Marren mengerjapkan mata sebelum akhirnya membuka mata sepenuhnya.
Gadis itu terlonjak kaget dan bingung saat menyadari ia terbangun di sebuah kamar yang sangat indah dan penuh perabotan mewah. 'Nona, sudah sadar?" Marren menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari seorang gadis belia yang baru saja memasuki ruangan itu dan sedang berjalan ke arahnya. Gadis belia itu tampak sangat antusias menyambutnya. "Ini... Di mana? Kamu siapa?" Marren mencoba bangkit namun langsung di cegah oleh Sang Gadis yang memakai seragam itu. ''Aaah ini, ini di kamar Anda, Nona. Dan saya Haura, yang akan merawat dan membantu segala kebutuhan, Nona." jawab Haura menunduk penuh hormat. "Apa?" Belum sempat Marren bertanya lebih jauh, tiba-tiba seseorang membuka pintu. Ceklek! Pintu terbuka dan tertutup. Kali ini seorang wanita lebih tua dengan rambut putih yang menutupi hampir seluruh kepala datang dengan sikap anggun. Wanita itu terlihat sangat luwes dan berwibawa dengan setelan jas dan rambut yang disanggul rapi. ''Nona Marren, Anda sudah siuman? Apa Anda baik-baik saja? Apa ada yang sakit? Haura kenapa kamu tidak memberitahu Saya kalau Nona sudah siuman?" ucap wanita itu beralih kepada asisten rumah tangga yang masih muda itu. Gadis itu tampak gugup dan ketakutan. ''Em, saya baru bangun saat Nona ini datang dan kebetulan Ibu juga datang." sahut Marren membela Haura yang terlihat ketakutan. ''Ah, Nona Marren..." wanita itu melihat Marren dengan tatapan kagum. "Ini di mana, Bu?" Marren menyela sambil bangkit dari tempat tidur besar dan megah itu yang langsung di cegah oleh para wanita itu. ''Tidak Nona, Anda masih belum sehat benar. Tadi Dokter dan Tuan sudah berpesan pada saya, Anda jangan ke mana-mana dulu sampai Anda pulih, Oh iya, mohon perkenalkan nama saya Aira, saya kepala urusan rumah tangga di rumah ini. Saya yang akan mengurus semua keperluan Anda bersama Haura, dan juga beberapa asisten yang lain. Nanti saya akan panggil mereka untuk berkenalan dengan Anda, Nona. Tapi untuk saat ini Anda harus makan dan minum obat." Marren hanya melongo bengong mendengar penjelasan panjang lebar wanita itu, seolah ia adalah penjaja dagangan yang sedang memperkenalkan sebuah produk unggulan yang bermutu. Marren sama sekali tak bisa memotong perkataan wanita itu yang berbicara seolah hanya dalam satu tarikan napas. "Em... Ya, sepertinya saya kelaparan" jawab Marren seadanya sambil tersenyum malu-malu, bersamaan dengan bunyi perutnya yang keroncongan. Bukannya membuat tertawa, hal itu malah membuat panik Aira dan Haura. Dengan sigap Aira memerintahkan Haura untuk menelepon seseorang dari dapur untuk membawa baki makanan yang sudah disiapkan. Sementara ia langsung menyiapkan air hangat untuk menyeka Marren. Marren sangat canggung dan merasa tak enak hati, ia pun baru menyadari ia telah berganti dengan pakaian tidur yang cantik dan berbahan lembut. Gadis itu hanya diam saat kedua wanita itu sibuk melayaninya bak seorang Putri, dia hanya menelan kebingungannya dalam diam. "Nona Marren, jika ada yang mengganggu pikiran Anda mohon sampaikan saja. Apa airnya kurang hangat? Biar saya ganti yang baru?" Aira menatap yang terlihat memikirkan sesuatu dan itu sangat mengganggunуа. ''Ti, tidak Bu Aira. Terima kasih. Saya hanya bingung, ini sebenarnya di mana dan... Dan... Oh iya ini jam berapa? Kenapa saya harus diseka air hangat? Saya tidak sedang sakit Bu, saya hanya pingsan, mungkin karena kelaparan saja...." Marren mengernyit dengan tanda memohon. Aira tersenyum penuh simpati. Sementara Haura membawa baki makanan yang baru datang dari salah satu pelayan dari dapur. "Ini sudah lewat tengah malam, Nona, makanya