Beryl dan Ririn saling tatap tanpa ada pembicaraan. Hanya mata mereka yang seperti berbicara dan bercerita tentang lagu cinta yang siang itu mereka nyanyikan di kamar 404. Lagu cinta dari dua insan yang sudah sulit untuk menahan diri dari gelora api cinta yang sepertinya siang itu kian membara, sepanas bara matahari yang siang itu panas memanggang.
Sejurus kemudian, tak ingin menyia-nyiakan sebuah kesempatan, Beryl mendaratkan kecupan lembut namun garang ke wajah Ririn. Dengan mata dan jiwa yang pasrah, Ririn hanya bisa menikmati kecupan itu. Karena kenyataan selama ini dirinya selalu tak punya daya untuk melawan Beryl. Atau karena juga Ririn yang tak mampu menahan diri atas hasrat dan keinginan yang ditawarkan Beryl?
"Kenapa lama, Beryl," suara manja Ririn sambil melingkarkan tangannya ke leher Beryl.
Selama ini liarnya permainan Beryl sangat diakui oleh Ririn. Menyadari kegelisahan Ririn yang telah menunggu dengan tatapan yang sendu, Beryl yang juga sudah sulit buat menahan diri memberikan kecupan hangat di bibir Ririn yang ranum dan melumatnya begitu lama. Ingin rasanya Beryl tak kan lagi melepas bibir hangat itu.
Begitu lama terlena oleh permainan indah Beryl membuat jiwa Ririn tambah gelisah. Gelisah menunggu dan mengharap sentuhan yang lain dari Beryl. Beryl sangat paham apa yang diinginkan Ririn. Lalu mengelus lembut leher Ririn yang jenjang. Ririn semakin terlena dan membalas perlakuan Beryl dengan perbuatan yang sama. Kini keduanya saling berpaut satu sama lain."Beryl....., lanjut lagi ya?" pinta Ririn dengan sikapnya yang kini berubah tambah manja.
Benar-benar lupa bahwa satu jam yang lalu, ia telah menolak permintaan Beryl.
Sikap manja Ririn, membuat Beryl mendekatkan wajahnya pada dua bukit kembarnya Ririn. Memberinya sentuhan lembut pada dua bukit kembar itu.
Diciumnya dua bukit kembar itu, lalu bibirnya memberikan sentuhan lembut di sana. Sentuhan aneh yang semakin membuat Ririn merasa geli. Tubuhnya menggeliat seperti cacing yang kepanasan. Beryl melakukannya dengan sangat mahir seperti seorang profesor yang memang sudah sangat berpengalaman. Jadi tak perlu riset lagi.
"Kenapa kamu nggak segera melakukannya, Beryl?" gumam Ririn lirih.
"Benar-benar sempurna seluruh tubuh kamu, Rin," degup jantung Beryl semakin kencang berdetak sambil menurunkan pakaian bawah Ririn. Untuk yang kesekian kalinya menikmati tubuh Ririn membuat Beryl terkesima melihat semua keindahan yang dimiliki Ririn. Keindahan yang tak boleh disia-siakan begitu saja.
Ririn semakin tidak tahan diperlakukan seperti itu oleh Beryl.
Mereka berdua pun tak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Terutama Beryl, karena awalnya Ririn sudah sempat menolaknya mentah-mentah. Beryl bertekad apa yang akan dilakukannya dengan Ririn siang itu benar-benar harus mampu membuat Ririn semakin jadi candu.
"Cepat, Beryl. Aku sudah gak tahan!" Ririn yang tak sabar menunggu Beryl melanjutkan aksi gerilyanya.
Benda inti kelelakian Beryl juga sudah benar-benar on bagaikan lampu pijar yang menyala dan sudah siap menembus inti kewanitaan Ririn. Kesiapan Ririn juga ditunjukkan dengan dia tampak membuka kakinya dengan lebar. Dengan cepat Beryl memasukkan benda inti miliknya ke inti kewanitaan Ririn yang sekarang tampak semakin siap menunggu dan terlihat semakin gelisah.
Tubuh mereka yang saling bertempur menggoyang ranjang. Gerakan naik turun Beryl yang menindih tubuh Ririn terlihat bergerak teratur, kemudian semakin cepat, membuat ranjang yang mereka tempati juga ikut semakin bergoyang. Sementara di luar kamar hotel, angin pun bertiup seperti ingin menyejukkan suasana panas bagi Beryl dan Ririn.
