Share

Sepakat

"Aku tidak akan meminta mahar. Aku juga akan menuruti semua perintahmu, tapi aku hanya minta satu hal, yaitu jatah waktu kebersamaan dengan Mas Wira ... aku harus mendapat porsi lebih banyak darimu, Kak."

 

 

Harum menjawab dengan penuh keyakinan. Sepertinya ada sesuatu yang direncanakan wanita ini, sungguh sesuatu yang janggal jika dia lebih memilih kebersamaan daripada harta benda. Bukankah, dimana-mana seorang wanita rela menjadi istri ke dua demi harta benda? Tapi, Harum sungguh berbeda. Dia sudah melihat isi rumahku dan juga perhiasan yang kukenakan, bahkan roda pada kursi rodaku pun berlapis emas! Tidakkah dia tergiur untuk meminta mahar sebongkah berlian, sebuah rumah, atau sebuah perusahaan sekalipun? Padahal, aku bersedia memberikannya andai dia meminta. Kenyataannya, wanita ini tidak meminta harta, dia hanya minta jatah kebersamaan yang lebih banyak dengan Mas Wira. Menarik sekali wanita di hadapanku ini.

 

 

"Berapa hari yang kau mau untuk menghabiskan waktu bersama Mas Wira?" tanyaku.

 

 

"Enam hari dalam seminggu. Dari mulai hari Senin-Sabtu. Hari Minggu, baru giliranmu. Karena pada hari Minggu aku harus pulang ke kampungku untuk suatu urusan," jawabnya.

 

 

Serakah!

 

 

"Kau sama sekali hanya memberiku hari sisa? Tak inginkah kau membagiku lebih banyak hari?" tanyaku.

 

 

"Ayolah, Kak ... untuk apa kau punya jatah hari yang banyak? Kau hanya bisa duduk di kursi roda, Mas Wira lama-lama akan merasa bosan denganmu. Kasihan dia, kan? Sementara denganku ... aku bisa menemaninya pergi ke mall, makan di restauran, menginap di hotel, dan banyak hal yang bisa kami lakukan bersama. Mas Wira akan senang, dan dia tidak akan banyak mengeluh. Coba bayangkan jika dia harus menghabiskan banyak waktu denganmu, tidakkah kau kasihan padanya?" balas Harum dengan memberi pertanyaan mengejek. 

 

 

Aku tersenyum pada Harum. "Bukankah, karena aku lumpuh lah maka aku lebih banyak membutuhkan waktu bersama suamiku, sehingga dia bisa merawatku?" kataku sedikit merendah.

 

 

Harum semakin congkak dan sedikit mendongakkan kepala. "Yang benar saja kau  ingin suamiku nanti merawatmu? Tidak! Aku tidak akan izinkan! Kau pikir fungsi seorang suami hanya untuk merawat istri yang lumpuh, hah? Kau punya banyak uang, Kak Manis. Kau bisa menyewa pembantu, suster, atau bahkan dokter profesional untuk merawatmu! Kenapa tidak kau lakukan itu?" bantah Harum.

 

 

"Yang dikatakan Harum itu benar, Manis," timpal Mas Wira. "Aku tak bisa sepanjang waktu menemanimu. Lebih baik, kau tak mempersulit lagi masalah ini. Cepat kabulkan saja keinginan Harum!" 

 

 

Aku menahan bibir yang hampir saja mengeluarkan umpatan. Kedua tangan ini mencengkeram kuat pegangan kursi roda saking kesalnya, hingga dapat kurasakan dinginnya emas yang melapisi pegangan ini menusuk kulit. Sepasang kekasih itu telah merendahkanku. Ingin sekali kukeluarkan mereka dari rumah ini, tapi aku harus bersabar karena aku pun punya rencana tersendiri. Aku harus membuat mereka tinggal di rumah ini hingga waktu yang kunantikan tiba.

 

 

"Baik. Aku akan mengabulkan keinginanmu," jawabku pada Harum. "Persiapkanlah diri kalian untuk resepsi pernikahan lusa. Pernikahan kalian akan diadakan di aula depan sana. Karena aku telah memutuskan untuk mengizinkan suamiku menikah lagi, maka aku akan menanggung semua biayanya. Kalian hanya tinggal menjadi pengantin saja. Pesta pernikahan nanti, akan diadakan dengan megah. Tapi aku tak bisa datang, aku ada keperluan lain yang tak bisa ditinggalkan. Besok aku akan mulai berangkat menuju tempat tujuanku bersama seorang teman."

 

 

Senyum kebahagiaan terpancar di sudut bibir wanita yang sebentar lagi akan jadi maduku itu. Dia menatapku dengan penuh kemenangan. Mas Wira merangkul Harum dengan begitu mesra, suamiku itu menatapku seperti sampah yang sudah tidak berguna.

 

 

"Hari sudah mulai malam, kalian harus beristirahat," kataku. "Pergilah ke kamarmu di bawah tangga sana, Harum. Saat ini hanya kamar itu yang kosong. Kamar lainnya penuh dengan harta yang kusimpan di sana. Selama ada di rumah ini, jangan pernah berani mendekat ke kamar-kamar itu," jelasku pada Harum.

 

 

Mas Wira segera membantu Harum berdiri dari duduknya, kemudian menuntun Harum ke kamar yang sudah kutunjukkan. Namun, aku menahan langkah Mas Wira.

 

 

"Mas, kau mau ke mana? Kamar kita ada di atas," kataku.

 

 

Mas Wira menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke arahku. "Aku akan tidur bersama Harum," katanya.

 

 

Seakan ada yang menonjok dadaku. Berani sekali dia mengucapkan hal itu!

 

 

"Hey! Kalian belum sah menjadi suami-istri, apa pantas tidur sekamar?!" geramku.

 

 

"Tapi aku malas tidur sekamar denganmu, Manis," balas Mas Wira dingin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status