"Beryl memang bangsat," suara itu yang kini tengah berputaran di kepala Ririn.
"Dia memang lihai untuk menebar daya pikat pada wanita. Dia tak pernah puas dengan satu perempuan. Bajingan Kampus itu selalu mengoleksi banyak cewe. Berapa banyak lagi cewe-cewe yang menjadi sasaran barunya? Oke, Beryl, aku akan menyelidiki dunia yang selalu membuatmu terlena. Jangan kira aku akan kalah terus. Kamu kira memang, kamu bisa seenaknya menebar rayuan gombalmu padaku terus. Lalu kamu campakkan begitu saja setelah kamu bosan. Wanita lain bisa kamu perlakukan sebiadab itu. Tapi tidak terus - terusan dengan aku! "
Di bawah terik mentari yang panas memijar di dalam avanza metalic milik Beryl kalimat kutukan itu terus menerus dilontarkan Ririn di dalam hati. Meski di sampingnya sambil memegang kendali mobil, Beryl sesekali masih bisa mencium wajah lembut Ririn. Wajah Ririn yang tirus, dengan mata yang bening, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang ranum.
Ririn masih fokus menatap jalanan beraspal kota Surabaya yang tengah dipanggang mentari. Ririn menghela nafas panjang. Hatinya berontak dengan semua perlakuan liar Beryl, meskipun kenyataan di atas ranjang ia masih tetap pasrah begitu saja atas semua bujuk rayu Beryl.
"Barang kali memang dia suka dengan predikat Raja Bucin," kata Ririn dalam hati.
"Makanya dia tidak pernah puas dengan satu perempuan. Kalau dia serius mencintaiku, tentu dia takkan pernah kasih php cewe lain. Di media sosial pun, pastinya dia tidak akan sebegitunya sama cewe-cewe. Bahkan pertemanan di media sosial yang sembilan puluh lima persen adalah cewe. Toh, dia juga yang dulu pertama kali mengajakku kencan."
Beryl membawa avanza-nya melewati depan gedung DPRD Surabaya. Mereka orang - orang berdasi terlihat sibuk keluar masuk gedung. Ririn hanya mengawasi dari dalam mobil orang - orang yang keluar masuk gedung itu. Sementara hatinya masih merasa dongkol pada Beryl.
"Bajingan!" Ririn mengutuk Beryl.
"Pasti setelah mengantar aku pulang, dia akan nyambar cewe lain lagi. Pada hal baru saja dia melampiaskan semua keinginannya padaku. Dasar, Raja Bucin!"
Ririn lebih banyak diam di dalam mobil itu dan hanya melemparkan kalimat kutukan itu pada Beryl di dalam hati. Sedangkan tatapan mata Beryl terhadap Ririn dari tadi tak begitu menghiraukan.
Beryl sengaja mengarahkan tatapan matanya pada kaki Ririn yang jenjang dan Beryl seperti menelanjangi kaki yang jenjang itu. Beryl menelan salivanya. Sedangkan hati Ririn masih merasa dongkol, jengkel, benci, dan bercampur jadi satu.
"Aku telah tahu segalanya. Segala hal yang dilakukan Beryl. Dia sangat liar dan ganas. Kalau saat ini aku harus marah, itu sudah waktunya. Tapi aku akan mencoba bersabar. Sekaligus belajar menjadi perempuan yang setia yang tidak gampang memutus cinta."
"Kalau pun akhirnya harus putus, biarlah semua cewe-cewe yang dikoleksinya tau kalau Beryl itu pengkhianat perempuan. Biar seluruh dunia tau bahwa kami semua korban dari playboynya.
" Ririn..... "
Monolog Ririn terputus, manakala sentuhan tangan Beryl di pundaknya sempat membuatnya kaget. Ririn menoleh dengan tersenyum, meski senyumnya terasa sempil.
