Share

Chapter 6

Author: Mia006
last update Huling Na-update: 2023-12-12 22:10:38

Marren mengerjapkan mata sebelum akhirnya membuka mata sepenuhnya.

Gadis itu terlonjak kaget dan bingung saat menyadari ia terbangun di sebuah kamar yang sangat indah dan penuh perabotan mewah.

'Nona, sudah sadar?" Marren menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari seorang gadis belia yang baru saja memasuki ruangan itu dan sedang berjalan ke arahnya.

Gadis belia itu tampak sangat antusias menyambutnya. "Ini... Di mana? Kamu siapa?" Marren mencoba bangkit namun langsung di cegah oleh Sang Gadis yang memakai seragam itu.

''Aaah ini, ini di kamar Anda, Nona. Dan saya Haura, yang akan merawat dan membantu segala kebutuhan, Nona." jawab Haura menunduk penuh hormat.

"Apa?" Belum sempat Marren bertanya lebih jauh, tiba-tiba seseorang membuka pintu.

Ceklek!

Pintu terbuka dan tertutup. Kali ini seorang wanita lebih tua dengan rambut putih yang menutupi hampir seluruh kepala datang dengan sikap anggun. Wanita itu terlihat sangat luwes dan berwibawa dengan setelan jas dan rambut yang disanggul rapi.

''Nona Marren, Anda sudah siuman? Apa Anda baik-baik saja? Apa ada yang sakit? Haura kenapa kamu tidak memberitahu Saya kalau Nona sudah siuman?" ucap wanita itu beralih kepada asisten rumah tangga yang masih muda itu.

Gadis itu tampak gugup dan ketakutan. ''Em, saya baru bangun saat Nona ini datang dan kebetulan Ibu juga datang." sahut Marren membela Haura yang terlihat ketakutan.

''Ah, Nona Marren..." wanita itu melihat Marren dengan tatapan kagum.

"Ini di mana, Bu?" Marren menyela sambil bangkit dari tempat tidur besar dan megah itu yang langsung di cegah oleh para wanita itu.

''Tidak Nona, Anda masih belum sehat benar. Tadi Dokter dan Tuan sudah berpesan pada saya, Anda jangan ke mana-mana dulu sampai Anda pulih, Oh iya, mohon perkenalkan nama saya Aira, saya kepala urusan rumah tangga di rumah ini. Saya yang akan mengurus semua keperluan Anda bersama Haura, dan juga beberapa asisten yang lain. Nanti saya akan panggil mereka untuk berkenalan dengan Anda, Nona. Tapi untuk saat ini Anda harus makan dan minum obat."

Marren hanya melongo bengong mendengar penjelasan panjang lebar wanita itu, seolah ia adalah penjaja dagangan yang sedang memperkenalkan sebuah produk unggulan yang bermutu. Marren sama sekali tak bisa memotong perkataan wanita itu yang berbicara seolah hanya dalam satu tarikan napas.

"Em... Ya, sepertinya saya kelaparan" jawab Marren seadanya sambil tersenyum malu-malu, bersamaan dengan bunyi perutnya yang keroncongan.

Bukannya membuat tertawa, hal itu malah membuat panik Aira dan Haura. Dengan sigap Aira memerintahkan Haura untuk menelepon seseorang dari dapur untuk membawa baki makanan yang sudah disiapkan.

Sementara ia langsung menyiapkan air hangat untuk menyeka Marren. Marren sangat canggung dan merasa tak enak hati, ia pun baru menyadari ia telah berganti dengan pakaian tidur yang cantik dan berbahan lembut.

Gadis itu hanya diam saat kedua wanita itu sibuk melayaninya bak seorang Putri, dia hanya menelan kebingungannya dalam diam.

"Nona Marren, jika ada yang mengganggu pikiran Anda mohon sampaikan saja. Apa airnya kurang hangat? Biar saya ganti yang baru?" Aira menatap yang terlihat memikirkan sesuatu dan itu sangat mengganggunуа.

