Beranda / Romansa / Pijatan Nikmat Sang CEO / Bab 9: Batas yang Tertantang

Share

Bab 9: Batas yang Tertantang

Penulis: perdy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-26 22:19:50

Hari pertama sebagai terapis pribadi Nathaniel dimulai. Arissa merasa sedikit cemas, meski ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana. Sejak pagi, ia mempersiapkan ruangan klinik dengan lebih hati-hati dari biasanya. Semua peralatan yang diperlukan sudah siap, dan suasana di dalam ruangannya sudah diatur agar terasa nyaman dan tenang. Namun, ada perasaan aneh yang tak bisa ia hilangkan. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar rutinitasnya sebagai seorang terapis.

Ketika bel pintu berbunyi, Arissa menoleh dan melihat Nathaniel berdiri di depan pintu, mengenakan jas hitamnya yang rapi dan wajahnya yang tampak lebih serius dari biasanya. Ia masuk tanpa berkata apa-apa, dan sesaat suasana menjadi canggung. Arissa mencoba menenangkan diri dan mengingat batas yang telah ia tetapkan sebelumnya.

“Selamat sore, Nathaniel,” sapa Arissa dengan nada formal. “Silakan duduk. Sesi ini hanya untuk relaksasi, sesuai dengan kesepakatan kita.”

Nathaniel duduk dengan sikap tegap, menatap Arissa tanpa ekspresi. "Saya sudah tidak sabar untuk merasakan apa yang Anda tawarkan, Arissa," ujarnya dengan nada datar, meskipun ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Arissa sedikit terkejut. Mungkin itu adalah cara berbicara yang penuh keyakinan dan kontrol yang selalu melekat pada diri Nathaniel.

Arissa mengangguk dan melangkah untuk memulai sesi pijat. Ia mencoba untuk tetap fokus, menjaga jarak profesional, namun hatinya sedikit berdebar. Nathaniel, yang biasanya tampak tak tergoyahkan, kini terbaring di meja pijat dengan sikap yang lebih tenang, meskipun Arissa tahu bahwa dalam pikirannya, ia pasti sedang memikirkan banyak hal.

"Saya ingin Anda tahu, Arissa," kata Nathaniel tiba-tiba, memecah kesunyian yang selama ini ada di ruang itu, "bahwa saya menghargai pekerjaan Anda. Anda tidak tahu seberapa besar tekanan yang saya rasakan dalam dunia ini, dan pijatan Anda memberi saya ketenangan yang sangat saya butuhkan."

Arissa menatap Nathaniel dari atas, mencoba menyembunyikan perasaan yang tiba-tiba muncul. "Terima kasih, Nathaniel," jawabnya dengan suara lembut, mencoba menjaga profesionalisme. “Saya hanya melakukan yang terbaik untuk setiap klien, termasuk Anda."

Namun, Nathaniel tampaknya tidak puas dengan jawaban itu. Ia mengangkat sedikit kepalanya, menatap Arissa dengan tatapan yang lebih intens. "Saya pikir Anda lebih dari sekadar terapis. Anda memiliki pengaruh yang lebih besar dari itu, Arissa. Saya bisa merasakannya," katanya, suara itu lebih dalam dari sebelumnya, seolah ada perasaan yang ia coba ungkapkan.

Arissa merasa sedikit tak nyaman dengan kata-kata Nathaniel. Ia sudah mengingatkan dirinya untuk tidak terjebak dalam dinamika yang lebih emosional. “Nathaniel, kita sudah sepakat untuk menjaga batas profesional,” katanya dengan hati-hati. “Saya di sini untuk membantu Anda, hanya sebagai terapis.”

Nathaniel terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kata Arissa. Namun, ekspresi wajahnya tidak menunjukkan rasa puas. "Saya tidak mudah menerima batasan," jawabnya akhirnya, dengan nada yang masih penuh percaya diri. “Dan saya bisa melihat bahwa Anda juga tidak mudah dibujuk.”

Arissa menghela napas. “Saya tahu Anda terbiasa mendapatkan apa yang Anda inginkan, Nathaniel. Tapi saya harus tetap menjaga prinsip saya. Ini adalah pekerjaan saya, dan saya ingin melakukannya dengan cara yang benar. Anda harus menghormati itu.”

Nathaniel memandangnya, seolah sedang menilai. Untuk pertama kalinya, Arissa bisa merasakan ada semacam ketegangan yang tak terlihat sebelumnya antara mereka berdua. Nathaniel terbiasa mengendalikan segala hal, termasuk orang-orang di sekitarnya. Tapi dengan Arissa, ia merasa ada sesuatu yang menantangnya. Sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan dengan mudah.

