Aku kembali melanjutkan aktifitas seperti biasa, setelah aku menghabiskan satu hari penuh bersama Lucas. Aku tetap merasa lelah walaupun sudah libur, karena Lucas tentunya. Jika saja ia tidak memaksa untuk di temani berkeliling Bali, maka aku tidak akan selelah ini. Tapi aku tetap menikmatinya.
Keuntungan bekerja di resort, aku tidak perlu menyibukkan diriku untuk menyiapkan buffet breakfast yang selalu ada di setiap city hotel. Bisa di bilang pekerjaanku cukup santai, walaupun tanggunng jawab yang kumiliki cukup besar karena aku yang mengepalai restoran di resort ini.
Jabatanku hanya sementara, aku melamar sebagai asisten manajer di resort ini, tapi selang beberapa hari aku bekerja di sini, manajer restoran ini mengundurkan diri. Dan karena belum ada penggantinya, maka aku sementara menjadi manajer restoran di resort ini.
Sejauh ini aku bekerja, tak ada kesulitan yang berarti kecuali mengenakan seragam. Karena konsep resort ini sendiri sangat kental budaya Bali, maka seragam yang kami kenakan pun di sesuaikan dengan konsep resort ini sendiri. Yaitu, kebaya Bali berwarna putih dan kain kamen sebagai bawahannya.
Aku terbiasa mengenakan celana ketika bekerja, jadi ketika pertama kali mengenakan seragam di sini, aku sangat canggung. Tapi sekarang aku mulai terbiasa, aku malah merasa bertambah anggun ketika mengenakan seragam ini. Pemikiran acak saja sebenarnya, tapi aku merasa seperti itu.
Kebaya itu sendiri sangat sederhana dengan bordiran bunga berwarna emas di bahu sebelah kiri, ada juga sabuk yang di ikatkan di pinggang. Terkadang aku mengganti sabuk dengan selendang, kain kamen yang menjadi bawahan juga semakin menambah kesan anggunnya wanita Bali, walaupun terkadang kain tersebut sedikit menyulitkanku untuk melangkah. Kain kamen itu sendiri memiliki panjang satu jengkal di atas pergelangan kaki, dan kebaya yang juga berlengan panjang.
Oh, dan jangan lupakan rambut yang selalu di sanggul rapi keatas. Semua hal itu mampu membuatku merasa sudah sangat mirip dengan gadis Bali lainnya. Terkadang aku berinisiatif dengan menyuruh karyawan wanitaku untuk menyematkan bunga kemboja putih di telinga masing-masing.
“Mbak, set up lunch hari ini udah selesai, ya. Tinggal eksekusi aja,” ucap Emi.
Aku tersenyum dan mengacungkan kedua jempolku pada Emi, dia gadis dari Bandung yang menyelesaikan kuliah pariwisatanya di Bali, dan ia baru saja lulus kuliah dan melamar bekerja di Kayon resort ini.
Emi termasuk cepat menyesuaikan diri di sini, dia juga gadis yang sederhana dan tak neko-neko. Wajar saja nilai kuliahnya sangat bagus, dan ketika wawancara ia juga sangat profesional. Aku berjalan mengikutinya untuk memeriksa yang ia kerjakan. Well, menurutku pekerjaannya selalu selesai dengan baik. Aku biasanya hanya tinggal menyempurnakan beberapa bagian saja.
“Van, meja yang di reservasi buat sore ini di canyon jetty udah siap?”
Itu Gita, senior yang sudah dua tahun bekerja di sini. Seharusnya ia bisa saja di promosikan untuk jabatan manajer restoran di sini, tapi entah karena alasan apa ia menolaknya. Padahal ia merupakan kandidat yang sangat cocok, selain itu ia sudah lama bekerja di sini sehingga pasti lebih mengenali seluk beluk resort ini.
Mbak Gita asli orang Bali, tapi entah kenapa ketika ia berbicara tak ada logat Bali dalam suaranya. Dan ia juga sangat cantik, bahkan tanpa perlu di ingatkan ia sudah sangat cantik. Kulitnya sawo matang, sangat eksotis dan juga sangat khas wanita Bali. Aku bahkan sulit untuk mendeskripsikan wajah indahnya itu dengan kata-kata. Jika kalian menganggap aku berlebihan, maka aku tak peduli karena memang itu kenyataannya.
“Udah semua, Mbak. Tinggal nunggu tamunya datang, cuaca juga cukup cerah,” ucapku.
Gita hanya menganggukkan kepalanya mengerti. “Kamu standby di canyon jetty, ya? Soalnya si Viki tiba-tiba izin dan kita kayaknya juga kekurangan orang buat hari ini.”
“Inilah alasan kenapa Mbak Gita itu harus ngambil tawaran buat jadi manajer itu, ya kan, Mi?” tanyaku pada Emi. Aku sering mengatakan hal ini, yang tak pernah di gubris oleh Mbak Gita.
Aku mencoba meminta dukungan Emi agar Mbak Gita ini mau menerima tawaran itu dan agar aku bisa kembali ke posisiku. Jabatan manajer itu terlalu tinggi untukku, dan juga tanggung jawabnya besar.
