Ilana begitu senang ketika Danish tiba di rumahnya. Ia langsung mendorong Danish dan menyuruhnya ke meja makan. Gadis itu terlihat sangat antusias sampai-sampai tidak menyadari Danish mengerutkan keningnya. Danish Arrarya berjalan malas ketika Ilana mendorongnya dari belakang. Entah bagaimana caranya gadis itu bisa masuk ke rumahnya? Danish tidak pernah memberikan kunci rumah ataupun sandi rumah pada Ilana.
“Ilana, sekarang kamu jawab saya. Bagaimana cara kamu masuk?” tanya Danish begitu ia duduk di meja makan.
“Kak Dan, kita bisa bicarakan itu sambil makan malam. Kak Dan pasti udah lapar, ‘kan? Sebagai calon istri yang baik, Ilana udah masak buat Kakak,” kata Ilana seraya tersenyum sedikit canggung.
Ia tidak bisa mengatakan caranya masuk ke rumah Danish karena Ilana tahu Danish pasti akan marah, jika Ilana mengatakan kebenarannya. Namun, bagaimanapun juga Ilana tetap harus berkata jujur. Danish paling tidak suka jika dibohongi. Apa lagi Ilana berniat mengejar Danish, tentu saja kebohongannya akan membuat Danish kecewa.
“Ilana, katakan sekarang.”
“Enggak sabaran banget, sih,” gumam Ilana sejenak memalingkan muka. Akan tetapi, dengan cepat Ilana mengembalikan ekspresi cerianya. Danish merupakan calon suami yang didambakan oleh Ilana sejak lama. Meskipun, Danish kadang acuh dan dingin padanya, tapi Ilana tidak pernah mempermasalahkan. Ia yakin suatu saat akan dapat meluluhkan hati Danish Arrarya.
“Habis makan malam, aku kasih tahu.”
Lantas Ilana kembali ke dapur—menyiapkan hidangan makan malam yang telah ia masak sejak dua jam yang lalu. Sebenarnya Ilana tidak terlalu pintar memasak. Namun, ia sangat percaya diri akan kemampuannya yang tidak seberapa itu. Siang tadi, sebelum Ilana berangkat ke rumah Danish, ia memasak di rumah dan meminta Arion mencicipi masakannya. Tidak di sangka-sangka lidah Arion langsung sari awan lantaran masakan Ilana terlalu berminyak dan yang lebih parah lagi, masakannya benar-benar asin.
Semua menu yang telah di masak Ilana tertata rapi di atas meja. Danish menatap seluruh menu itu satu per satu, mulai dari telur goreng yang bentuknya cukup bagus, tapi tidak tahu akan layak di makan atau tidak. Tumis kangkung berminyak, tempe goreng berwarna hitam kentara sekali kalau Ilana berhasil membuat tempe tersebut menjadi gosong. Sementara itu, masih ada paha ayam yang dibalut tepung. Danish tidak yakin kalau ayam goreng itu sudah matang.
Ilana dengan cekatan mengambilkan nasi dan lauk tersebut untuk Danish. Ia tidak bertanya akankah Danish menyukai masakannya karena ia percaya diri akan talentanya.
“Kamu yakin menyuruh saya makan ini?”
Ilana menjawab dengan anggukan keras. Dua jam lamanya ia berusaha membuat makan malam untuk Danish. Meskipun, hanya bisa masak makanan sederhana dan rasanya belum tentu akan enak. Tangan Danish yang memegang sendok berhenti di udara. Ia mencium aroma masakan tersebut dan merasa ada yang tidak beres. Apa yang akan terjadi jika ia makan masakan itu? Apakah besok ia masih bisa pergi ke kantor?
Danish dengan hangat menatap Ilana. “Ilana, mau makan malam di luar?” tidak lupa Danish mengembangkan senyum yang akan memperlihatkan lesung pipinya.
Setiap kali Danish mengajaknya makan malam di luar, Ilana pasti akan setuju. Namun, kali ini raut wajahnya menampakkan ketidaksenangan. Ilana yang biasanya akan melompat kegirangan mendengar ajakan Danish meski ia tahu untuk menghindari makan masakannya—tetap akan senang. Kali ini, bahkan ia tidak bersuara dan hanya menatap mata Danish.
Detik kemudian, Ilana menundukkan kepalanya. “Aku siapin semua ini selama dua jam. Kak Dan, bahkan enggak mau cicipi masakan aku. Selalu aja begitu. Kak Dan selalu nolak makan masakan aku.”