"Saya menghargai Anda, Arissa," kata Nathaniel, suaranya lebih rendah dan terasa lebih serius. "Dan saya tahu, di balik sikap Anda yang keras kepala ini, ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuat saya ingin lebih dekat dengan Anda."

Arissa merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Itu adalah pernyataan yang berbeda dari biasanya. Tidak ada yang lebih sulit baginya daripada menghadapi seseorang seperti Nathaniel, yang tak segan untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya tanpa rasa takut. Namun, ia harus tetap berpegang pada batasan yang ia buat.

“Nathaniel,” Arissa berkata dengan suara tegas, "Saya tidak akan membiarkan apa pun merusak prinsip saya. Pekerjaan ini adalah untuk kesejahteraan Anda, bukan untuk membuat kita terlibat lebih jauh. Saya harap Anda mengerti.”

Nathaniel terdiam lagi, wajahnya memancarkan ekspresi yang sulit dibaca. Sesaat, sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu lagi, namun ia menahannya. “Baiklah, Arissa,” katanya akhirnya, dengan nada yang tidak lagi mengandung paksaan. “Saya akan menghormati batas Anda. Tapi saya ingin Anda tahu bahwa saya akan kembali. Saya membutuhkan Anda.”

Arissa mengangguk, meskipun di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan, bahkan kepada dirinya sendiri. Namun, ia tahu bahwa ia harus tetap kuat dan teguh pada keputusannya. Tidak peduli seberapa sulit itu.

Setelah sesi pijat selesai, Nathaniel berdiri dan menatap Arissa dengan mata yang penuh arti. "Terima kasih, Arissa. Saya rasa ini bisa menjadi awal yang baik untuk kita berdua," katanya, suara itu lebih tenang namun penuh keyakinan.

Arissa hanya mengangguk, berusaha mengendalikan perasaan yang mulai muncul tanpa bisa ia hindari. Setelah Nathaniel pergi, ia menutup pintu dengan pelan dan bersandar sebentar di dinding.

Batas-batas yang ia buat mulai terasa semakin rapuh. Namun, ia tahu satu hal—ia harus menjaga profesionalisme, apapun yang terjadi.

Arissa berdiri sejenak di ruangan yang kini terasa sepi setelah kepergian Nathaniel. Sesaat, ia membiarkan pikirannya mengembara, mencoba menenangkan diri setelah ketegangan yang terjadi. Meskipun ia tahu bahwa ia harus menjaga jarak, rasa ingin tahu dan ketertarikan terhadap Nathaniel semakin sulit untuk dihindari. Arissa tahu dia harus tetap fokus, menjaga batas antara profesionalisme dan perasaan yang semakin berkembang.

Dia menghela napas panjang dan mulai merapikan ruangan, tapi pikirannya masih terfokus pada pertemuan tadi. Nathaniel—seorang pria yang begitu kuat dan dominan dalam dunia bisnis, namun di balik itu, ada sisi lain yang tak terungkap dengan jelas. Sisi yang mungkin, menurut Arissa, lebih manusiawi, lebih rapuh. Itu adalah sisi yang menarik dan menantangnya, tapi juga yang paling berbahaya.

Ketika pintu ruangannya terbuka beberapa detik kemudian, Arissa menoleh dan mendapati salah satu kolega kliniknya berdiri di ambang pintu.

"Ada apa, Lina?" tanya Arissa, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

Lina, seorang asisten yang bekerja di klinik, masuk sambil membawa secangkir teh hangat. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil meletakkan teh di meja.

Arissa tersenyum tipis, mencoba untuk terlihat tenang. "Ya, hanya sedikit lelah setelah sesi tadi."

Lina duduk di kursi seberang meja dan menatap Arissa dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Itu bukan klien biasa, kan? Aku dengar kamu melayani Nathaniel Alvaro. CEO Alvaro Group?"

Arissa menatapnya terkejut. "Kamu tahu?"

Lina tertawa kecil, "Seluruh kota tahu, Arissa. Siapa yang tidak mengenal Nathaniel Alvaro? Dia adalah pembicaraan utama di kalangan orang-orang kaya. Tidak heran kalau kamu merasa canggung, dia memang terkenal sulit didekati."

Arissa merasa pipinya memerah, meski ia berusaha untuk tetap tenang. "Dia hanya klien biasa," jawabnya, mencoba menepis perasaan canggung itu. "Kami hanya bekerja bersama seperti halnya terapis dengan klien lain."