"Melamun, ya....? Dari tadi kuamati melamun terus. Ada apa lagi sih, Sayang? Bukankah aku selalu berusaha menyenangkan hatimu? Karena saat di ranjang kamu juga telah memuaskan hatiku. Kamu begitu luar biasa , Sayang. Aku suka."
Beryl dan Ririn telah tiba di depan pintu rumah. Ririn segera turun dari avanza metalic itu.
*****
Di aula perpustakaan Unair, Beryl tengah menarik - narik rambutnya yang kusut dan acak-acakan. Rambutnya tampak kurang tertata. Sebagian juga menutupi jidatnya. Tubuhnya terasa gerah. Namun rasa gerah yang dialami sepertinya bukan gerah fisik. Lebih tepatnya apa yang dialami Beryl karena gerah psikis. Dan ini tidak boleh dibiarkan. Harus disembuhkan. Entah dengan cara konsultasi pada psikiater atau berusaha menyembuhkan diri sendiri.
Beryl masih termangu menatap buku-buku di perpustakaan yang ada di depannya. Saat itu ruang perpustakaan sudah hening. Para pengunjung tampak menekuni bahan pustakanya masing - masing. Beryl secara bergantian perhatiannya sering terbagi antara buku dan ponsel. Huruf - huruf yang dilihatnya seperti terasa tambah buram.
Beryl tampak semakin gelisah. Kegelisahannya seperti tak terbendung lagi. Rasa gelisah dan tidak tenang kian mengganggu jiwanya.
Pacaran dengan segudang cewe telah ia lakukan. Tapi mampukah itu menolong jiwanya? Itu hanya akan menjanjikan kenikmatan sesaat. Atau mungkin justru perbuatan mesum itu yang menyebabkannya gelisah. Bukankah perbuatan mesum itu hanya pelarian sesaat dari sekian banyak kegelisahan yang dihadapinya?
Tapi dengan jalan mesum itu juga, Beryl telah memperoleh banyak pelajaran. Bagaimana ia bisa menikmati rasa dari satu perempuan dengan perempuan lainnya. Perempuan di samping sumber malapetaka juga menjanjikan sumber kenikmatan.
Perempuan sebelum berhasil dia dapat, harus dikejar - kejar dulu. Memerlukan waktu berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan untuk bisa memeluk dan menciumnya. Untuk bisa bilang aku mencintaimu dan aku menyayangimu. Itu rumusnya. Itu kuncinya. Dengan begitu nanti perempuan akan berbalik, dialah yang mengejar laki-laki. Laki-laki menjadi menang dan menjadi berharga.
Beryl menghirup udara dalam - dalam kemudian menghembuskannya lagi. Rambutnya yang dari tadi acak-acakan menimbulkan rasa gerah kembali. Sungguh terasa tak nyaman. Dia menggaruk-garuk kepalanya. Gatal dan panas. Kini kulit kepalanya terasa perih. Akhirnya dia menghentikan garukannya. Namun tetap terasa tak puas.
Beryl menatap sekelilingnya. Di bangku lain, gadis dengan baju pink itu mengawasinya dari tadi. Gadis itu tersenyum melihat Beryl. Lalu kedua mata Beryl dan gadis itu saling bertemu pandang. Keduanya seperti saling memberikan magnet.
Wajah gadis itu memerah karena tatapan mata Beryl. Beryl mendekati gadis itu bak carnivora yang siap menelan mangsanya. Beryl mendudukkan diri di dekat gadis berbaju pink itu. Dirabanya pundak gadis yang belum dikenalnya itu.
"Bukankah ada aku yang nganggur dan siap menemanimu?" sapa Beryl seperti membaca apa yang ada di mata gadis itu.
Nafas gadis itu seperti terputus. Kepala gadis itu berusaha merenggang dari kepala Beryl yang berusaha mendekatinya. Gadis bermata teduh itu menatap mata Beryl.