''Ti, tidak Bu Aira. Terima kasih. Saya hanya bingung, ini sebenarnya di mana dan... Dan... Oh iya ini jam berapa? Kenapa saya harus diseka air hangat? Saya tidak sedang sakit Bu, saya hanya pingsan, mungkin karena kelaparan saja...." Marren mengernyit dengan tanda memohon.

Aira tersenyum penuh simpati. Sementara Haura membawa baki makanan yang baru datang dari salah satu pelayan dari dapur.

"Ini sudah lewat tengah malam, Nona, makanya saya tidak memperbolehkan Anda untuk mandi. Dan sekarang setelah makan dan minum obat, Anda harus kembali untuk beristirahat, biar besok Anda bisa tampil segar dan cantik" papar wanita yang keibuan itu dengan senyum yang memancarkan aura yang tak bisa di bantah.

Tanpa banyak bertanya lagi Marren melahap makanan dengan antusiasnya. Sup jagung dan asparagus yang hangat, sepiring kentang goreng dan daging panggang dengan saus yang terlihat nikmat membuat Marren teringat akan sesuatu yang hilang, Nasi.

Dia tak melihat nasi dalam menu makanan itu. Akan tetapi entah mengapa semua terasa mengenyangkan dan nikmat. Berkali-kali Marren harus diingatkan untuk makan dengan pelan tanpa terburu-buru seperti kebiasaannya.

Lalu setelah meminum beberapa obat, ia kembali merebahkan dirinya sesuai perintah Sang Kepala Rumah Tangga. Akan tetapi kepura-puraan Marren tidak berlangsung lama.

Begitu kedua wanita itu keluar dari pintu kamar, gadis itu segera melompat dari ranjang yang besar dan tinggi. Lalu ia menuju jendela dan membuka korden yang mewah untuk mencari tahu di mana ia berada.

'Hah? Apa itu? Laut? Itu benar-benar laut?' pekik Marren dalam hati saat melihat pemandangan di luar yang menunjukkan sesuatu yang mustahil.

Karena semakin penasaran, akhirnya gadis itu memutuskan untuk keluar kamar, la mendapati sebuah ruangan seperti perpustakaan kecil sekaligus ruang kerja yang tak terlalu besar.

Benar saja, waktu menunjukkan pukul dua dini hari, yang membuat Marren terperanjat saat dentang jam besar di ujung ruangan itu berdentang dua kali dengan nyaring.

Marren dengan langkah cepat menuju pintu penghubung ruangan, lalu ia menemukan lorong kecil yang mengarah ke sebuah pintu lagi. Lalu tanpa pikir panjang ia membukanya dan lagi-lagi ia terpekik kaget saat melihat isi ruangan itu.

Sebuah ruangan yang sangat besar, megah dan mewah. Dengan lampu yang temaram ia masih bisa melihat beberapa kursi besar yang mengelilingi sebuah meja panjang yang ada di tengah ruangan besar itu. Tanpa memperhatikan detail lagi, ia berjalan lurus menuju jendela yang ada di ujung ruangan itu. Ternyata sebuah balkon.

'Oh! Itu benar-benar laut! Indah sekali!'

Debur ombak yang sesekali terdengar membuat jantung Marren berdegup lebih tenang dari sebelumnya. Baginya memandang pinggiran pantai dan laut adalah suatu kemewahan tersendiri, ia ingin berlama-lama di tempat itu.

Akan tetapi, tak lama setelah itu ia berubah pikiran karena hawa dingin yang menyeruak membuatnya bersin berkali-kali. la ingin kembali ke kamarnya semula karena ia mulai merasakan pusing yang membuatnya berkunang-kunang.

Namun gadis itu memaksa berjalan masuk tanpa menutup jendela balkon itu.

'Kenapa ini? Kenapa kepalaku tiba-tiba berkunang-kunang begini?' batinnya kebingungan sambil berpegangan pada sebuah lemari pajangan.

Lalu Marren duduk sebentar di sebuah kursi kecil terdekat dengan pintu. Setelah merasa kuat, lalu ia berjalan menyusuri pintu dan lorong, lalu ia membuka pintu kamar yang ada di ujung ruangan.

