"Tante senang kalian mau berkunjung ke sini untuk menjenguk Zeya." Wajah Yunita menyendu. "Anak itu tidak pernah rewel. Sepertinya dia tahu kalau ibunya sudah tiada dan tidak ingin merepotkan neneknya," lirihnya dengan menghapus air mata yang mulai menetes. "Kadang Tante sedih, Yun. Zeya tidak akan pernah mendapatkan kasih sayang dari mamanya. Anak itu sudah menjadi piatu sejak lahir. Tante takut, dia akan minder saat dewasa nanti dan melihat teman sebayanya mempunyai orang tua yang lengkap."Ayuna menghela napas berat. Ia bisa merasakan kesedihan Yunita, mengingat mamanya Raga itulah yang mengurusi Zeya sejak lahir. Kepergian Anggia bukan hanya meninggalkan kesedihan, tetapi juga tanggung jawab mengurus Zeya yang harus dijalani Yunita sebagai nenek dari bayi cantik tersebut. "Aku ngerti, Tante. Aku minta maaf karena tidak bisa membantu Tante mengurus Zeya." Ayuna melirik Sadewa yang mengelus bahunya. "Tapi aku dan Mas Dewa janji akan selalu meluangkan waktu untuk menjenguk dan mema
"Silakan diminum, Pak."Dara meletakkan secangkir teh ke atas meja di depan Sadewa. Tangan gadis itu sedikit gemetar, sebab merasa gugup dan takut rencananya akan gagal, bahkan mungkin ketahuan. "Terima kasih. Oh ya, Nenek kamu mana? Dia sudah tidur?" Mata Sadewa mengedar. Meneliti isi rumah sederhana itu yang hanya memiliki dua kamar, ruang tamu, dan satu ruangan lagi yang ia yakini adalah dapur, sebab barusan Dara muncul dari sana. "Jam segini Nenek saya sudah tidur."Sadewa mengangguk. "Bagaimana kondisinya pasca pulang dari rumah sakit?" tanyanya kemudian. "Nenek sudah baikan. Terima kasih karena Bapak sudah membayar biaya rumah sakitnya. Kami berhutang budi sama Bapak.""Tidak usah dipikirkan. Saya hanya ingin membantu kalian." Sadewa mengambil ponsel dalam saku jas. Memainkan benda tersebut seraya sesekali melirik Dara yang nampak gelisah. "Kamu kenapa? Kok saya perhatikan seperti gelisah begitu?" "Ah ... tidak. Saya hanya gerah. Oh ya, silakan diminum tehnya. Saya ke belak
"Siapa pria ini, Dara?" Galang menatap nyalang adiknya yang gemetar. Pria di samping Dara bukan Sadewa yang ia kira sudah masuk dalam perangkap, tetapi pria lain yang justru tidak ia kenal. "Nanti akan saya jelaskan. Kalian salah paham kalau mengira kami telah berbuat hal asusila di rumah ini." Raga mencoba tetap tenang. Ia sudah mengira hal seperti ini akan terjadi, sebab kakaknya Dara pasti mengira sang adik sudah berhasil menjebak Sadewa. Namun, tidak bisa Raga pungkiri bahwa ia khawatir Galang dan warga yang menyaksikan dirinya dengan Dara akan mengambil tindakan di luar prediksinya. "Mau menjelaskan apa lagi? Sudah jelas kami melihat kalian berada dalam satu kamar dan satu ranjang yang sama. Memangnya apa yang pria dan wanita lakukan berduaan di kamar semalaman kalau bukan berbuat mesum?" Salah satu warga angkat bicara. Meringsek maju dan berdiri di depan Galang. "Saya ketua RT di sini. Saya tidak ingin kompleks ini tercemar karena perbuatan mesum kalian. Saya kecewa pada And
"Aku perhatikan, dari tadi Mas diam saja. Ada apa? Masih kepikiran kejadian kemarin?" Ayuna duduk di samping Sadewa yang tersentak. Lamunan ayah dari Athalla buyar setelah mendengar suara sang istri. "Enggak, Sayang. Bukan karena itu." Sadewa mengulas senyum tipis. Matanya menatap wajah cantik sang istri dengan lekat, hingga Ayuna salah tingkah dibuatnya. "Kok ngelihatin aku gitu banget? Ada apa sih?" ujarnya sedikit gugup. Tatapan Sadewa kali ini berbeda dari biasanya. Ayuna merasa, suaminya sedang menuntut sesuatu darinya. "Tadi ... Mas melihatmu berbicara dengan Raga."Ayuna tertegun. Rupanya perubahan sikap suaminya karena itu. "Aku hanya mengucapkan terima kasih karena Mas Raga sudah dua kali menolong kita. Itu saja," jelas Ayuna. Tidak ingin menciptakan kesalahpahaman dengan Sadewa. "Ya. Mas mendengar semuanya. Tapi ... jujur saja Mas sedikit terganggu dengan tatapannya padamu. Mas bisa melihat rasa dia untukmu masih ada, bahkan mungkin masih sebesar dulu." Sadewa menghela
