Accueil / Romansa / Pilihan Untuk Menjadi Baik / orang bodoh dengan mulut pedasnya

Share

orang bodoh dengan mulut pedasnya

Auteur: Gray
last update Dernière mise à jour: 2025-10-01 13:28:25

Aku mengangkat sedikit kepalaku, terbangun dari tidur yang cukup lelap. Pandanganku yang masih dipenuhi rasa kantuk perlahan mulai terasa lebih jelas. Kulirik sekeliling, ternyata semua orang di kelas sudah pergi. Mungkin sekarang memang sudah jam istirahat.

Jam dinding menunjukan pukul 10.30. Sepertinya aku benar-benar tidur cukup lama. Kedua tanganku kuangkat tinggi-tinggi, mencoba merenggangkan otot-otot yang kaku agar sedikit lebih reda.

“Pergi ke kantin sepertinya tidak buruk,” gumamku pelan.

Langkah kakiku menapaki permukaan lantai kelas yang kotor dan menjijikkan. Setiap kali aku melangkah, terdengar suara gesekan dari tanah kering yang menumpuk di sudut-sudut lantai. Aku sempat melirik ke arah kelas lain; mereka terlihat jauh lebih bersih, nyaman, dan enak dipandang—sangat berbeda dengan kelasku yang suram.

Suasana jam istirahat di luar begitu riuh. Semua siswa saling menyapa, tertawa, berkumpul untuk membagikan cerita, bahkan bermain dengan riang. Aku hanya bisa menatap pemandangan itu dari kejauhan. Rasanya mustahil bagiku untuk bisa mendapatkan semua itu.

Dari sudut pandangku, aku melihat seseorang dengan rambut keperakan berjalan di antara kerumunan gadis-gadis yang tengah asyik membicarakan gosip. Samar-samar aku mendengar bisikan mereka.

“Lihat orang aneh itu,” ucap salah seorang gadis pelan, sambil melirik ke arah laki-laki berambut keperakan.

“Bukankah dia dari kelas F?” tanya temannya yang berdiri di sebelahnya.

“Benar. Mereka hanyalah anak buangan yang bodoh. Sebaiknya kita nggak usah dekat-dekat dengannya,” timpal gadis lain dengan nada meremehkan, disertai tatapan tajam yang menusuk ke arah laki-laki itu.

Namun laki-laki itu sama sekali tidak peduli, meski jelas ia mendengar apa yang mereka katakan. Ia hanya melirik sekilas ke arah gerombolan gadis itu, seakan-akan tatapan matanya saja sudah cukup untuk membuat mereka gelisah.

“Dia melihat kita. Sebaiknya kita segera pergi,” ucap salah satu gadis panik, lalu buru-buru mendorong teman-temannya menjauh.

Aku sendiri tidak berencana ikut campur. Lebih baik aku segera menuju kantin.

Begitu masuk, suasana di sana sangat ramai. Gerombolan siswa saling dorong-mendorong, berebut agar pesanan mereka bisa lebih cepat dilayani. Namun sesuatu yang aneh terjadi. Saat aku tiba di ambang pintu, keramaian itu mendadak senyap. Semua siswa yang sebelumnya berisik tiba-tiba mematung, menatapku seolah-olah aku adalah iblis yang siap memangsa mereka. Perlahan, mereka menyingkir, menciptakan celah sempit bagiku untuk lewat.

Padahal aku hanya ingin ikut mengantri seperti mereka. Tapi karena mereka sudah memberi jalan, bukankah lebih baik aku memanfaatkan kesempatan yang datang begitu saja?

Aku melangkah melewati celah kerumunan itu. Namun tiba-tiba, seseorang menyenggol bahuku cukup keras. Refleks aku berhenti, mencari siapa yang berani melakukannya. Tatapanku menyapu kerumunan tajam, membuat tidak ada seorang pun yang berani menatap balik ke arahku.

“Siapa tadi yang menyenggolku?!” bentakku lantang.

Suasana kantin mendadak makin tegang. Lalu, seorang siswa bertubuh gemuk dengan wajah pucat mengangkat tangannya perlahan, hampir ragu.

“M-maaf! Aku tidak sengaja melakukannya!” ujarnya tergagap sambil membungkukkan badan dengan ketakutan.

“Cepat pergi dari hadapanku!” sergahku, membuatnya terkejut dan semakin gemetar.