Walau sempat heran, dengan keadaan kamarnya yang terasa lebih dingin dan gelap dari sebelumnya, Marren tetap berjalan menuju tempat tidur yang berada di pojok ruangan itu dan memasuki selimut tebal dengan nyaman.

Tak berapa lama ia pun tertidur dengan nyenyak tanpa tahu apa yang telah ia lakukan. Marren terenyak merasakan ada embusan udara yang hangat menyentuh lehernya yang jenjang. Gadis itu berdecak dengan malas.

Namun, ketika sesuatu yang kenyal dan hangat menyentuh kulit lehernya dengan lembut membuat gadis itu menggeliat, lagi dan lagi. Dengan berat Marren membuka mata dan mendapati seorang laki-laki tampan dengan sorot mata yang gelap dan dalam.

Marren tersentak dan ingin berteriak namun dengan cepat laki-laki itu membungkam mulutnya dengan ciumannya yang dalam Marren mengerang di tenggorokannya.

Gadis itu menggeliat ingin melawan, akan tetapi laki-laki itu telah meletakkan berat badannya di atas tubuh Marren dan mengunci kedua pergelangan tangannya.

Laki-laki itu terus mencumbu bibir Marren hingga terengah, lalu ciuman laki-laki itu bergeser ke pipi dan terus turun ke lehernya hingga ke dadanya yang sudah mengeras.

Marren mengerang merasakan ciuman itu mendarat di lehernya dan bergeser ke dua aset kembarnya.

'Aaahhkg... Sejak kapan? Tunggu, sejak kapan bajuku terbuka? Oh... tidak Tapi... Aaahh...!' Marren menggelinjang.

'Enak!' Marren menjerit dalam hati yang hanya bisa pasrah menerima segala sentuhan dan cumbuan laki-laki itu.

Hingga tanpa sadar kedua tangan Marren yang terbebas meremas rambut lembut laki-laki itu. la kembali menggelinjang saat ciuman laki-laki itu terus turun dan menyusuri perutnya yang rata.

Gadis itu mengerang dan meronta karena sentuhan dan gerakan meremas jari-jemari perkasa Sang Pria. Lalu dia kembali kepada Marren dan langsung mengunci bibirnya yang padat berisi dan ranum.

Laki-laki itu mengecap dan menjelajahi seluruh isi mulut Marren, seolah ingin melahapnya. Marren terengah sambil menerima ciuman laki-laki itu yang makin menuntut.

Marren merasakan panas di sekujur tubuhnya disertai basah di bagian bawah, la terengah dan mulai lemas, namun laki-laki itu tak ingin menyudahi pagutan bibir mereka seolah ia dalam keadaan yang sangat lapar.

BRAK! KLIK!

"Oh! Nona! Syukurlah, Anda ada di sini. Kenapa Anda tidur di sini?" Marren tersentak dari tidurnya dengan kebingungan.

Gadis itu terengah dan menatap seseorang yang datang tergopoh-gopoh dengan wajah pucat pasi.

'Hah? Apa yang terjadi?' batin Marren sambil celingukan menatap sekelilingnya.

Ternyata Haura. Akan tetapi gadis itu terlihat seperti habis menangis.

"Ada apa ini?" Marren menatap Haura dengan bingung.

"Kenapa Anda tidur di sini, Nona? Saya pikir Nona hilang, saya sangat panik. Semua orang sedang mencari Nona! Oh Tuhan Syukurlah!" papar Haura gugup sekaligus lega karena berhasil menemukan Marren.

Gadis itu berurai air mata karena lega. "Loh? Memangnya Saya ....." Marren memperhatikan sekeliling ruangan itu. Tampak asing dan maskulin.

la juga meraba baju tidurnya yang masih utuh seolah tak tersentuh. Tetapi ia kebingungan saat meraba bibirnya yang terasa bengkak.

'Jadi itu tadi hanya mimpi? Tapi siapa laki-laki itu? Semuanya terasa sangat nyata' pikir Marren tetap larut dalam kebingungannya.

