Share

Leluhur

Harum melepas tangan Mas Wira yang merangkulnya, kemudian dia maju selangkah ke arahku. Sambil melipat tangan di dada dan mendongakkan kepala dengan congkak, dia berkata, "tenang saja, Kak Manis. Kami tidak akan berbuat seperti yang kau pikirkan. Suamimu hanya khawatir membiarkanku tidur sendirian, jadi dia akan menemaniku."

 

 

Aku mendelik di detik yang tak disadari Harum, lalu secepat mungkin mengubah delikan menjadi tatapan penuh kasih sayang saat Harum kembali menatapku. Wanita itu belum tahu bagaimana munafiknya diriku.

 

 

"Terserah kalian saja, aku hanya mengingatkan. Bahwa di rumah ini tak boleh ada satu orang pun yang berniat jahat apalagi berbuat asusila, karena ada sesosok makhluk yang siap menghukum kalian jika melanggar peraturan," ucapku.

 

 

Tak boleh ada yang berniat jahat di rumah ini, kecuali aku. Begitulah maksudku.

 

 

"Omong kosong!" balas Harum seraya berbalik arah, memunggungiku, dan menggandeng tangan suamiku menuju kamar.

 

 

Kupencet tombol 'On' pada pegangan kursi roda sebelah kanan, seketika kursi roda melaju menuju tangga khusus. Aku akan menuju kamarku di lantai dua ketika baru sampai di ujung tangga, terdengar suara Harum merayu Mas Wira. Kuhentikan kursi roda untuk mendengar percakapan mereka.

 

 

"Sabar saja, Mas Wira-ku sayang. Sebentar lagi kau akan terbebas dari kungkungan istri lumpuh itu. Nahas sekali nasib Si Manis, wajah cantik dengan rambut ikal bergelombang, memiliki kekayaan yang tak terhitung ... tapi lumpuh! Haha," ucapnya bernada mengejek.

 

 

"Itulah sebabnya aku ingin menikahimu, Harum. Kau sempurna. Aku sangat mencintaimu," balas Mas Wira. Sedetik kemudian, terdengar suara kecupan dari sepasang calon pengantin itu.

 

 

Percakapan mereka menggelitik hati ini. Kursi roda melaju kembali, kini berhasil mendarat di dalam kamarku—tepat pukul delapan malam.

 

 

Jendela kamar yang tadi pagi kubuka, menampakkan hamparan tanah yang luas di bawah langit gelap gulita. Kini aku kembali menatap dengan perasaan tak sabar pada tanah yang lapang itu. Sebentar lagi, rumah untuk mereka akan segera dibangun. Entah itu Mas Wira atau Harum yang lebih dulu, atau bahkan mungkin keduanya akan mati bersamaan lalu dikubur di sana—di rumah keabadian. Aku berjanji, akan menghias kuburan mereka dengan dinding-dinding dan atap yang indah selayaknya rumah. Dan setiap malam, bahkan setiap saat ... aku dapat menonton mereka dari dalam kamar ini. Hanya perlu membuka jendela ini lebar-lebar saja untuk bertemu dengan kuburan mereka nantinya!

 

 

"Ha ha ha ...."

 

 

Tawaku menggema ke setiap penjuru rumah.Aku dapat mendengar getaran suara tawaku sendiri di udara yang memantul ke dinding. Gelak tawa yang mengandung emosi ini membuat foto pernikahanku dengan Mas Wira bergetar di atas nakas samping tempat tidur. Di luar sana, kepak sayap kelelawar dan suara burung hantu mengiringi getirnya luka hati dalam tawa ini.

 

 

Suami dan wanita perebut suamiku itu ingin berkuasa di rumahku bahkan tak segan menghina cacat yang kuderita! Sebelum mereka menyingkirkanku, aku akan lebih dulu menyingkirkan salah satu diantara mereka, atau mungkin keduanya!

 

 

Angin malam bertiup mengenai daun pintu jendela, membuatnya menutup dengan sendirinya. Kumajukan kursi roda lalu mengunci jendela.

 

Di kamar bawah tangga sana terdengar suara jeritan seiring berlalunya angin malam barusan. Harum menjerit kesakitan karena ulahnya sendiri, dia pasti tak mengindahkan peringatan tentang perbuatan asusila, hingga hal itu membangunkan leluhurku yang tinggal di rumah ini. 

 

 

Leluhurku saat ini pasti sedang memberikan hukuman pada Harum dan Mas Wira atas apa yang sedang mereka lakukan di dalam kamar sana.

 

"Tidurlah, Manis-ku sayang .... Nyimas dan Mbah-mu sudah menghukum mereka. Tak ada satu orang pun yang boleh menyakiti keturunanku! Sekarang tidurlah ... tidurlah ...," bisik Nyimas dan Mbah-ku. Mereka adalah leluhur yang sudah meninggal dunia ratusan tahun lalu, namun ruh-nya masih tinggal di rumah ini dan selalu menjagaku.

 

 

Tubuhku melayang, leluhurku memindahkanku dari kursi roda ke atas kasur. Dia tahu aku selalu kesulitan untuk berpindah dari kursi roda ini. 

 

 

Diiringi lantunan kawih-kawih Sunda kuno dari leluhurku, aku pun akhirnya dapat tertidur lelap.

 

 

*

 

 

Bilqis—temanku satu-satunya—sudah memencet klakson mobil berkali-kali, suara berisiknya terdengar hingga ke kamarku di lantai dua. Aku pun sudah bersiap untuk pergi bersamanya, menuju suatu tempat rahasia yang akan menjadi peristirahatanku hingga acara pernikahan Harum dan Mas Wira selesai dilangsukan. 

 

 

Seperti biasa, untuk turun ke bawah, kursi rodaku ini harus menuruni tangga khusus. Namun ada satu hal yang kurasa aneh, sejak dini hari tadi tak kudengar suara Mas Wira maupun Harum. Apakah Nyimas dan Mbah-ku terlalu keras menghukum mereka malam tadi, hingga kini mereka tak berkutik lagi?

 

 

Tidak!

 

 

Aku belum selesai bermain-main dengan mereka, mereka harus tetap bernapas, aku belum puas membalas kelancangan mereka!

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status