Se connecterAku mengangkat sedikit kepalaku, terbangun dari tidur yang cukup lelap. Pandanganku yang masih dipenuhi rasa kantuk perlahan mulai terasa lebih jelas. Kulirik sekeliling, ternyata semua orang di kelas sudah pergi. Mungkin sekarang memang sudah jam istirahat.
Jam dinding menunjukan pukul 10.30. Sepertinya aku benar-benar tidur cukup lama. Kedua tanganku kuangkat tinggi-tinggi, mencoba merenggangkan otot-otot yang kaku agar sedikit lebih reda. “Pergi ke kantin sepertinya tidak buruk,” gumamku pelan. Langkah kakiku menapaki permukaan lantai kelas yang kotor dan menjijikkan. Setiap kali aku melangkah, terdengar suara gesekan dari tanah kering yang menumpuk di sudut-sudut lantai. Aku sempat melirik ke arah kelas lain; mereka terlihat jauh lebih bersih, nyaman, dan enak dipandang—sangat berbeda dengan kelasku yang suram. Suasana jam istirahat di luar begitu riuh. Semua siswa saling menyapa, tertawa, berkumpul untuk membagikan cerita, bahkan bermain dengan riang. Aku hanya bisa menatap pemandangan itu dari kejauhan. Rasanya mustahil bagiku untuk bisa mendapatkan semua itu. Dari sudut pandangku, aku melihat seseorang dengan rambut keperakan berjalan di antara kerumunan gadis-gadis yang tengah asyik membicarakan gosip. Samar-samar aku mendengar bisikan mereka. “Lihat orang aneh itu,” ucap salah seorang gadis pelan, sambil melirik ke arah laki-laki berambut keperakan. “Bukankah dia dari kelas F?” tanya temannya yang berdiri di sebelahnya. “Benar. Mereka hanyalah anak buangan yang bodoh. Sebaiknya kita nggak usah dekat-dekat dengannya,” timpal gadis lain dengan nada meremehkan, disertai tatapan tajam yang menusuk ke arah laki-laki itu. Namun laki-laki itu sama sekali tidak peduli, meski jelas ia mendengar apa yang mereka katakan. Ia hanya melirik sekilas ke arah gerombolan gadis itu, seakan-akan tatapan matanya saja sudah cukup untuk membuat mereka gelisah. “Dia melihat kita. Sebaiknya kita segera pergi,” ucap salah satu gadis panik, lalu buru-buru mendorong teman-temannya menjauh. Aku sendiri tidak berencana ikut campur. Lebih baik aku segera menuju kantin. Begitu masuk, suasana di sana sangat ramai. Gerombolan siswa saling dorong-mendorong, berebut agar pesanan mereka bisa lebih cepat dilayani. Namun sesuatu yang aneh terjadi. Saat aku tiba di ambang pintu, keramaian itu mendadak senyap. Semua siswa yang sebelumnya berisik tiba-tiba mematung, menatapku seolah-olah aku adalah iblis yang siap memangsa mereka. Perlahan, mereka menyingkir, menciptakan celah sempit bagiku untuk lewat. Padahal aku hanya ingin ikut mengantri seperti mereka. Tapi karena mereka sudah memberi jalan, bukankah lebih baik aku memanfaatkan kesempatan yang datang begitu saja? Aku melangkah melewati celah kerumunan itu. Namun tiba-tiba, seseorang menyenggol bahuku cukup keras. Refleks aku berhenti, mencari siapa yang berani melakukannya. Tatapanku menyapu kerumunan tajam, membuat tidak ada seorang pun yang berani menatap balik ke arahku. “Siapa tadi yang menyenggolku?!” bentakku lantang. Suasana kantin mendadak makin tegang. Lalu, seorang siswa bertubuh gemuk dengan wajah pucat mengangkat tangannya perlahan, hampir ragu. “M-maaf! Aku tidak sengaja melakukannya!” ujarnya tergagap sambil membungkukkan badan dengan ketakutan. “Cepat pergi dari hadapanku!” sergahku, membuatnya terkejut dan semakin gemetar. Kemudian pandanganku menyusuri setiap sudut meja kantin, meneliti berbagai jenis makanan yang tertata rapi. Ada nasi kotak, gorengan berminyak yang masih mengepulkan asap, mi instan hangat dalam mangkuk plastik, dan beberapa kue basah berwarna pucat yang tidak terlalu menggugah selera. Namun, aku tidak ingin ribet. Tanganku meraih dua bungkus roti