saya tidak memperbolehkan Anda untuk mandi. Dan sekarang setelah makan dan minum obat, Anda harus kembali untuk beristirahat, biar besok Anda bisa tampil segar dan cantik" papar wanita yang keibuan itu dengan senyum yang memancarkan aura yang tak bisa di bantah. Tanpa banyak bertanya lagi Marren melahap makanan dengan antusiasnya. Sup jagung dan asparagus yang hangat, sepiring kentang goreng dan daging panggang dengan saus yang terlihat nikmat membuat Marren teringat akan sesuatu yang hilang, Nasi. Dia tak melihat nasi dalam menu makanan itu. Akan tetapi entah mengapa semua terasa mengenyangkan dan nikmat. Berkali-kali Marren harus diingatkan untuk makan dengan pelan tanpa terburu-buru seperti kebiasaannya. Lalu setelah meminum beberapa obat, ia kembali merebahkan dirinya sesuai perintah Sang Kepala Rumah Tangga. Akan tetapi kepura-puraan Marren tidak berlangsung lama. Begitu kedua wanita itu keluar dari pintu kamar, gadis itu segera melompat dari ranjang yang besar dan tinggi. Lalu ia menuju jendela dan membuka korden yang mewah untuk mencari tahu di mana ia berada. 'Hah? Apa itu? Laut? Itu benar-benar laut?' pekik Marren dalam hati saat melihat pemandangan di luar yang menunjukkan sesuatu yang mustahil. Karena semakin penasaran, akhirnya gadis itu memutuskan untuk keluar kamar, la mendapati sebuah ruangan seperti perpustakaan kecil sekaligus ruang kerja yang tak terlalu besar. Benar saja, waktu menunjukkan pukul dua dini hari, yang membuat Marren terperanjat saat dentang jam besar di ujung ruangan itu berdentang dua kali dengan nyaring. Marren dengan langkah cepat menuju pintu penghubung ruangan, lalu ia menemukan lorong kecil yang mengarah ke sebuah pintu lagi. Lalu tanpa pikir panjang ia membukanya dan lagi-lagi ia terpekik kaget saat melihat isi ruangan itu. Sebuah ruangan yang sangat besar, megah dan mewah. Dengan lampu yang temaram ia masih bisa melihat beberapa kursi besar yang mengelilingi sebuah meja panjang yang ada di tengah ruangan besar itu. Tanpa memperhatikan detail lagi, ia berjalan lurus menuju jendela yang ada di ujung ruangan itu. Ternyata sebuah balkon. 'Oh! Itu benar-benar laut! Indah sekali!' Debur ombak yang sesekali terdengar membuat jantung Marren berdegup lebih tenang dari sebelumnya. Baginya memandang pinggiran pantai dan laut adalah suatu kemewahan tersendiri, ia ingin berlama-lama di tempat itu. Akan tetapi, tak lama setelah itu ia berubah pikiran karena hawa dingin yang menyeruak membuatnya bersin berkali-kali. la ingin kembali ke kamarnya semula karena ia mulai merasakan pusing yang membuatnya berkunang-kunang. Namun gadis itu memaksa berjalan masuk tanpa menutup jendela balkon itu. 'Kenapa ini? Kenapa kepalaku tiba-tiba berkunang-kunang begini?' batinnya kebingungan sambil berpegangan pada sebuah lemari pajangan. Lalu Marren duduk sebentar di sebuah kursi kecil terdekat dengan pintu. Setelah merasa kuat, lalu ia berjalan menyusuri pintu dan lorong, lalu ia membuka pintu kamar yang ada di ujung ruangan. Walau sempat heran, dengan keadaan kamarnya yang terasa lebih dingin dan gelap dari sebelumnya, Marren tetap berjalan menuju tempat tidur yang berada di pojok ruangan itu dan memasuki selimut tebal dengan nyaman. Tak berapa lama ia pun tertidur dengan nyenyak tanpa tahu apa yang telah ia lakukan. Marren terenyak merasakan ada embusan udara yang hangat menyentuh lehernya yang jenjang. Gadis itu berdecak dengan malas. Namun, ketika sesuatu yang kenyal dan hangat menyentuh kulit lehernya dengan lembut membuat gadis itu menggeliat, lagi dan lagi. Dengan berat Marren membuka mata dan mendapati seorang laki-laki tampan dengan sorot mata yang gelap dan