Beryl seperti memperoleh kesempatan baru.
"Seorang gadis kalau dipandang laki-laki lalu wajahnya memerah, itu tandanya dia mau. Itu tandanya dia suka dan jatuh cinta."
Beryl dan gadis itu saling pandang.
"Hemmm...... cantik," gumam Beryl.
Wajah gadis itu tambah memerah.
"Ikut aku yok? Kita pindah dari sini!" ajak Beryl pada gadis berbaju pink itu.
"Emang kamu bangsa carnivora ya?" tanya gadis itu.
"Eh..., jangan menghina donk!" gerutu Beryl.
"Siapa yang menghina? Aku tanya?" jawab gadis itu dengan mata nyengir.
"Yups, galak amat."
Gadis berbaju pink itu berdiri. Ingin beranjak pergi.
Bersambung.....
Hemmm....., di perpustakaan kampus Beryl bertemu dengan seorang cewe, cantik lagi. Akankah nantinya cewe itu jatuh cinta pada Beryl? Apakah Beryl juga akan tergoda? Siapakah cewe yang berbaju pink itu? Bagaimana jika Ririn mengetahuinya?
Dalam hati, Beryl merasa senang dan puas ketika membuka ponsel Bu Liana, di sana hanya ada foto-foto Bu Liana dan suaminya. Ditambah juga yang ada foto-foto mesra Bu Liana dengan dirinya dulu, sebelum Bu Liana menikah dengan ketua jurusan.Ketika Beryl tahu bahwa foto-foto mesranya dulu dengan Bu Liana masih tersimpan, hatinya merasa berbunga. Dan hal itu dimanfaatkan Beryl untuk memandang wajah cantiknya Bu Liana. Diam-diam Beryl tersenyum. Beryl menikmati wajah Bu Liana di wajah terpaan cahaya matahari. Entah, mengapa Beryl merasa terpukau kembali dengan kecantikan Bu Liana.Beryl segera mengalihkan pandangannya ke depan kembali saat Bu Liana mulai menyadari kalau Beryl sering mencuri kesempatan untuk memandangnya.“Beryl. Ngapain dari tadi aku lihat kamu sering senyum-senyum sandiri? Kamu gak lagi sedang melihat Widya, bukan?” pertanyaat Bu Liana sempat membuat Beryl merasa terkejut.“
“Beryl, bisa gak sore ini jemput aku di bengkel mobil? Mobilku harus masuk bengkel.” Sebuah chat wa masuk ke ponsel Beryl.Sore itu, Beryl tengah berbaring di kamar kontrakannya sambil matanya memandang langit-langit kamar dengan pandangan yang kosong dan hampa. Begitulah yang dialami Beryl setelah kejadian di rumah sakit, bahwa Tuan setephani menyatakan dirinya dan Widya sudah bertunangan.“Bisa, Bu Lia. Siap. Pokoknya, oke deh.”Beberapa saat kemudian Beryl sudah meluncur di jalanan dengan menggunakan mobilnya untuk menuju ke sebuah bengkel mobil di mana mobil Bu Liana harus masuk ke bengkel itu.Senja itu Beryl mengenakan jaket berwarna hitam yang merupakan jaket kebesarannya, dipadu dengan mengenakan bawahan jeans berwarna biru tua, dan sepatu adidas warna putih yang sangat dibanggakannya.Setelah dulu hubungan Beryl dan Bu Liana sempat tidak baik, namun setelah semua kesalahpahaman di antara mereka ter
