Marren terpekik kaget dalam perlindungan Arsan tak kala bongkahan batu yang telah melewati kaca itu menimbulkan kegaduhan dan membuat pecahan kaca itu bererakan di bawah kaki mereka. Arsan langsung memungut bongkahan batu yang dibungkus dengan kertas dan segera membuka kertas itu dengan wajah merah padam setelah membaca tulisan yang tertera di sana. PEMBUNUH! Marren membekap mulutnya dan menatap Arsan yang meremas tulisan itu. Sementara keadaan di luar makin tidak terkendali oleh kegaduhan dan beberapa orang yang berkelahi. Dengan gusar dan berjalan secepat mungkin Arsan menuju luar pagar, namun lagi-lagi di hadang oleh salah satu satpam yang berjaga. "Tuan Muda, sebaiknya jangan keluar, kita tidak tahu apalagi yang mereka bawa, lagi pula si perusuh sudah diringkus oleh pak Juan bersama gabungan sekuriti kompleks, Tuan Muda," sergah Supri melaporkan. "Begitu?" sahut Arsan singkat mendengus kesal. "Baiklah, pelakun
"Tunggu saja kau Ryzadrd!" sambung Pria itu penuh dendam menghadapkan wajahnya lurus-lurus ke kamera seraya menunjuk dengan jari telunjuk seolah ada Arsan di hadapannya, sebelum akhirnya kedua orang itu meninggalkan konferensi pers dengan diapit beberapa pengawal keamanan. Marren menatap segala perubahan raut wajah Arsan yang menghela napas panjang dengan wajah kaku dan dingin. Dengan was-was karena menunggu ledakan amarah dari suaminya seperti yang dulu-dulu sering ia lakukan jika sedikit saja ada sesuatu yang tidak beres. Akan tetapi tidak untuk kali ini. Arwana mematikan televisi dan melemparkan benda kotak pengendali jarak jauh yang digenggamnya ke atas sofa.''Axel? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Marren dengan lembut dan takut-takut. Hal itu membuat Arsan memalingkan wajahnya menatap Marren yang menatapnya dengan tatapan khawatir. Arsan mendekat kepada Marren yang duduk di tepian ranjang. Pria itu menatapnya dalam-dala
"Marren.... Sayang?"Marren tersentak kaget bukan kepalang karena melihat Arsan yang tiba-tiba berdiri di depan pintu ruangan. Jantung karena serasa berhenti berdetak untuk sesaat."Arsan?" sahut Marren tersentak kaget seraya meletakkan tumpukan kertas yang berserakan di tangannya."Sayap sedang bosan saja!" lanjutnya menutupi gugup dengan mengendikan bahunya. Arsan mendekat dan meraih kertas-kertas yang berserakan di meja. Setelah membaca sepintas ia kembali meletakkannya dalam tumpukan yang di buat Marren. ''Berkas pajak yang sudah tidak terpakai," gumam Arsan mengernyitkan wajahnya. "Saya tidak tahu, aku hanya bosan lalu ingin kemari untuk menemukan buku. bacaan, saat Saya duduk di sini dan membuka laci semua berhamburan begitu saja, benar-benar merepotkan. Apa sekretaris kantormu tidak bisa melakukannya dengan benar? Oh, rasa-rasanya Saya selalu ada waktu jika sekedar membersihkan lembaran-lembaran tidak terpakai
"Dia... Icha?" Marren mendekat memastikan, "Arsan, apa yang telah kamu lakukan? Apa dia mati? Arsaaaan!" pekik Marren panik bukan kepalang. Arsan dengan anggukan kepalanya memerintahkan seorang pengawal Pria yang berjaga di situ untuk membangunkan Icha yang tertidur. Pria berjas hitam itu bergegas mendekati Icha dan menepuk-nepuk pundak gadis itu agar ia terbangun. Tidak lama Icha terbangun dengan wajah mengernyit bingung dan wajahnya berubah syok saat melihat dua sosok berdiri di hadapannya. ''Aaah... Arsan, Sayang...! Marren... tolong aku!" pekik Icha dengan wajah memelas memohon-mohon. Namun hanya disambut tatapan dingin oleh Arsan. "Tenang saja, Saya akan melepaskanmu jika kamu mengakui semua perbuatanmu di hadapan istri Saya," ucap Arsan bersedekap dengan sikap tegas dan antipati. ''Ada apa ini?" tanya Marren dengan wajah tercekat menatap Arsan dan Icha bergantian. Arsan menganggukkan kepalanya pad
