Di kantor, Danish menebar senyumnya. Sungguh aneh bukan? Farrel yang menyaksikan tingkah laku sahabatnya pun menyimpulkan bahwa Ilana alasannya. Mungkin tak lama lagi sinar kemilau akan semakin terang di hati Danish."Sepertinya tadi malam berjalan lancar," ucap Farrel ketika duduk di salah satu sofa di kantor Danish.Farrel ke kantor Danish karena ada pekerjaan yang dibicarakan setelah selesai, Farrel bukannya kembali ke kantornya malah membicarakan urusan pribadi."Apa?" Danish membalas dengan pertanyaan."Tadi malam. Kalian pasti sudah baikan.""Begitulah." Danish mengedikan bahu dan berkomentar singkat. Ia sibuk dengan laptop di depannya."Anehnya enggak pacaran tapi bisa marahan. Oh, iya, temenan juga bisa marahan. Jadi, kalian ini berteman atau pacaran?" Sekali lagi Farrel melontarkan pertanyaan, padahal dia sudah tahu jawabannya. Namun, mengingat Danish menjadi lebih sering tersenyum, tentu menguatkan niatnya untuk bertanya dan mendengar sendiri dari mulut Danish.Danish kehilan
Rasa gelisah menyelimuti hati Danish kala memikirkan ucapan sahabatnya tadi siang. Badan Danish tak bisa berbaring santai di ranjangnya. Maka ia putuskan untuk bangkit, melangkah keluar kamarnya.Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Sebenarnya Danish memang kuat begadang demi pekerjaan, tetapi tak setiap hari. Kemarin malam ia sudah begadang dan sekarang begadang lagi.Jari tangan kanan Danish menekan tombol water dispenser, sementara tangan kirinya memegang gelas. Untungnya ia masih fokus, sehingga gelasnya tak kepenuhan.Danish meneguk air putih dalam gelas perlahan-lahan. Ia menghabiskan semuanya. Lantas mencuci gelas tersebut agar ada hal yang dikerjakannya. Namun, mencuci satu gelas tak menghilangkan keruh pikirannya.Satu-satunya cara adalah memastikan perasaanny sendiri."Sepertinya saya harus mulai menerimanya," Danish bergumam. Tetapi, sesaat kemudian Danish kembali membuka mulut, "enggak. Saya enggak bisa menjauh ataupun mendekat."Artinya, Danish belum dapat memutus
Vela tampak menenangkan atasannya, Helen. Wanita yang tadi berdebat dengan Ilana. Terlihat jelas ekspresi malu sekaligus marah di wajah Helen. Padahal wanita itu ingin mempermalukan Ilana."Saya ingin gadis itu meninggalkan perusahaan." Nadanya jelas dipenuhi kebencian. Untuk pertama kali Helen berurusan dengan Ilana sudah membuat dirinya kehilangan muka."Tapi, anak magang itu bukan di divisi kita, Bu," sahut Vela.Vela adalah karyawan yang paling dekat dengan Helen. Bisa dibilang merupakan tangan kanan wanita itu. Helen menatap garang pada Vela."Erna bisa mengatasinya. Kamu kasih tahu Erna, apa yang baru saja saya katakan," perintahnya.Meski begitu Vela tidak beranjak. Menggunakan kekuasaan untuk memecat anak magang?"Tapi, Bu. Apa Bu Erna akan mau menuruti permintaan Ibu?""Vela, kenapa saya merasa kalau kamu tidak mau melakukan perintah saya? Sudah berapa lama kamu bekerja bersama saya? Jika jabatan saya naik, jaba
Sepulang dari kantor, Ilana segera mandi lalu berdandan. Pasalnya Kania tiba-tiba mengajak bertemu setelah beberapa hari bergelut dengan kesibukan masing-masing, mereka jadi kurang ada waktu bertemu.Pertama mereka pergi ke restoran favorit sejak masih SMA. Ya, sambil bernostalgia masa-masa SMA mereka."Cie ... yang bilang mau lupain Danish. Malah kerja di perusahaannya. Aku enggak nyangka aja, perasaan kamu bakal sekokoh ini." Kania menggodanya, yang jelas membuat Ilana tersenyum malu-malu."Malam itu aku udah berpikir matang-matang. Aku udah bikin pengumuman ke keluarga aku, enggak mungkin aku nyerah gitu aja," sahut Ilana, yang kemudian menyeruput jus alpukat melalui sedotan.Kania tak tahan untuk tidak menggeleng. Ia tahu sahabatnya adalah orang yang berpendirian teguh. Hanya saja Kania tak mau sampai Ilana jatuh terlalu dalam karena perasaannya pada Danish."Oke. Kalau kamu sangat yakin, aku tetap akan dukung. Tapi ..., kalau sekali lagi cinta kamu ditolak, aku saranin kamu lanju