Mendengar keluhan Ilana, Danish mengerjapkan matanya berkali-kali. Tidak dapat percaya bahwa Ilana akan mengeluh padanya. Saat ini, ia merasa bersalah telah terang-terangan menolak masakan gadis itu.
“Ilana mau pulang aja.”
🍁🍁🍁
Ilana turun setelah Danish membukakan pintu untuknya. Pria itu tidak sampai hati membiarkan Ilana pulang sendirian. Bibir Danish terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi setelah melihat Ilana langsung masuk ke dalam rumahnya, Danish mengurungkan niat untuk berbicara. Perhatiannya masih tertuju pada punggung Ilana yang menghilang di balik pintu. Jika biasanya Ilana akan memaksa Danish untuk mampir, kali ini Ilana benar-benar mengacuhkan pria itu setelah menolak masakannya.
“Dia marah?” gumam Danish. Sejenak kemudian, Danish memiliki ekspresi lega di wajahnya. “Kalau dia marah, berarti dia tidak akan mengganggu, ‘kan?”
Segera Danish masuk ke dalam mobilnya. Mengemudikan mobil tersebut menuju ke arah rumahnya. Padahal Danish belum makan malam, tapi ia tidak singgah ke restoran, malah pulang dan mendapati masakan Ilana di atas meja. Danish yang melihat makanan itu termenung di kursinya. Sama sekali tidak ada keinginan Danish untuk mencicipi masakan Ilana yang ia ketahui akan berbahaya bagi kesehatannya.
Namun, mengingat raut wajah kecewa gadis itu, membuat hati Danish tergerak lalu mengambil sendok dan menyuapi dirinya. Tidak peduli bagaimana rasa masakan tersebut; sesuap demi sesuap Danish memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
🍁🍁🍁
Arion masuk ke dalam kamar Ilana setelah melihat adiknya itu pulang dengan wajah tidak senang. Padahal tadi pagi Ilana sangat bersemangat memberitahukan ide gilanya pada semua orang. Ya, Arion menganggap apa yang Ilana katakan pada mereka hanya bualan belaka. Setelah Ilana merasa bosan, gadis itu akan mencari kegiatan baru lagi.
Menatap adiknya yang tengah termenung, Arion membuka suaranya, “Kamu jadi mengejar Danish?”
“Iya. Kenapa?”
“Kasihan Danish,” Arion bergumam amat pelan.
“Aku dengar yang Kakak bilang barusan.”
Arion tertawa canggung lalu duduk di tepi ranjang berwarna merah muda tersebut. Sesaat Arion mengamati kamar adiknya yang didominasi warna merah muda itu. Hampir setengah dari kamar itu ditempati oleh kumpulan boneka. Belum lagi aksesoris Idola K-Pop berada dalam satu lemari. Arion selalu beranggapan kalau Ilana masih anak-anak dan tidak seharusnya ia berpikir untuk mengejar Danish yang usianya sepuluh tahun lebih tua. Bahkan, Danish lebih tua empat tahun dari Arion. Bagaimana Arion mau percaya akan hal itu?
“Kakak enggak mau dukung aku?”
“Kakak pasti dukung kalau kamu memang serius, Na. Sekarang ini kamu baru berusia 20 tahun dan lagi senang-senangnya main. Kakak hanya takut kalau perasaan kamu untuk Danish hanya sesaat.”
Ilana bangkit lalu duduk di samping Arion. Lantas merebahkan kepalanya pada bahu Arion. “Ini bukan perasaan sesaat, Kak. Aku suka Danish sejak ….” Ilana menghentikan ucapannya. Saat ini, ia tampak malu-malu seperti gadis yang baru pertama kali jatuh cinta.
Memang benar ini merupakan kali pertama Ilana jatuh cinta dan itu pun pada pria yang usianya berjarak sepuluh tahun darinya.
“Sejak kapan?”
“Sejak pertama kali Danish main ke rumah kita.”
“Itu, kan, 10 tahun yang lalu, Ilana. Jangan-jangan Danish cinta pertama kamu?” tebak Arion.