“Aku dukung kalian berdua kalau memang harus bersaing, asal jangan ‘si uler’ itu yang jadi manajer, bisa hancur kita,” ucap Emi. Ia tersenyum misterius.
Aku mengiyakan ucapan Emi, ‘si uler’ itu memang berbahaya. Aku lebih mendukung Mbak Gita. Dan akan kuceritakan tentang ‘si uler’ ini lain kali. Karena aku harus kembali bekerja, di banding menceritakan orang tak penting ini yang hanya akan membuang waktu berhargaku.
**
Canyon jetty ini adalah salah satu dek yang ada di kanyon resort. Letaknya di tepi sungai dengan suara alami air terjun yang akan menemani para tamu yang akan menikmati hidangan di dek ini. Canyon jetty ini juga digunakan untuk mereka yang ingin melakukan yoga. Suasana yang di ciptakan sangat menenangkan jiwa, mampu menyembuhkan pikiran yang sedang stres.Aku juga termasuk salah satunya. Biasanya aku akan berlama-lama menatap air terjun itu sembari mendengarkan suara gemericik air yang turun lalu menghantam bebatuan yang ada di dasar. Suasana itu memang sangat menenangkan.Canyon jetty hanya dibuka untuk makan siang dari pukul sebelas siang, sampai pukul lima sore. Untuk mereka yang ingin menikmati kopi dan teh sorenya, sangat di rekomendasikan tempat ini.Saat ini aku sedang menunggu tamu yang sudah mereservasi meja di canyon jetty, dari yang aku dengar mereka adalah pasangan. Dan mereka mengharapkan makan siang yang romantis di sini. Terkadang aku merasa seperti miris dengan diriku
Aku masih bisa mengingat dengan jelas pria yang waktu itu tiba-tiba mencurahkan isi hatinya padaku, bahwa dia baru saja di putuskan oleh tunangannya. Sudah satu minggu berlalu, tapi aku bisa mengingatnya. Aku bahkan menceritakan hal itu pada Mbak Gita dan juga Emi. Mereka hanya tertawa. Tapi aku tetap mendapatkan tip yang ia janjikan.Aku sebenarnya sudah menolaknya, aku tak ingin mengambil kesempatan ketika orang tersebut sedang menghadapi masalah. Tapi ternyata ia memaksa, dan berterima kasih sudah menemaninya. Padahal bisa di bilang aku tak melakukan apapun, aku hanya berdiri di belakangnya sampai ia memutuskan untuk pergi.Harapanku hanya satu, semoga dia bisa segera lepas dari semua permasalahnnya. Dia terlihat seperti pria baik, walaupun senyumnya tak pernah terlihat bahkan sampai ia pergi.“Jadi, Mbak gak minta nomor hape cowok itu? Padahal lumayan, kan dia lagi butuh hiburan gitu,” ucap Emi. Ia adalah orang yang paling heboh merespon ceritaku. Ia juga sampai menyusun skenario a
Setelah mengeluarkan kemampuan mengebutku yang sangat payah, aku berhasil sampai di Kuta tepat pada pukul lima kurang sepuluh menit. Aku memarkirkan motor yang yang kugunakan sedikit asal, pasti ada tukang parkir yang akan mengaturnya nanti. Karena efek buru-buru itu, aku bahkan masih mengenakan kebaya dan juga kain kamen, dan tak lupa sepatu fantofel yang ada di genggaman tanganku, yang kulepas agar bisa merasakan pasir pantai ini. Aku sangat salah kostum datang ke pantai ini, aku bahkan bisa merasakan mata dari para turis yang memandangku, tapi aku tidak peduli. Aku hanya terus berjalan menuju spot yang bisa melihat matahari terbenam dengan jelas. Setelah menemukannya, aku hanya terus berdiri, sangat tidak memungkinkan untukku duduk di pasir dengan kain ini. Walaupun kaki ini sedikit keram, tapi tak masalah, karena aku sangat mencintai pantai, matahari terbit dan juga matahari terbenam. Hanya beberapa menit, dan perlahan matahari itu mulai turun dengan cahaya oranye yang sangat in
Aku melewati meja resepsionis ketika selesai mengantar pesanan tamu, aku hendak bersiap pulang karena jam kerjaku sudah selesai. “Van…” Suara panggilan dari Ismi, salah satu resepsionis yang bertugas sore ini menghentikanku. Aku menghampirinya, “Kenapa?” “Ada yang nyariin kamu, katanya dia temen kamu,” ucap Ismi sembari menunjuk orang yang di maksud, orang itu duduk di sofa yang membelakangi meja resepsionis. “Tamu di sini?” Aku bertanya lagi. “Iya, dia baru aja check-in, katanya sebelum ke villanya dia mau ketemu kamu dulu.” Aku hanya menganggukkan kepala dan berterima kasih pada Ismi. Aku segera menghampiri orang itu. Setahuku, aku tak memiliki teman di Bali kecuali rekan kerjaku. Apa mungkin itu Lucas? Dia kemarin berjanji akan berkunjung lagi ketika cutinya sudah di terima oleh Pak Robert. Atau yang lebih buruknya, itu Ritchie atau Tio. Aku mendekatinya dengan perlahan, untuk memastikan siapa pria ini, “Permisi.” Pria itu mendongakkan wajahnya, dan ini adalah wajah yang ku
