"Kamu berani membantah perintah saya?" Rahang Bram mengeras. Menahan emosi sebab merasa tidak diharga oleh anak muda yang bekerja sebagai sopir di rumahnya. "Maaf, Pak. Bukan maksud saya membantah. Hanya saja, saya bekerja di sini pada Bu Salma dan Non Yuna. Otomatis setiap hari saya akan berinteraksi dengan putri Anda. Kalau saya harus menjauhinya, lantas bagaimana dengan pekerjaan saya?" Sadewa masih bersikap tenang."Kamu bisa mencari pekerjaan di tempat lain.""Maksud Anda saya dipecat?""Ya. Demi kebaikan putri saya, saya terpaksa memecat kamu.""Kebaikan yang mana?" Ingin sekali Sadewa bertanya seperti itu, tetapi ia urungkan sebab tidak ingin memancing emosi Bram lebih besar. "Seperti yang saya katakan tadi. Saya bekerja di sini pada Bu Salma dan Non Yuna. Jadi, hanya mereka yang berhak memecat saya."Bram cukup salut dengan keberanian Sadewa. Sebenarnya apa yang pria muda itu katakan benar. Salma dan Ayuna yang lebih berhak memberhentikan Sadewa sebab pria itu bekerja pada i
"Kamu mau melamar Ayuna?" Raga tercengang mendengar pengakuan sahabatnya. Bara memang sudah berkata padanya akan mendekati Ayuna, tetapi yang Raga kira, sahabatnya itu tidak akan langsung melamar mantan kekasihnya secepat ini. "Ya. Papanya memintaku untuk langsung melamar Ayuna dan aku setuju."Raga menggeleng lemah. "Lalu kamu pikir, Ayuna akan menerima lamaranmu?" tanyanya tak yakin. Sungguh, kabar yang ia dengar kali ini membuatnya terkejut sekaligus tak rela. "Entahlah. Tapi aku harus bergerak cepat, Ga. Kamu pasti sudah mendengar kabar tentang kedekatan Ayuna dengan sopirnya. Aku tidak ingin sopir itu mencuri start dariku." Bara terkekeh. "Gila! Aku harus bersaing dengan seorang sopir," umpatnya. "Tapi gak secepat ini juga, Bar. Aku yakin Ayuna akan syok saat tiba-tiba saja kamu membawa orang tuamu ke rumahnya untuk melamar. Dia pasti tidak siap," ujar Raga. Ah, pria itu ingin sekali berteriak agar Bara tidak melakukan apa yang diminta Bram. Jika ditanya apakah dia rela Bara
Salma menatap tajam suaminya. Wajah yang biasanya nampak tenang itu kini menunjukkan raut tak suka. Mengapa suaminya tidak mengatakan hal sepenting ini padanya? Bukankah seharusnya Bram memberitahu dirinya dan Ayuna terlebih dahulu sebelum menyetujui permintaan keluarga Bara untuk datang melamar, agar sang putri bisa mempersiapkan jawaban?Kali ini, lagi-lagi Bram membuatnya kecewa. Entah apa maksud pria itu hingga sengaja menyembunyikan niat kedatangan keluarga Bara. "Jadi bagaimana Pak Bram? Apakah putri Anda bisa menerima niat baik putra kami?" Graha memecah keheningan yang sempat terjadi beberapa saat. Tentu ia paham Ayuna pasti sangat syok dengan lamaran dadakan ini. Namun, Graha sudah terlanjur menyetujui keinginan Bara, dan keluarganya membutuhkan jawaban dari gadis itu. "Maaf sebelumnya, Pak Graha. Jujur saja kami masih syok dengan lamaran ini karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu. Sebagai orang tua, kami menyerahkan jawaban sepenuhnya pada putri kami. A
"Ayuna ...."Langkah Ayuna terhenti. Gadis yang hari itu baru saja selesai membuat konten bersama teman-temannya di pantai, tertegun mendengar suara yang sangat ia hafal memanggil namanya. Ayuna memejamkan mata. Enggan berbalik dan bertatapan dengan si empunya suara. "Bisa kita bicara sebentar?"Hening. Ketiga teman Ayuna ikut menunggu jawaban apa yang akan dilontarkan sang gadis."Mas janji tidak akan lama." Si pria tak menyerah. "Yun ....""Kalian tunggu saja di mobil."Ketiga temannya serentak mengangguk. Memberikan kesempatan pada Ayuna untuk berbicara dengan pria yang seharusnya tidak lagi menemui gadis itu sebab menurut mereka, pria yang adalah Raga, sangat tidak tahu malu. Setelah memutuskan pertunangan karena lebih memilih Anggia, tetapi masih saja mendekati Ayuna, bahkan memberi perhatian secara terang-terangan."Mau bicara di mana?" Ayuna masih belum menoleh ke arah Raga. "Bagaimana kalau kita duduk di sana saja?" Raga menunjuk sebuah bangku yang tak jauh dari kedai pen