isi yang terlihat sederhana. Dengan langkah pelan, aku mendekati meja kasir. Di sana berdiri seorang wanita muda, penjaga kantin, yang sepertinya baru saja lulus sekolah menengah. Aku bisa melihat jelas bagaimana matanya sedikit bergetar ketika menatapku. Senyumnya kaku, bahkan hampir tidak ada. Dari cara ia menunduk, aku tahu kalau rumor tentang diriku sudah menjalar ke setiap sudut sekolah ini. “K-kau tidak perlu membayarnya…” katanya lirih, suaranya bergetar seolah takut aku akan marah jika ia memungut biaya. Kata-kata itu membuat dadaku sesaat terasa sesak. Ingatanku melayang ke masa lalu. Dulu, setiap kali aku mengambil makanan di kantin, aku tidak pernah membayar sepeser pun. Entah karena gengsi, atau sekadar ingin membuktikan bahwa aku berbeda dari yang lain. Namun sekarang, rasa bersalah itu mulai menumpuk, perlahan menyadarkanku. Ada sesuatu yang menekan di dalam hati—penyesalan. Aku merogoh saku celanaku, mengambil beberapa lembar uang. Dengan datar, aku meletakkannya di meja kasir. “Aku akan membayar,” ucapku singkat. Wanita itu terkejut, menatapku seolah tak percaya. Aku sengaja meninggalkan uang lebih, jumlah yang mungkin bisa menebus kesalahan di masa lalu. Atau mungkin tidak. Aku sendiri tidak yakin. Tanganku meraih dua bungkus roti itu, lalu berbalik meninggalkan meja kasir. Aku bisa merasakan tatapan orang-orang yang masih bertahan di kantin. Mereka tidak lagi berbisik, tetapi tatapan mata mereka sudah cukup jelas menyampaikan apa yang ada di dalam pikiran mereka: rasa takut, rasa heran, dan juga rasa ingin tahu yang terbungkus jadi satu. Aku berjalan menuju salah satu meja kosong di sudut kantin. Tempat itu memang selalu dibiarkan kosong, seolah sudah menjadi wilayahku. Tidak ada yang berani duduk di sana, bahkan ketika kantin penuh sesak sekalipun. Duduk sendirian sudah menjadi kebiasaanku. Aku membuka bungkusan roti pertama, mengunyah perlahan. Rasanya hambar, entah karena memang kualitasnya buruk atau karena pikiranku terlalu penuh. Suara riuh rendah kantin kembali terdengar setelah beberapa menit. Seakan-akan kehadiranku sudah dianggap sebagai bagian dari latar belakang saja. Namun tetap, aku tahu bahwa semua orang masih memperhatikanku diam-diam. “Kenapa mereka begitu takut padaku?” bisikku dalam hati. Aku mencoba mencari jawaban. Apakah hanya karena aku berbeda? Karena aku dari kelas F? Atau karena gosip-gosip yang mereka buat sendiri, tanpa pernah benar-benar mengenalku? Semua pertanyaan itu tidak ada jawabannya, hanya menyisakan keheningan di kepalaku. Setelah menyelesaikan roti pertama, aku membuka bungkusan kedua. Namun, kali ini aku tidak langsung memakannya. Aku terdiam cukup lama, menatap roti itu seakan ada sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar makanan. Entah kenapa, aku merasa lelah. Lelah dengan semua bisikan, semua tatapan, dan semua jarak yang tercipta antara diriku dan mereka. Suasana kantin yang semula riuh tiba-tiba pecah oleh suara tawa keras dari salah satu meja yang dipenuhi siswa populer. Mereka bercanda, saling lempar cerita, bahkan tidak peduli dengan kehadiranku. Di satu sisi, aku merasa lega karena setidaknya perhatian mereka tidak lagi tertuju padaku. Namun di sisi lain, aku merasa semakin jelas betapa jauhnya aku dari dunia mereka. Aku menunduk, menggenggam roti kedua erat-erat. Sebuah pikiran terlintas: mungkin aku tidak akan pernah benar-benar menjadi bagian dari keramaian ini. Mungkin aku memang ditakdirkan untuk selalu berada di luar lingkaran, berjalan sendirian di antara kerumunan. Aku menghela napas panjang, lalu akhirnya menggigit roti itu. Kali ini aku mencoba mengunyah dengan perlahan, berusaha mengabaikan semua yang ada di sekitarku. Biarlah