''Hasyiiiiimmm...!" ''Ren... Kamu harus ke Dokter, ini sudah ke sekian kalinya kamu bersin-bersin. Aduh... Tak seperti biasanya kamu sakit begini, Sayang." Wira menatap khawatir pada Marren yang sibuk membersihkan hidungnya yang memerah. "Ah iya, nanti malam saja" sahut Marren. "Saya sudah minum obat" lanjutnya dengan suara sengau saat Wira menatapnya dengan mata melotot seraya mengendikan bahunya. ''Baiklah, terserah kamu saja, asalkan kamu cepat berobat" imbuh Wira. Saat itu hari beranjak siang, mereka baru pulang dari kantin sedang menunggu jadwal kelas berikutnya sambil berjalan melintasi lorong kelas lain. Marren tidak melihat ada sosok yang terus menatapnya tanpa berkedip, sedangkan ia sibuk berdebar karena melihat sosok Arsan dengan gaya perlente sedang berjalan ke arahnya, membuat para mahasiswi yang ia lewati memekik tertahan karenanya. 'Oh tidak! Kenapa harus bertemu dia di sini? Bukankah harusnya dia hari ini ke kantor? Dia kan tidak ada jadwal kuliah
Marren menelan pil-pil yang ia dapat dari Dokter yang telah ia kunjungi sore itu setelah selesai kuliah. Bekas makan malam yang masih ada di meja ia abaikan begitu saja tanpa repot-repot memanggil asisten rumah tangga untuk membersihkannya. Marren tidak ingin membuka pintu kamarnya. la ingin mengunci diri dan menghabiskan malam itu dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk dan beberapa buku novel dari berbagai genre yang belakangan berhasil menjadi teman waktu luangnya. Namun baru beberapa lembar ia membaca buku, ia tidak bisa menahan berat di kepalanya akibat flu yang di deritanya. Bergegas Marren mengunci pintu kamar dan mematikan lampu, la merebahkan dirinya dengan cahaya redup yang berasal dari lampu tidur di atas nakas. Sayup-sayup ia mendengar suara orang berbicara, tanpa pikir panjang wanita muda itu mematikan lampu tidur dan menenggelamkannya dalam kegelapan kamar. la mendesah karena lega dan suka dengan sep
" Sayang.... seharusnya kamu beristirahat di rumah saja. Lihatlah, kamu masih demam." Madya memegang kening Maret yang rebah di pangkuannya. Walaupun khawatir namun ia tidak bisa memungkiri kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya saat Putri semata wayangnya itu datang mengunjunginya. "Marren rindu pada Mommy. Dan mumpung Si eeemmm... Arsan memberi izin jadi karena segera berangkat. Marren ingin menginap di sini Mommy, boleh kan?" rengek Marren dengan suara sengau di selingi bersin kecil yang telah ke sekian kalinya ia alami. Madya menggeleng perlahan dengan wajah simpati. "Tunggu sebentar" ucapnya sambil berdiri bangkit dari duduknya dan meninggalkan Marren yang tergeletak lemah di sofa. Wanita muda itu sibuk membersihkan ingus yang meleleh dari hidungnya. Hingga ia harus bangkit dari rebahnya karena mendengar ponselnya berdering menandakan panggilan masuk. ''Pasti Arsan. Loh? Nomor asing siapa lagi ini?" Arsa
Marren mencoba mengabaikannya dan memblokir nomor asing tersebut. Akan tetapi, ia ingat akan ancaman pesan tersebut, bahkan mereka mengetahui namanya dengan jelas. Dalam gelisah, Marren menelepon Sang Mommy untuk memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja. Dan benar saja, dalam telepon video itu tampak Madya sedang tiduran menggunakan kacamata baca yang masih bertengger di ujung hidung mancungnya. "Mommy, Marren ingin bicara pada Arsan supaya Mommy bisa tinggal di sini saja."Marren mencoba mendekati inti permasalahan yang membuatnya. gelisah. ''Jangan cengeng Marren, Mommy lah yang sengaja meminta pada Arsan agar hidup terpisah darimu, Nak." ''Hah? Kenapa, Mom?" ''Sayang, sudah berapa kali kita bahas masalah ini sejak kamu menikah. Mommy tidak ingin mengganggu kehidupan rumah tangga kalian. Dan lagi, biar kalian bisa fokus untuk segera dapat momongan! Duuuh... keceplosan." Madya tergelak dan terkekeh tipis. "
