Arissa mengangguk, meskipun di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan, bahkan kepada dirinya sendiri. Namun, ia tahu bahwa ia harus tetap kuat dan teguh pada keputusannya. Tidak peduli seberapa sulit itu.
Setelah sesi pijat selesai, Nathaniel berdiri dan menatap Arissa dengan mata yang penuh arti. "Terima kasih, Arissa. Saya rasa ini bisa menjadi awal yang baik untuk kita berdua," katanya, suara itu lebih tenang namun penuh keyakinan.
Arissa hanya mengangguk, berusaha mengendalikan perasaan yang mulai muncul tanpa bisa ia hindari. Setelah Nathaniel pergi, ia menutup pintu dengan pelan dan bersandar sebentar di dinding.
Batas-batas yang ia buat mulai terasa semakin rapuh. Namun, ia tahu satu hal—ia harus menjaga profesionalisme, apapun yang terjadi.
Arissa berdiri sejenak di ruangan yang kini terasa sepi setelah kepergian Nathaniel. Sesaat, ia membiarkan pikirannya mengembara, mencoba menenangkan diri setelah ketegangan yang terjadi. Meskipun ia tahu bahwa ia harus menjaga jarak, rasa ingin tahu dan ketertarikan terhadap Nathaniel semakin sulit untuk dihindari. Arissa tahu dia harus tetap fokus, menjaga batas antara profesionalisme dan perasaan yang semakin berkembang.
Dia menghela napas panjang dan mulai merapikan ruangan, tapi pikirannya masih terfokus pada pertemuan tadi. Nathaniel—seorang pria yang begitu kuat dan dominan dalam dunia bisnis, namun di balik itu, ada sisi lain yang tak terungkap dengan jelas. Sisi yang mungkin, menurut Arissa, lebih manusiawi, lebih rapuh. Itu adalah sisi yang menarik dan menantangnya, tapi juga yang paling berbahaya.
Ketika pintu ruangannya terbuka beberapa detik kemudian, Arissa menoleh dan mendapati salah satu kolega kliniknya berdiri di ambang pintu.
"Ada apa, Lina?" tanya Arissa, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
Lina, seorang asisten yang bekerja di klinik, masuk sambil membawa secangkir teh hangat. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil meletakkan teh di meja.
Arissa tersenyum tipis, mencoba untuk terlihat tenang. "Ya, hanya sedikit lelah setelah sesi tadi."
Lina duduk di kursi seberang meja dan menatap Arissa dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Itu bukan klien biasa, kan? Aku dengar kamu melayani Nathaniel Alvaro. CEO Alvaro Group?"
Arissa menatapnya terkejut. "Kamu tahu?"
Lina tertawa kecil, "Seluruh kota tahu, Arissa. Siapa yang tidak mengenal Nathaniel Alvaro? Dia adalah pembicaraan utama di kalangan orang-orang kaya. Tidak heran kalau kamu merasa canggung, dia memang terkenal sulit didekati."
Arissa merasa pipinya memerah, meski ia berusaha untuk tetap tenang. "Dia hanya klien biasa," jawabnya, mencoba menepis perasaan canggung itu. "Kami hanya bekerja bersama seperti halnya terapis dengan klien lain."
Lina mengangkat alis, jelas tidak percaya. "Tentu saja. Hanya klien biasa. Tapi kamu merasa ada yang berbeda, kan? Aku bisa melihatnya di wajahmu."
Arissa menghela napas panjang. "Aku rasa kamu benar. Ada sesuatu yang berbeda tentang dia. Tapi aku harus tetap profesional. Aku tidak ingin terlibat dalam masalah pribadi atau perasaan dengan klien."
Lina menatapnya dengan serius. "Hati-hati, Arissa. Terkadang, seseorang seperti Nathaniel bisa sangat memengaruhi hidupmu tanpa kamu sadari. Banyak orang yang terjebak dalam pesona dunia bisnis dan kekuatan seperti itu."
Arissa mengangguk pelan. "Aku tahu. Aku akan berhati-hati."