"Kamu benar, Karin. Sampai saat ini aku memang masih mencintai Ayuna."Pengakuan Raga terus terngiang di telinga Dara. Gadis yang saat ini sedang merebahkan diri di kamar itu merasa tidak nyaman dengan apa yang ia dengar tadi siang. Mengetahui Raga menyimpan rasa pada wanita lain, Dara sedikit tidak suka dan ingin sekali mengatakan bahwa Raga adalah pria bodoh yang masih saja menyimpan cinta untuk wanita yang sudah menjadi istri orang. "Aku kenapa, sih! Dia mau cinta sama siapapun, itu bukan urusanku! Kenapa aku jadi cemburu begini ... eh?"Dara menutup mulut. Tidak percaya dengan apa yang ia ucapkan barusan. Cemburu? Benarkah ia cemburu karena Raga masih mencintai Ayuna?"Ayolah, Dara! Jangan begini. Kamu itu hanya pembantu di sini. Tidak pantas mengharapkan Pak Raga yang sudah jelas tidak akan melirikmu!" Dara merutuki diri sendiri. Gadis itu membalikan badan hingga tengkurap dan menenggelamkan wajah pada bantal, berharap bayang wajah tampan Raga menghilang dari ingatannya. Seme
Pemakaman Prita dilaksanakan keesokkan paginya. Seluruh keluarga Tanujaya turut hadir di acara tersebut, termasuk Brata dan Ambar yang juga ikut berkabung. Mereka memang kurang menyukai sikap Prita sewaktu wanita itu menjadi menantu kedua di keluarga Tanujaya. Namun, setelah mengetahui nasib Prita setelah diceraikan Bram juga ditinggal Anggia, baik Brata maupun Ambar mulai merasa simpati, apalagi keduanya mendengar bahwa Prita sudah berubah menjadi orang yang lebih baik. "Mas ...."Salma mengelus bahu Bram yang masih berdiri di dekat makam Prita, sedangkan yang lain sudah lebih dulu pulang ke kediaman masing-masing. "Kenapa, hmm?" Bram mengusap air mata seraya menoleh ke arah sang istri. "Papa hanya sedang berpikir, Ma. Semasa hidupnya, Prita dikenal sebagai wanita jahat dan tidak berperasaan, dan itu dia lakukan semenjak menjadi istri Papa. Lalu setelah bercerai, dia mulai berubah dan memperbaiki diri hingga akhirnya Prita mendapatkan akhir hidup yang diinginkan oleh setiap manus
Athalla sudah berusia satu tahun dan mulai bisa berjalan. Bayi tampan tersebut makin aktif hingga membuat Ayuna kerap kali kewalahan menjaganya. Namun meski begitu, Ayuna senang sebab putranya tumbuh dengan normal, bahkan cenderung cepat jika dibandingkan anak seusianya yang lain. "Hari ini Athalla gak rewel?" Sadewa duduk di samping sang istri yang tengah fokus pada ponsel di tangannya. "Enggak. Cuma ya itu. Anak kamu aktif banget, Mas. Masa tadi maksa mau ngambil ikan di kolam. Bajunya basah semua deh!" Sadewa tertawa. Wajah masam sang istri malah membuatnya gemas. "Kamu juga aktif. Ya pastilah nurun sama anaknya." Ayuna mengerutkan dahi. Menoleh ke arah Sadewa dengan alis yang menukik. "Aktif gimana? Seharian aku cuma di rumah. Gak ada kegiatan lain selain ngurus Athalla."Sadewa menyeringai. Ia mengikis jarak dan berbisik di telinga sang istri. "Kalau kamu aktifnya di ranjang."Spontan Ayuna memukul bahu Sadewa hingga suaminya tersebut tergelak. "Dasar me sum!""Tapi bener
"Maaf, Pak. Bisa saya minta waktunya sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan sama Bapak."Raga meletakkan ponsel yang sejak tadi menjadi fokusnya ke atas meja. Matanya menatap lekat pada Dara yang berdiri dan menunduk di depannya."Duduklah. Apa yang ingin kamu bicarakan? Sepertinya penting sekali."Dara mengambil tempat duduk berseberangan dengan Raga. Mengambil napas dan menghembuskannya perlahan sebelum mengatakan apa yang selama beberapa hari ini sudah ia pikirkan dengan matang."Saya ... saya mau berhenti, Pak. Maaf, saya tidak bisa bekerja di sini lagi," ujarnya dengan menunduk. Tak kuasa bertatapan dengan pria yang sudah berhasil menempati hatinya."Kenapa?" Raga jelas terkejut mendengar ucapan Dara. Pria itu merasa selama ini ia dan keluarganya sudah memperlakukan gadis itu dengan baik, bahkan akhir-akhir ini Zeya makin dekat dengan Dara.Putri Raga yang sudah berusia dua tahun itu selalu menemani Dara jika gadis itu sedang sibuk membereskan rumah. Bahkan, Zeya tidak mau makan