dunia mereka tetap seperti itu, dan biarlah duniaku tetap sunyi. Sisa uang di saku masih terasa berat, meski jumlahnya tidak banyak. Namun entah kenapa, uang yang tadi kutinggalkan di meja kasir terasa lebih ringan daripada yang kusimpan. Ada sedikit kelegaan, meskipun aku tidak yakin itu cukup untuk menebus kesalahan masa lalu. Selesai makan, aku bangkit dari tempat duduk. Sekali lagi, kerumunan seakan membelah, menciptakan jalan kecil bagiku untuk lewat. Aku berjalan lurus tanpa menoleh, tanpa menanggapi tatapan-tatapan yang menusuk dari berbagai arah. Setelah keluar dari kantin, sinar matahari siang menampar wajahku. Aku menutup mata sejenak, membiarkan cahaya itu menyusup masuk, seakan ingin menghapus bayangan kelam yang terus mengikuti langkahku. Tapi aku tahu, cahaya sekalipun tidak bisa sepenuhnya mengusir kegelapan yang ada di dalam diriku. Aku berjalan menyusuri koridor sekolah yang sepi, meninggalkan kantin dan keramaian di belakang. Langkahku terdengar jelas memantul di dinding-dinding kusam. Mungkin hari ini tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hanya ada aku, kesepian, dan cerita yang tidak pernah benar-benar dimengerti oleh siapa pun. Namun entah mengapa, setelah membayar untuk pertama kalinya, ada perasaan kecil yang berbeda. Tipis, nyaris tidak terasa, tapi cukup untuk membuatku berpikir: mungkin masih ada jalan lain yang bisa kuambil. Atau mungkin itu hanya ilusi.beberapa saat kemudian seseorang memasuki kelas yang sudah dianggap hilang dari sekolah ini. tampak seorang perempuan pendek tetapi muda membawa setumpuk buku yang ada didepannya. semua orang dikelas ini tampak menatap sekilas perempuan itu sebelum akhirnya tidak memperdulikannya lagi. aku sangat mengetahui wanita itu adalah orang yang menabrakku sebelumnya karena ketidaksengajaan dan situasi yang diluar dugaan. "selamat pagi semuanya!" serunya. tapi aku mendengar ketegasan dibalik suaranya itu. semua orang reflek menghadap kedepan sesudah mendengar sapaan pagi dari orang baru yang berdiri didepan. "halo semuanya! saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu." katanya riang, tapi aku tahu jika itu hanya dibuat-buat olehnya saja. "perkenalkan nama saya adalan Arina. di sini tanggung jawab saya adalah sebagai wali kelas baru di kelas ini. " setelah dia mengucapkan itu dengan penuh semangat, tampak semua siswa tidak menggubrisnya sama sekali. padahal dia sudah susah-susah memak
pagi itu aku sudah bersiap untuk berangkat kesekolah. setiap langkah perjalananku selalu berpapasan dengan orang yang sangat sibuk. beberapa menit kemudian akhirnya aku sampai disekolahan. aku hanya berharap tidak ada orang yang akan mengangguku, atau kuhabisi saja mereka? yah itu akan membuatku repot nantinya. saat aku memasuki kelas, di sana duduklah seorang laki-laki berambut keperakan tengah sibuk dengan dunianya. jari-jarinya memainkan layar ponsel setiap detik tanpa henti. aku tidak terlalu memperdulikannya, bahkan sepertinya tidak perlu untuk berkenalan dengannya. aku segera duduk di bangku yang sudah kupilih beberapa Minggu sebelumnya saat awal-awal masuk ke sekolah ini. oh benar, sepertinya kelas ini akan ada seorang wali kelas yang mengajar. aku tahu pihak sekolah ini mengirim guru amatiran untuk membimbing para siswa aneh ini. mungkin pihak sekolah ini berniat untuk membuat pengajar baru itu menyerah hingga mengundurkan diri dari sekolah ini... dunia ini memang tida