Pagi-pagi sekali Vela membelikan segelas kopi untuk Ilana juga mengajaknya berbicara di taman belakang gedung perusahaan.Ilana menerima segelas kopi tanpa berpikir panjang."Kamu pasti kesulitan kemarin," ucap Vela setelah duduk di sebuah gazebo di taman tersebut. Sesekali Vela memperhatikan langit yang dihiasi beberapa awan. Cuaca hari ini amat cerah."Ya, perempuan gila yang cari masalah itu, aku enggak tahu dia seorang manajer," sahut Ilana. Kemudian menyeruput kopinya, "terlalu manis.""Itu kopi instan. Lain kali mau aku belikan kopi pahit?""Kenapa mesti beli? Kak Vela bisa bikinin aku kopi di pantry," sahut Ilana. Meski kemanisan dia tetap menyeruput kopi tersebut karena rasanya tidak enak membuang pemberian orang lain."Kalau kamu tahu Bu Helen seorang manajer, apa kamu akan lebih sopan?" tanya Vela masuk ke pokok pembicaraan. Vela merasa gelisah sejak kemarin dan juga merasa bersalah, karena hampir saja Ilana kehilangan pekerjaan. Dia berterima kasih karena Erna tidak menurut
Kania datang mengenakan rok A-line berwarna hitam ditambah atasan blouse merah muda. Ia menyampirkan tas selempang di bahu kirinya. Setelah menyapa Ilana, Kania duduk di sebelah Ilana."Wah, Pak Danish juga ikutan. Kayaknya hubungan kalian berjalan lancar." Tanpa mengetahui apa pun Kania langsung berbicara. Dia secara bergantian mengarahkan tatapan pada Danish, Ilana dan terakhir pada Farrel.Danish menoleh pada Ilana. "Bukan seperti yang kalian pikirkan. Saya hanya menemani di sini, bukan bermaksud lain." Dia mengeluarkan pendapat setelah diam selama beberapa menit."Ya, kami semua tahu. Enggak perlu dijelaskan lagi." Ucapan Farrel memiliki dua arti, yang pertama mereka mengerti tak ada hubungan apa pun antara Danish dan Ilana. Dan yang kedua, mereka memang percaya ada hubungan romantis."Saya tahu yang saat ini ada dipikiran kalian. Makanya saya jelaskan," Danish kembali berucap.Namun, Farrel dan Kania masih tertawa. Sepertinya mereka satu pemikiran akan hal ini, dan mereka pura-pu
Pihak rumah sakit yang tadi menelepon Danish, mengatakan kalau Gabriel tengah menderita GERD. Tentu saja Gabriel yang meminta pihak rumah sakit mengabarkan pada Danish. "Kenapa kamu tiba-tiba jatuh sakit?" pertanyaan itu terlontar ketika Danish sampai bangsal rawat Gabriel.Tatapan mata Gabriel sayu ketika bertemu tatapan Danish. Wanita itu terbaring lemah di ranjang pasien. Meski begitu Gabriel masih bisa mengangkat kedua ujung bibirnya.Dengan lemah Gabriel menjawab, "Karena aku kurang istirahat dan kebanyakan minum kopi. Tapi, aku bahagia karena akhirnya aku menang.""Menang?" Kini Danish duduk di kursi di sebelah ranjang pasien tersebut."Iya. Bukannya kemarin aku udah bilang? Aku menang presentasi. Setelah aku masuk kerja lagi, aku bisa tangani proyek itu bersama kamu." Meskipun sakit, Gabriel terlihat bahagia bisa bekerja sama dengan Danish. Gabriel mempersiapkan segala sesuatunya bersama timnya, bahkan lembur selama beberapa hari. Wanita itu juga tidak makan dengan teratur dan
Danish merasa sedikit pusing dikarenakan tidurnya semalam tak begitu nyenyak. Dan badannya agak pegal, pasalnya Danish tidur di atas sofa. Danish kembali ke rumahnya sekitar pukul 6 pagi tadi. Dia hanya sempat mandi, lalu berpakaian, setelannya berangkat ke kantor tanpa sarapan."Serena tolong belikan saya sarapan dan kopi," pintanya pada sekretaris.Kemudian Serena pergi untuk membeli roti lapis sebagai sarapan Danish, sedangkan kopi dia buatkan di pantry. Danish lebih menyukai kopi buatan Serena ketimbang membeli di luar.Beberapa menit kemudian Serena membawakan roti lapis dan kopi ke ruangan Danish. "Silakan, Pak Direktur," ujar Serena. Dia memperhatikan atasannya yang sedikit lesu. "Apa Pak Danish kurang sehat?""Ya, begitulah," jawabnya singkat. Beberapa saat kemudian Danish kembali berucap, "malam ini saya enggak lembur. Saya minta tolong sama kamu, nanti sore ambilkan saya baju ganti di rumah dan bawa ke sini.""Pak Danish mau ke mana kalau boleh tahu?" Atasannya jarang memint