"Apa? Kalian mau menikah?" Salma hampir memekik setelah mendengar ucapan Ayuna. Istri pertama Bram tersebut tentu saja syok dihadapkan pada kenyataan yang terlalu mendadak.Salma mengira, Ayuna dan Sadewa hanya berpura-pura menjalin hubungan untuk menunjukkan pada semua orang bahwa Ayuna sudah melupakan Raga. Namun, ternyata keduanya nampak serius bahkan sudah merencanakan pernikahan. "Iya, Nyonya. Maksud kedatangan saya malam ini adalah untuk melamar Non Yuna." Sadewa mengangguk sopan. Sebenarnya pria itu sedikit gugup berhadapan langsung dengan Salma. Berbeda dengan Bram, Sadewa lebih menyimpan rasa hormat kepada Mama dari Ayuna tersebut. "Tapi ... kenapa mendadak? Yuna ... kamu bisa menjelaskan ini sama Mama? Jadi kalian benar-benar menjalin hubungan?" cecar Salma kepada sang putri. "Iya, Ma. Maaf kalau aku gak jujur sama Mama. Aku merasa nyaman dengan Mas Dewa dan kami sudah memutuskan untuk menikah."Salma tidak tahu harus menanggapi pengakuan sang putri seperti apa. Di satu s
Bram tidak main-main dengan ancamannya. Pria beristri dua itu sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk pernikahan putri keduanya dengan Raga. Malam itu, Bram sengaja mengajak istri dan anak pertamanya, pun dengan Prita dan Anggia untuk mengunjungi rumah kedua orangtuanya, dengan tujuan memberitahu mereka bahwa pernikahan itu satu Minggu lagi akan digelar.Salma dan Ayuna datang bersama Sadewa sebagai sopir mereka, sedangkan Bram datang bersama Prita dan Anggia karena kebetulan sedang jatahnya bersama sang istri kedua. Mereka disambut oleh Brata dan Ambar dengan raut terkejut. Pasalnya, baru kali ini Bram membawa kedua istri dan anaknya berkunjung ke rumah mereka secara bersamaan. "Ada yang ingin aku sampaikan pada Papa dan Mama." Bram memulai pembicaraan setelah mereka duduk di ruang tamu rumah orang tuanya."Bicara apa? Jujur saja Papa terkejut kalian datang ke sini bersamaan." Brata memperhatikan wajah semua orang yang duduk di sana. "Apakah ada sesuatu hal yang penting?" imbu
"Bagaimana, anak muda? Apa kamu sanggup?" "Opa! Kenapa mengajukan syarat seperti itu?" Ayuna tak terima atas syarat yang diberikan opanya untuk Sadewa. Gadis itu menoleh ke arah Sadewa yang justru tetap terlihat tenang. Apa-apaan ini? Kenapa opa-nya seolah-olah ingin menggagalkan rencana pernikahannya dengan memberikan syarat yang sangat berat untuk Sadewa?"Kita ini keluarga terpandang, Ayuna. Apa kata orang-orang nanti kalau mereka tahu pernikahan cucu seorang Brata Tanujaya diselenggarakan secara sederhana?""Tapi permintaan Opa tidak masuk akal! Opa tahu kalau Mas Dewa--""Hanya seorang sopir dan dia tidak akan sanggup memenuhi syarat itu?" sela Brata. "Kalau sudah tahu seperti itu, kenapa kamu masih keukeuh ingin menikah dengannya? Bukankah kamu tahu keluarga kita sangat menjunjung tinggi status sosial seseorang?""Karena aku tidak seperti kalian," tukas Ayuna."Sayang ... sudah!" Salma mengelus lengan sang putri yang mulai terpancing emosi. Salma paham Ayuna tidak setuju deng
"Mbak Yuna dan Sadewa akan menikah dua Minggu lagi. Pernikahan kita terpaksa diundur seminggu setelahnya," terang Anggia pada kekasihnya. Mereka tengah makan malam di sebuah Resto atas permintaan sang gadis yang ingin bertemu dan berduaan dengan sang kekasih. Selain itu, Anggia juga harus menyampaikan kabar ini agar Raga tidak lagi berharap pada kakaknya.Meski pria itu tidak lagi menolak rencana pernikahan mereka, tetapi Anggia tahu, hati dan pikiran Raga masih terpusat pada Ayuna."Mas ...."Anggia mengenggam jemari Raga ketika sang pria sama sekali tidak merespon ucapannya. "Tidak apa-apa, kan kalau pernikahan kita diundur?" Raga menggeleng. Tangan yang digenggam Anggia ia tarik hingga terlepas. "Atur saja sesuka kalian. Bukankah tugasku hanya menurut saja?" jawabnya tersenyum getir. Wajah Anggia menyendu. Sikap Raga berubah semenjak pria itu mengatakan ingin memutuskan hubungan mereka, tetapi ia menolak. Tak ada lagi senyum yang terlihat di wajah tampan itu, pun dengan sikap le