Kemudian pandanganku menyusuri setiap sudut meja kantin, meneliti berbagai jenis makanan yang tertata rapi. Ada nasi kotak, gorengan berminyak yang masih mengepulkan asap, mi instan hangat dalam mangkuk plastik, dan beberapa kue basah berwarna pucat yang tidak terlalu menggugah selera. Namun, aku tidak ingin ribet. Tanganku meraih dua bungkus roti isi yang terlihat sederhana.

Dengan langkah pelan, aku mendekati meja kasir. Di sana berdiri seorang wanita muda, penjaga kantin, yang sepertinya baru saja lulus sekolah menengah. Aku bisa melihat jelas bagaimana matanya sedikit bergetar ketika menatapku. Senyumnya kaku, bahkan hampir tidak ada. Dari cara ia menunduk, aku tahu kalau rumor tentang diriku sudah menjalar ke setiap sudut sekolah ini.

“K-kau tidak perlu membayarnya…” katanya lirih, suaranya bergetar seolah takut aku akan marah jika ia memungut biaya.

Kata-kata itu membuat dadaku sesaat terasa sesak. Ingatanku melayang ke masa lalu. Dulu, setiap kali aku mengambil makanan di kantin, aku tidak pernah membayar sepeser pun. Entah karena gengsi, atau sekadar ingin membuktikan bahwa aku berbeda dari yang lain. Namun sekarang, rasa bersalah itu mulai menumpuk, perlahan menyadarkanku. Ada sesuatu yang menekan di dalam hati—penyesalan.

Aku merogoh saku celanaku, mengambil beberapa lembar uang. Dengan datar, aku meletakkannya di meja kasir.

“Aku akan membayar,” ucapku singkat.

Wanita itu terkejut, menatapku seolah tak percaya. Aku sengaja meninggalkan uang lebih, jumlah yang mungkin bisa menebus kesalahan di masa lalu. Atau mungkin tidak. Aku sendiri tidak yakin.

Tanganku meraih dua bungkus roti itu, lalu berbalik meninggalkan meja kasir. Aku bisa merasakan tatapan orang-orang yang masih bertahan di kantin. Mereka tidak lagi berbisik, tetapi tatapan mata mereka sudah cukup jelas menyampaikan apa yang ada di dalam pikiran mereka: rasa takut, rasa heran, dan juga rasa ingin tahu yang terbungkus jadi satu.

Aku berjalan menuju salah satu meja kosong di sudut kantin. Tempat itu memang selalu dibiarkan kosong, seolah sudah menjadi wilayahku. Tidak ada yang berani duduk di sana, bahkan ketika kantin penuh sesak sekalipun. Duduk sendirian sudah menjadi kebiasaanku. Aku membuka bungkusan roti pertama, mengunyah perlahan. Rasanya hambar, entah karena memang kualitasnya buruk atau karena pikiranku terlalu penuh.

Suara riuh rendah kantin kembali terdengar setelah beberapa menit. Seakan-akan kehadiranku sudah dianggap sebagai bagian dari latar belakang saja. Namun tetap, aku tahu bahwa semua orang masih memperhatikanku diam-diam.

“Kenapa mereka begitu takut padaku?” bisikku dalam hati.

Aku mencoba mencari jawaban. Apakah hanya karena aku berbeda? Karena aku dari kelas F? Atau karena gosip-gosip yang mereka buat sendiri, tanpa pernah benar-benar mengenalku? Semua pertanyaan itu tidak ada jawabannya, hanya menyisakan keheningan di kepalaku.

Setelah menyelesaikan roti pertama, aku membuka bungkusan kedua. Namun, kali ini aku tidak langsung memakannya. Aku terdiam cukup lama, menatap roti itu seakan ada sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar makanan. Entah kenapa, aku merasa lelah. Lelah dengan semua bisikan, semua tatapan, dan semua jarak yang tercipta antara diriku dan mereka.

Suasana kantin yang semula riuh tiba-tiba pecah oleh suara tawa keras dari salah satu meja yang dipenuhi siswa populer. Mereka bercanda, saling lempar cerita, bahkan tidak peduli dengan kehadiranku. Di satu sisi, aku merasa lega karena setidaknya perhatian mereka tidak lagi tertuju padaku. Namun di sisi lain, aku merasa semakin jelas betapa jauhnya aku dari dunia mereka.

Aku menunduk, menggenggam roti kedua erat-erat. Sebuah pikiran terlintas: mungkin aku tidak akan pernah benar-benar menjadi bagian dari keramaian ini. Mungkin aku memang ditakdirkan untuk selalu berada di luar lingkaran, berjalan sendirian di antara kerumunan.