"Nona, Anda salah masuk kamar."

"Apa? Jadi aku ini bukan di kamar Saya yang tadi?"

"Nona, ini sudah pagi."

"Apa?"

"Mari, sebaiknya kita bergegas kembali ke kamar Anda. Nona harus segera sarapan dan bersiap."

Haura setengah memaksa Marren yang masih kebingungan sambil memperhatikan kamar yang mengesankan kegelapan karena dominasi warna hitam dan putih saja.

Tiba-tiba ia menggigil teringat mimpinya. Saat melintasi ruangan mata Marren tertumbuk pada bayangan dirinya di cermin.

Marren segera berlari mendekati cermin besar yang menempel pada dinding kamar itu. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat beberapa tanda merah di lehernya.

'Tidak! Ini bukan mimpi!'

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Posesif My Husband    Chapter 161

    Marren mendorong Arsan dari dekapannya dan menatapnya dengan mata terbelalak tak percaya. "Ada apa, Arsan? Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Kenapa tiba-tiba kamu mengucapkan itu? Apa maksudmu, tiba-tiba seperti ini?" cecar Marren tercekat tak percaya. Wanita cantik itu menatap Arsan dengan tatapan mata berkaca-kaca.Melihat Arsan hanya terdiam membisu, Marren mengangguk paham."Apa ini ya.... Saya telah melarikan diri bersama Arland waktu itu? Jadi kamu tak percaya..." "Marren, Sayang...." sela Arsan yang kini bersimpuh di kaki Marren dan memeluk lututnya dan menghentikan ucapan Marren yang kini terpaku diam menatap Arsan yang ada di lututnya. "Dosa Ryzadrd terlalu besar untuk diampuni. Kakek telah menghancurkan hidupmu begini rupa. Saya terlalu malu untuk menatapmu sekarang. Tak ada lagi yang bisa Saya banggakan dan saya persembahkan untukmu, Marren. Saya bahkan yang hanya memiliki sedikit perasan kepadamu tanpa sadar hanya diperalat untuk mengikatmu secara paksa." Buliran a

  • Posesif My Husband    Chapter 160

    "Sayang, apa kamu sudah selesai berbicara? Ayo, kita pulang, sepertinya Marren sedang kerepotan dengan anak-anaknya. Sebaiknya kita pamit," ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang dan menggandeng lengan Vano, perut wanita itu terlihat sedikit buncit. Arsan menatap wanita tersebut, yang menatapnya dengan sopan namun sangat jelas terlihat dia menikmati apa yang sedang dilihatnya. "Sarah? Kamu sudah selesai berbicara dengan Marren?" tanya Vani menoleh pada wanita yang terlihat agak genit itu."Perkenalkan, Tuan Muda, ini istri saya Sarah, dan Sarah ini adalah Tuan Muda....""Arsan, Tuan Muda Arsan, suami Marren.""Salam kenal, Tuan Muda Arsan, saya Sarah, istri Tuan Vano ini, pemilik restoran yang punya banyak cabang di beberapa mall di kota-kota besar di Indonesia," sela Sarah memotong ucapan Vano dan mengulurkan tangannya untuk dijabat Arsan. Ucapan Sarah, membuat Vano jengah dan menegurnya walau dengan suara lembut. Akan tetapi sepertinya Sarah sangat menikmati pamer di hadap

  • Posesif My Husband    Chapter 159

    "Bagaimana, Brian?" tanya Arsan setelah dokter Brian memeriksa kondisi Kakek Ryzadrd. Dokter Brian memegang gagang kacamatanya dengan gelisah dan mendesah perlahan."Arsan, Kakek meninggal karena pembuluh darah arterinya putus dan kehilangan banyak darah dan mengakibatkan syok dalam jantungnya. Dan Kakek meninggal sekitar 2 sampai 3 jam yang lalu," ungkap dokter Brian dengan tatapan penuh simpati. "Kenapa tidak pasti?" sela Arland kepada Brian menutupi ranjang dan seprei yang berlumuran darah Kakek Ryzadrd yang mengering. "Karena suhu ruangan ini sangat rendah, jadi membuat suhu tubuh juga semakin cepat turun dan dapat mempengaruhi pembekuan dengan cepat," jawab Brian yang membuat Arland terdiam menguyup wajahnya sendiri dengan kasar. Pria itu terlihat sangat stres. "Dan memang beliau meninggal karena sebab bunuh diri, tak ada tanda-tanda kekerasan apa pun yang terjadi," lanjut Brian dengan wajah penuh duka. Dokter muda yang berumur tak jauh di atas Arsan itu menghela napas deng