Dua pasang kaki Beryl dan Ririn menjulur, masih sambil disertai dengan gerakan yang naik turun. Sepasang betis Ririn yang putih, bersih, berjenjang, dan mungil. Tak ada suara keduanya, karena keduanya tengah mereguk nikmatnya surga dunia.
Satu fase dari permainan ranjang mereka terselesaikan. Sesaat mereka berdua larut dalam kepuasan rasa. Tubuh mereka terlihat lemas. Beryl masih dengan santainya ada di atas tubuh Ririn. Beryl belum menarik benda inti miliknya dari inti kewanitaan Ririn.
Tampak cairan putih yang keluar dari miliknya Beryl tumpah membasahi seluruh inti kewanitaan Ririn. Ririn dengan pelan mendorong tubuh Beryl yang masih berada di atas tubuhnya. Perlahan juga Beryl mencabut senjata inti miliknya. Namun tampaknya Beryl belum akan mengakhiri permainannya.
Beryl memulai kembali aksinya dengan mencium betis Ririn yang putih, jenjang, dan sangat menantangnya. Diciuminya betis itu. Ririn merasakan nikmat dan geli atas permainan Beryl kali ini. Merasa tak tahan, Ririn bangun dari posisi telentangnya. Lalu Ririn meraih benda tajamnya Beryl. Begitu dipegang oleh tangan Ririn, benda itu segera on kembali.
Semakin lama Ririn memegangnya dengan cepat hingga benda itu benar - benar menegang. Semakin lama Ririn semakin gemas mempermainkan benda miliknya Beryl. Beryl yang kali ini dalam posisi berbaring telentang hanya menikmati semua permainan yang dilakukan Ririn.
Ririn mengulum lembut benda sakralnya Beryl sampai dirinya benar - benar merasa puas. Selanjutnya Ririn yang mengambil alih posisi. Ririn kali ini yang berada di atas. Benda sakral miliknya Beryl sudah masuk menembus kembali ke benda inti Ririn. Dua benda yang menjanjikan surga dunia apabila bersatu itu, kini telah saling mengunci kembali. Dengan gerakan yang semula teratur, kemudian semakin cepat dan iramanya semakin tidak beraturan.
Dengan posisi di bawah, bibir Beryl berusaha mempermainkan dua bukit kembarnya Ririn. Semakin lama permainan dari mereka berdua tampak semakin panas. Aroma wangi dari tubuh keduanya semakin membuat permainan seperti tak ingin berakhir. Tubuh keduanya yang tanpa penutup telah basah oleh peluh dan keringat. Ac yang ada di kamar hotel seperti tak berguna lagi.
"Ntar dulu, Rin. Jangan hentikan," Beryl menginginkan tindihan Ririn tidak segera berakhir.
Ranjang pun masih bergoyang. Permainan gobak sodor yang sangat seru antara Beryl dan Ririn masih berlanjut.
"Ayok, terus Rin!" kata Beryl yang memacu semangat Ririn.
"Hemmm, iya......Beryl," kata Ririn yang sambil mencondongkan dua bukit kembarnya meminta agar dipermainkan oleh Beryl. Beryl tentu tak menolak keinginan Ririn itu. Ia ambil kesempatan itu dan sama sekali tak ingin menyia-nyiakannya.
Beryl dengan cepat segera melumat dua bukit kembarnya Ririn. Kadang ia pelintir dengan dua jarinya, agar benda yang istimewa itu mengencang. Nafas keduanya semakin tersengal-sengal tak karuan, juga semakin tak teratur.
Suara manja yang keluar dari bibir Ririn begitu dua bukit kembarnya jadi sasaran permainan Beryl.
"Aku tidak mau permainan ini cepat berakhir!" kata Ririn yang kian terbuai.
"Ternyata....."
"Hari ini dunia hanya milik kita berdua."
"Rin, gerakanmu semakin erotis!" Beryl memuji.
Kembali ranjang mereka semakin bergoyang yang disertai suara deritan. Menandakan di situ tengah terjadi sebuah aksi yang benar-benar luar biasa hebat.
"Jangan pernah hentikan, Beryl! jangan pernah diakhiri Beryl," Kata Ririn.
"Kamu tambah menggoda, Rin,"
"Sudah kubilang, hari ini dunia milik kita berdua. Dari pada harus pusing dengan semua tugas kuliah...."
"Dasar!"
"Dasar apa?"
"Dasar kamu cewe binal. Awalnya pura-pura menolak. Sekarang tidak mau permainan segera berakhir," ejek Beryl.
"Kamu, dasar juga!"