Aku menghela napas panjang, lalu akhirnya menggigit roti itu. Kali ini aku mencoba mengunyah dengan perlahan, berusaha mengabaikan semua yang ada di sekitarku. Biarlah dunia mereka tetap seperti itu, dan biarlah duniaku tetap sunyi.

Sisa uang di saku masih terasa berat, meski jumlahnya tidak banyak. Namun entah kenapa, uang yang tadi kutinggalkan di meja kasir terasa lebih ringan daripada yang kusimpan. Ada sedikit kelegaan, meskipun aku tidak yakin itu cukup untuk menebus kesalahan masa lalu.

Selesai makan, aku bangkit dari tempat duduk. Sekali lagi, kerumunan seakan membelah, menciptakan jalan kecil bagiku untuk lewat. Aku berjalan lurus tanpa menoleh, tanpa menanggapi tatapan-tatapan yang menusuk dari berbagai arah.

Setelah keluar dari kantin, sinar matahari siang menampar wajahku. Aku menutup mata sejenak, membiarkan cahaya itu menyusup masuk, seakan ingin menghapus bayangan kelam yang terus mengikuti langkahku. Tapi aku tahu, cahaya sekalipun tidak bisa sepenuhnya mengusir kegelapan yang ada di dalam diriku.

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah yang sepi, meninggalkan kantin dan keramaian di belakang. Langkahku terdengar jelas memantul di dinding-dinding kusam. Mungkin hari ini tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hanya ada aku, kesepian, dan cerita yang tidak pernah benar-benar dimengerti oleh siapa pun.

Namun entah mengapa, setelah membayar untuk pertama kalinya, ada perasaan kecil yang berbeda. Tipis, nyaris tidak terasa, tapi cukup untuk membuatku berpikir: mungkin masih ada jalan lain yang bisa kuambil.

Atau mungkin itu hanya ilusi.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   kebiasaan buruk

    aku melemparkan tasku ke arah ranjang, di dalam hatiku masih ada sisa rasa sesak yang menggantung. aku fokus menatap lurus ke arah cermin dengan pandangan kosong. di sana diriku seolah mengejek agar terus mengulangi perbuatan bodoh. namun semakin aku fokus menatap cermin, rasa kesal mulai menyelubungi hati yang gelap ini. rasanya ingin memukul cermin itu agar bisa menenangkan meski ini tidak mungkin. kepalan tangan hampir saja ku layangkan ke arah cermin... namun aku teringat bibi, karena itu aku sadar bahwa hal ini hanya akan menambah masalah. "sebaiknya aku pergi saja..." gumamku tanpa sadar. namun saat aku mencoba merenung tidak ada yang bisa kulakukan lagi. aku sudah berniat untuk pergi setelah hampir saja memecahkan cermin di kamarku untuk kesekian kalinya. tanpa berlama-lama aku segera berdiri dari ranjangku—segera setelah itu Hoodie yang menggantung di gantungan ku raih. aku mengenakannya dengan cepat lalu segera keluar rumah dengan hati-hati meski di dada ini ada hal yan

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   sekali lagi aku mengecewakan mereka

    Hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu jalan di sekitar rumah mulai menyala, memantulkan cahaya kuning pucat yang menyerupai warna luka di tubuhku. Setiap langkah yang kuambil terasa berat. Setiap napas yang kutarik membuat dada terasa sesak. Di beberapa bagian tubuhku masih ada luka akibat pertarungan tadi; memar di bahu, goresan panjang di lengan, dan darah yang sudah mulai mengering di ujung bibir. Aku bahkan ragu jika harus pulang ke rumah paman dan bibi dalam keadaan seperti ini.Aku berdiri di depan rumah. Rumah itu terlihat hangat dari luar; jendela-jendela memancarkan cahaya lampu yang lembut, suara televisi samar terdengar dari dalam. Semua itu seolah menunjukkan kehidupan yang normal dan tenang—sesuatu yang terasa jauh dari diriku. Aku menatap pintu depan dengan pandangan kosong, keraguan tak kunjung reda.Apa aku harus kembali?Mengapa aku harus kembali jika diriku yang bobrok ini selalu saja berkelahi?Mengapa aku harus membuat mereka kecewa lagi?Aku menarik napas panjang. H

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   bersiap untuk situasi mendatang

