Share

Bab 10

Lio tidak menyadari kehadiranku. Dia menatap tajam buku gambar. Pensil warna biru sudah ada di genggaman, tetapi dia seolah-olah belum berniat mengarsirkannya di lembar putih polos. Mungkin saja dia tengah bingung apa yang hendak dilukis di sana.

Aku berdiri terpaku di ruang tengah rumah Mbak Ajeng, menatap nanar ke arah anak itu. Tanpa sadar kuremas perut. Ingatan akan bayi yang pernah bergerak aktif di dalam sini, membuat degup jantung terpacu. Ada yang terasa sesak di dada—yang kemudian menstimulasi mata untuk membuat bendungan hangat.

Sejenak, aku merasa Tuhan pilih kasih. Kenapa Dia biarkan seorang anak seperti Lio kepayahan mengikuti arus dunia, sedangkan aku yang terlanjur menginginkan anak, harus rela kehilangan secara terpaksa.

“Kamu mau menyapa Lio dulu, atau langsung ke kamar Ajeng?” Dokter Pandri—yang menyusul langkahku setelah memarkir mobil—memberi penawaran.

“Bertemu Mbak Ajeng saja,” tegasku.

<
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status