"Marren...!" pekik Arsan melihat Marren tertimpa tubuh Icha yang masih terikat pada kursi kayu dan kesakitan. Spontan seoarang pengawal yang tersisa menyeret lengan Icha menjauh dari Marren dan mendudukkan wanita itu dengan kasar. Sementara Arsan menolong Marren dari rebahnya dan melihat pipi tembem Marren yang berdarah tergores gigi Icha."DASAR RUBAH BETINA TIDAK TAHU DIRI!" Amuk Arsan sangat marah dan menampar Icha dengan keras. "AAGHK!" pekik Icha kesakitan. Darah segar mengucur di sudut bibir wanita itu dan membuatnya memekik kesakitan. "AKU BENCI KAU MARREN! AKU BENCIIIII...! KENAPA KAU HARUS HIDUP! KENAPA KAU HARUS ADA...!" raung Icha dengan histeris. "Sumpal mulutnya, jangan beri dia makan sampai Polisi datang menjemputnya!" ucap Arsan dengan geram pada pengawalnya. Prua tampan itu sangat geram hingga ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Kalau kau bukan perempuan sudah Saya hancurkan wajahmu yang menyebalkan itu, kau tahu!" geram Arsan menepuk-nepuk kepala Icha dan mem
Marren tersentak kaget tidak percaya, "Jangan bercanda Arsan! Sungguh! Tidak lucu tahu!" sergah Marren dengan tatapan membulat sempurna. Lagi-lagi Arsan membuang muka dan menguyup wajahnya dengan kacau. Marren bangkit dari pangkuan Arsan. ''Bukankah Icha baru saja mengakui bahwa Arland yang membunuh Arthur? Arsan... Please! Jangan buat Saya semakin bingung!" pekik Marren dengan tertatih-tatih. "Saya tidak tahu! Jujur Saya memang berencana membunuhnya waktu itu! Saya sudah mengirim orang suruhan Saya! Dari sejak saya memberinya perintah tiba-tiba beberapa jam kemudian dia sudah ditemukan tewas di penjara!" papar Arsan dengan wajah sangat kusut. Marren membekap mulutnya tidak percaya dan berjalan mundur perlahan dan berpegangan pada pinggiran ranjang yang tidak jauh darinya. "Arsan...." ''Saya tidak tahu! Tapi entah kenapa orang suruhan Saya mengakui bahwa bukan ia pelakunya. Bahkan ia juga belum sampai memerintahkan pembunuh
Marren terbangun dengan malas dan membuka mata dengan berat. Dan benar saja, ia mengernyit saat melihat tubuh Arsan yang masih di posisi menindihnya. la melirik keadaan sekitar ranjang yang sangat berantakan, bahkan pakaian mereka berceceran hingga ke lantai. 'Oh tidak! Seperti perang badai saja. Ini memalukan, tapi... Tapi... Oh tidak... Saya... Tapi saya menginginkannya? Oh tidak...! Ada apa dengan Saya? Kenapa saya jadi seperti ini? Entah sejak kapan saya menginginkan ini? Tidak, ini memang strategi Saya untuk menaklukkannya agar aku bisa mengetahui tentang insiden itu. Benar!' Marren bergelut pada pikirannya sendiri, hingga ia tidak bisa menahan getaran di tubuhnya karena merasakan napas halus Arsan yang terus menerus menyentuh kulit lehernya dan hal itu membuat terlintas apa yang telah mereka lalui bersama. Apalagi melihat posisi kepala Arsan yang masih terkulai di ceruk lehernya. Marren mengerang ringan menahan geli dari tiupan napas Ars
"Marren.....!" pekik Arsan histeris melihat sang Istri jatuh terkulai memegangi perutnya. Naura dan Bi Aira ikut histeris dan berlari tergopoh-gopoh melihat apa yang terjadi. "Aaaghhkk..." desis Marren memegangi perutnya dengan kesakitan. Arsan segera menggendong Marren dan meletakkannya pada sofa ruang tamu. Marren menggelepar kesakitan memegangi perutnya dengan di dampingi Haura dan Bi Aira. "Bi, tolong buatkan air hangat untuk, Nyonya! Juga obat! Apa pun itu! Cepat! Hara kamu ambil obat!" perintah Arsan dengan panik. Membuat Bi Aira dan Haura berhamburan kesana-kemari dengan panik. Bahkan mereka hampir bertabrakan karena salah harus pergi ke mana. ''Arsan... Sakit... Arsan..." desah Marren mengernyit kesakitan seraya meremas-remas perutnya tidak karuan. ''Sayang, bertahanlah sebentar..." bujuk Arsan menggenggam tangan Marren dan membelai kepalanya. Melihat yang terjadi, dengan kasar Icha segera disere