    Setelah keributan yang terjadi tadi, aku bergegas menuju kamar mandi. Cermin besar di hadapanku memperlihatkan sosokku sendiri—berantakan, keringat bercampur dengan bercak darah yang masih menempel di wajah dan leher. Beberapa bagian seragamku robek, garis merah tipis terlihat di kulit lengan dan pipiku. Luka-luka kecil, tapi cukup mencolok.Air mengalir deras dari keran, menetes ke bak wastafel yang dingin. Aku membasuh wajahku berkali-kali, mencoba menghapus jejak pertarungan tadi. Bau logam dari darah masih samar tercium. Sambil menunduk, aku berbisik pelan, seolah menegaskan sesuatu pada diriku sendiri.“Akan ada dua hal yang pasti datang… Mereka akan mengadu ke para guru, atau saat pulang sekolah nanti, mereka akan mengeroyokku.”Aku menghela napas panjang. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa rasa takut yang berlebihan, hanya sebuah kesadaran yang dingin. Aku sudah cukup tahu cara orang-orang itu bergerak. Mereka tidak akan membiarkan harga diri mereka jatuh tanpa balasan.

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   terulang kembali

    Sebelum bel istirahat berdering, menandakan waktu istirahat hampir usai, aku berniat kembali ke kelasku. Perlahan aku meninggalkan keramaian kantin, kedua tangan kuselipkan ke dalam saku celana. Langkahku pelan, pikiran masih berputar tentang roti yang baru saja kubayar dan tatapan-tatapan yang menyisakan rasa aneh di dada. Tiba-tiba, langkahku terhenti tepat di sebelah lorong. Dari celah pintu terdengar suara keributan—teriakan, ejekan, dan suara dentingan yang membuat punggungku merinding. Rasa penasaran menarikku. Tanpa basa-basi, aku berjalan ke sumber suara itu. Di depanku terlihat kerumunan siswa laki-laki. Lencana mereka menunjukkan kelas A; rapi, seragam disetrika, wangi parfum yang menempel saat jarak mereka semakin dekat. Mereka memang dikenal—cerdas, populer, dan arogan. Sejenak aku berniat menghindar, tapi sesuatu menyentak di dalam hatiku ketika aku melihat sosok yang dipukuli; pria itu tampak familiar. Tubuhnya kurus, rambut pirang—dia adalah siswa sekelasku. Wajahny

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   orang bodoh dengan mulut pedasnya

    Aku mengangkat sedikit kepalaku, terbangun dari tidur yang cukup lelap. Pandanganku yang masih dipenuhi rasa kantuk perlahan mulai terasa lebih jelas. Kulirik sekeliling, ternyata semua orang di kelas sudah pergi. Mungkin sekarang memang sudah jam istirahat. Jam dinding menunjukan pukul 10.30. Sepertinya aku benar-benar tidur cukup lama. Kedua tanganku kuangkat tinggi-tinggi, mencoba merenggangkan otot-otot yang kaku agar sedikit lebih reda. “Pergi ke kantin sepertinya tidak buruk,” gumamku pelan. Langkah kakiku menapaki permukaan lantai kelas yang kotor dan menjijikkan. Setiap kali aku melangkah, terdengar suara gesekan dari tanah kering yang menumpuk di sudut-sudut lantai. Aku sempat melirik ke arah kelas lain; mereka terlihat jauh lebih bersih, nyaman, dan enak dipandang—sangat berbeda dengan kelasku yang suram. Suasana jam istirahat di luar begitu riuh. Semua siswa saling menyapa, tertawa, berkumpul untuk membagikan cerita, bahkan bermain dengan riang. Aku hanya bisa menatap p

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   kesempatan terakhir

    Pagi itu, seperti biasa, matahari terbit dari timur. Sinar hangatnya perlahan menyelimuti bumi, berpadu dengan semilir angin yang menyejukkan suasana. Di lingkungan sekolah, para siswa sibuk berlalu-lalang dengan kesibukan masing-masing. Sepertinya pagi ini memang indah. Namun, seperti biasa, keindahan itu tidak berarti apa-apa bagiku. Namaku Riley. Hanya Riley. Tidak ada nama belakang, tidak ada status, tidak ada keluarga yang bisa kubanggakan. Di sekolah, orang-orang memanggilku berandalan tak tahu diri. Yah… mereka tidak salah. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan. Bagi mereka aku hanyalah masalah berjalan, dan aku pun tidak berusaha menyangkalnya. Hari ini, meski langit begitu cerah, hatiku tetap dipenuhi kegelapan yang tidak pernah mau pergi. Setiap hari, para siswa menjaga jarak dariku. Teman? Aku tidak punya. Hanya ada beberapa orang bodoh yang kadang bisa kuperalat untuk mencapai tujuan tertentu. Aku sekarang duduk di bangku kelas dua SMA, usiaku baru

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status