Namun, dalam hati Arissa, keraguan itu masih ada. Meskipun dia berusaha menjaga jarak, entah mengapa, Nathaniel terus hadir dalam pikirannya. Sifatnya yang tenang, tapi tegas, yang penuh dengan misteri dan ketegangan, begitu berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui sebelumnya. Setiap kali ia menutup mata, gambaran wajah Nathaniel muncul, membuatnya terperangkap dalam keraguan yang lebih dalam.
Hari berikutnya, Nathaniel kembali ke klinik, seperti yang sudah ia janjikan. Arissa merasa sedikit terkejut, meskipun ia sudah tahu bahwa pria itu akan datang kembali. Pagi itu, dia menyiapkan diri untuk sesi lain dengan penuh kehati-hatian. Ia sudah bertekad untuk menjaga batas profesional dan tidak membiarkan dirinya terjebak dalam permainan emosional yang lebih dalam.
Begitu Nathaniel masuk, suasana menjadi sedikit canggung, meskipun sudah lebih familiar. Wajahnya masih terlihat lelah, namun kali ini ada perubahan kecil. Ia tidak langsung berbicara tentang pekerjaan atau tekanan bisnisnya, sebaliknya, ia lebih santai, duduk di kursi tunggu dengan sikap yang lebih kalem.
"Saya ingin berbicara sebentar, Arissa," katanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.
Arissa mengangguk, sedikit bingung, "Ada apa, Nathaniel?"
"Saya merasa ada banyak yang belum saya ungkapkan tentang diri saya," Nathaniel mulai berbicara, menatap Arissa dengan serius. "Saya tahu kita hanya bertemu dalam konteks profesional, tetapi saya ingin lebih terbuka dengan Anda. Saya mulai merasa bahwa Anda mungkin bisa membantu saya lebih dari yang saya duga."
Arissa sedikit terkejut dengan pernyataannya. "Nathaniel, kita sudah sepakat bahwa hubungan kita hanya sebatas pekerjaan. Saya hanya di sini untuk membantu Anda."
Nathaniel menghela napas, tampaknya kecewa dengan respons Arissa. "Saya tahu itu. Tapi saya juga ingin Anda tahu bahwa saya menghargai lebih dari sekadar jasa pijat Anda, Arissa. Saya merasa nyaman berada di dekat Anda, meskipun saya tahu saya tidak boleh berharap lebih."
Arissa merasa sebuah ketegangan yang mendalam antara mereka berdua. Kata-kata Nathaniel mengingatkannya pada hal-hal yang ia coba hindari—keinginan untuk terhubung lebih dalam dengan seseorang yang seharusnya tidak terlibat dalam hidupnya. Namun, di sisi lain, ia merasa simpati terhadap Nathaniel yang selalu terbebani oleh tekanan hidup dan pekerjaan.
"Saya tidak ingin membuat Anda merasa canggung, Arissa," lanjut Nathaniel, suaranya semakin lembut. "Tapi saya perlu Anda tahu, Anda berbeda dari orang lain dalam hidup saya."
Arissa menatap Nathaniel dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa ia harus tetap bertahan pada batasannya. "Saya tidak bisa terlibat lebih jauh, Nathaniel. Saya di sini untuk membantu Anda secara profesional, dan itu saja."
Nathaniel terdiam sejenak, kemudian mengangguk pelan, seolah mengerti. "Baiklah. Tapi saya ingin Anda tahu, saya sangat menghargai kehadiran Anda. Anda lebih dari sekadar seorang terapis bagi saya."
Arissa hanya bisa terdiam. Meski ia berusaha untuk menjaga jarak, ia tahu bahwa ia sudah mulai terjebak dalam perasaan yang lebih besar dari sekadar pekerjaan.