dalam. Marren tersentak dan ingin berteriak namun dengan cepat laki-laki itu membungkam mulutnya dengan ciumannya yang dalam Marren mengerang di tenggorokannya. Gadis itu menggeliat ingin melawan, akan tetapi laki-laki itu telah meletakkan berat badannya di atas tubuh Marren dan mengunci kedua pergelangan tangannya. Laki-laki itu terus mencumbu bibir Marren hingga terengah, lalu ciuman laki-laki itu bergeser ke pipi dan terus turun ke lehernya hingga ke dadanya yang sudah mengeras. Marren mengerang merasakan ciuman itu mendarat di lehernya dan bergeser ke dua aset kembarnya. 'Aaahhkg... Sejak kapan? Tunggu, sejak kapan bajuku terbuka? Oh... tidak Tapi... Aaahh...!' Marren menggelinjang. 'Enak!' Marren menjerit dalam hati yang hanya bisa pasrah menerima segala sentuhan dan cumbuan laki-laki itu. Hingga tanpa sadar kedua tangan Marren yang terbebas meremas rambut lembut laki-laki itu. la kembali menggelinjang saat ciuman laki-laki itu terus turun dan menyusuri perutnya yang rata. Gadis itu mengerang dan meronta karena sentuhan dan gerakan meremas jari-jemari perkasa Sang Pria. Lalu dia kembali kepada Marren dan langsung mengunci bibirnya yang padat berisi dan ranum. Laki-laki itu mengecap dan menjelajahi seluruh isi mulut Marren, seolah ingin melahapnya. Marren terengah sambil menerima ciuman laki-laki itu yang makin menuntut. Marren merasakan panas di sekujur tubuhnya disertai basah di bagian bawah, la terengah dan mulai lemas, namun laki-laki itu tak ingin menyudahi pagutan bibir mereka seolah ia dalam keadaan yang sangat lapar. BRAK! KLIK! "Oh! Nona! Syukurlah, Anda ada di sini. Kenapa Anda tidur di sini?" Marren tersentak dari tidurnya dengan kebingungan. Gadis itu terengah dan menatap seseorang yang datang tergopoh-gopoh dengan wajah pucat pasi. 'Hah? Apa yang terjadi?' batin Marren sambil celingukan menatap sekelilingnya. Ternyata Haura. Akan tetapi gadis itu terlihat seperti habis menangis. "Ada apa ini?" Marren menatap Haura dengan bingung. "Kenapa Anda tidur di sini, Nona? Saya pikir Nona hilang, saya sangat panik. Semua orang sedang mencari Nona! Oh Tuhan Syukurlah!" papar Haura gugup sekaligus lega karena berhasil menemukan Marren. Gadis itu berurai air mata karena lega. "Loh? Memangnya Saya ....." Marren memperhatikan sekeliling ruangan itu. Tampak asing dan maskulin. la juga meraba baju tidurnya yang masih utuh seolah tak tersentuh. Tetapi ia kebingungan saat meraba bibirnya yang terasa bengkak. 'Jadi itu tadi hanya mimpi? Tapi siapa laki-laki itu? Semuanya terasa sangat nyata' pikir Marren tetap larut dalam kebingungannya. "Nona, Anda salah masuk kamar." "Apa? Jadi aku ini bukan di kamar Saya yang tadi?" "Nona, ini sudah pagi." "Apa?" "Mari, sebaiknya kita bergegas kembali ke kamar Anda. Nona harus segera sarapan dan bersiap." Haura setengah memaksa Marren yang masih kebingungan sambil memperhatikan kamar yang mengesankan kegelapan karena dominasi warna hitam dan putih saja. Tiba-tiba ia menggigil teringat mimpinya. Saat melintasi ruangan mata Marren tertumbuk pada bayangan dirinya di cermin. Marren segera berlari mendekati cermin besar yang menempel pada dinding kamar itu. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat beberapa tanda merah di lehernya. 'Tidak! Ini bukan mimpi!'Dengan perasaan malu, Marren mengamati dirinya di cermin kamar mandi, la benar-benar melihat tanda bekas ciuman seseorang. Bukan hanya satu, ada beberapa di leher, pundak dan dadanya. Marren merabanya, ada getaran aneh yang ia rasakan. la juga meraba bibirnya yang terasa lebih tebal dan bengkak. 'Itu kamar siapa? Tapi tak ada siapa pun di sana?' batin Marren penasaran, lalu segera memakai baju yang ia dapatkan dari Haura. 