"Dasar lelaki! Suka mata keranjang. Awalnya suka nguber. Sudah bosan cari yang lain,"
"Oh, sama dengan cewe! Pura-pura jual mahal. Sekarang gak mau ditinggal,"
"Siapa juga yang gak mau ditinggal? Bukankah tadi kamu yang memaksa?"
"Lain dulu, lain sekarang, Rin. Bukankah tadi kamu yang bilang, hari ini dunia milik kita berdua"
"Dasar lelaki! Maunya menang sendiri,"
Percakapan kecil mereka berdua siang itu mengakhiri puncak permainan yang dilakukan..
"Apa yang kamu rasakan, Rin. Kenikmatan bukan?"
"Korban perkosaan," hanya itu jawaban Ririn.
Beryl menyibak rambut Ririn. Dikecupnya kening Ririn. Disibaknya kembali rambut itu. Lalu Beryl beralih mengecup bibir ranum Ririn. Kini Beryl melanjutkan dengan menyibak rambut - rambut hitam yang tumbuh subur pada benda milik Ririn. Ia rapikan rambutnya yang acak-acakan.
"Dasar, playboy!" kata Ririn berbisik di telinga Beryl.
Beryl tak menanggapi. Ririn mencubit lengan Beryl.
"Bajingan kamu, Beryl!" seru Ririn kembali.
Beryl hanya melengos sedikit, lalu mendekatkan tubuhnya kembali pada Ririn yang masih dalam keadaan tanpa penutup. Mereka berdua masih sama-sama tanpa selembar kain.
Ririn mengelus punggung Beryl. Memberinya ciuman lembut di punggung itu. Namun, begitu melihat ponselnya yang tergeletak, tiba-tiba Ririn teringat sesuatu. Ia ambil ponsel itu.
"Mama......, mama tadi menyuruhku segera pulang,"
"Dasar cewe! Suka lupa diri kalo sudah disuguh kenikmatan! Tapi terima kasih untuk cumbuannya siang ini, Rin,"
Ririn segera melompat dari ranjang. Ia kenakan kembali semua penutup tubuhnya yang tergeletak berserakan di lantai. Demikian juga dengan Beryl. Beryl merasa punya tanggung jawab untuk segera mengantar Ririn pulang pada orang tuanya.
Dasar playboy sok punya tanggung jawab buat ngantar pulang anak orang. Apakah nantinya si playboy ini juga punya tanggung jawab buat nikahin anak gadis orang yang sudah direnggut kehormatannya?Reader, ikuti terus kisahnya hanya di Playboy Kampus!
Dalam hati, Beryl merasa senang dan puas ketika membuka ponsel Bu Liana, di sana hanya ada foto-foto Bu Liana dan suaminya. Ditambah juga yang ada foto-foto mesra Bu Liana dengan dirinya dulu, sebelum Bu Liana menikah dengan ketua jurusan.Ketika Beryl tahu bahwa foto-foto mesranya dulu dengan Bu Liana masih tersimpan, hatinya merasa berbunga. Dan hal itu dimanfaatkan Beryl untuk memandang wajah cantiknya Bu Liana. Diam-diam Beryl tersenyum. Beryl menikmati wajah Bu Liana di wajah terpaan cahaya matahari. Entah, mengapa Beryl merasa terpukau kembali dengan kecantikan Bu Liana.Beryl segera mengalihkan pandangannya ke depan kembali saat Bu Liana mulai menyadari kalau Beryl sering mencuri kesempatan untuk memandangnya.“Beryl. Ngapain dari tadi aku lihat kamu sering senyum-senyum sandiri? Kamu gak lagi sedang melihat Widya, bukan?” pertanyaat Bu Liana sempat membuat Beryl merasa terkejut.“
“Beryl, bisa gak sore ini jemput aku di bengkel mobil? Mobilku harus masuk bengkel.” Sebuah chat wa masuk ke ponsel Beryl.Sore itu, Beryl tengah berbaring di kamar kontrakannya sambil matanya memandang langit-langit kamar dengan pandangan yang kosong dan hampa. Begitulah yang dialami Beryl setelah kejadian di rumah sakit, bahwa Tuan setephani menyatakan dirinya dan Widya sudah bertunangan.“Bisa, Bu Lia. Siap. Pokoknya, oke deh.”Beberapa saat kemudian Beryl sudah meluncur di jalanan dengan menggunakan mobilnya untuk menuju ke sebuah bengkel mobil di mana mobil Bu Liana harus masuk ke bengkel itu.Senja itu Beryl mengenakan jaket berwarna hitam yang merupakan jaket kebesarannya, dipadu dengan mengenakan bawahan jeans berwarna biru tua, dan sepatu adidas warna putih yang sangat dibanggakannya.Setelah dulu hubungan Beryl dan Bu Liana sempat tidak baik, namun setelah semua kesalahpahaman di antara mereka ter