Melihat Arsan yang tidak berdaya membuat Marren tidak tega meninggalkannya begitu saja. Maka setelah memastikan Arsan baik-baik saja dan menitipkannya pada pengawasan asisten rumah tangga yang memang mengurusinya sejak ia kecil. Marren merasa lega untuk pergi ke kampus. Pagi itu ia pergi kuliah dan mencari tahu tentang kerja paruh waktu kepada teman-temannya. Banyak informasi pekerjaan yang ia terima, namun beberapa di antaranya menginginkan pekerja seharian penuh. Kesibukannya akan kuliah dan mencari pekerjaan membuatnya melupakan tentang Arsan yang tidak muncul di kampus. Akan tetapi siang itu entah sengaja atau tidak, teman-teman Arsan duduk tidak jauh dari tempat duduk Marren saat mereka makan siang di kantin kampus dan pembicaraan mereka hanya seputar tentang Arsan. "Ke mana lagi si Arsan?'' ''Ah, kurasa dia kelelahan gara-gara semalam, hahaha..." "Kamu benar! Dia seperti orang gila! Yah, siap
Mobil hitam mewah memasuki pelataran sebuah rumah mewah yang sangat megah. Marren turun dari mobil setelah pak sopir membukakan pintu untuknya. Walaupun Marren tidak menyukainya, namun kini ia harus patuh akan semua aturan yang telah ditetapkan oleh suaminya, jika ia tidak ingin para pegawai itu dipecat seperti yang sudah sudah karena melalaikan tugasnya, walaupun itu atas dasar permintaan Marren. Baru saja Marren akan menelepon Sang Mommy, ia tertegun saat mendengar suara cekikikan perempuan dari dalam kamarnya. Sesekali ada ledakan tawa dan pembicaraan manja, salah satunya adalah suara Pria yang sangat la kenal. Dengan menahan emosi Marren membuka pintu dengan kasar, hingga daun pintu itu membentur dinding dengan suara yang menggema di seluruh rumah besar itu. Dengan mengepal kesal, Marren berdiri di tengah pintu memandang Arsan yang tampak santai duduk di sofa miliknya. Lain halnya dengan wanit
Arsan melepaskan pagutan bibirnya pada Marren, akan tetapi betapa terkejutnya wanita itu saat melihat kedua pergelangan tangannya terikat di depan dadanya. ''Arsan! Apa yang kamu lakukan?" pekik Marren dengan menahan kesal di dalam dirinya. la berusaha memukuli Arsan dan menggeliat agar bisa terlepas dari kungkungan tubuh Arsan yang menindihnya. Lalu dengan gerakan cepat Arsan menarik lepas kaos lengan panjang yang ia pakai dan langsung ia ikatkan ke wajah Marren untuk menutup kedua mata istrinya. Marren makin histeris tak karuan dengan menendang-nendangkan kakinya. ''Hei... hei... Tenang dulu...." bujuk Arsan yang tiba-tiba membuat Marren terdiam seolah memikirkan sesuatu. ''KAMU GILA! APA YANG KAU LAKUKAN? pekik Marren penuh amarah. Belum lagi tiba-tiba Arsan memosisikan kedua kaki Marren melingkari pinggangnya dan kedua lengan Marren kini terkalung di leher Arsan. Marren menggeliat kegelian saat Arsan memegang pinggangnya yang ramping. Arsan cekikikan di
Maafkan Saya sayang karena sengaja. membuatmu marah. Tapi lain kali kalau marah jangan melemparkan ponselmu. Kamu bisa memukuli Saya sepuasmu. Tetapi jangan membuang ponselmu. Rasanya Saya bisa gila jika tidak bisa menghubungimu setiap saat. - Suamimu - Arsan Marren meletakkan sepucuk surat yang ditulis tangan oleh Arsan, wanita itu tersenyum membayangkan wajah Arsan saat menulisnya, la meraih kotak ponsel yang masih tersegel dan sebuah kartu GSM baru yang terletak di samping benda tersebut. Tumben, dia tidak membukanya lebih dulu, apa ini tandanya ponsel ini aman dari retasannya? Dan lagi entah kenapa dia tidak pernah membawa Saya berbelanja atau membiarkan Saya belanja sendiri? Oh iya, Saya baru ingat, Saya yang tidak pernah mau mengungkap hubungan Saya dengannya. Apa Saya salah? Lagi pula, semua ini hanya nikah kontrak kan? Dan sewaktu-waktu bisa saja semua kemewahan dan keindahan ini berakhir. Marren menghela napas dengan berat, seraya menyalakan ponsel barunya, wanit