Share

Chapter 2

 Ilana begitu senang ketika Danish tiba di rumahnya. Ia langsung mendorong Danish dan menyuruhnya ke meja makan. Gadis itu terlihat sangat antusias sampai-sampai tidak menyadari Danish mengerutkan keningnya. Danish Arrarya berjalan malas ketika Ilana mendorongnya dari belakang. Entah bagaimana caranya gadis itu bisa masuk ke rumahnya? Danish tidak pernah memberikan kunci rumah ataupun sandi rumah pada Ilana.

 “Ilana, sekarang kamu jawab saya. Bagaimana cara kamu masuk?” tanya Danish begitu ia duduk di meja makan.

 “Kak Dan, kita bisa bicarakan itu sambil makan malam. Kak Dan pasti udah lapar, ‘kan? Sebagai calon istri yang baik, Ilana udah masak buat Kakak,” kata Ilana seraya tersenyum sedikit canggung.

 Ia tidak bisa mengatakan caranya masuk ke rumah Danish karena Ilana tahu Danish pasti akan marah, jika Ilana mengatakan kebenarannya. Namun, bagaimanapun juga Ilana tetap harus berkata jujur. Danish paling tidak suka jika dibohongi. Apa lagi Ilana berniat mengejar Danish, tentu saja kebohongannya akan membuat Danish kecewa.

 “Ilana, katakan sekarang.”

 “Enggak sabaran banget, sih,” gumam Ilana sejenak memalingkan muka. Akan tetapi, dengan cepat Ilana mengembalikan ekspresi cerianya. Danish merupakan calon suami yang didambakan oleh Ilana sejak lama. Meskipun, Danish kadang acuh dan dingin padanya, tapi Ilana tidak pernah mempermasalahkan. Ia yakin suatu saat akan dapat meluluhkan hati Danish Arrarya.

 “Habis makan malam, aku kasih tahu.”

 Lantas Ilana kembali ke dapur—menyiapkan hidangan makan malam yang telah ia masak sejak dua jam yang lalu. Sebenarnya Ilana tidak terlalu pintar memasak. Namun, ia sangat percaya diri akan kemampuannya yang tidak seberapa itu. Siang tadi, sebelum Ilana berangkat ke rumah Danish, ia memasak di rumah dan meminta Arion mencicipi masakannya. Tidak di sangka-sangka lidah Arion langsung sari awan lantaran masakan Ilana terlalu berminyak dan yang lebih parah lagi, masakannya benar-benar asin.

 Semua menu yang telah di masak Ilana tertata rapi di atas meja. Danish menatap seluruh menu itu satu per satu, mulai dari telur goreng yang bentuknya cukup bagus, tapi tidak tahu akan layak di makan atau tidak. Tumis kangkung berminyak, tempe goreng berwarna hitam kentara sekali kalau Ilana berhasil membuat tempe tersebut menjadi gosong. Sementara itu, masih ada paha ayam yang dibalut tepung. Danish tidak yakin kalau ayam goreng itu sudah matang.

 Ilana dengan cekatan mengambilkan nasi dan lauk tersebut untuk Danish. Ia tidak bertanya akankah Danish menyukai masakannya karena ia percaya diri akan talentanya.

 “Kamu yakin menyuruh saya makan ini?”

 Ilana menjawab dengan anggukan keras. Dua jam lamanya ia berusaha membuat makan malam untuk Danish. Meskipun, hanya bisa masak makanan sederhana dan rasanya belum tentu akan enak. Tangan Danish yang memegang sendok berhenti di udara. Ia mencium aroma masakan tersebut dan merasa ada yang tidak beres. Apa yang akan terjadi jika ia makan masakan itu? Apakah besok ia masih bisa pergi ke kantor?

 Danish dengan hangat menatap Ilana. “Ilana, mau makan malam di luar?” tidak lupa Danish mengembangkan senyum yang akan memperlihatkan lesung pipinya.

 Setiap kali Danish mengajaknya makan malam di luar, Ilana pasti akan setuju. Namun, kali ini raut wajahnya menampakkan ketidaksenangan. Ilana yang biasanya akan melompat kegirangan mendengar ajakan Danish meski ia tahu untuk menghindari makan masakannya—tetap akan senang. Kali ini, bahkan ia tidak bersuara dan hanya menatap mata Danish.