  • Posesif My Husband    Chapter 158

    Mendengar ucapan Arsan yang terbata-bata, Arland tak kuasa menahan gelak tawanya dan membuat Marren dan Madya menatapnya dengan tatapan heran."Ada apa, Arland? Apa yang sebenarnya terjadi?" tegur Madya yang langsung membuat Arland menghentikan gelak tawanya. Lalu dengan menyisakan tawanya, akhirnya Arland mengakui, bahwa dia sengaja membisikkan kata-kata itu untuk membuat Arsan marah dan bangun."Apalagi yang bisa membuatmu marah selain itu? Lihat saja, Ma, bahkan dia bisa melawan dan bangkit dari kematian hanya karena Marren," papar Arland yang membuat Marren dan Madya menangis terharu. Marren kembali memeluk dan menciumi tangan Arsan. Sementara Arsan menahan sakit karena tawanya yang terlepas begitu saja. "Awas... kau... Arland...." ancam Arsan dengan suara berat, namun lagi lagi Arland mengendikan bahunya dengan acuh. "Bangun dengan benar lebih dulu, baru kau bisa mengancamku," ledek Arland dengan wajah senang.🥀🥀🥀Akhirnya setelah beberapa hari di rawat, Arsan diperbolehk

  • Posesif My Husband    Chapter 158

    Hari itu suasana ruang tunggu ICCU terlihat lengang dan penuh kesedihan. Karena saat mereka sampai di sana, kamar Arsan sedang di penuhi oleh para dokter dan perawat yang sedang mengupayakan keselamatan Arsan dari berhentinya detak jantung pria tampan itu. Dalam sehari sepeninggal Marren, sudah dua kali jantung Arsan berhenti berdetak hingga harus mendapatkan serangkai penyelamatan dari para dokter, seperti yang sedang dilakukan saat ini. "Ya, Tuhan, Saya mohon selamatkanlah Arsan, selamatkanlah suami Saya. Saya dan anak-anak masih sangat membutuhkannya. Izinkanlah Arsan sembuh dan hidup bersama anak-anaknya, karena itu adalah impiannya sejak dulu. Ya, Tuhan, Saya mohon kepada-Mu," doa Marren dalam hati seraya menahan isaknya. Marren terus menatap kaca transparan yang kini tertutup oleh korden tebal berwarna putih agar mereka tak melihat apa yang telah terjadi di dalam ruangan tersebut. Marren menguatkan hatinya seraya meletakkan tangan bersandarkan kaca itu. Sementara Masya t

  • Posesif My Husband    chapter 156

    Arland meninggalkan ruangan itu dan menutup pintunya rapat rapat tanpa tahu jari-jemari Arsan mulai bergerak walau hanya sesaat. Hingga rombongan Arland dan Marren meninggalkan rumah sakit itu demi membawa Marren pulang setelah ia berbicara dengan Dokter pengawas Arsan dan menyerahkan nomor ponsel Arland jika ada perkembangan kondisi Arsan. Sesampainya di rumah, Marren menangis tersedu dalam pelukan Ibunya dan Arland menegaskan Marren harus makan dan beristirahat. Mengabaikan semua itu Marren menatap kedua bayinya yang terlelap dalam keranjang bayi. Marren meneteskan air mata menatap si kembar dengan lemah terkulai di ranjang. Madya menahan isaknya saat melihat Marren yang begitu pucat dan seolah kehilangan semangat dalam hidupnya. "Sayang, makanlah dan beristirahatlah barang sejenak. Kamu harus sehat demi anak-anak. Mommy akan siapkan makanan untukmu dan kamu harus makan," bujuk Madya seraya membelai rambut Marren yang tergerai berantakan di pundak. "Kamu juga harus makan, Arl