'Oh tidak! Apalagi ini? Kenapa pagi begini harus memakai gaun resmi seperti ini?" Marren menggerutu dalam hati. Lebih-lebih potongan baju yang agak rendah itu tak bisa menutupi tanda merah di leher dan pundaknya. 'Sial! Sepertinya aku harus memakai syal tinggi untuk menutupinya. Ah tapi pasti akan terlihat aneh, kan? Ini masih terlalu pagi!' gerutunya dalam hati. Tok! Tok! Tok! "Nona, apa Anda baik-baik saja?" panggil Haura dari balik pintu kamar mandi. "I... lya, sebentar lagi aku selesai," Marren menjawab dengan gugup, karena terlalu lam
"Ada apa ini? Kalian sepertinya sudah saling mengenal, tapi Kakek rasa bukan dalam keadaan baik. Apa itu benar?" Kakek Devan memandang keduanya bergantian. Refleks Marren menghela napas dengan kesal dan menceritakan kejadian saat pertama kali bertemu Arsan, seperti anak kecil yang sedang mengadukan kenakalan Kakak pada orang tuanya. Kakek Devan mendengarnya dengan antusias di selingi gelak tawanya menatap Marren yang bersungut-sungut. "Ya, mau bagaimana lagi. Arsan sedang bosan, Kek. Apalagi saat tahu kalau dia pandai berkelahi, makanya Arsan iseng saja sekalian" sahut Arsan dengan santai sambil duduk di seberang kursi Kakeknya. "Iseng! Yang benar saja!" Marren bersedekap defensif dan memandang Arsan dengan masam, akan tetapi Pria tampan yang mempunyai lesung pipi itu mengabaikannya dengan mengendikan bahunya. Bahkan ia mengerlingkan iris hazel dengan manis dan membuat Marren semakin jengkel. "Iya Kek! Coba Kakek melihatnya sendiri, saat dia menghajar penjambret
Marren menggeliat dengan manja dan merentangkan tangannya dengan bebas. Namun, ia merasakan tubuhnya terasa sangat berat seolah ada batu besar yang menimpanya. Perlahan gadis itu membuka lentik kedua matanya. Marren tersentak dari tidurnya dan betapa terkejutnya dia saat mendapati dirinya tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Dengan panik, ia membungkus diri dalam selimut dan menyalakan lampu tidur yang ada di meja samping ranjang. Gadis itu menahan gusar karena ia tak mengingat apa pun yang terjadi. ''Oh tidak! Apa yang sudah terjadi? Apa aku dan Arsan sudah...?" Marren menggigit bibir menahan isaknya, ia mencoba menenangkan diri untuk mengingat apa yang terjadi, namun ia tak bisa mengingat apa pun. Marren memaksakan untuk bangkit dan membasuh dirinya, ia berendam cukup lama untuk menenangkan diri jika saja hal terburuk yang ia pikirkan benar-benar terjadi. Namun, tetap saja ia tidak bisa mengingat apa pun di malam pertama setelah pernikahannya. Apalagi ia m
🥀🥀🥀 Makan malam telah terhidang di meja makan. Namun, hanya Marren yang sedang asyik menikmati makan malam itu. Dua piring yang telah disediakan di atas meja masih dalam keadaan tertelungkup, karena Sang Empunya belum menampakkan batang hidungnya. Untuk itulah Marren sengaja makan lebih awal karena ingin buru-buru menyelesaikan aktivitasnya agar bisa menghindari kedua Kakak Beradik itu. Walaupun para asisten rumah tangga itu memandangnya aneh karena terlihat sangat jelas ingin menghindari makan malam bersama dengan para Tuan Muda, Marren tidak memedulikan itu semua, karena ia mulai tidak nyaman malam bersama dengan para Tuan Muda. Marren tidak memedulikan itu semua, karena ia mulai tidak nyaman dengan situasi yang ada. Belum sempat ia bisa hidup tenang karena sikap Arsan, kini Arland pun tiba-tiba hadir di antara mereka dan Marren merasakan perasaan yang aneh dan menekannya saat menatap sosok Arland. Dengan perasaan lega Marren meneguk air putih di tangannya, lalu b