 Detik kemudian, Ilana menundukkan kepalanya. “Aku siapin semua ini selama dua jam. Kak Dan, bahkan enggak mau cicipi masakan aku. Selalu aja begitu. Kak Dan selalu nolak makan masakan aku.”

 Mendengar keluhan Ilana, Danish mengerjapkan matanya berkali-kali. Tidak dapat percaya bahwa Ilana akan mengeluh padanya. Saat ini, ia merasa bersalah telah terang-terangan menolak masakan gadis itu.

 “Ilana mau pulang aja.”

    🍁🍁🍁

 Ilana turun setelah Danish membukakan pintu untuknya. Pria itu tidak sampai hati membiarkan Ilana pulang sendirian. Bibir Danish terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi setelah melihat Ilana langsung masuk ke dalam rumahnya, Danish mengurungkan niat untuk berbicara. Perhatiannya masih tertuju pada punggung Ilana yang menghilang di balik pintu. Jika biasanya Ilana akan memaksa Danish untuk mampir, kali ini Ilana benar-benar mengacuhkan pria itu setelah menolak masakannya.

 “Dia marah?” gumam Danish. Sejenak kemudian, Danish memiliki ekspresi lega di wajahnya. “Kalau dia marah, berarti dia tidak akan mengganggu, ‘kan?”

 Segera Danish masuk ke dalam mobilnya. Mengemudikan mobil tersebut menuju ke arah rumahnya. Padahal Danish belum makan malam, tapi ia tidak singgah ke restoran, malah pulang dan mendapati masakan Ilana di atas meja. Danish yang melihat makanan itu termenung di kursinya. Sama sekali tidak ada keinginan Danish untuk mencicipi masakan Ilana yang ia ketahui akan berbahaya bagi kesehatannya.

 Namun, mengingat raut wajah kecewa gadis itu, membuat hati Danish tergerak lalu mengambil sendok dan menyuapi dirinya. Tidak peduli bagaimana rasa masakan tersebut; sesuap demi sesuap Danish memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

    🍁🍁🍁

 Arion masuk ke dalam kamar Ilana setelah melihat adiknya itu pulang dengan wajah tidak senang. Padahal tadi pagi Ilana sangat bersemangat memberitahukan ide gilanya pada semua orang. Ya, Arion menganggap apa yang Ilana katakan pada mereka hanya bualan belaka. Setelah Ilana merasa bosan, gadis itu akan mencari kegiatan baru lagi.

 Menatap adiknya yang tengah termenung, Arion membuka suaranya, “Kamu jadi mengejar Danish?”

 “Iya. Kenapa?”

 “Kasihan Danish,” Arion bergumam amat pelan.

 “Aku dengar yang Kakak bilang barusan.”

 Arion tertawa canggung lalu duduk di tepi ranjang berwarna merah muda tersebut. Sesaat Arion mengamati kamar adiknya yang didominasi warna merah muda itu. Hampir setengah dari kamar itu ditempati oleh kumpulan boneka. Belum lagi aksesoris Idola K-Pop berada dalam satu lemari. Arion selalu beranggapan kalau Ilana masih anak-anak dan tidak seharusnya ia berpikir untuk mengejar Danish yang usianya sepuluh tahun lebih tua. Bahkan, Danish lebih tua empat tahun dari Arion. Bagaimana Arion mau percaya akan hal itu?

 “Kakak enggak mau dukung aku?”

 “Kakak pasti dukung kalau kamu memang serius, Na. Sekarang ini kamu baru berusia 20 tahun dan lagi senang-senangnya main. Kakak hanya takut kalau perasaan kamu untuk Danish hanya sesaat.”

 Ilana bangkit lalu duduk di samping Arion. Lantas merebahkan kepalanya pada bahu Arion. “Ini bukan perasaan sesaat, Kak. Aku suka Danish sejak ….” Ilana menghentikan ucapannya. Saat ini, ia tampak malu-malu seperti gadis yang baru pertama kali jatuh cinta.

 Memang benar ini merupakan kali pertama Ilana jatuh cinta dan itu pun pada pria yang usianya berjarak sepuluh tahun darinya.

 “Sejak kapan?”

 “Sejak pertama kali Danish main ke rumah kita.”

 “Itu, kan, 10 tahun yang lalu, Ilana. Jangan-jangan Danish cinta pertama kamu?” tebak Arion.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status