  • Posesif My Husband    Chapter 155

    Marren menatap sosok Arsan yang berbaring lemah tak berdaya di hadapannya. Kini ia harus kuat menghadapi kenyataan yang ada.Wanita cantik itu hanya terdiam membeku dan menatap satu persatu alat yang terpasang di sekitar tubuh Arsan dengan selang atau pun kabel yang berakhir di badan Arsan. Sebuah selang pun melekat di dalam mulut Arsan yang sedikit terbuka. Dengan tangan gemetar hebat, Marren memegang punggung tangan awan yang diam tak bergerak. Tangan yang dulu selalu kokoh menggenggamnya itu, kini terkulai lemah dengan selang infus tertancap di sana Marren menggenggam ringan tangan dan jari-jemari Arsan.Marren menciumnya tanpa mengatakan apa pun. Seraya memandang wajah Arsan yang terlelap, Marren memeluk tangan itu meletakkannya pada pipinya. "Syukurlah, Nyonya terlihat tenang dan baik-baik saja sejak siuman tadi. Nyonya, sepertinya sudah menerima keadaan Tuan Muda," ujar Naura memecah kesunyian. la menatap Marren melalui kaca transparan di balik ruangan itu bersama Arland.

  • Posesif My Husband    Chapter 154

    "Arsan!" pekik Marren dengan bangun tersentak kaget. Hal itu membuat Naura segera menghambur ke hadapan Marren. "Nyonya? Anda sudah siuman? Syukurlah," sahut Naura dengan wajah senang namun tak bisa menutupi wajah sedihnya Wajahnya terlihat sangat sembab karena terlalu banyak menangis. "Nau, apa yang terjadi? Ini di mana?" tanya Marren kebingungan seraya melihat ke sekelilingnya, la terbangun di sebuah kamar serba putih dan di kelilingi oleh kelambu dengan warna yang sama. "Anda pingsan. Nyonya. Sekarang sedang di UGD. Tadi Tuan Arland yang membawa Anda kemari," papar Naura dengan tatapan berkaca-kaca.Mendengar penjelasan Naura, Marren melompat dari ranjang dengan tergesa gesa."Di mana Arsan? Di mana, suami saya?" pekik marry kebingungan dan panik. Naura memeluk Marren dengan cepat dan menangis tersedu-sedu."Nyonya, harus tenang. Anda baru sadar. Sebaiknya pelan-pelan dulu," cegah Naura dengan bingung dan penuh kekhawatiran."Saya ingin melihat kondisi Arsan. Apa ada perkembang

  • Posesif My Husband    Chapter 153

    Marren diam termangu di depan ruang tunggu kamar operasi. Saat ini la hanya bisa diam tanpa bisa menangis karena sudah terlalu lelah menangis.la merasakan kedua matanya yang terasa bengkak dan perih akibat terlalu banyak menangis. "Ya, Tuhan, Arsan... Kita baru saja bertemu kembali setelah berbulan-bulan lamanya terpisah karena kesalahan Saya. Tetapi, sekarang kamu malah seperti ini. Kita baru saja bertemu dan bahagia, Arsan. Saya mohon, bertahanlah dan jangan tinggalkan Saya dan anak anak kita," gumam Marren berdoa di dalam hatinya. Sebulir air mata bening meluncur begitu saja membasahi kedua pipinya, la tak bisa menahan buliran demi buliran air mata yang terus menerus turun membasahi pipinya. Saat itu ia hanya di temani oleh Naura, karena Madya harus menenangkan kedua cucunya dengan asi Marren dan susu formula yang telah disiapkan khusus untuk keduanya. Apalagi kini Marren sedang menghadapi sebuah musibah dengan tertembaknya Arsan oleh sang kakek demi melindungi dirinya. Nau

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status