Aku mencoba menawarkan diri untuk mengantarkannya sampai kerumah. aku berpikiran dia akan menerima tawaranku. jika dia tidak bisa berjalan mungkin aku akan menggendongnya menggunakan punggungku. "Bagaimana jika kau kuantar pulang?" "tidak perlu, aku akan menelpon seseorang yang akan menjemputku," jawabnya dengan suara datar, aku sedikit kecewa karena tidak bisa mempraktekkan adegan yang kupikirkan seperti di novel romansa yang pernah kubaca dulu. "Seharusnya aku menggendongmu," ucapku spontan, membuat dia terlihat kesal setelah mendengar kalimatku. "Cepat pergi keluar. Sekarang!" bentaknya hingga membuatku kaget. ternyata ada orang sepertinya yang suka merubah perasaanya dalam sekejap. karena permintaanya akupun keluar tanpa pikir panjang, siapa juga yang peduli dengannya? ah... idiot ini memang tidak pernah peduli. aku pun berjalan melewati lorong bangunan sekolah dengan langkah yang santai. saat ini aku berniat untuk tidak pulang secara langsung, mungkin jalan-jala
Setelah aku membawa gadis itu ke ruangan UKS, sesegera mungkin aku mencari obat yang ada di kotak P3K. Aku kurang paham bagaimana cara mengobati luka, tetapi aku ingat beberapa orang yang pernah mengobati luka. "Oh benar, aku harus menggunakan es batu," ucapku pelan setelah teringat cara mengatasi kaki terkilir. Menggunakan es batu pasti akan meredakan rasa nyeri yang ada. Gadis itu sedari tadi hanya diam tanpa berbicara sepatah kata pun setelah kugendong paksa kemari. Tapi aku berpura-pura tidak melihatnya saat ia mencuri-curi pandang ke arahku. Karena di ruangan ini tidak ada es, aku berencana mencarinya di kantin sekolah untuk mendapatkannya. Aku akan meninggalkannya sebentar di ruangan ini. "Hei... mau ke mana kau?" Aku menoleh sedikit ke arahnya. "Ada hal yang perlu kuambil. Jangan ke mana-mana." Namun sebelum aku meraih gagang pintu, dia kembali berteriak dengan nada yang tinggi. "A-Aku! Akan melaporkan dirimu jika macam-macam denganku!" serunya. Dia bahkan memegangi bagia
Aku segera mengambil tas yang berada di atas meja dan buru-buru untuk segera keluar dari kelas yang sangat sunyi meski kekesalan masih tersisa di dalam diriku. Siapa sangka hari ini hari cuti bersama, pantas saja aku tidak melihat orang-orang yang sibuk ingin berangkat kerja. tapi pemandangan itu malah di gantikan oleh pemandangan Kakek-kakek aneh yang membuatku jengkel. setiap lorong demi lorong yang sunyi hanya di isi oleh suara langkah kakiku yang menggema di sepanjang lantai. dalam hati aku ingin menghajar bocah itu karena telah berani menipuku setelah kesabaran yang kucurahkan ini sangat luas. "menyebalkan... apa gak ada hal yang menarik gitu?" ucapku untuk memecah keheningan di sepanjang lorong. aku pun berbelok di persimpangan lorong yang cukup gelap— Brukk!!! "aduhhh!'" aku agar sedikit terpental saat menabrak sesuatu hal yang tidak terduga. saat pandanganku teralihkan, seorang gadis cantik nan anggun berambut hitam yang berkilau saat terkena sedikit sedikit cahaya m
Pagi itu seperti biasa, aku berangkat kesekolah pagi-pagi sekali karena jaraknya lumayan jauh. Karena ini kesempatan terakhir aku bersekolah aku merasa tidak pantas jika menyia-nyiakan usaha yang telah di lakukan oleh paman dan bibiku. Saat ini di halte bus terasa sangat sepi, hanya ada diriku yang berdiri setia menunggu bus datang dari arah timur. Biasanya setiap hari aku selalu melihat halte ini ramai di penuhi orang-orang yang sibuk menggapai masadepan mereka. Aku menoleh ke arah timur berharap bus segera muncul. di sisi lain aku mencoba memainkan ponsel baru yang di berikan oleh Lia. dia memberikan ini dengan alasan bahwa aku akan selalu di awasi olehnya. yahh... meski diriku yang bodoh ini kurang paham untuk menggunakan semacam teknologi. saat aku terlalu fokus cara mengirim pesan kepada seseorang—bus berukuran sedang sudah berhenti di depanku. "tiba-tiba banget udah didepanku." aku segera naik kedalam bus dan mencari tempat duduk yang serasa nyaman untukku. a