Arissa duduk di meja kerjanya, menatap secangkir teh yang kini hampir dingin di depannya. Pikirannya masih berputar-putar tentang percakapan tadi dengan Nathaniel. Hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya, dan meski ia berusaha menenangkan diri, ada keraguan yang terus menghantuinya. Apakah keputusan ini benar? Apa yang akan terjadi jika ia setuju untuk menjadi terapis pribadi Nathaniel?Ia menghela napas panjang. Sebagai seorang terapis yang berkomitmen pada pekerjaannya, ia selalu memegang prinsip untuk menjaga profesionalisme dalam segala hal. Namun, tawaran Nathaniel berbeda. Ia bukan hanya seorang klien biasa. Nathaniel adalah CEO sukses dengan dunia bisnis yang rumit dan penuh tekanan, serta seorang pria yang sudah mulai menguji batasan-batasannya. Arissa tahu bahwa kedekatannya dengannya, meskipun hanya dalam kapasitas profesional, bisa menambah beban pada hidupnya yang sudah cukup rumit.Namun, di sisi lain, tawaran itu begitu menggoda. Bayaran yang jauh le
Pagi itu, klinik pijat Arissa tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa pelanggan reguler sudah menunggu di ruang tunggu, dan suasana di dalam klinik penuh dengan percakapan ringan. Arissa, seperti biasa, sibuk melayani klien dengan senyum ramah. Namun, dalam hatinya, ia merasa sedikit gelisah. Ada sesuatu yang aneh, perasaan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi hari ini.Benar saja, sekitar tengah hari, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan klinik. Dari dalamnya, Nathaniel Alvaro turun dengan langkah percaya diri, mengenakan setelan jas rapi yang membuatnya terlihat seperti sosok yang tak tersentuh. Kehadirannya langsung menarik perhatian para pelanggan dan staf di klinik. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa pria tampan dan berkarisma itu.Arissa, yang baru saja selesai dengan klien terakhirnya, memandang ke arah pintu depan dan hampir terdiam melihat Nathaniel. Ia merasa aneh melihat pria itu datang di siang hari, terutama dengan penampi
Arissa duduk di meja kerjanya di apartemen kecilnya, kontrak dari Nathaniel terbuka di hadapannya. Pikirannya dipenuhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang bertentangan. Di satu sisi, angka bayaran dalam kontrak itu sangat menggoda, sesuatu yang bisa membantunya mengubah hidup. Namun, di sisi lain, beberapa syarat dalam kontrak tersebut membuatnya merasa tidak nyaman, terutama bagian yang mengharuskannya selalu siaga kapan pun Nathaniel membutuhkannya.Ia membaca ulang salah satu klausul dalam kontrak:"Terapis wajib memberikan prioritas penuh pada klien, tanpa memandang waktu atau lokasi."Arissa menghela napas panjang. Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan terikat dalam pekerjaan seperti itu, apalagi dengan seseorang seperti Nathaniel Alvaro. Ia tahu betapa kerasnya dunia kerja pria itu, tetapi ia tidak ingin kehilangan kendali atas hidupnya sendiri hanya karena uang.Diskusi dengan MariaKeesokan harinya, di ru
Nathaniel duduk di ruang kerjanya yang luas, jendela besar di belakangnya menampilkan pemandangan kota yang berkilauan. Tapi pikirannya jauh dari pemandangan itu. Ia memikirkan Arissa—wanita yang tidak hanya menolak tawarannya tetapi juga melakukannya dengan sopan dan tegas.Nathaniel mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, sesuatu yang jarang ia lakukan. Penolakan itu terasa aneh baginya. Selama ini, ia terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan, entah itu dalam bisnis atau kehidupan pribadi. Namun, untuk pertama kalinya, seseorang menolaknya tanpa rasa takut.“Dia berbeda,” gumamnya pelan.Refleksi NathanielSambil menyandarkan diri di kursinya, Nathaniel teringat kata-kata Arissa. Cara dia berbicara, dengan nada yang penuh rasa hormat tetapi tak tergoyahkan, meninggalkan kesan mendalam.Nathaniel memanggil asistennya, James, masuk ke ruangan. James adalah satu dari sedikit orang yang bisa ia percayai sepenuhnya.