Pagi ini Danish bersiap-siap pergi ke Danadyaksa Group. Beberapa menit lalu Serena menelepon memberitahu pada Danish kalau ada kerusakan pada sistem web di perusahaan tersebut. Danish sendiri yang merancang website untuk perusahaan ayah Ilana. Jadi, setiap kali ada masalah dengan website pada perusahaan itu, Danish sendiri yang akan pergi ke sana. Danish mendirikan perusahaan IT sejak ia masih kuliah. Pada waktu itu ia bekerja sendiri dan setelah bertemu dengan Raihan—ayah Ilana. Laki-laki itu memberikan investasi pada Danish, sehingga perusahaannya semakin berkembang dalam sepuluh tahun ini.Danish sudah memiliki ratusan karyawan dan perusahaannya kini sudah semakin besar, hingga ia melebarkan sayapnya ke kota-kota lain seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Sementara itu, kantor pusat tetap berada di Bali.Hubungan Danish dan keluarga Danadyaksa sangat akrab. Maka tidak heran jika Ilana lengket pada Danish yang sudah dikenalnya selama sepuluh tahun.
Ilana menghabiskan makan siangnya tanpa tersisa. Setelah bertemu Danish pagi ini, ia menjadi sangat bersemangat. Bahkan,lebih ceria dari biasanya. Kania bengong melihat sahabatnya yang biasanya tidak pernah menghabiskan makan siang. Kini, piring di depannya itu seperti habis dicuci.“Rahang kamu hampir jatuh,” ujar Ilana seraya menyeka bibirnya dengan elegan.Kania menutup mulutnya rapat-rapat. Setelah itu ia bertanya kepada Ilana dengan tatapan heran tidak terbendung di matanya. “Ada angin apa, Na? Tumben banget semua makan siang habis?”“Tadi pagi ketemu Danish,” jawabnya polos.“Danish?” Kania bertambah kaget. Ia sudah sejak lama mengetahui Ilana memiliki perasaan pada pria itu karena Kania merupakan tempat curhat Ilana. “Bukannya hampir tiap hari ketemu Danish? Sekarang apa bedanya?”“Aku udah pernah bilang kan kalau aku enggak mau lanjut kuliah S2?”Kania mengangguk, menunggu penjelasan sahabatn
Selama makan malam. Ilena tidak bisa mengatakan yang sesungguhnya ingin ia katakan pada Danish. Danish mengantar Ilana sampai di pintu gerbang rumahnya. Pria itu sudah membuka sabuk pengamannya dan bersiap turun guna membukakan pintu untuk Ilana. Namun, ketika Danish melihat Ilana yang tengah cemberut. Ia langsung mengurungkan niatnya untuk turun.Pandangannya mengarah pada gadis itu. Gelagat Ilana saat ini sedikit gelisah. Pastinya karena ia ingin mengatakan sesuatu pada Danish, tapi tidak tahu cara untuk mengatakannya. Ragu-ragu Ilana melirik Danish, lalu memalingkan tatapannya. Begitu seterusnya, hingga lima menit telah berlalu dan mereka masih berada di dalam mobil.“Kamu mau bilang sesuatu?” Danish akhirnya bersuara.Ilana mengangguk lembut. Menggigit bibirnya seraya mendaratkan tatapannya pada mata Danish. Ia tengah berpikir bagaimana memulai menyampaikan pada Danish, bahwa sebenarnya Ilana ingin mengejar Danish secara terang-terangan.
“Pagi semua.” Ilana dengan penuh semangat menyapa keluarganya di ruang makan. Arion menatap adiknya sampai-sampai berhenti mengunyah sarapan. “Pagi,” balasnya. Ilana segera duduk, tidak lupa melirik Arion lalu tersenyum mengejek. “Buruan kunyah sarapannya, Kak.” “Selamat pagi, Ilana,” ujar kedua orang tuanya. Ibunya mengambil sarapan untuk Ilana lalu menaruh piring di yang sudah berisi telur orak-arik—di depan Ilana. “Kamu semangat sekali pagi ini. Ada kabar gembira?” tanya ibunya. Ilana hanya tersenyum. Setelah itu memasukkan sarapan ke dalam mulutnya. Barulah ia menjawab pertanyaan ibunya, “Cuma senang aja, Ma.” Lantas ia menoleh pada ayahnya. “Pa, gimana kalau malam ini kita undang Kak Danish makan malam?” “Undang Danish?” Ilana buru-buru mengangguk. Entah rencana apa lagi yang ia pikirkan dengan mengundang Danish makan malam. Ia begitu yakin kalau Danish sudah memberikannya harapan untuk mengejarnya. “Oke, n