Namanya Clarissa, ingat sesuatu? Ya, namanya sama seperti temanku di Batam, tapi percayalah mereka hanya berbagi nama yang sama, dan mungkin sifat yang sama juga. Dia cantik—ini jujur—dan umurnya itu sudah dua sembilan, lebih muda sedikit dari Mbak Gita, tapi ia sama sekali tak sedewasa Mbak Gita. Masalah dia cantik, aku harus jujur, karena dia memang cantik. Kulitnya kuning langsat, dan dia asli orang Bali. Dari cerita yang kudengar, orang tuanya cukup berada, ia bahkan alumni salah satu kampus bergengsi di Australia, lalu aku sangat penasaran kenapa sifatnya tak mencerminkan pendidikannya. Mungkin, masalahnya memang ada pada wanita itu sendiri. Pertama kali aku melamar di resort ini, aku memang melamar sebagai asisten manajer karena memang bagian itu yang kosong. Aku lolos dalam semua tes yang di lakukan oleh personalia, lalu aku resmi menjadi karyawan di sini. Sejak awal Clarrisa memang tak menyukaiku dan aku tak tahu awal permasalahan kami dari mana. Yang aku tahu, aku melakukan
“Mbak Vania!”Aku mengalihkan pandanganku pada sumber suara yang meneriakiku, padahal ia tahu ini restoran. Beruntung para tamu baru menyelesaikan makan siangnya, sehingga restoran sepi.Galang terlihat mengatur napasnya yang ngos-ngosan itu. Aku sudah menatapnya dengan garang siap untuk melayangkan omelan. Galang ini termasuk salah satu waiter selain Viki, dan ia hari ini bertugas di room service.“Mbak, maafin aku,” ucap Galang. Napasnya sangat ngos-ngosan, aku bahkan bisa merasakan rasa lelahnya.“Kamu memang harusnya minta maaf. Ini restoran dan kamu berteriak gak pada tempatnya! Lain kali jangan di ulangi,” omelku.“Bu—bukan itu, Mbak.”“Jadi kamu gak akan minta maaf karena teriak-teriak di restoran?” tanyaku.Aku melipat tanganku di dada, menantinya berbicara. Aku tidak bermaksud kejam, tapi menjadi seorang pemimpin harus tegas, kan? Ketika di luar pekerjaan aku tak akan melakukan hal ini. Aku cukup profesional untuk membedakan urusan pekerjaan dan pribadi.“Itu juga aku minta m
Ubud Palace atau yang biasa dikenal dengan Puri Saren Agung adalah istana yang menjadi tempat tinggal para raja dahulu. Bangunan ini kental akan seni dan budaya Bali. Selama tahun 1930-an Bali menjadi saksi bisu gelombang pengunjung luar negeri yang signifikan. Gelombang wisata pertama di fokuskan di Ubud di bawah kepemimpinan Tjokorde Gede Agung Sukawati yang sangat mahir berbahasa Inggris dan Belanda. Ia juga lah yang berinisiatif mengundang komposer artis terkenal Walter Spies untuk tinggal dan bekerja di Ubud. Lalu setelahnya beberapa seniman asing seperti Rudolf Bonnet dan Willem Hofker mulai bergabung untuk menghadirkan seni lukis modern. Mulailah kabar tentang keindahan Ubud yang mempesona menyebar dan menjadi tuan rumah dari wajah-wajah terkenal seperti Noël Coward, Charlie Chaplin, H.G Wells dan antropolog terkenal Margaret Mead. Pada tahun 1936, asosiasi pelukis yang di namai Pita Maha mulai terbentuk, hasil kolaborasi antara Tjokorde Gede Agung, Walter Spies, Rudolf Bonnet
Apa kalian pernah merasakan ingin membenci seseorang, tapi berakhir dengan meragukan perasaan tersebut? Aku sedang merasakan hal tersebut. Aku sangat ingin membenci Erlangga, tapi sepertinya aku harus menjadi orang munafik ketika bersamanya. Apa kalian tahu isi perbincangan kami di warung makan tadi? Aku tak ingin menceritakan hal ini sebenarnya, tapi aku ingin berbagi dengan orang lain. Jika Lucas ada bersamaku sekarang, maka aku akan dengan semangat menceritakan hal ini. “Aku tertarik padamu,” ucapnya. Tanpa kalimat pembukaan, atau setidaknya ia harus mengawalinya dengan sesuatu yang lebih lembut. “Lalu?” Aku membalasnya dengan tak kalah sarkas. “Kamu tak memiliki reaksi lain?” Aku mengangkat alis, kali ini benar-benar tak mengerti dengan jalan pikirannya. Aku bahkan tak tahu harus membalasnya seperti apa. “Aku benar-benar serius,” lanjutnya. Raut wajahnya memang menunjukkan keseriusan, tapi apa aku harus percaya? “Itu alasan kamu minta nomor aku secara paksa ke Galang?” “Kare