"Mengapa aku harus sekasar itu kepada Bu Liana? Pada hal ia sangat baik kepadaku. Kenapa aku jadi sekasar itu padanya? Mengapa aku harus marah-marah seperti itu hanya karena Bu Liana membicarakan Beryl?.Kemudian bayangan Beryl menggantikan bayangan Bu Liana. Rasanya tak sulit menukarkan lukisan bayangan itu. Sebabwajah Beryl sudah sangat dihafalnya selama ini. Mengapa aku harus semarah itu hanya karena Bu Liana mengatakan bahwa Beryl itumencintaiku? Haruskah aku marah hanya karena Beryl mencintaiku?Widya masih menelentang. Dia menatap langit-langit kamar. Dan, kesadarannya hinggap lagi.Kenapa sekarang semudah ini aku membalikkan tubuh? Padahal, hari-hari kemarin tubuhku terasa lemas danlunglai sekali.Kemudian sepanjang sore dan malam harinya Widya menimbang-nimbang pertanyaan demi pertanyaan yang muncul di kepalanya. Dia ingin hari cepat berganti. Ingin sore cepat datang. Kemudian ingin segera tergantikan oleh pagi. Widya
Dokter Rendra menatap keempat orang yang ada di hadapannya.“Saya sangat mengharapkan bantuan dari kalian semuanya,” kata dokter itu.Sesaat kemudian dokter itu diam. Hanya matanya yang memandang ke empat orang itu dengan berpindah-pindah.Beryl gelisah, dan keringat dingin itu mengalir di keningnya. Penyejuk ruangan itu tak mampu meredakan gemuruh yang bergolak dalam dirinya.Mata Dokter Rendra menghunjamkan pandangan matanya kepada Beryl. Hal itu membuat Beryl menjadi resah dan tak nyaman.“Kamu mencintainya, Beryl?” kata Bu Liana tiba-tiba.Tawa Antonio kemudian meledak.“Oh, iya, saya lupa. Belum saya perkenalkan. Ini Saudara Beryl,” kata Antonio kepada Dokter Rendra.“Dan, saya sendiri Antonio.”Dokter Rendra mengangguk-angguk, kemudian dokter itu berkata yang ditujukan buat Beryl.“Kalau Saudara dapatmengeluarkan dia dari keadaannya se
“Oh, ya, Beryl. Perempuan yang kamu cintai itu sangat cantik. Tubuhnya juga langsing.”“Masih lebih cantik, Bu Liana. Asal tak terlalu banyak makan coklat sama minum es KRIM saja.”“Sekarang aku mau minum jus advokat. Bagus, ‘kan?”“Yah,” kata Beryl sambil menjentik ujung hidung Bu Liana .“Hidung perempuan yang bernama Widya itu juga bagus sekali. Sangat mancung, juga sangat indah . Harmonis dan serasi dengan mulutnya. Kasihan sekali jika melihat dia menangis. Menangisnya nggak bersuara. Kalau aku nggak bisa nangis model dia. Kalau aku yang nangis pasti bersuara.”Beryl hanya merenungi gelas minuman yang ada di depannya.“Widya itu cantik sekali,” kata Bu Liana.“Tapi, wajahnya terlihat sedih sekali.Apakah anaknya hanya satu itu, Beryl?”“Katanya, iya.”“Lalu suaminya di mana seka
Mereka berdiri di dekat kamar pasien di tempat anak Widya berbaring.“Luka-lukanya telah kami obati,” lanjut dokter itu.“Tetapi, dalam kasus kecelakaan anak ini ternyata kepalanya terkena benturan benda keras.”Antonio dan Beryl sama-sama menahan nafas.“Kami sudah berusaha dengan maksimal. Kita tunggu hasilnya," kata dokter itu lembut.“Hanya, sembilan dari sepuluh orang yang mengalami kasus dan kondisi seperti kondisi yang dialami anak ini belum dapat dibantu oleh ilmu kedokteran modern kita.”Antonio dan Beryl saling pandang.“Maksud Dokter apa?” keduanya bertanya tak mengerti.“Tadi perawat sempat bilang, ibu dari anak itu kondisinya agak lemah. Maka dari itu kita harus bijaksana untuk memberitahukan kenyataan ini padanya. Kami masih berusaha sebisa mungkin. Tapi, perlu