"Maafkan Saya Pak Vano, Saya harus melakukan itu di hadapan Bapak, agar Bapak bisa segera melupakan Saya dengan rasa sakit yang Bapak terima hari ini. Tidak apa-apa jika saja Bapak memandang Saya seperti wanita ja***g atau bahkan pela**r yang menjual diri pada konglomerat! Tidak apa-apa, asal Bapak selamat!" jerit batin Marren yang berkecamuk tak karuan. Sambil menyisakan tangisnya, ia memasuki sebuah kamar kosong yang ada di lantai dua, la sengaja memilih kamar dengan posisi terjauh di rumah itu, agar ia bisa menenangkan dirinya tanpa gangguan siapa pun, terutama Arsan. Hatinya benar-benar remuk redam. Marren yang dulu memang sempat jatuh cinta pada Vano yang tampan, dewasa dan sangat bertanggung jawab itu kini harus mengubur rasa cintanya dalam-dalam. Walaupun begitu ia sangat tahu diri bahwa umur mereka yang terpaut cukup jauh membuatnya lebih memilih mundur, apalagi ia melihat teman kerjanya juga sangat menyukai manajernya itu dengan sepenuh
Siang itu Marren terbangun dengan keadaan yang masih tanpa sehelai benang pun. Tubuh polosnya tertutup selimut tebal yang hangat karena udara yang dingin dari AC menembus kulitnya. Marren menutup wajahnya dengan malu setelah teringat apa yang telah terjadi sebelumnya. la memeluk tubuhnya erat-erat dan segera berlari membilas diri di kamar mandi dengan selimut yang melilit tubuhnya. 'Tidak apa-apa. Toh dia suamimu Marren! Tidak apa-apa! Lagi pula ini demi menyelamatkan Pak Vano. Dan lagi, Saya selalu meminum pil KB itu terus, jadi Saya tidak akan hamil, sekiranya Arsan tidak memakai pengaman pun kurasa tidak akan apa-apa. Tapi si brengsek itu sepertinya tidak pernah pakai pengaman? Aku tidak sempat memperhatikannya! Boro-boro! Yang penting dengan begini Pak Vano terlepas dari cengkeraman Arsan!' Marren mendumel dalam hati dan mencoba membuang ingatan semua tingkah binalnya demi meredam amarah Arsan. Namun semakin ia membuang semakin jelas gambar
"Ya, mana Saya tahu, Arsan? Saya juga baru selesai telepon video dengan Mommy. Kamu bilang Saya tidak boleh keluar kamar, ya sudah Saya hanya telepon Mommy!" jawab Marren dengan nada jengkel. Arsan terdiam beberapa saat, "oke, tunggu aku pulang." Arsan menutup telepon dengan seenaknya. Marren menggeram jengkel bukan main. "Oh astaga! Apa-apaan sih dia itu? Benar-benar menjengkelkan! Menyebalkan! Huh!" Marren melempar ponselnya ke sofa di sebelahnya. Haura yang menyaksikan itu hanya bisa membeku tanpa bergerak sedikit pun. Marren menatap gadis itu dengan penuh iba. la terlupa akan keberadaan. Haura yang telah membawa buku-bukunya. "Oh Haura, maafkan Saya. Letakkan saja buku-buku itu di sana dan kamu boleh pergi." Marren menatap gadis itu dengan tersenyum penuh pengertian. "Tap... Tapi Nyonya, saya... saya sudah berjanji akan menemani Nyonya sepanjang waktu! Pasti Nyonya butuh teman bicara." Haura menawarkan dir
"Marren, Saya menunggu jawabanmu!" Arsan menatap Marren yang makin terlihat pucat pasi. Wanita muda itu menelan kebingungannya dalam matanya yang berkaca-kaca. "Ti... dak Arsan. Saya, Saya memang tadi sempat bermimpi buruk, tapi entah kenapa Saya, ehm di mimpi Saya ada Kakak ipar dan, dan entah kenapa setiap ada dia membuat Saya tidak nyaman. Entahlah Saya hanya aneh dan takut" papar Marren dengan perkataan yang terbata-bata. Hening sesaat. Arsan hanya memandang Marren beberapa saat lalu pergi meninggalkannya tanpa kata-kata atau pun sikap kemarahannya yang sering meledak-ledak jika ia merasa cemburu dengan setiap Pria yang dekat dengan Marren. Hal itu membuat Marren bertanya-tanya dan kebingungan seketika menderanya. 'Arsan pergi begitu saja? Dia tidak marah? Tidak mungkin! Apa dia bisa meredam kemarahannya kali ini atau.... Atau... la... Oh tidak! Apa jangan-jangan ia langsung pergi menemui Arland? Oh tidak, bagaimana