Lina mengangkat alis, jelas tidak percaya. "Tentu saja. Hanya klien biasa. Tapi kamu merasa ada yang berbeda, kan? Aku bisa melihatnya di wajahmu."

Arissa menghela napas panjang. "Aku rasa kamu benar. Ada sesuatu yang berbeda tentang dia. Tapi aku harus tetap profesional. Aku tidak ingin terlibat dalam masalah pribadi atau perasaan dengan klien."

Lina menatapnya dengan serius. "Hati-hati, Arissa. Terkadang, seseorang seperti Nathaniel bisa sangat memengaruhi hidupmu tanpa kamu sadari. Banyak orang yang terjebak dalam pesona dunia bisnis dan kekuatan seperti itu."

Arissa mengangguk pelan. "Aku tahu. Aku akan berhati-hati."

Namun, dalam hati Arissa, keraguan itu masih ada. Meskipun dia berusaha menjaga jarak, entah mengapa, Nathaniel terus hadir dalam pikirannya. Sifatnya yang tenang, tapi tegas, yang penuh dengan misteri dan ketegangan, begitu berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui sebelumnya. Setiap kali ia menutup mata, gambaran wajah Nathaniel muncul, membuatnya terperangkap dalam keraguan yang lebih dalam.

Hari berikutnya, Nathaniel kembali ke klinik, seperti yang sudah ia janjikan. Arissa merasa sedikit terkejut, meskipun ia sudah tahu bahwa pria itu akan datang kembali. Pagi itu, dia menyiapkan diri untuk sesi lain dengan penuh kehati-hatian. Ia sudah bertekad untuk menjaga batas profesional dan tidak membiarkan dirinya terjebak dalam permainan emosional yang lebih dalam.

Begitu Nathaniel masuk, suasana menjadi sedikit canggung, meskipun sudah lebih familiar. Wajahnya masih terlihat lelah, namun kali ini ada perubahan kecil. Ia tidak langsung berbicara tentang pekerjaan atau tekanan bisnisnya, sebaliknya, ia lebih santai, duduk di kursi tunggu dengan sikap yang lebih kalem.

"Saya ingin berbicara sebentar, Arissa," katanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.

Arissa mengangguk, sedikit bingung, "Ada apa, Nathaniel?"

"Saya merasa ada banyak yang belum saya ungkapkan tentang diri saya," Nathaniel mulai berbicara, menatap Arissa dengan serius. "Saya tahu kita hanya bertemu dalam konteks profesional, tetapi saya ingin lebih terbuka dengan Anda. Saya mulai merasa bahwa Anda mungkin bisa membantu saya lebih dari yang saya duga."

Arissa sedikit terkejut dengan pernyataannya. "Nathaniel, kita sudah sepakat bahwa hubungan kita hanya sebatas pekerjaan. Saya hanya di sini untuk membantu Anda."

Nathaniel menghela napas, tampaknya kecewa dengan respons Arissa. "Saya tahu itu. Tapi saya juga ingin Anda tahu bahwa saya menghargai lebih dari sekadar jasa pijat Anda, Arissa. Saya merasa nyaman berada di dekat Anda, meskipun saya tahu saya tidak boleh berharap lebih."

Arissa merasa sebuah ketegangan yang mendalam antara mereka berdua. Kata-kata Nathaniel mengingatkannya pada hal-hal yang ia coba hindari—keinginan untuk terhubung lebih dalam dengan seseorang yang seharusnya tidak terlibat dalam hidupnya. Namun, di sisi lain, ia merasa simpati terhadap Nathaniel yang selalu terbebani oleh tekanan hidup dan pekerjaan.

"Saya tidak ingin membuat Anda merasa canggung, Arissa," lanjut Nathaniel, suaranya semakin lembut. "Tapi saya perlu Anda tahu, Anda berbeda dari orang lain dalam hidup saya."

Arissa menatap Nathaniel dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa ia harus tetap bertahan pada batasannya. "Saya tidak bisa terlibat lebih jauh, Nathaniel. Saya di sini untuk membantu Anda secara profesional, dan itu saja."

Nathaniel terdiam sejenak, kemudian mengangguk pelan, seolah mengerti. "Baiklah. Tapi saya ingin Anda tahu, saya sangat menghargai kehadiran Anda. Anda lebih dari sekadar seorang terapis bagi saya."

Arissa hanya bisa terdiam. Meski ia berusaha untuk menjaga jarak, ia tahu bahwa ia sudah mulai terjebak dalam perasaan yang lebih besar dari sekadar pekerjaan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 252

    "Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 251

    Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 250

    "Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 249

    "Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 248

    "Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 247: Keseimbangan Dalam Cinta

    Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status