"Mengapa aku harus sekasar itu kepada Bu Liana? Pada hal ia sangat baik kepadaku. Kenapa aku jadi sekasar itu padanya? Mengapa aku harus marah-marah seperti itu hanya karena Bu Liana membicarakan Beryl?.Kemudian bayangan Beryl menggantikan bayangan Bu Liana. Rasanya tak sulit menukarkan lukisan bayangan itu. Sebabwajah Beryl sudah sangat dihafalnya selama ini. Mengapa aku harus semarah itu hanya karena Bu Liana mengatakan bahwa Beryl itumencintaiku? Haruskah aku marah hanya karena Beryl mencintaiku?Widya masih menelentang. Dia menatap langit-langit kamar. Dan, kesadarannya hinggap lagi.Kenapa sekarang semudah ini aku membalikkan tubuh? Padahal, hari-hari kemarin tubuhku terasa lemas danlunglai sekali.Kemudian sepanjang sore dan malam harinya Widya menimbang-nimbang pertanyaan demi pertanyaan yang muncul di kepalanya. Dia ingin hari cepat berganti. Ingin sore cepat datang. Kemudian ingin segera tergantikan oleh pagi. Widya
Dokter Rendra menatap keempat orang yang ada di hadapannya.“Saya sangat mengharapkan bantuan dari kalian semuanya,” kata dokter itu.Sesaat kemudian dokter itu diam. Hanya matanya yang memandang ke empat orang itu dengan berpindah-pindah.Beryl gelisah, dan keringat dingin itu mengalir di keningnya. Penyejuk ruangan itu tak mampu meredakan gemuruh yang bergolak dalam dirinya.Mata Dokter Rendra menghunjamkan pandangan matanya kepada Beryl. Hal itu membuat Beryl menjadi resah dan tak nyaman.“Kamu mencintainya, Beryl?” kata Bu Liana tiba-tiba.Tawa Antonio kemudian meledak.“Oh, iya, saya lupa. Belum saya perkenalkan. Ini Saudara Beryl,” kata Antonio kepada Dokter Rendra.“Dan, saya sendiri Antonio.”Dokter Rendra mengangguk-angguk, kemudian dokter itu berkata yang ditujukan buat Beryl.“Kalau Saudara dapatmengeluarkan dia dari keadaannya se
“Oh, ya, Beryl. Perempuan yang kamu cintai itu sangat cantik. Tubuhnya juga langsing.”“Masih lebih cantik, Bu Liana. Asal tak terlalu banyak makan coklat sama minum es KRIM saja.”“Sekarang aku mau minum jus advokat. Bagus, ‘kan?”“Yah,” kata Beryl sambil menjentik ujung hidung Bu Liana .“Hidung perempuan yang bernama Widya itu juga bagus sekali. Sangat mancung, juga sangat indah . Harmonis dan serasi dengan mulutnya. Kasihan sekali jika melihat dia menangis. Menangisnya nggak bersuara. Kalau aku nggak bisa nangis model dia. Kalau aku yang nangis pasti bersuara.”Beryl hanya merenungi gelas minuman yang ada di depannya.“Widya itu cantik sekali,” kata Bu Liana.“Tapi, wajahnya terlihat sedih sekali.Apakah anaknya hanya satu itu, Beryl?”“Katanya, iya.”“Lalu suaminya di mana seka
Mereka berdiri di dekat kamar pasien di tempat anak Widya berbaring.“Luka-lukanya telah kami obati,” lanjut dokter itu.“Tetapi, dalam kasus kecelakaan anak ini ternyata kepalanya terkena benturan benda keras.”Antonio dan Beryl sama-sama menahan nafas.“Kami sudah berusaha dengan maksimal. Kita tunggu hasilnya," kata dokter itu lembut.“Hanya, sembilan dari sepuluh orang yang mengalami kasus dan kondisi seperti kondisi yang dialami anak ini belum dapat dibantu oleh ilmu kedokteran modern kita.”Antonio dan Beryl saling pandang.“Maksud Dokter apa?” keduanya bertanya tak mengerti.“Tadi perawat sempat bilang, ibu dari anak itu kondisinya agak lemah. Maka dari itu kita harus bijaksana untuk memberitahukan kenyataan ini padanya. Kami masih berusaha sebisa mungkin. Tapi, perlu