Arissa duduk di sofa kecil di ruang tamu apartemennya yang sederhana, memandangi dokumen yang ia bawa pulang dari klinik. Dokumen itu bukanlah kontrak Nathaniel, tetapi laporan pengeluaran klinik yang menunjukkan betapa tipisnya margin keuntungan yang mereka hasilkan setiap bulan. Pikiran tentang bagaimana tawaran Nathaniel dapat mengubah situasinya terus menghantui.Dia menarik napas panjang, mengeluarkan ponsel, dan menelepon sahabatnya, Lila.“Arissa! Akhirnya kau meneleponku. Aku sudah lama ingin tahu bagaimana kabarmu,” kata Lila dengan suara ceria di seberang telepon.Arissa tersenyum tipis meski sahabatnya tidak bisa melihat. “Aku baik-baik saja, Lil. Tapi... ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”“Sepertinya serius,” balas Lila, suaranya berubah menjadi lebih perhatian. “Apa yang terjadi?”Selama beberapa menit berikutnya, Arissa menceritakan semua yang terjadi—dari pertemuannya de
Nathaniel duduk di dalam mobilnya, menatap gedung klinik yang sederhana namun memiliki daya tarik tersendiri baginya. Selama beberapa hari terakhir, ia terus memikirkan Arissa dan sikap tegasnya. Bukan hanya karena keahliannya yang luar biasa, tetapi juga karena kepribadiannya yang berbeda dari orang-orang di sekitarnya.“Kali ini aku harus berbicara dengan cara yang berbeda,” gumam Nathaniel pelan.Sore itu, Arissa sedang sibuk membantu seorang pelanggan lanjut usia. Ia tak menyadari bahwa Nathaniel telah masuk ke klinik dan duduk di ruang tunggu. Ketika akhirnya ia selesai, ia terkejut menemukan pria itu lagi.“Pak Alvaro?” tanyanya dengan nada sedikit canggung.Nathaniel berdiri dan tersenyum kecil. “Nathaniel saja,” koreksinya lembut. “Aku ingin berbicara sebentar, kalau kau punya waktu.”Meski ragu, Arissa mengangguk. Mereka masuk ke ruang konsultasi yang sama, tempat mereka terakhir berbic
Arissa duduk di ruang istirahat klinik, menatap kontrak yang telah direvisi di tangannya. Kata-kata dalam dokumen itu terlihat rapi dan terstruktur, namun setiap kalimat terasa memiliki beban yang besar. Ia menghela napas panjang sebelum menutup map tersebut.Lila menghampirinya, membawa secangkir teh. "Jadi, apa yang akan kau lakukan?" tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu."Aku akan menandatangani, Lil," jawab Arissa akhirnya. "Tapi aku sudah memastikan bahwa ada batas-batas yang jelas dalam kontraknya. Aku tidak mau kehilangan kendali atas hidupku hanya karena uang."Lila tersenyum lebar. "Itu keputusan yang bijak. Setidaknya kau menetapkan syarat yang membuatmu nyaman. Jangan biarkan dia mendominasi segalanya."Sore itu, Arissa pergi ke kantor Nathaniel untuk menyampaikan keputusannya. Ini pertama kalinya ia melihat Nathaniel di lingkungannya sendiri—sebuah gedung tinggi yang penuh dengan aura kemewahan dan kesibukan.Arissa me
Hari pertama Arissa bekerja sebagai terapis pribadi Nathaniel dimulai dengan suasana yang sangat berbeda dari klinik kecil tempat ia biasa bekerja. Rumah Nathaniel, yang terletak di sebuah kawasan elit, tampak megah dengan desain minimalis namun elegan. Ruang tamu yang luas dan penuh dengan perabotan modern memancarkan aura kekuasaan dan prestise. Arissa merasa seperti berada di dunia yang sama sekali berbeda dari yang biasa ia jalani.Ia merasa sedikit canggung, mengenakan pakaian yang lebih formal daripada biasanya, sementara ia mencoba menyesuaikan diri dengan peran barunya. Saat ia tiba, Nathaniel sudah menunggunya di ruang tengah. Dia mengenakan setelan jas gelap yang terlihat sempurna, seperti biasa, dengan ekspresi wajah yang lebih serius dari yang ia ingat."Selamat pagi," Arissa menyapa dengan suara tenang, meskipun di dalam hatinya perasaan tidak nyaman mulai muncul."Selamat pagi, Arissa," jawab Nathaniel, suaranya terdengar lebih dingin dari yang seh
"Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam
"Mau minum kopi?" tanyanya. "Ada kafe kecil di seberang jalan. Kita bisa... bicara. Sudah lama sejak terakhir kali kita benar-benar bicara."Arissa ragu sejenak. Bagian rasional dari dirinya tahu bahwa ini mungkin bukan ide yang baik, bahwa membuka kembali luka lama hanya akan membuat penyembuhan semakin sulit. Tapi ada bagian lain yang tidak bisa ia sangkal—bagian yang selalu merindukan percakapan panjang mereka, tawa mereka, dan pengertian diam mereka."Baiklah," jawabnya akhirnya. "Satu kopi."Di kafe kecil yang nyaman itu, dengan secangkir kopi panas di antara mereka, dinding yang mereka bangun selama bertahun-tahun perlahan mulai runtuh. Mereka berbicara tentang impian mereka yang telah terwujud, tentang perjuangan mereka, tentang kesendirian yang kadang-kadang menghinggapi di tengah kesuksesan."Kau tahu," kata Reyhan setelah jeda panjang, "aku sering bertanya-tanya bagaimana jadinya jika aku tidak pergi waktu itu. Jika aku memilih untuk tingg
"Bagus sekali. Kita bisa mendiskusikannya di rapat tim minggu depan. Aku selalu menginginkan Sentuhan Hati untuk berkembang menjadi pusat kesehatan holistik yang lengkap, bukan hanya klinik pijat."Setelah berpisah dengan Rini, Arissa melanjutkan perjalanan ke kantornya dengan langkah ringan. Inisiatif timnya adalah bukti bahwa ia telah berhasil membangun budaya kerja yang mendorong pertumbuhan dan inovasi. Para terapisnya tidak hanya menjalankan tugasnya, tetapi mereka juga memiliki rasa kepemilikan terhadap kesuksesan klinik.Di kantornya, Arissa mulai mengerjakan draft artikel untuk jurnal terapi. Ia memutuskan untuk menulis tentang pendekatan kolaboratif antara terapi pijat dan pengobatan konvensional, menggunakan kasus Pak Hendra (dengan persetujuannya, tentu saja) sebagai contoh.Sementara jari-jarinya menari di atas keyboard, pikirannya kembali melayang ke undangan Reyhan. Pameran itu akan diadakan minggu depan, bertepatan dengan kunjungan Pak Dharma untu
"Ah, Bu Arissa," suara Pak Hendra terdengar lebih cerah dari yang ia duga. "Saya baru saja akan menelepon Ibu. Saya sudah bertemu Dr. Santoso pagi ini.""Oh, bagus sekali! Bagaimana hasilnya, Pak?""Dokter mengatakan Ibu benar untuk merujuk saya. Ada masalah kecil dengan diskus di tulang belakang saya. Tidak serius, tapi perlu penanganan. Beliau merekomendasikan kombinasi terapi fisik dan pijat khusus. Dan beliau sangat menghargai kemampuan observasi terapis Ibu."Arissa tersenyum lega. "Saya senang mendengarnya, Pak. Terapi fisik sangat bagus untuk kondisi Bapak. Dan tentu saja, kami bisa menyesuaikan terapi pijat untuk mendukung pemulihan Bapak.""Ya, Dr. Santoso bahkan menyarankan terapi pijat di klinik Ibu sebagai bagian dari program pemulihannya. Katanya Sentuhan Hati memiliki reputasi yang sangat baik di kalangan dokter."Ini adalah berita yang menggembirakan bagi Arissa. Kolaborasi dengan dokter-dokter terkemuka seperti Dr. Santoso adalah sa