Share

Bab 14

Aku kembali melanjutkan aktifitas seperti biasa, setelah aku menghabiskan satu hari penuh bersama Lucas. Aku tetap merasa lelah walaupun sudah libur, karena Lucas tentunya. Jika saja ia tidak memaksa untuk di temani berkeliling Bali, maka aku tidak akan selelah ini. Tapi aku tetap menikmatinya.

Keuntungan bekerja di resort, aku tidak perlu menyibukkan diriku untuk menyiapkan buffet breakfast yang selalu ada di setiap city hotel. Bisa di bilang pekerjaanku cukup santai, walaupun tanggunng jawab yang kumiliki cukup besar karena aku yang mengepalai restoran di resort ini.

Jabatanku hanya sementara, aku melamar sebagai asisten manajer di resort ini, tapi selang beberapa hari aku bekerja di sini, manajer restoran ini mengundurkan diri. Dan karena belum ada penggantinya, maka aku sementara menjadi manajer restoran di resort ini.

Sejauh ini aku bekerja, tak ada kesulitan yang berarti kecuali mengenakan seragam. Karena konsep resort ini sendiri sangat kental budaya Bali, maka seragam yang kami kenakan pun di sesuaikan dengan konsep resort ini sendiri. Yaitu, kebaya Bali berwarna putih dan kain kamen sebagai bawahannya.

Aku terbiasa mengenakan celana ketika bekerja, jadi ketika pertama kali mengenakan seragam di sini, aku sangat canggung. Tapi sekarang aku mulai terbiasa, aku malah merasa bertambah anggun ketika mengenakan seragam ini. Pemikiran acak saja sebenarnya, tapi aku merasa seperti itu.

Kebaya itu sendiri sangat sederhana dengan bordiran bunga berwarna emas di bahu sebelah kiri, ada juga sabuk yang di ikatkan di pinggang. Terkadang aku mengganti sabuk dengan selendang, kain kamen yang menjadi bawahan juga semakin menambah kesan anggunnya wanita Bali, walaupun terkadang kain tersebut sedikit menyulitkanku untuk melangkah. Kain kamen itu sendiri memiliki panjang satu jengkal di atas pergelangan kaki, dan kebaya yang juga berlengan panjang.

Oh, dan jangan lupakan rambut yang selalu di sanggul rapi keatas. Semua hal itu mampu membuatku merasa sudah sangat mirip dengan gadis Bali lainnya. Terkadang aku berinisiatif dengan menyuruh karyawan wanitaku untuk menyematkan bunga kemboja putih di telinga masing-masing.

“Mbak, set up lunch hari ini udah selesai, ya. Tinggal eksekusi aja,” ucap Emi.

Aku tersenyum dan mengacungkan kedua jempolku pada Emi, dia gadis dari Bandung yang menyelesaikan kuliah pariwisatanya di Bali, dan ia baru saja lulus kuliah dan melamar bekerja di Kayon resort ini.

Emi termasuk cepat menyesuaikan diri di sini, dia juga gadis yang sederhana dan tak neko-neko. Wajar saja nilai kuliahnya sangat bagus, dan ketika wawancara ia juga sangat profesional. Aku berjalan mengikutinya untuk memeriksa yang ia kerjakan. Well, menurutku pekerjaannya selalu selesai dengan baik. Aku biasanya hanya tinggal menyempurnakan beberapa bagian saja.

“Van, meja yang di reservasi buat sore ini di canyon jetty udah siap?”

Itu Gita, senior yang sudah dua tahun bekerja di sini. Seharusnya ia bisa saja di promosikan untuk jabatan manajer restoran di sini, tapi entah karena alasan apa ia menolaknya. Padahal ia merupakan kandidat yang sangat cocok, selain itu ia sudah lama bekerja di sini sehingga pasti lebih mengenali seluk beluk resort ini.

Mbak Gita asli orang Bali, tapi entah kenapa ketika ia berbicara tak ada logat Bali dalam suaranya. Dan ia juga sangat cantik, bahkan tanpa perlu di ingatkan ia sudah sangat cantik. Kulitnya sawo matang, sangat eksotis dan juga sangat khas wanita Bali. Aku bahkan sulit untuk mendeskripsikan wajah indahnya itu dengan kata-kata. Jika kalian menganggap aku berlebihan, maka aku tak peduli karena memang itu kenyataannya.

“Udah semua, Mbak. Tinggal nunggu tamunya datang, cuaca juga cukup cerah,” ucapku.

Gita hanya menganggukkan kepalanya mengerti. “Kamu standby di canyon jetty, ya? Soalnya si Viki tiba-tiba izin dan kita kayaknya juga kekurangan orang buat hari ini.”

“Inilah alasan kenapa Mbak Gita itu harus ngambil tawaran buat jadi manajer itu, ya kan, Mi?” tanyaku pada Emi. Aku sering mengatakan hal ini, yang tak pernah di gubris oleh Mbak Gita.

Aku mencoba meminta dukungan Emi agar Mbak Gita ini mau menerima tawaran itu dan agar aku bisa kembali ke posisiku. Jabatan manajer itu terlalu tinggi untukku, dan juga tanggung jawabnya besar.

“Aku dukung kalian berdua kalau memang harus bersaing, asal jangan ‘si uler’ itu yang jadi manajer, bisa hancur kita,” ucap Emi. Ia tersenyum misterius.

Aku mengiyakan ucapan Emi, ‘si uler’ itu memang berbahaya. Aku lebih mendukung Mbak Gita. Dan akan kuceritakan tentang ‘si uler’ ini lain kali. Karena aku harus kembali bekerja, di banding menceritakan orang tak penting ini yang hanya akan membuang waktu berhargaku.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status