“Ilana, saya mau bicara serius dengan kamu,” kata Danish. Menatap Ilana dengan mata gelapnya yang terlihat serius.Ilana menajamkan pendengarannya. Matanya terfokus hanya pada wajah Danish. Gadis itu menunggu dengan sabar.“Saya tidak mencintai kamu. Jadi, Ilana, tolong lupakan saja saya,” ujar Danish.Runtuh semua harapan dan penantian Ilana selama ini. Dengan beberapa kata yang Danish ucapkan padanya, berhasil membuat bibir Ilana melengkung ke bawah.Gadis itu masih termangu di depan Danish. Ia seolah tak tahu bagaimana harus menanggapi. Apakah Ilana baru saja mendapatkan penolakan cinta?“Ilana, kamu enggak apa-apa?” Danish masih bisa bertanya, sedangkan hati Ilana sangat hancur sampai tak bisa berkata-kata.Teganya Danish langsung menolak Ilana begitu saja. Pria itu sekarang merasa bersalah karena sudah terlalu jujur pada Ilana.“Ilana, saya—”Ilana tiba-tiba berdiri dan
Ketika Danish beranjak dari ranjang, pecahan momen tadi malam mengusik pikirannya. Ia terduduk di tepi ranjang sembari mengusap wajahnya. Ilana menyebabkan Danish tak bisa tenang, bahkan dalam tidur pun ada Ilana dalam mimpinya.“Ilana seharusnya enggak berkata begitu,” gumam Danish. Ia beranjak dari tepi ranjang menuju kamar mandi. Kalau bisa untuk sementara waktu Danish tidak ingin bertemu Ilana. Semoga saja harapan Danish itu tidak dikecewakan oleh takdir.Setelah ia selesai mandi, mengganti pakaiannya dengan pakaian kerja—Danish menerima telepon masuk. Ia menoleh pada ponselnya di atas nakas. Ekspresi Danish memperlihatkan keterkejutan yang luar biasa. Raihan—ayah Ilana meneleponnya—sepagi ini.Danish menelan ludah dalam-dalam dan banyak sekali pikiran aneh bermunculan. Tangan Danish menyambar ponsel tersebut menekan ikon hijau lalu menempelkan benda itu ke telinga dan setelahnya terdengar suara Raihan.Danish memohon dalam hatinya; semoga Raihan belum mengetahui percakapannya de
Satu bulan kemudian Danish mendapati hal tak terduga karena Ilana mengikuti wawancara kerja di perusahaannya, dan gadis itu berhasil menempati posisi pegawai magang. Ada tiga orang yang diterima sebagai pegawai magang, dua orang itu akan bekerja sama dengan Ilana.Danish memijat pelipisnya. Setelah sebulan tidak diganggu oleh Ilana, rupanya inilah rencana Ilana. Malam itu sebulan yang lalu Danish sempat merasa sedih, tapi kini rasanya percuma merasa sedih. Danish tahu Ilana sudah menyusun rencana untuk mendekatinya. Lagi.Bagaimanapun juga dia harus berterima kasih pada gadis itu karena memberinya ruang selama satu bulan. Dan rasa pusing menghadapi gadis itu telah hilang.Danish kembali fokus pada pekerjaannya. Setidaknya pegawai magang tidak berhubungan langsung dengan Direktur, jadi Danish tidak mungkin diganggu, ‘kan oleh Ilana? Namun, Danish meragukan hal itu karena Ilana punya banyak cara.Misalnya sekarang gadis itu membawakan kopi ke kantornya. Danish langsung mencari sekretar
Wanita itu mengulurkan tangan ke depan Ilana, sembari memasang senyum ramah. “Kenalin, namaku Vela.”Tanpa berpikir aneh-aneh Ilana menjabat tangan Vela. Meski sebagian karyawan sudah Ilana kenal, tapi wanita di hadapannya ini terlihat asing.Mereka saat ini berada di atap gedung perusahaan tersebut. Padahal masih jam kerja dan seorang karyawan senior membawa anak magang ke atap gedung di jam kerja?“Aku dari divisi perencanaan,” kata Vela, lalu melanjutkan setelah jeda beberapa detik, “katanya kamu sering datang ke perusahaan, bahkan sebelum bekerja di sini?”Ilana sedikit mengernyitkan kening. Hanya wanita ini yang berani bertanya seperti itu padanya. Dengan nada percaya diri Ilana menjawab, “Iya. Aku sering datang ke sini.”Kini gilaran Vela yang mengerutkan1 kening. “Menemui Pak Danish?” Tanpa basa-basi Vela langsung menebak. “Kalau kamu kenalan Pak Danish dan akhirnya bekerja di sini—”Ilana memotong ucapan Vela, “Enggak usah berpikir macam-macam. Aku ke terima di sini kare